Taman Sepak Bola

| Mei 26, 2009 | Sunting
Tolak rasisme - timnas Inggris dan Portugal
Kawan, tahukah kamu makna tiruan suara monyet dan lemparan pisang di stadion-stadion Eropa? Betapa memedihkan. Itulah cara orang-orang (baca:penonton) sok putih untuk menunjukkan perjalanan sejarah sikap hegemonik atas manusia yang lain.

Padahal, ilustrasi sikap dasar antirasisme ini tak akan pernah tergerus zaman. "Taman dengan warna-warni bunga, betapa indahnya." Tak ada bunga penguasa, tak ada bunga pendominasi rona, tak ada nuansa kecuali kehijauan yang membangun latar. Kuning-merah-putih-ungu-jambon-dan seterusnyalah yang mewartakan kesanggupan hidup bersama, seperti ajaran "multikulturalisme" bunga bengkerih yang tumbuh di jurang-jurang tepian hutan, mawar yang kaya warna, atau kamboja dengan triwarnanya: putih-merah muda- kuning.

Alam telah mengajarkan hakikat perbedaan dengan kekayaan kearifan lokalnya. Manusialah yang terkadang menotak-atik ide untuk bereksplorasi tentang hagemoni. Bahkan abad 21 ini masih saja ditandai oleh semangat menguasai. Kampanye "say no to racism" di stadion-stadion sepak bola bukankah hakikatnya menggambarkan keakutan sikap rasis memang diakui di benua biru yang merasa terdepan dalam peradaban itu?

Bintang Barcelona asal Kamerun, Samuel Eto'o pernah mutung dalam sebuah pertandingan karena setiap menguasai bola selalu ditingkahi dengan koor suara monyet. Begitu pula rekan senegaranya, kiper Ali Khameni yang memperkuat Espanyol, terisis hatinya demi membaca spanduk hinaan, "Kutunggu kamu di bawah pohon pisang." Pelatih tim nasional Spanyol, Louis Sragones entah sadar entah tidak juga pernah mengumpat Thiery Henry untuk memotivasi pemainnya, Jose Antonio Reyes, "Kamu tidak kalah dari si hitam jelek itu."

Hinaan, cercaan, sindiran, dan ungkapan sinis masih terus muncul di lapangan bola. "Jagad besar" universal penghormatan hak asasi manusia seolah-olah tidak menembus "jagad kecil" yang seharusnya terdepan dalam aktualisasi sportifitas. Pengakuan tentang kehebatan pemain kulit berwarna masih dibalut hipokritas penerimaan. Padahal bukankah George Weah telah lengkap membuktikan meraup penghargaan sebagai pesepak bola terhebat pada 1985, pemain terbaik Afrika, terbaik Eropa, dan terbaik FIFA ketika memperkuat AC Milan? Begitu juga pembuktian trio Brazil Ronaldo, Rivaldo, dan Ronaldinho.
***
Waktu juga yang mencetak pengakuan-pengakuan tentang"kebutuhan" kontribusi mereka dari mereka yang bukan "bule". Sejarah mencatat kehebatan klub-klub bola basket di NBA bersama Kareem Abdul Jabbar, Maggic Johnson, Hakeem Olajuwon, Michael Jordan, Kobe Bryan, atau Denis Rodman. Kepahlawanan Muhammad Ali, Sugar Lay Leonard, Mike Tyson, Evander Holyfied, dan kini Manny Pacquiao menorehkan antitesis hagemoni. Hampir tiap klub besar sepak bola Eropa bergantung pada bakat-bakat Afrika atau para blasteran. Bahkan pemain "asli Perancis" menjadi minimalis di tim juara dunia 1998 dan juara eropa 2000. Serangan politisi ultranasionalis seperti Jean Le Pen tak mempan melawan mainstream opini tentang multikulturalisme itu.

Empat klub semifinalis Champions tahun ini juga menjadi taman yang kaya warna bunga. Manchester United punya Ferdinand, Evra, Brown, Ronaldo, Nani, Anderson, atau Park Ji Sung. Barcelona mengandalkan Henry, Eto'o, Alves, Abidal, Keyta, juga Yayatoure. Manajer Arsenal, Arsene Wanger, sangat memercayai Gallas, Kolo Toure, Walcott, Vela, Adebayor, sedangkan Chelsea bergantung pada Cole, Kalou, Essien, Drogba, dan Anelka.

Fakta kasting teknis itu tentu tidak diharapkan sekedar sebagai "kebutuhan profesional" yang bukan "kebutuhan emosional". Betapa indah menyaksikan Lampard atau Terry mencium Essien ketika merayakan gol, atau Rooney yang berangkulan dengan Ji-Sung dalam kemenyatuan rasa Manchester.

Kebersamaan kawan! Bukankah itu mantra indah betapa manusia sesungguhnya tak dibatasi "warna asasi", kesadaran sebagi sesama penghuni taman multiras? Rasanya pilu menangkap pernyataan nelangsa bintang Kamerun Omam Biyick usai mengalahkan juara bertahan Argentina dalam Piala Dunia 1990. "Ini saatnya kita dianggap sebagai elang, tidak dilecehkan sebagai monyet yang bergelantungan di pohon-pohon pisang."

Ekspresi manifestasi antirasi tak cukup hanya disimbolkan dengan berpelukan ala Teletubbies dalam selebrasi kemenangan. Lebih dari semuanya adalah internalisasi hak dan kewajiban. Jadi seharusnya bukan sensasi ketika Paul Ince atau Sol Campbell menjadi kapten timnas Inggris, lalu Ince menjadi manajer klub di Premiership yang berkulit hitam. Tetapi, realitasnya, mengapa tiap kali terjadi pertikaian, implikasinya kembali ke "warna kulit?"

Suguhan puncak sepak bola Eropa 27 Mei esok di Roma bukan hanya sepak bola atraktif, MU vs Barca, namun juga fakta ketergantungan kepada mereka yang dalam beberapa momen masih saja terpinggirkan.

Tak penting lagi kawan, apakah Eto'o atau Xavi yang berjaya, Rooney atau Anderson yang mencorong. Idealnya para pelaku olahraga memberi contoh tentang keindahan sebuah "taman kehidupan". Dengan warna apapun, manusia dan hakikat kemanusiaanya sama-sama berhak atas "taman firdaus".

Catatan Kang Amir Machmud

Puncak itu Sepi

| Mei 21, 2009 | Sunting
Kurt Cobain ditemukan mati karena overdosis. Drama tragis pun merebak: anaknya tengah bermain di atas dada telanjangnya ketika orang mendapat tubuh kakunya yang terbujur. Ketika itu, bersama Nirvana, dia telah bertakhta di puncak popularitasnya.

Marilyn Monroe pun terbujur kaku saat dia tengah menikmati puncak popularitasnya. Mengejutkan pula mendengar Eric Cantona mengumumkan gantung sepatu saat bersama Manchester United mendulang masa keemasannya. Dan Andrea Hirata pun bilang dia mau berhenti menulis setelah menghasilkan tetralogi Laskar Pelangi. Yang terakhir itu mendapati pembaca Indonesia yang katanya sangat personal, sentimental, dan cenderung emosional bersama seabrek efek lain. Dia merasa tidak nyaman lagi untuk menulis novel, menjengahkan.

Begitu banyak cerita aneh yang selalu melengkapi perjalanan orang-orang sukses di pencak karier. Sukses yang selalu linier dengan keberlimpahan materi. Biasanya, apapun jalur kesuksesan yang diraih manusia, popularitas sering menyeretnya ke dalam ranah yang sama sekali lain.

Sang manusia menemukan dirinya sendiri dalam nuku harian yang aneh. Everything is different. Dan karena tak menemukan hal-hal yang biasa, dia selalu menganggap bahwa apapun tentang dirinya adalah luar biasa. Dengan segalanya itulah dia bisa menentukan sendiri jalan hidupnya. Saat ada orang lain mencoba mendekatinya, dia anggap itu semata angina yang berhembus. Serupa kentut. Dia bersenyawa dengan zat yang tak terdeteksi, beralih rupa menjadi rumus logaritma yang aneh, dan membangun peradaban baru pada pagoda popularitasnya.

Duniapun berubah begitu cepat. Ketergantungan pada media sebagai jalan singkat untuk mencapai popularitas juga tidak terelakkan. Dengan menjadi public figure, seseorang sebenarnya telah dikontrak mati oleh keadaan untuk selalu diakses oleh siapa dan apa saja yang menelingkupinya. Seperti tidak ada lagi ruang pribadibagi dirinya untuk sekedar menikmati hujan atau keramaian jalan raya. Barangkali Andrea Hirata adalah salah satu contoh bagaimana menghadapi popularitas yang begitu cepat. Saya masih ingat ketika ia melancarkan promosi Laskar Pelangi dengan getolnya meski barangkali hanya dibayar dengan sekadarnya. Kini, mengundang dia harus mengeluarkan sejumlah besar uang, setara harga Tung Desem Waringin atau Mario Teguh.

Tak ada yang salah menjadi terkenal. Begitu logisnya seseorang melakukan branding pada dirinya sendiri dalam ranah apapun. Manusia diniscayakan menjadi penjual bagi dirinya sendiri. Dan ketika semakin mencapai puncak, angina yang menerpa pun semakin kencang? Tekanan datang bertubi-tubi dan dibutuhkan sebuah pertanyaan arif untuk menghadapi kesemuan macam apapun.

***
Bisa jadi di tengah menikmati puncak itu, pikiran seseorang juga berubah begitu cepat seiring pundi-pundinya yang kian menggelembung. Popularitas bisa menggiring seseorang ke dalam belantara symbol yang tak terjelaskan. Dan kecurigaan, kejumawaan, atau kesalah tafsiran bisa jadi bada kapan saja. Lalu, dia membangun sebuah kotak besar untuk dirinya sendiri sebagai perlindungan untuk hal yang dianggapnya remeh-remeh. Dirinya menjadi eksklusif tanpa dia sadari. Yang paling celaka adalah ketik semua itu sudah dianggap final, mengalami kenyataan pseudomasterpiece pada karya atau produknya yang laris manis, hingga merasa semuanya sudah tidak lagi yang harus dia ciptakan.

Maka sangat sulit menemukan karya berbobot “masterpiece” lain dari orang-orang yang sudah berada di puncak. Tak ada lagi yang serupa Ayat-Ayat Cinta, Senopati Pamungkas, Jakarta Undercover, Laskar Pelangi. Bahkan mencapai puncak penjualan seperti Extra Joss, Dellasidrex, Diamicron tak akan pernah dicapai untuk ke dua kalinya oleh perusahaan yang sama. What’s up?

Seorang pendaki gunung ketika sudah mencapai puncak yang paling tinggi, tak menjumpai apapun selain sepi. Dan satu-satunya jalan untuk “selamat” hanyalah menuruninya kembali. Di puncak, tak begitu banya oksigen yang akan dihirup kecuali menghisap kesunyian yang berulang-ulang dan seolah-olah tanpa finalitas.

John C Maxwell, seorang motivator legendaries selalu mengolah dirinya sendiri, sehingga dia merasa tidak pernah berada di puncak. Berada di puncak itu sepi rasanya. Jadi, kata dia, sebaiknya Anda tahu mengapa Anda di sana. Atau, pada akhirnya, bila Anda memutuskan untuk mendakinya, Anda harus belajar banyak dari Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Amir Syarifuddin dan para pemimpin negeri lainnya: bagaimana hidup dalam sepi.

*) tulisan ini dinukil oleh potongan Harian Suara Merdeka, penulisnya tidak diketahui karena ada bagian yang koyak

Kala Rumah Mereka Musnah

| Mei 21, 2009 | Sunting
Semut geni. Gambar dari flickr
Dulu, waktu aku kecil (entah berapa tahun yang lalu, tetapi yang pasti sekarang aku belum juga genap berkepala dua), ketika sedang ada waktu ikut Simbah bekerja di sawah, aku sering jengkel terhadap semut geni (semut api). Dengan mengeluarkan butiran-butiran kecil lempung kering atau setengah basah dari dalam tanah, mereka membuat sarang dan ruang yang nyaman untuk berkembang biak. Tidak jarang, butiran-butiran lempung itu membentuk beberapa gundukan serupa kuil ataupun labirin, seolah mereka tengah membangun rumah, tempat ibadah, dan medan permainan mereka sendiri.

Siallah para juru tani atau orang yang tak menyadari keberadaan semut geni itu.

Gigitan mereka membuat kaki panas dan gatal-gatal. Gigitan mereka membuat kaki menjadi panas dan gatal-gatal. Kita bisa saja mengabaikan efek gigitan semut itu kalau hanya seekor-dua ekor. Namun, karena gerombolan, serangan mereka sungguh mengganggu dan menyusahkan. Dulu, begitu tergigit atau diserang, tindakan pertamaku adalah membanting kaki keras-keras agar terbebas dari semut-semut itu. Setelah tersisa satu dua, aku berlari ke parit ataupun kubangan air dan kemudian mencelupkan kaki yang tergigit ke dalam air. Selain bias meredam rasa gatal dan panas, air bias membuat semut melepaskan gigitan mereka.

Ketika itu, aku tak begitu menyadari arti penting smeut geni. Bagiku mereka hanyalah binatang pengganggu yang sama sekali tak berfaedah sedikitpun. Pekerjaan mereka kalau tak menggigit orang tentu saja membangun gundukan-gundukan entah untuk apa. Kenapa binatang seperti itu diciptakan dan ditempatkan disawah kalau hanya akan mengganggu petani? Demikianlah pikirku saat itu. Mereka sama mengganggunya dengan tikus, ulat, burung bondol dan emprit, serta hama-hama perusak tanaman lainnya.

Aku belum tahu kalau perilaku mereka yang membuat sarang di dalam tanah dengan mengeluarkan butiran-butiran lempung itu adalah tindakan untuk menggemburkan sawah. Itulah yang kudapat dari pelajaran Ilmu Alam pertamaku di bangku kelas tiga esde. Lewat cara itu kandungan oksigen dalam tanah yang sangat dibutuhkan oleh tanaman dalam masa pertumbuhan dan perkembangan akan terjamin. Mereka juga punya kontribusi dalam mempercepat penguraian benda-benda mati.

Lalu apakah bedanya tindakan mereka dengan pekerjaan para petani yang membajak dan menggemburkan tanah? Para petani itu membalik dan menggemburkan tanah agar bibit tanaman yang telah mereka semai menjadi siap tumbuh dalam kondisi yang cukup dengan bahan-bahan organic dan ruang-ruang udara dalam tanah.

Barangkali itulah yang menjadi penyebab mengapa para petani tidak mau memusnahkan keberadaan mereka. Bersama dengan ular sawah, ikan gabus, lele, dan belut mereka melakukan kerja sama alamiah untuk melestarikan baik keanekaragaman dan keseimbangan hayati di ekosistem persawahan. Dengan mengabaikan pengaruh buruknya yang tidak begitu besar, para petani itu mendapatkan bantuan besar, para petani itu mendapatkan bantuan tak langsung dari alam untuk kesuburan tanah meraka. 

Inilah mungkin yang kemudian kita kenal sebagai kearifan lokal, suatu hubungan timbal balik yang tak langsung bisa diketahui oleh semua orang. Hanya mereka yang telah bergulat lama dengan dunia merekalah yang awas terhadap berbagai hubungan timbal balik semacam itu. Sehingga dapat menentukan pola hubungan macam apa yang harus mereka perankan. Namun, fenomena tahun-tahun terakhir ini mengusikku. Aku menyaksikan betapa semakin banyak koloni semut yang eksodus ke sekitar area permukiman penduduk. Mereka menggangsir tanah tidak hanya di luar, namun juga di dalam rumah, termasuk di antaranya di lubang sela-sela tegel rumah. Keberadaan mereka sungguh sangat merepotkan, teutama bagi anak-anak kecil. Dalam jangka panjang. Keberadaan mereka juga akan mempengaruhi daya tahan lantai dan rumah.

Mengomentari perpindahan habitat semut geni ke tempat tinggal penduduk, Simbah hanya dapat berdecak dan berkata, “Tentu saja mereka pindah ke desa, sawah sekarang sudah penuh pestisida dan obat-obatan kimia. Semut tidak tahan dengan semua itu, maka mereka mencari tempat tinggal baru yang belum tercemar bahan kimia.”

Yah, benar memang. Dulu waktu saya kecil pestisida memang masih sangat jarang. Sawah belum banyak tercemar oleh obat-obatan kimia. Sekarang, semua orang hamper mustahil bercocok tanam tanpa menggunakan pestisida dan obat-obatan kimia.

Aku jadi teringat dengan masuk dan mengamuknya gajah, harimau, babi hutan, dan binatang-binatang liar lainnya di Sumatera ke tempat tinggal manusia. Bagi binatang, yang hanya mengandalkan naluri mempertahankan diri dari kepunahan, berpindah hidup adalah solusi paling utama ketika lingkungan tempat mereka hidup telah rusak.

Fakta ini mengajak kita untuk merenungkan betapa pentingnya kita, manusia, untuk hati-hati dalam memilih teknologi yang akan kita pakai. Sikap kritis dan kebijaksanaan dalam penggunaan teknologi itu bukan hanya mencegah bahaya kepunahan spesies-spesies yang da di alam. Namun juga menghindarkan bumi dari bahaya yang jauh lebih besar. Dan secara tak langsung: menghindari kepunahan manusia. Telah banyak kisah kepunahan spesies makhluk hidup di bumi ini karena ulah kita dalam menggunakan berbagai obat kimia berbahaya secara serampangan.

Kini, masalah demi masalah menghantui masa depan kemanusiaan kita justru karena kecerobohan kita sendiri di masa lalu.Semut geni itu paling tidak telah memberikan pelajaran berharga kepada kita dalam bentuknya yang sederhana. Apakah kita baru akan belajar kembali menata hidup setelah beroleh bencana yang lebih besar semacam Lumpur Lapindo dan jebolnya Situ Gintung?

Marsinah: Dongeng Sepanjang Jalan

| Mei 10, 2009 | Sunting
Konon, ia sudah meninggal ketika tubuh ini baru keluar dari rahim mamak, sehingga pantaslah apabila kemudian ku dapatkan cerita dari orang-orang di jalan. Orang-orang di pasar. Orang-orang di kedai makan. Bahkan orang-orang di pembuangan sampah. Tak lepas pula wedaran kata Pak Sapardi Djoko Damono dalam dongengannya berikut ini.

DONGENG MARSINAH

/1/
Marsinah buruh pabrik arloji, mengurus presisi: merakit jarum, sekrup, dan roda gigi; waktu memang tak pernah kompromi,ia sangat cermat dan pasti. Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak memintal kefanaan yang abadi: “kami ini tak banyak kehendak, sekedar hidup layak, sebutir nasi.”

/2/ 
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka merebus kata sampai mendidih,lalu meluap ke mana-mana. “Ia suka berpikir,” kata Siapa, “itu sangat berbahaya.” Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji agar sesuai dengan matahari. “Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya, debu.”

/3/ 
Di hari baik bulan baik, Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk suatu perhelatan.Ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat ke kursi; mereka kira waktu bisa disumpal agar lengkingan detiknya tidak kedengaran lagi. Ia tidak diberi air, ia tidak diberi nasi; detik pun gerah berloncatan ke sana ke mari. Dalam perhelatan itu, kepalanya ditetak, selangkangnya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan.

Detik pun tergeletak, Marsinah pun abadi.

/4/ 
Di hari baik bulan baik, tangis tak pantas. Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot, mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk. Semak-semak yang tak terurus dan tak pernah ambil peduli, meregang waktu bersaksi: Marsinah diseret dan dicampakkan —sempurna, sendiri.

Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman? Apakah sebenarnya sumber keserakahan? Apakah sebenarnya azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya hakikat kemanusiaan, Pangeran? Apakah ini? Apakah itu? Duh Gusti, apakah pula makna pertanyaan?

/5/
“Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir ke dunia lagi; jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.”

(Malaikat tak suka banyak berkata, ia sudah paham maksudnya.)

"Apa sebaiknya menggelinding saja bagai bola sodok, bagai roda pedati?”

(Malaikat tak suka banyak berkata, ia biarkan gerbang terbuka.)

“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal wanita berotot, yang mengepalkan tangan, yang tampangnya garang di poster-poster itu; saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.”

(Malaikat tak suka banyak berkata, tapi lihat, ia seperti terluka.)

/6/
Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini; dirabanya denyut nadi kita, dan diingatkannya agar belajar memahami hakikat presisi. Kita tatap wajahnya setiap hari pergi dan pulang kerja, kita rasakan detak-detiknya di setiap getaran kata. Marsinah itu arloji sejati, melingkar di pergelangan tangan kita ini.
***
Marsinah, lahir di Ngajuk, 6 April 1969. Mati dibunuh 24 tahun kemudian.
Yah, Marsinah, buruh PT Catur Putra Surya (CPS), Sidoarjo, ditemukan tewas di tepi sawah di Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, pada 9 Mei 1993. Pembunuhan aktivis buruh itu diduga kuat terencana secara matang dan melibatkan sejumlah personel militer, polisi, dan aparat hukum lain. Tindakan itu dinilai banyak pihak dilakukan untuk menakut-nakuti para pekerja yang berminat membentuk serikat pekerja dan memperjuangkan nasib mereka secara langsung.

Tidak terasa hampir dua dasawarsa berlalu sejak kematian Marsinah. Selama itu pula pertanyaan demi pertanyaan terus menghantui benak keluarga serta siapa saja yang haus akan keadilan. Sepertinya dalam kasus ini Dewi Keadilan hanya bisa merangkak dan terus meraba-raba. Pedang keadilannya seolah majal serta tidak mampu lagi membabat dan menghalau kabut pekat serta semak belukar yang menyelimuti misteri seputar kematian Marsinah.

Untuk Marsinah

| Mei 10, 2009 | Sunting
Untuk mereka yang tak punya nama, untuk mereka yang ketlingsut dalam arsip besar yang menumpuk, yang ditengok saat absensi dan terima gaji, untuk mereka yang senantiasa diawasi waktu, untuk mereka yang jadi “batubata” perusahaan-perusahaan raksasa, untuk mereka yang mengais hidup dengan keras, dengan atau tanpa perhatian.

Marsinah

Catatan Goenawan Mohamad

Marsinah adalah sebuah petunjuk, mungkin lambang, yang terang dan perih. Ia yang ditemukan terbunuh di sebuah dusun di daerah Nganjuk itu telah menunjukkan bahwa hak asasi bukanlah sesuatu yang hanya dibicarakan sebagai sebuah benda yang datang dari luar, dan bergulir jadi percaturan antara orang-orang penting.

Hak itu bukan ibarat sebutir bola golf. Dunia tempat Marsinah tewas dalam umur 24 tahun bukanlah sepetak luas rumput yang tenteram. Apa yang dialami Marsinah adalah sebuah gambaran yang menyesakkan, tentang bagaimana seseorang yang memperjuangkan tuntutan yang bersahaja pada akhirnya tersangkut dengan masalah hak yang dasar: hak untuk punya suara, hak untuk punya harapan, bahkan hak untuk punya jiwa dan badan.

Kita tak tahu siapa yang membunuh Marsinah. Tetapi kita tahu mengapa ia dibunuh. Ia seorang buruh yang mengais-ngais dari remah-remah dunia yang dikenalnya secara terbatas. Ia tak punya pilihan lain. Ia bermaksud mengubah nasibnya. Ia pernah bekerja di pabrik Sepatu Bata selama setahun, dan akhirnya ia bekerja di pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, itu. Upahnya Rp 1.700 sehari ditambah uang ''tunjangan'' Rp 550 yang hanya diberikan bila seorang buruh masuk bekerja. Untuk menambah penghasilan, ia berdagang kecil-kecilan. Kebutuhan dan harapannya sederhana.

Kita tahu, Marsinah tak bersalah karena itu. Tapi rupanya inilah yang berlaku: dengan cara kotor atau tak kotor, para pemilik modal boleh menghimpun kekayaan, para manajer dan para pemegang kekuasaan boleh menambah penghasilan, tapi buruh sebaiknya jangan. Pertumbuhan ekonomi kita, kegairahan investasi kita, telah dibuat bertelekan pada upah buruh yang kecil, untuk menghemat ongkos produksi. Tapi, sementara itu, kita tak pernah mengusik berapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan pengusaha untuk menyogok para pemberi tender atau pemberi kredit. Keserakahan boleh berlangsung di atas, tapi buruh tak usah berteriak menuntut nafkah yang lebih baik dan tak boleh berteriak kesakitan. Itulah sebabnya Marsinah dibunuh dan tubuhnya dibuang. Ia bersama teman-teman sekerjanya menuntut agar ''tunjangan'' yang Rp 550 itu bisa diberikan secara tetap.


Bukan angka rupiah itu benar yang menjadi persoalan di sini, melainkan keberanian untuk menuntut itulah yang agaknya mengganggu. Para buruh di Porong, Sidoarjo, itu sudah mengganggu sebuah paham tentang ''ketenteraman'', ''keselarasan'', ''ketertiban'', dan ''kesatuan dan persatuan'' paham yang tengah diberlakukan dengan cara yang sering gampangan, kasar, dalam skala besar di Indonesia.

Marsinah mati karena tusukan benda runcing. Perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Selaput daranya robek dan tulang kelamin bagian depannya hancur. Sekitar dua liter darah keluar dari tubuhnya yang disiksa dan dijarah. Barangkali bila kelak ada orang yang bisa berbicara tentang suatu semiologi pembantaian, kita mungkin akan lebih melihat dari jasad yang ditemukan di tepi jalan di Dusun Jegong itu bahwa luka-luka dan kematian Marsinah menandai dua macam agresi sekaligus: yang pertama adalah agresi terhadap Marsinah sebagai seorang buruh, dan yang kedua adalah agresi terhadap Marsinah sebagai seorang perempuan.

Dari sini kita pun bisa bercerita tentang hadirnya di antara kita sebuah ''ideologi'' (dan jalinan kepentingan) yang bisa begitu sewenang-wenang terhadap segala anasir yang selama ini sudah berada dalam posisi marjinal. Yang saya maksudkan di sini adalah kaum buruh dan kaum perempuan. Tentang buruh, kita tahu betapa lemah kedudukannya dalam sebuah kehidupan sosial-ekonomi yang berkelebihan tenaga kerja seperti Indonesia sekarang. Tentang perempuan, kita tahu betapa senantiasa genting posisinya dalam sebuah lingkungan budaya yang semakin memuja ''Ramboisme'' seperti sekarang. Dalam ''Ramboisme'', yang diagungkan adalah citra kewiraan, citra kelaki-lakian di medan laga, citra yang akhirnya menganggap ketegaran (rigiditas) sebagai sesuatu yang baik dan disamakan dengan keteguhan, citra yang melihat dunia dan orang lain dalam hubungan kalah atau menang, citra yang tidak toleran terhadap apa yang halus, subtil, kompleks, dan cerewet, dan karena itu harus ditampik dan dicemoohkan.

''Ideologi'' seperti itulah sebenarnya yang membunuh Marsinah. Siapa pun orang atau kelompok yang membantai Marsinah pasti mengira, kematian seorang buruh perempuan dari dusun itu tak akan menimbulkan heboh: sangka mereka mayat yang terpuruk di tepi jalan Desa Jegong itu akan hanya jadi berita satu kolom di koran lokal, meskipun cukup efektif buat menggertak para pengganggu ''ketertiban'' di sekitarnya.

Untunglah, para pembunuh itu pongah dan salah sangka. Mereka tak sadar bahwa ketika Marsinah dan kawan-kawan bangkit menuntut perbaikan nasib, pada saat itu kaum buruh tak bisa disepelekan terus, sebagaimana kaum perempuan tak bisa dimarjinalkan lagi. Industri tumbuh, buruh kian tampak, suara mereka semakin terdengar, dan juga perempuan mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk bekerja dalam sektor yang lebih membuat mereka mandiri.

Maka, sesungguhnya suara Marsinah, baik suara protesnya yang terdengar maupun jerit kesakitannya yang tak terdengar, adalah satu dari gelombang pasang pembebasan yang sedang mendesak. Dalam gelombang pasang itu dengan nyata terlihat bahwa manusia memang punya hak-hak dasar, hak-hak asasi, dan ia akhirnya akan sadar tentang itu biarpun ia seorang gadis miskin yang jauh dari Jakarta yang bising ini.

Itulah sebabnya, bila kita menghormati Marsinah malam ini, kita juga menghormati mereka yang ikut membentuk gelombang pembebasan itu, terutama di kalangan buruh dan kaum perempuan. Pada saat yang sama juga kita menghormati seorang korban, seorang yang dianiaya, karena kita tahu bahwa dalam diri orang seperti inilah kita menemukan saksi yang tenggelam dalam ketakadilan dan kesewenang-wenangan yang terjadi.

Maka, Marsinah adalah sosok pahlawan dan juga korban, lambang kekuatan dan juga kelemahan. Keduanya tak bisa dipisah-pisahkan. Sebab, dengan kepahlawanan dan kekuatan semata-mata kita akan terus mengabaikan dan menyepelekan yang lemah, sebaliknya dengan kelemahan semata-mata kita akan mudah pasrah kepada keadaan.

Angka-angka Kehidupanku

| Mei 06, 2009 | Sunting
seperti kisah yang kutekuni ketika jemari ini melahatnya,...
menghabiskan coretan-coretan tak sadar , dan meninggalkan makna yang jauh dari kesempurnaan.aku adalah waktumu ketika detik tak terayun dalam jangkarnya.serta aku adalah mimpi yang kau rindukan dalam sedikit malammu sebelum pagi membangunkanmu

hari ini ingin kulantunkan sejuta tanya pada burung-burung yang tak ingin hadir diperaduan waktu “mengapa engkau tak pedulikan syairku?

maka perlahan ia menjawab , aku tak pernah ingin berbicara layaknya manusia karena saat ini aku masih terpikirkan oleh dosa” jika saja aku hujamkan pandanganku kepadanya mungkin ia akan memintaku untuk kembali dalam kelelapan yang menirukan malam-malamku sebelumnya. Dimana waktu itu akan hanya butuh satu malam untuk menghabiskan beribu-ribu cerita dalam bingkai mimpi atau aku hanya cukup ucapkan satu pekikan rindu yg menjalar kejiwaku sebelum pandangan ini tak lagi kujatuhkan dalam reruntuhan dunia.dan aku tahu saat itu tak mungkin bila kekecewaan akan mengajakku bersenda gurau menemui waktu yang terperangkap dalam tiap himpitan rasa takutku sebelum kuterlantarkan isi pikiran ini…

ketika ia naik dari baitanya ,...berbeda satu jengkal (mungkin antara malam dengan pagi jika kubedakan antara keduanya) berawal dari mendung lalu kuhitung tiap bulatan hitam diatas mega itu dengan angka-angka kematian . angka-angka yang tak terisi penuh dan angka –angka yang tak muncul dikehidupanku sesaat lalu.

Ialah angka yang tak menghidupkan rasa cemburu itu menjadi satu dongeng ketika aku mulai melafalkannya. Serta angka yang tak mampu menceritakan perjalananku seusai jiwa ini terlempar oleh ombak kemarahanmu

Seakan ia bercerita pada masa….
aku adalah rasa iba yang tercecer diperaduan canvas yang olehnya teroles beribu kuas. andai aku tak dengarkan cerita pendahuluku aku pasti tak buatkan dunia ini penuh dengan lukisan pilu

Aku adalah rasa takut yang melarikan rasa rindu pada tiap-tiap malam sebelum engkau meninggalkan mimpi yang selalu ingin kutuangkan bersamamu.meramaikan bilik wajahmu saat kau coba palingkan dari tatapanku memintamu.

Dan inilah sedikit maksud tentang angka-angka yang menyelimuti kehidupanku….

Yuk, Makan Pecel

| Mei 02, 2009 | Sunting
Pecel adalah makanan khas Indonesia yang terbuat dari rebusan sayuran seperti bayam, tauge, kacang panjang, kemangi, daun turi, krai (sejenis mentimun) atau sayuran lainnya yang dihidangkan dengan siraman sambal pecel. Konsep hidangan pecel ada kemiripan dengan salad bagi orang Eropa, yakni sayuran segar yang disiram topping mayonaise. Hanya saja, untuk pecel topping-nya adalah sambal pecel. 

Bahan utama dari sambal pecel adalah kacang tanah dan cabe rawit yang dicampur dengan bahan lainnya seperti daun jeruk purut, bawang, asam jawa, merica dan garam. Pecel sering juga dihidangkan dengan rempeyek kacang, rempeyek udang atau lempeng beras. Selain itu pecel juga biasanya disajikan dengan nasi putih yang hangat ditambah daging ayam atau jerohan. 

Cara penyajian bisa dalam piring atau dalam daun yang dilipat yang disebut pincuk. Masakan ini mirip dengan gado-gado, walau ada perbedaan dalam bahan-bahan yang digunakan. Rasa pecel yang pedas menyengat menjadi ciri khas dari masakan ini. 
yourimagetitle
Pedagang Pecel
yourimagetitle
Hijau Menggoda
yourimagetitle
Tahu tempe
yourimagetitle
Mak nyus!
Disalin dari Wikipedia. Gambar dipinjam dari Mbok Indira

Pajak Nurani

| Mei 02, 2009 | Sunting
Protes hari buruh
Sebuah notes seorang buruh di awal bulan lima, catatan kusam yang telah berlama-lama menjadi penghuni kolong dipan tentang berapa yang ia dapat setiap bulannya dan berapa yang ia keluarkan kemudian di zaman yang tiadalah mempunyai kepastian. Tentang hutang yang telah menggunung, juga tentang bayaran sekolah sang anak yang telah berbulan-bulan tak dapat terlunaskan. Pun tentang uban yang kian bertebaran, ingatkan tentang berapa lama ia dapat bekerja, menyambung tekad demi keluarga.

Kami yang berarak dari tumpukan-tumpukan pabrik sampai bundaran HI hanyalah ingin piknik bersama menikmati cerahnya langit awal Mei sembari menyapa Tuan : "Sudah lunaskah pajak nurani Anda?"

Candi Asu: Onggokan Bebatuan Kusam di Pelukan Merapi

| Mei 02, 2009 | Sunting
Kepala candi Asu
Sekali waktu, tiadanya salahnya berkunjung ke Magelang dan menjelajahi sebagian desa di Kecamatan Sawangan dan Dukun. Di sana kita akan menemukan pemandangan unik yang jarang dijumpai di daerah lain, yakni keberadaan candi-candi kuno yang tercecer di antara hamparan persawahan dan ladang sayur. Benda-benda purbakala ini seolah menjadi ’’teman sejati’’ bagi penduduk setempat, sembari menggarap lahan pertanian.

Bagi warga setempat, pemandangan semacam itu mungkin dianggap biasa-biasa saja. Tetapi di mata kaum pendatang, yang jarang menemukan hal serupa, tentu pemandangan semacam itu sungguh unik dan menarik. Saya amati, di sepanjang perjalanan bisa disaksikan sisa-sisa bangunan kuno (situs purbakala) yang tercecer di area persawahan milik penduduk.

Yah, Magelang memang laksana ’’negeri’’ bertabur candi. Tidak hanya Candi Borobudur yang tertancap di daerah ini. Di pelosok-pelosok Magelang yang lain masih banyak dijumpai candi-candi kecil peninggalan zaman kuno yang menyimpan data-data kepurbakalaan, seperti halnya Candi Ngawen dan Candi Asu.

Jika dibandingkan dengan Candi Borobudur, kedua candi ini ukurannya relatif kecil, tetapi unik. Di sekeliling situs itu terhampar kebun sayuran yang hijau. Perpaduan antara fisik candi dengan sayur-sayuran membentuk lanskap yang indah dan pemandangan semacam ini jarang ada di daerah lain. Sekali lagi warga sekitar, pemandangan semacam ini mungkin dianggap biasa, tetapi bagi pendatang merupakan daya tarik yang menghibur.

Candi Ngawen dibangun abad ke-8 Masehi sebagai tempat pemujaan umat Buddha. Sementara sekitar 10 kilometer ke arah tenggara dari Candi Ngawen, berdirilah Candi Asu di desa Sengi yang diyakini sebagai peninggalan zaman Hindu.

Bukan Anjing

Ada dua versi tentang nama Candi Asu. Yang pertama karena penemuan Arca Nandi disekitar candi yang pada awalnya oleh masyarakat sekitar di kira anjing atau asu dalam bahasa Jawa.

Namun, dilain pihak ada yang menyebutkan bahwa nama Asu bukan anjing , kata Asu disini berasal dari kata Aswa, bahasa Sansekerta yang berarti beristirahat. Melihat asal katanya, maka candi ini diduga dibangun untuk menjadi tempat peristirahatan . Hal ini bisa jadi benar, karena di dalam candi ini terdapat semacam lubang seperti sumur.

Dan tidak heran juga kalau dulu di sumur ini ada airnya, soalnya lokasi Candi Asu Sengi ini dekat dengan sungai, sekitar 50 meter aja. Walaupun demikian, para arkeolog lebih cenderung menafsirkan istirahat disini adalah beristirahat sejenak dari aktivitas untuk melakukan pemujaan (pemujaan disini ditujukan kepada seorang tokoh tertentu atau arwah seorang raja).

Candi Asu berbentuk bujur sangkar yang terletak ditengah kebun cabai menghadap ke barat dengan ukuran 7,94 meter. Di dekatnya ada Candi Pendem dan Candi Lumbung yang juga kecil. Uniknya di ketiga bangunan candi ini berada dalam lubang berbentuk kotak sedalam dua meter dengan sisi 1,3 meter.

Di dekat Candi Asu terdapat dua buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I (874 M ) dan Sri Manggala II ( 874 M ). Sementara berdasarkan Prasasti Kurambitan I dan II yang ditemukan dekat situs Candi Asu, ketiga candi ini didirikan tahun 869 Masehi. Kedua prasasti ini dikeluarkan Pamgat Tirutanu Pu Apus yang menyebut ketiga bangunan itu sebagai bangunan suci atau Salingsingan.

Di luar data resmi itu, ternyata masih ada keyakinan lain yang membangkitkan rasa penasaran. Dari cerita ’’bisik-bisik’’, bahwa sebagian penduduk di sana meyakini, di dekat candi-candi kecil itu masih terpendam candi lain yang lebih besar dari Candi Borobudur. Entah benar atau tidak. Hanya, ada semacam kekhawatiran bagi warga setempat, kalau candi misterius itu digali, mereka takut kehilangan tempat tinggal.

Yah, akan tetapi terlepas dari mitos tersebut, seperti candi-candi kecil pada umumnya, Candi Asu Sengi tetap saja menjadi candi yang "kesepian" karena hanya ditemani hamparan sawah padi dan ladang cabai. Karena walaupun lokasi situs yang tergolong sempit ini sudah nampak asri karena ditanami oleh berbagai tumbuh-tumbuhan dan ada tong sampahnya. Di lokasi pun sudah terpasang papan nama candi yang menegaskan keberadaan keduanya sebagai benda cagar budaya.

Selain itu, telah dipasang pula kutipan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang berisi ancaman hukuman bagi mereka yang merusak atau mencuri benda-benda tersebut. Akan tetapi candi ini kurang populer, mungkin karena belum banyak yang meneliti candi ini ya? Tapi setidaknya semoga candi ini bisa jadi media pembelajaran sejarah bagi siswa-siswi sekolah dasar ada di depan candi.

Simpanan Kearifan

Keberadaan candi-candi kuno di Magelang merupakan kekayaan budaya yang yang menyimpan kearifan. Jika diperhatikan, setiap bangunan candi selalu mendekati aliran sungai. Dan di sekitar sungai itu terdapat tanah yang subur.

Kecenderungan tersebut menandai ada nya peradaban kehidupan manusia yang sudah tinggi karena mereka sudah dapat berfikir secara naluriah dengan hidup selalu mendekati sumber kehidupan yakni mendekati sumber air dan lahan yang subur. Dan lahan subur disini bukanlah sesuatu yang mustahil mengingat terdapat dua alur sungai penting, Tlingsing dan Pabelan, disana yang menjadi sumber pengairan lahan sayur di sekitar.

Kesuburan tanah di sana juga tidak lepas dari aktivitas letusan Gunung Merapi yang mampu menaburi abu vulkanik ke ladang-ladang para petani dalam radius yang jauh. Inilah pupuk alami yang nilainya tidak tertandingi oleh pupuk-pupuk buatan. Di balik kesangaran Gunung Merapi saat meletus atau ’’batuk’’ ternyata menyimpan berkah yang melimpah.

Memang, kalau dicermati, tanah di sana warnanya cokelat kehitam-hitaman, pertanda tingkat kesuburannya cukup tinggi dan cocok ditanami ragam jenis sayuran dan palawija, mulai kentang, cabe, tomat, buncis dan sebagainya.

Ladang sayuran bagi masyarakat lereng Merapi merupakan basis perekonomian warga setempat, di samping sumber-sumber nafkah lain seperti peternakan dan perdagangan umum. Melimpahnya komoditas sayuran bisa dilihat lewat aktivitas keseharian. Setiap hari warga sibuk menggarap lahan dan sebagian menjadi pengepul sayuran.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine