Sekantung Paku

| Maret 16, 2010 | Sunting
Paku, semacam luka yang bekasnya abadi
Tersebutlah, di suatu tempat, seorang anak laki-laki yang berperangai buruk. Selain suka berselisih dengan teman-teman sebayanya, diapun tak segan untuk menjahati teman-temannya itu dengan kayu, batu, ataupun benda-benda lainnya.

Akibat kenakalannya tersebut, sang ayah kerap dibuat gusar. Ia pun bermaksud untuk mengubah perangai anaknya itu. Maka, suatu pagi, diberikannya sekantung penuh paku pada anaknya intu. Ia kemudian menyuruh anaknya itu untuk memakukan satu batang pagu ke pagar di pekarangan rumah setiap kali anaknya itu kehilangan kesabarannya, atau lagi-lagi berselisih dengan teman-teman bermainnya.

Hari pertama. Si anak memakukan 26 batang paku ke pagar pekarangannya. Namun, pada minggu-minggu berikutnya ia berusaha untuk menahan diri sehingga jumlah paku yang dipakukannya berkurang dari hari ke hari. Sang anakpun menjadi sadar, ternyata lebih gampang menahan diri daripada memakukan puluhan batang paku ke pagar.

Akhirnya tiba di saat dia sudah tidak perlu lagi memaku sebatang paku pun dan dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya. Sang ayah yang sangat bijak itu kemudian menyuruhnya untuk kembali mencabut sebatang paku dari pagar setiap hari bila dia berhasil menahan diri.


Hari demi hari berlalu dan akhirnya tiba waktunya dia bisa menyampaikan kepada ayahnya bahwa semua paku sudah tercabut dari pagar. Sang ayah lantas membawa anaknya itu ke depan pagar tersebut dan berkata, “Anakku, kamu sudah berlaku baik, tetapi coba lihat betapa banyak lubang yang ada di pagar ini, dan pagar ini tidak akan seperti sedia kala,” ujar sang ayah.

“Apa maksud ini semua ayah?” tanya anak itu penasaran.

“Setiap kamu berselisih paham atau bertengkar dengan orang lain, maka hal itu akan selalu meninggalkan luka seperti halnya pagar ini,” jawab ayahnya.
“Kamu bisa menusukkan pisau di punggung temanmu dan mencabutnya kembali dengan meninggalkan luka. Tak peduli seberapa besar kamu meminta maaf atau menyesalinya, bekas luka itu akan tetap ada,”
“Begitupun dengan ucapanmu. Kamu menyakiti orang lain dengan ucapanmu lantas kau menyesalinya, tetap saja meskipun kamu mencabut kembali kata-katamu itu, namun ucapmu akan selamanya tersimpan jauh dilubuk hatinya,”

Anak itu pun diam termangu, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun,“Anakku, hati-hatilah selalu dalam bersikap dan bertutur ucap, jika kau hendak berselisih atau bertengkar dengan orang lain, ingatlah selalu nasib pagar ini, cacat, penuh lubang dan takkan pernah bisa berwujud seperti sedia kala,” tutur sang ayah.

Kasih Ibu

| Maret 16, 2010 | Sunting
Kasih Ibu - Wazari Wazir
“Bolehkah saya melihat bayi saya?” pinta seorang ibu yang baru saja melahirkan, tampak penuh dengan kebahagiaan. Namun, saat gendongan bayinya itu berpindah ke tangannya dan kemudian ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki mungilnya itu, ibu tersebut menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit; bayi itu lahir tanpa kedua belah telinga.

Namun, seiring berjalannya waktu, kendati dalam bentuk tidak sempuna, pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan baik.Pada suatu hari, anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah lantas membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu sambil menangis sedu sedan. Di tengah isakannya ia berkata, “Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh,” Ibunya mafhum bahwa hidup anak lelakinya itu penuh dengan kekecewaan dan tragedi. 

Waktu pun terus berlalu, dan tidak terasa anak lelaki itu pun kini telah tumbuh dewasa. Kendati mempunyai ketidaksempurnaa, namun ia begitu tampan, sehingga ia pun banyak disukai teman-teman sekolahnya. Bahkan, ia memiliki bakat yang luar biasa dalam bermain musik dan menulis.

Di tengah rasa bangga dan haru, ibunya dalam hati tetap merasa kasihan atas kondisi anak satu-satu itu, sehingga suatu hari, ayah dari anak tersebut bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya.

Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya,” kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka.

Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, “Nak, seseorang yang tidak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia.” kata sang ayah.

Alhasil, operasi pencangkokan pun berjalan sukses. Seorang lelaki tampan nan sempurna pun telah lahir kembali ke dunia. Bakat musiknya yang hebat itu bahkan berubah menjadi kejeniusan. Ia banyak menerima penghargaan dan pujian. Atas bakatnya tersebut, ia pun kini menjadi seorang penyanyi terkenal.

Dalam sebuah konsernya ia bertemu dengan seorang gadis cantik, ia pun jatuh cinta lantas menikahinya. Pada suatu hari, ia menemui ayahnya, “Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya,”

Ayahnya menjawab, “Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu.” Sesaat terdiam, ayahnya melanjutkan, “Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini,”

Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga pada suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah bahwa sang ibu tidak memiliki telinga.

“Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya,” bisik sang ayah. “Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?”

Mendengar hal itu, sang anak pun tak mampu menghentikan tetesan air mata, dalam hatinya dia bangga dan beruntung memiliki ibu yang begitu baik dan rela berkorban demi anaknya.

Membeli Waktu?

| Maret 16, 2010 | Sunting
Kenapa cemberut nak?
Sebuah kisah, entah settingnya dimana, di Jakarta, Bandung, Surabaya, atau mungkin Jogja, hiduplah seorang ayah beserta anaknya yang masih berusia 7 tahun. Istrinya