Sekitar Jogja

| Februari 22, 2009 | Sunting
Prambanan
Tugu Jogja di malam hari
Gedung Agung
Pulau Cemeti, Taman Sari
Pedagang buku di Shopping Center, Taman Pintar
Titik nol kilometer
Jogja dari atas
Sumur Gumuling, Taman Sari
Tanpa penumpang
Borobudur, mbak Iin dan mbak Sungsang

Romansa Angkringan

| Februari 21, 2009 | Sunting
Lapar mengajak saya ke warung angkringan
di pinggir jalan. Tuan pedagang angkringan
sedang ketiduran. Ia batuk-batuk, mengerang,
kemudian ia betulkan batuknya yang sumbang.
Saya makan dua bungkus nasi kucing.
Saya bikin kopi sendiri. Ambil rokok sendiri.
Saya bayar, saya hitung sendiri. “Kembaliannya
untuk tuan saja,” kata saya dalam hati.
Lalu saya pulang. “Selamat tidur pejuang.”
Tuan pedagang angkringan terbangun.
“Tunggu jangan tinggalkan saya sendirian!”
Setelah semuanya ia bereskan, ia paksakan saya
segera naik ke atas gerobak angkringan
“Berbaringlah Tuan. Saya antar Tuan pulang”
Amboi saya telentang kenyang
diatas gerobak angkringan yang berjalan pelan
menyusuri labirin malam. Saya terbuai, terpejam.
Seperti naik perahu di laut terang, meluncur ringan
menuju rumah impian nun di seberang.
Samar-samar saya lihat bayangan seorang ibu
Sedang meninabobokan anaknya dalam ayunan:
Tidurlah, tidur, tidurlah anakku tersayang
Puisi diatas adalah salah satu karya Joko Pinurbo yang dimuat di Harian Kompas Minggu tanggal 23 Desember 2007. Puisi ini menceritakan tentang interaksinya dengan seorang pedagang angkringan. Angkringan... yah angkringan. Orang biasa menyebutnya dengan kucingan atau juga kafe ceret telu, sebuah fenomena tempat makan malam hari yang murah meriah, dimana kita bisa ngobrol ngalor ngidul tentang segala hal sepuasnya, khas Jogjakarta.
Menu Khas Angkringan
Bagi sebagian orang, angkringan seperti rumah kedua. Disitu segala kepenatan dan beban kerja seharian dapat dilepaskan. Minum wedang jahe, kopi panas ataupun teh hangat disertai gorengan dan tentu saja satu atau dua bungkus sego kucing plus beberapa lencer rokok ketengan. Juga ditambah swiwi, pupu atau malah beberapa tusuk sate bila duit di kantong masih memungkinkan. Sambil ngobrol dan guyon sekenanya sampai hampir larut malam. Kadang dalam hangat dan riuhnya obrolan-obrolan itu kita bisa mendapatkan pelajaran dan pencerahan hidup bahkan sebagai sumber inspirasi yang kemudian menghasilkan tulisan.

Menurut penuturan keluarga pengangkring, sejarah angkringan sendiri bermula dari sosok Mbah Pawiro, lelaki asal Cawas, Klaten. Sekitar tahun 1950-an ia mengusung dua pikulan ting-ting hik dan menggelar dagangannya di emplasemen Stasiun Tugu. Mbah Pawiro dengan teriakan “...Iyek!!!”, dianggap sebagai generasi pertama penjaja angkringan di Jogja. Sekitar tahun 1969 dagangan itu diwariskan Mbah Pawiro kepada Siswo Raharjo, putranya. Setahun kemudian, Siswo Raharjo yang biasa dipanggil Lik Man, memindahkan dagangannya ke depan stasiun, dan lima tahun kemudian pindah lagi ke Jalan Bumijo, persis di sebelah utara Stasiun Tugu. Di tangan Lik Man inilah angkringan mencapai kesuburannya dan menjadi bagian dari legenda Kota Jogjakarta. Seniman-seniman Jogja seperti Butet Kertaredjasa, Djadug Ferianto, Emha Ainun Nadjib, Bondan Nusantara hingga Marwoto pernah menghabiskan malam di Angkringan Lik Man.

Kini, angkringan telah menyebar luas di Jogjakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Hampir di tiap-tiap sudut kota terdapat angkringan. Diperkirakan terdapat 1000 buah angkringan dengan 120-0an pedagang serta lebih dari 30,000 warga kampung penyuplai makanan angkringan.

Angkringan yang terkesan pinggiran telah menjadi penanda kehidupan malam di Jogjakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Di sanalah bermula ide-ide segar, konsep-konsep lawakan, tempat aksi demonstrasi direncanakan, tempat munculnya ide skripsi dan penelitian, tempat meramal nomor buntut (dulu), diskusi politik, ataupun ngobrol biasa sekenanya. Para pedagang angkringan bukan hanya sebagai penjaja, tetapi juga teman ngobrol para pembeli. Minimal, mereka menjadi saksi dan pendengar yang baik. Hubungan penjaja dan pembeli ini, lebih dari sekedar hubungan ekonomi melainkan hubungan pertemanan. Tak heran bila semua penjaja angkringan dipanggil dengan sebutan akrab lik (paman). Sebut saja Lik Man, Lik Dul, Lik Doyo, Lik Min, Lik Har ...hehehe dan masih banyak lik-lik lainnya.

Setiap orang punya angkringan favorit sendiri-sendiri. Menu boleh sama, tetapi suasana akan memberi nuansa yang berbeda. Hampir seluruh angkringan di Jogja dan sekitarnya adalah sama dengan tenda biru atau orange-nya. Dan yang terfavorit dan terbaik versi saya tentu saja angkringan Lik Purwo, sang penakluk malam, karib saya. Di sana kita bisa kongkow-kongkow sambil melihat mobil dan motor lalu lalang berseliweran di depannya. Sesekali mungkin bisa kita dengar juga petikan siter seniman-seniman berwajah sangar tapi berhati lembut...hehe.

Lepas dari itu semua, angkringan adalah wujud sebuah gerakan ekonomi rakyat bawah yang bersumber dari kearifan lokal yaitu tepo seliro lan biso rumongso (bisa menghayati perasaan orang lain) seperti yang diperlihatkan para lik-lik tadi. Sebagai sebuah penanda lokalitas sudah selayaknya fenomena angkringan ini dilestarikan atau jikalau memungkinkan dijadikan kekuatan ekonomi yang signifikan. Jangan sampai trend penggusuran suatu saat merembet pula ke area lik-lik ini.

Hernando de Sotto, seorang pakar ekonomi, mengingatkan bahwa menata hak-hak atas kekayaan yang selama ini liar merupakan cara yang paling manjur untuk menyukseskan pengembangan ekonomi. Ia secara global menganjurkan agar mengubah seluruh kekayaan rakyat yang selama ini menjadi kekayaan mati menjadi kapital atau modal. Dan saya rasa angkringan dengan segala romansanya menjadi bagian dari itu semuanya.Salam hangat buat para pengangkring dan komunitas angkringan semuanya.....

*) Catatan Mbah Im, saya kopi khusus untuk Bapak, sang penakluk malam yang berjuang menghidupi keluarga dari gerobak angkringannya.

Tentang Kesetiaan

| Februari 21, 2009 | Sunting
Loro Blonyo - Lambang kesetiaan
Torehan sejarah selalu mencatat cerita-cerita kesetiaan. Sesuatu yang kelihatan mulai luntur dari diri kita sekarang ini, baik itu sebagai pribadi maupun hubungan manusia secara lebih luas.

Kesetiaan kita kepada Tuhan misal, seringkali tergadai oleh rutinitas semu yang membelenggu dari waktu ke waktu, hingga tak ada ruang lagi untuk-Nya. Kesetiaan pada tanah kelahiran juga telah tergantikan oleh kepentingan perorangan atau kelompok yang mengatasnamakan kepentingan umum, politik atau ekonomi. Lihatlah sebagian kekayaan alam negeri ini yang telah dikuasai oleh modal yang sebagian besar keuntungannya masuk ke segelintir orang.

Dalam relasi yang lebih kecil, kesetiaan kita pada teman atau mungkin pasangan hidup terlihat mulai meluntur juga. Banyak yang lupa akan asal-usulnya. Seperti orang bilang, kacang lupa akan kulitnya. Mereka yang telah berada diatas seakan tak mau menengok lagi ke bawah. Mereka lupa akan saudara-saudaranya yang masih berkutat dalam lubang kemiskinan. Padahal, dari situlah mereka juga bermula.

Sementara itu lunturnya kesetiaan antar pasangan hidup, dapat dilihat dari tingginya angka perceraian, banyaknya kasus perselingkuhan dan berantakannya banyak biduk rumah tangga. Memang, mungkin, hidup di era terbuka seperti ini lebih banyak godaannya. Segala hal dan kemudahan dapat kita peroleh. Seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain dengan bebas dan leluasa. Ruang yang makin menyempit ini juga memberikan kelonggaran bagi seseorang untuk berbuat melampaui komitmen yang telah mereka buat.

Perbincangan sesaat bisa meruntuhkan bangunan kepercayaan yang begitu kokoh. Bermula dari saling sapa, saling kenal, saling jalan dan akhirnya berakhir di ranjang. Alangkah mudahnya mereka melepas dan melupakan komitmen, padahal secara langsung itu berhubungan dengan dua hati. Apabila ada satu yang tersakiti, sangatlah sulit membuatnya sembuh kembali.

Melihat hal-hal diatas, saya jadi teringat kisah-kisah tentang kesetiaan nan agung sepanjang zaman, baik itu berupa dongengan, kisah nyata, atau sisi sejarah lainnya. Kesetiaan kepada tuhan, kesetiaan kepada janji, kesetiaan kepada pasangan, kesetiaan kepada kawan, kesetiaan kepada tanah air dan kesetiaan-kesetiaan lainnya. Mereka memegang teguh komitmennya dengan sempurna sampai maut memisahkan dari raga.

Cerita klasik Ramayana salah satunya. Sebuah epos yang memberi pelajaran kepada kita tentang betapa agungnya kesetiaan dalam berbagai bentuk. Kesetiaan seorang perempuan kepada suaminya diperlihatkan dengan indah oleh Dewi Sinta. Ia selalu menjaga kesuciaannya dari Rahwana, raksasa yang menculiknya dan menginginkannya menjadi istri. Berbagai daya upaya dilakukan Rahwana, tetapi Dewi Sinta tetap memegang teguh komitmennya. Ia tetap setia pada Sri Rama, suaminya. Setelah terbebaspun, ia harus mendapat cobaan lagi. Sri Rama ternyata meragukan kesuciaannya. Dan pada akhirnya, dengan tulus ikhlas Sinta rela pati obong sebagai tanda kesetiaan dan kejujurannya pada Sri Rama.

Kesetiaan pada bangsa diperlihatkan dengan gagah oleh Kumbakarna, adik Rahwana. Walau ia berbeda pendapat dengan kakaknya dalam berbagai hal sampai ia diasingkan dari istana tetapi sewaktu negerinya membutuhkan tenaganya ia siap sedia membela. Memang, apa yang dilakukan kakaknya adalah salah. Tetapi ia tidak dapat membiarkan negeri yang telah memberinya hidup hancur oleh pasukan kera Sri Rama. Ia membela tanah kelahirannya, bukan membela tindakan Rahwana. Dengan gagah berani ia seorang diri maju ke medan laga. Banyak tentara musuh kocar-kacir sampai akhirnya ia gugur juga. Gugur dengan nama harum membela bumi pertiwi yang amat dicintainya.

Itu dari masa lalu. Di masa kini kita memiliki Raden Ngabehi Surakso Hargo misalnya. Yah, mbah Maridjan. Kesetiaan kepada Tuhannya, kepada rajanya, kepada lingkungannya dan kepada gunung Merapi yang menjadi tanggungjawabnya. Ia selalu menjaga komitmennya untuk setia menjaga gunung Merapi, apapun yang akan terjadi. Ia tidak akan turun gunung walau Merapi meletus. Ia mengemban amanah HB IX, raja Yogyakarta terdahulu. 

Sewaktu Merapi memperlihatkan tanda-tanda akan meletus, banyak pihak termasuk penguasa, memintanya turun. Ia teguh dengan pendiriannya. Akhirnya Merapi memang meletus tidak terlalu besar. Mbah Maridjan menyerahkan hidup dan kesetiaanya kepada tuhan dan alam Merapi yang begitu dikenalnya. Karena keteguhan hatinya, Mbah Maridjan sangat dihormati dan menjadi anutan banyak orang. Berbagai tawaran menggiurkan datang dari berbagai tokoh politik atau organisasi tertentu untuk ikut di dalamnya selalu ditolak dengan ramah. Bahkan, honor dari iklan jamu kondang yang dibintanginya diberikan untuk masyarakat dan alam Merapi. Sekali lagi, Mbah Maridjan menunjukkan kesetiaannya.

Kepada diri sendiri yang begitu kecil, berpegang teguhlah pada komitmen yang kamu buat. Janganlah mudah goyah. Janganlah begitu mudah melepas komitmen sampai mungkin orang lain yang terlebih dahulu melanggar komitmen yang Anda buat bersama. Semoga kita selalu menemukan solusi masalah-masalah yang kita hadapi.

*) disalin dari tulisan mbah Im, dengan perubahan seperlunya

Pasar Kembang

| Februari 21, 2009 | Sunting
Pasar Kembang
Pasar Kembang
Pasar Kembang atau orang sering menyebutnya Sarkem, terletak di Kampung Sosrowijayan. Orang Jogja pasti mengenal kawasan ini. Sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. Letaknya pun sangat strategis yakni di jantung kota Jogjakarta tepatnya di ujung utara jalan kondang Malioboro bersebelahan dengan Stasiun Tugu. Bila Surabaya punya Gang Dolly, Semarang punya Kawasan Sunan Kuning, Bandung punya Saritem, maka Jogjakarta punya Sarkem yang setara dengan kawasan-kawasan malam itu. (Bila saya hafal tempat-tempat itu bukan berarti saya sering kesana lho, tapi mungkin karena pengetahuan saya terlalu luas... haha)

Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Disana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas
ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Disana mereka juga dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya. Bagi wisatawan mancanegara, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap disini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda,tak banyak yang mengusiknya bahkan pemerintah daerah sekalipun.


Nama Sarkem kembali menjadi wacana menarik belakangan ini ketika banyak orang mengusulkan agar dijadikan kawasan wisata andalan bagi Provinsi DIY. Termasuk kemungkinan sebagai wisata seks. Salah satu tokoh pariwisata dan perhotelan Jogjakarta dalam sebuah koran terbitan lokal mengemukakan bahwa banyak sekali tamu hotel yang minta diantar ke Sarkem setiap berkunjung ke Jogja sehingga kawasan ini cocok sekali digunakan sebagai sentra wista seks. Ia kemudian mencontohkan bahwa Malaysia dan Singapura pun telah memilikinya. Karena itu, selain akan menambah pendapatan daerah juga bisa memantau penyebaran HIV/AIDS sehingga terkendali sebab para PSK-nya terpusat di satu tempat saja.

Tentu saja wacana ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Jogjakarta. Bahkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sampai turut angkat bicara. Secara tegas orang nomor satu di keraton Jogjakarta itu menolak wacana tersebut. Sultan menginginkan Jogjakarta maju dan terkenal karena budaya dan keramahannya, bukan karena sisi gelapnya. Janganlah menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu yang kemungkinan besar akan menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat.

Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia pariwisata ujung-ujungnya akan berkaitan dengan dunia malam atau sejenisnya. Setiap lokasi wisata yang terkenal dan maju umumnya juga memiliki wisata seks yang maju pula. Misalnya saja negara tetangga kita Thailand yang sangat maju dalam pariwisata. Disana wisata seks diolah dan digarap sedemikian rupa sehingga menarik minat turis asing untuk berdatangan. Seks menjadi hal yang umum di negara itu. Tetapi ekses negatifnya adalah penyebaran dan penularan HIV/AIDS juga berkembang pesat juga disana.

Sebagai orang yang pernah sedikit mengenyam ilmu dan berkecimpung di dunia pariwisata, saya tahu betul dilema-dilema dalam memajukan pariwisata di negara kita. Salah satunya adalah seperti hal diatas. Yang mungkin tidak pernah dipikirkan banyak orang adalah mengapa kita tidak mencari terobosan atau inovasi baru yang lebih fresh dan khas daripada melulu mengutak-atik seks sebagai sebuah komoditi wisata. Misalnya saja menggagas wisata buku atau wisata cyber yang banyak menggeliat di kota ini. Bukankah lebih baik kita menciptakan trend daripada mengekor trend? Siapa tahu hasilnya malah lebih menjanjikan…

Lepas dari itu semua, biarlah orang-orang pintar dan berkompeten yang berwacana di publik dan memikirkannya. Sebagai orang biasa, kita hanya bisa melihat dan mungkin sedikit mengkritisinya seperti ini saja. Biarlah Sarkem tetap dengan dunianya, melepaskan syair-syair malam diantara masyarakat Jogja yang sedang berubah. Yang penting sekarang ini seperti alunan lagu Kla Project... Nikmati bersama suasana Jogja... dengan segala warna warninya tentu saja.

*) Catatan Mbah Im

Ketelanjangan

| Februari 21, 2009 | Sunting
Seorang teman, lelaki Korea, pergi ke Jepang. Setelah urusannya selesai, tentu saja ia ingin merasakan pemandian umum di Jepang yang terkenal eksotis itu. Kolam air panas di musim dingin, alam terbuka. Tata lampu dan uap yang mengepul akan membikin efek filter-lembut pada mata kita sehingga bokong yang bopeng tak terlalu kentara. Ia pergi ke sebuah ujung yang menyediakan pemandian campur, telanjang, nyemplung, lalu berharap ada gadis-gadis yang berbuat sama. Setelah menunggu lama, muncul sepasang muda-mudi. Tapi ceweknya pakai handuk. Setelah pasangan itu mentas, yang datang hanya sekelompok wanita tua. Tengsinlah teman itu. Alih-alih dia memandang-mandang tubuh muda cewek, malah tubuhnya yang dipandang-pandang nenek-nenek. Tak ada lagi anak-anak muda yang mau nyemplung ke pemandian campur.
Pemandian umum di Jepang masa kini, seperti digambarkan dalam film Okuribito (2008)
Saya bertanya pada teman Jepang dimana ada pemandian campur sebab saya juga ingin mencoba. Sekarang sulit, katanya. Ia bercerita tentang masa kecilnya. Dulu di pedesaan, ketika belum ada tenaga gas, rumah tangga biasa membikin kolam mandi air panas secara giliran dengan bara. Barangkali karena sulitnya menggodok air dalam kolah, penduduk desa mandi bersama-sama di tempat yang kena giliran. Ketika itu telanjang bersama-sama bukan hal yang dosa.

Kini orang Jepang telah memakan buah kuldi itu. Seperti Adam dan Hawa yang diceritakan dalam Qur'an, mereka menjadi malu dengan ketelanjangan mereka. Nuditas kehilangan kepolosan, ketelanjangan menjadi senantiasa bermakna seksual. Nah, darimana mereka menemukan pohon pengetahuan itu? Saya kira buah kuldi itu diimpor dari Barat. Kita mengimpor buah-buahan itu dari Barat, sebagaimana ceri dan plum atau korma, lewat agama-agama moneteis dan modernisitas. Namun, apa yang dilihat Eropa dan Amerika pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 tentang kita? Antara lain seperti Bali dalam album juru potret Jerman Gregor Krause yang memesona Miguel Covarru. Timur yang eksotis, perempuan mandi di pancuran. The last paradise, firdaus yang terakhir, sebab di situlah ia masih bisa melihat orang diperbolehkan polos, telanjang.

Sebuah pasar, Bali 1933
Namun, Timur juga seperti dalam buku pegangan nyonya-nyonya Belanda yang dibuat dokter kolonial di akhir tahun 1800-an. Buku itu mengajarkan agar jangan sekali-sekali anak-anak Belanda dibiarkan tidur dengan babunya. Sebab babu menidurkan si bocah dengan “cara-cara yang sulit dipercaya, yang akan merusak masa depan si anak dan yang tak dapat dituliskan di sini.” Anak-anak Belanda akan kehilangan keinosenannya. Maksudnya, babu akan membuat si anak suka merangsang organ seksnya pada usia amat dini dan itu berbahaya. Ketika itu, saat Eropa masih bau Victorian, para kolonialis itu percaya bahwa masturbasi bukan kecenderungan anak Eropa, tapi diajarkan oleh para inlander, karena udara tropis. Anak-anak pribumi dianggap mengenal seks sejak dini. Itulah pengaruh jahat Timur terhadap moral Eropa.

Aneh ya? Sekarang kitalah yang suka mengutuk-ngutuk Barat karena moral seksnya yang rendah. Banyak orang yang menyederhanakan Barat sebatas film biru. Orang yang percaya bahwa seks ekstramarital itu tidak jahat, seperti saya, sering dituduh kebarat-baratan. Padahal, dulu Eropa yang menganggap itu ketimur-timuran. Seandainya saya sekarang jalan-jalan tanpa beha, tak akan ada yang memaki, “Ketimur-timuran lu!” Padahal beha itu kita impor dari luar negeri. Kalau saya goler-goler tanpa baju di pantai pasti saya dituduh tiru-tiru Londo, padahal bule-bule di Kuta itulah yang semula tiru-tiru kita. Sisa-sisa keeksotisan Timur barangkali ada pada satu teman lelaki Indonesia yang tinggal di Washington DC. Dia jalan-jalan dengan celana bokser, yang adalah celana dalam bagi orang Amrik. Tapi lelaki Indonesia punya celana dalam yang mini sehingga celana kathok begitu terhitung celana pendek. Atau, rombongan Sardono W Kusumo yang menari Hanuman dengan celana dalam termal. Mereka bisa menemukan jejak celana dalam dari potongan di bawah pusar, tapi bagi para penari itu adalah baju senam.


Jadi, adakah esensi Timur dan Barat jika kita telah berubah dan mereka juga telah berubah secara berbalikan. Siapakah kita, siapakah mereka? Sejarah menunjukkan bahwa tak ada kita atau mereka yang abadi. Modernitas abad ke-19 dan ke-20, yang di dalamnya jejak-jejak monoteisme disekularisasi, telah mencabut kepolosan kolam mandi di Jepang, juga pikiran kita. Apa boleh buat. Kita—kalau ada “kita”—selalu berubah-ubah secara aneh. Jika para feminis di Amerika Serikat telah memberontak terhadap korset dan beha dengan gerakan anti-bra, di Indonesia beha pernah menjadi lambang kemajuan. Dan kini beha punya dua makna yang nampak kontradiktif. Untuk menutupi sekaligus untuk menonjolkan.


Dari SI PARASIT LAJANG, Ayu Utami

Senandung Hujan

| Februari 15, 2009 | Sunting
Derai hujan
musim penghujan kali ini, hujan memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan juga rumah sunyinya di kaki sebuah bukit, mengikuti arus sungai, menuju muara bersatu dengan laut, yang selama ini ia rindukan.

mengapa tak menetap ia di tanah kelahirannya, menghuni rumah sunyinya, menetes dan mengalirkan diri? tak terhitung orang-orang yang kehausan disini, tak hanya sawah dan ladang yang menderita, juga relung-relung hati dan jantung orang-orang disini juga telah lama kerontang. lihatlah bibir mereka yang retak, senyum dan bunga-bunga enggan untuk tumbuh, mereka haus, hujan harus kembali dan turun disini.

terkadang, hujan dengan iba hati mengakui kalau berlama-lama di rumah sunyi dan berkeliaran sekitar tanah kelahiran. tidak memberi arti apa-apa. negeri ini, tidak menarik lagi untuk ditinggali dan diresapi. aku ini hujan. begitu cari ia berfikir. mungkin itu sebuah keluahan. atau bisa juga awal pemberontakan. atau barangkali, itulah pengkhianatan...

Kiamat: Sebuah Cerita

| Februari 15, 2009 | Sunting
Menurut kalender Suku Maya, tiga tahun lagi kiamat. Tanggal 21 Desember 2012 tepatnya. Jika Desember kita tulis dalam angka, beginilah jadinya: 21-12-2012. Hanya ada satu 0, yang lain 1 dan 2. Apa artinya? Entahlah. Yang jelas, berita tentang "kiamat" itu membuat si Biru gundah. Maklumlah, 21 Desember itu tanggal lahirnya. 

"Kenapa kiamat pas hari ulang tahunku, kenapa nggak milih hari lain?" protesnya.

Suatu malam, Mama Laurent nongol di televisi dan menjawab pertanyaan presenter tentang 2012 itu kira-kira begini: "Bencana besar mungkin terjadi. Tapi bagaimana persisnya, saya tidak tahu. Bahkan pandangan saya terbatas pada tahun 2012, tak bisa menembus ke tahun berikutnya."

Bakal benar-benar tamatkah dunia pada tahun 2012? Ya embuh juga!

Bersama kami, si Biru nonton acara itu. Tak bereaksi dan berucap apa pun dia. Tapi malam-malam, dia keluar dari kamarnya, mengetuk kamar kami, dan sambil sedikit terisak bilang, "Aku gak bisa tidur..."

"Kenapa?" tanyaku.

"Takut kiamat..."

Hwuaduh! Sangat ingin aku menjelaskan soal 2012 dan Mama Laurent itu, tapi pasti sulit masuk ke pikiran dan hati Biru yang sedang direjam gelisah dan takut itu. Ya sudah, tidur ngumpul seperti pindang di pasar.

***

Lain hari, sepulang sekolah, dia bicara lagi soal kiamat yang kian dekat. Kesempatan itu tak aku lepaskan. Santai aku bilang, "Dulu Mas, waktu Bapak masih SD, ada selebaran 'awas, seminggu lagi kiamat'. Gegerlah orang-orang. Tapi seminggu kemudian, dunia tetap ada. Saat Bapak SMP, ada lagi selebaran soal kiamat. Pak Khotib, guru fiqih Bapak waktu itu, segera lari ke masjid dan bersujud.... Menangis! Tapi ternyata, dunia tetap ada. Saat Bapak SMA, ada lagi selebaran kayak gitu. Jadi, sekarang, tenang aja Mas, kiamat sudah lewat, berkali-kali malah...."

Biru termangu. Entah paham entah bingung. Entik segera menengahi agar (ini sangat mungkin) jawabanku yang "keterlaluan" itu tak tertelan mentah-mentah. "Sesuai dengan keyakinan kita, Islam, kiamat pasti terjadi, Mas. Tapi kapan, hanya Allah yang tahu. Yang penting, selama masih hidup, kita lakukan hal-hal yang baik..."

Aku pun menimpali, "Kalau sudah melakukan hal-hal yang baik, sudah, tenang aja. Mau besok mau 2012 mau kapan pun kiamat itu, terserah Yang Punya Hidup."

Biru manggut-manggut. Wajah keruhnya melenyap, berganti senyum. "Jadi nggak usah takut ya, Buk?"

"Ya nggak perlu wong pasti terjadi kok..."

***

Kemarin, Biru membawa topik itu lagi, tapi dengan gaya yang berbeda, lebih santai. "Kiamat tak kiamat sama aja, yang penting jadi orang baik. Iya kan, Buk?" Entik mengangguk. "Kalau pas kiamat, kita tenang aja ya Buk, nggak usah lari ya? Mau sembunyi juga nggak bisa kan? Yang hancur kan dunia... Mau sembunyi di mana?"

"Ya iyalah..." kata Entik.

Aku berdiri di belakang Biru tapi tak berkomentar sedikit pun. Ingat dosa. Ingat belum banyak melakukan hal-hal yang baik itu...

Euforia Sekaten

| Februari 15, 2009 | Sunting
sekaten,
pesta rakyat 
jogja.
Arum manis Sekaten 
Komidi putar 
Retap-retap hujan mengguyur 
Sekaten dari atas 
Gerbang Sekaten 
Atap Sekaten
Kapal-kapalan
jogja,
never
ending
asia.

Realita Anak-anak Kita

| Februari 15, 2009 | Sunting
Seorang murid sekolah Inggris berusia 13 tahun menjadi ayah, setelah pacarnya yang berusia 15 tahun melahirkan anak, demikian dilaporkan Jumat. Kelahiran ini memicu perdebatan mengenai tingginya tingkat kehamilan di kalangan remaja Inggris. Alfie Patten, yang suaranya belum lagi pecah sebagaimana lazimnya bila seorang anak beranjak dewasa, mengakui belum tahu bagaimana ia dan kekasihnya akan mengurus putrinya, Maisie Rixane, yang lahir Senin. Namun begitu, Patten berjanji akan menjadi ayah yang baik.

Itulah yang saya baca pagi tadi di laman Antara. Yang terlintas dalam benak saya? entahlah apa, saya sendiri tidak bisa mengungkapkannya. karena bagaimana pun, saya yang sudah berumur 16 tahun saja belum pernah terpikirkan bagaimana menjadi seorang ayah. sementara bocah itu? dia baru berumur 13 tahun!!

Yah, kondisi generasi penerus dunia akhir-akhir ini semakin aneh-aneh saja. Berbagai kenakalan remaja tak urung menjadi konsumsi publik yang sangat pahit untuk ditelan. Disinilah kemudian dipertanyakan peran orang tua sebagai mentor pertama anak-anaka mereka. Orang tua yang memiliki anak bermasalah pada umumnya kemudian terbuka pula berbagai kelemahannya dalam membagi waktu, atau kelemahannya dalam menyeleksi apa yang pantas dan apa yang tidak pantas untuk di lihat anaknya. 

Di Indonesia sendiri mungkin sebenarnya sudah banyak terjadi, namun karena keadaan masyarakat yang masih minor pengetahuan hal semacam itu tidak dianggakp penting. Masalah lain yang harus ditanggung anak-anak adalah masalah eksploitasi anak yang berlebihan. Masih ingat berita Ponari dan batu ajaib dari Jombang?

Dukun Cilik Ponari

Penutupan praktik Ponari di Jombang, Jawa Timur, dua hari lalu tidak menyelesaikan masalah. Ribuan pengunjung masih keras kepala mendatangi kediaman dukun cilik yang tinggal di Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, itu kemarin (11/2). Itu membuat repot petugas keamanan dari Polres Jombang. Poster pengumuman penutupan praktik yang dipasang di beberapa sudut jalan seakan dianggap tidak ada oleh pengunjung dari berbagai kota di Jawa itu. Sambil membawa gelas plastik, mangkuk, hingga ember, mereka tetap menunggu.
Ponari
Secara umum, berita Ponari adalah sebuah wujud dari perampasan hak anak. Karena dengan profesi barunya sebagai dukun, Ponari harus mengorbankan banyak hal. Mulai dari hak untuk bermain, hak untuk beristirahat, hingga haknya untuk bersekolah. Dan sedihnya, hal serupa juga dihadapi ribuan anak Indonesia lainnya. Dimana mereka harus membanting tulang demi menyambung hidup. Padahal, belum seharusnya mereka melakukan itu.

Tentang Kegelapan

| Februari 11, 2009 | Sunting
kelam. gelap. 
pekat merajai hari.
membungkus bumi.
suara jangkrik
suara kodok
suara nyamuk
gonggong segawon
orkestra abadi yang tak pernah berganti

kutermenung...
mataku ingin menerobos
tapi terhalang, terhalang gelap.

tiadakah lagi yang dapat sibak gelap
selain nyala kecil teplok?

dimanakah para cerdik pandai?
pak presiden...
pak menteri...
pak polisi...
pak DPR...
tiadakah mereka?
hingga kuharus menyita daya
kang samiun untuk memompa petromaks?
atau mbok karto untuk membakar obor?
tiadakah?

sungguh ku tak habis pikir,
sekalipun kemudian,
pak oemar bakrie bangkit dari pilenggahan
namun, terlamabat sudah pak

gelap telah merata
tak mungkin bapak menyedot gelap 
dan memasukkanya ke dalam kendi
sendiri?
tak mungkin kan?

pak presiden sekalipun,
kemarin kemana pak?
gelap sudah semakin pekat
sementara bapak baru tiba,
tidakkah ini hanya seremoni
penyedap perang calon pemimpin negeri?

untunglah ayam-ayam kecil datang membela
mereka berusaha keras tuk memanggil matari
agar ia menyinari bumi, menyerap pekat
yang tak pernah terurai
bagai benang dalam lipatan padi...


yah, negeri ini butuh bukti bung!
butuh revolusioner yang dandani birokrasi pranata negara.
bukan sekadar para jago bicara, tapi tiada daya tuk wujudkanya
apakah itu anda?
atau mungkin anda?

tapi yang pasti bukan agos, atau yu ngatirah
mereka tak punya cukup duit untuk itu, sungguh
tapi sekalipun begitu, mereka masih sanggup,
meski tertatih,
tuk sekolahkan temon, genuk, sipar, ratno
atau siapapun anak mereka,
untuk mempersiapkan para pemimpin negara
pada nantinya.

Kisah Sebuah Biduk Kecil

| Februari 08, 2009 | Sunting
sebuah biduk kecil, mulai berlayar, kembangkan layar di tengah samudera kehidupan. pada awalnya keadaan memang terkendali, setiap penumpang bisa menikmati pelayaran dengan tenang karena pada saat mereka memang masih dapat kompak untuk menghadapi berbagai masalah yang ada.

Biduk kecil
akan tetapi, keadaan tiba-tiba berubah, entah berapa derajat dan biduk kecil itu nyaris karam di tengah perjalanan. badai yang tanpa prediksi datang menghantam biduk kecil yang telah terbiasa dalam buaian ketenangan itu. yah memang tidak sampai pecah berantakan, tapi keadaan sudah gawat darurat.

biduk yang awalnya miringpun mencapai pada puncak cobaan nya ketika ia benar-benar nyaris karam, separuh dari lambung kapal telah masuk ke dalam air. para penumpangpun panik, setiap- setiap dari mereka kemudian menampilkan ego masing-masing untuk dapat selamat.

pendapat pertama yang mencuat adalah, harus ada penumpang yang mau dikorbankan untuk keselamatan penumpang lainnya dengan menceburkannya ke laut sehingga biduk tak lagi over load.

setelah itu? entahlah, mereka bergumul sendiri dalam sebuah perang pendapat dan terus saja berusaha mengeraskan suara mereka agar didengar oleh yang lain. walaupun sebenarnya tiada guna mereka saling menyalak dan menggonggong karena tiadalah yang sempat mendengarkan salakan mereka karena setiap orang sibuk dengan upaya mereka agar aman.

hingga kemudian sebuah suara muncul di antara salak dan gonggong itu.
"kita berangkat dari dermaga yang sama
pada waktu yang sama pula,
dan untuk mencapai tempat yang tidak berbeda.
dan karna itulah kita berada dalam satu biduk.
kalau pada akhirnya kita harus menghilangkan,
walaupun hanya satu dari kita,
kenapa juga dulu kita berani bentangkan layar
dan berangkat bersama arungi samudera?
kenapa juga kalian takut pada badai
sementara tak mungkin tak ada badai di tengah lautan?
saat ini kita hanya mempunyai dua opsi.
kita sampai ditujuan dengan bersama-sama
atau tidak pernah akan sampai di seberang sana.
waktu telah menempa kita arti sebuah kekompakan.
kita naikkan layar bersama-sama,
kita halau buritan bersama pula,
lalu kenapa kini kita tega membuang satu dari kita?
tidakkah ada jalan lain yang dapat...
membawa kita sampai keseberang berbarengan?
tidakkah ada??"
semua diam tanpa kata, tiada jawab. semua membisu, mematung. tetapi... "pastilah ada... yah pasti ada!!!" perlahan kemudian layar kembali terkembang meski dalam rombeng dan compang camping.

Kamu Bisa Bas

| Februari 08, 2009 | Sunting
ada kalanya kita seolah sangat bersemangat untuk berdiri dan menjelang cerahnya matari, tetapi ada saatnya pula kita untuk sekedar mendongakkan kepala saja seakan tidak bisa bahkan termasuk untuk mangangkat tangan kiri kita dan kemudian menyuruhnya untuk menggamit tangan kanan kita saja beratnya seolah-seolah kita harus mengangkat candi borobudur dan memindahkannya ke jakarta.

seperti itu pulalah yang terasa pada diri ini hingga blog ini pun sampai tak menghasilkan satu tulisanpun sampai minggu pertama bulan ini. kenapakah itu? saya sendiri menganalisis bahwa kebiasaan kita untuk memanjakan diri kita sendiri sangatlah mempengaruhi hal tersebut. sebagai contoh adalah diri saya sendiri.

minggu ini, dengan jadwal sekolah yang begitu padat, yakni hampir setiap hari harus pulang jam empat sore, saya masih mempunyai waktu untuk membiarkan tubuh ini bermalas-malasan di atas dipan sambil sekedar mendengarkan dendang lagu dari mp3 ataupun membolak-balik buku yang sudah habis saya baca puluhan kali. betapakah itu hanya sebuah proses mubadirisasi waktu yang seharusnya dapat saya gunakan untuk hal yang lain?

aaaggghht sungguh sebenarnya kita, serajin apapun kita, pada suatu waktu tentulah akan mencapai massa dimana kita benar-benar terperangkap lazy time sehingga kita membuang-buang waktu untuk hibernasi yang sebenarnya tidak perlu. dan hal tersebut pada nantinya akan bertambah parah apabila ada faktor x yang memperunyam masalah, yang akan saya jabarkan pada tulisan selanjutnya.

dan disinilah sesungguhnya eksistensi kita diuji, dan apabila kita mau untuk segera bangkit, tak ayal sebuah great of power yang benar-benar mahadahsyat akan mengaliri tubuh kita membentuk sebuah jaringan yang akan menuntuk kita untuk segera bangkit perlahan dan kemudian segera tancap gas untuk melompat dan berlari menyongsong datangnya matari.

untuk sekedar review, ingatkah anda pada lirik lagu ini?? awan hitam di hati yang sedang gelisah/daun-daun berguguran/ satu satu jatuh ke pangkuan/ tenggelam sudah ke dalam dekapan/ semusim yang lalu sebelum ku mencapai langkahku yang jauh/ kini semua bukan milikku/ musim itu telah berlalu/ matahari segera berganti

gelisah kumenanti tetes embun pagi/ tak kuasa ku memandang datangmu matahari/ kini semua bukan milikku/ musim itu telah berlalu/ matahari segera berganti/ badai pasti berlalu.


bagi saya sendiri itu sangatlah ikut melegakan, sehingga tak akan pernah saya hapus dari mp3 hp saya apapun kata teman-teman saya karena memang badai (malas disini) pasti akan segera pergi karena datangnya semangat baru. buktinya? ya inilah buktinya, posting pertama bulan februari.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine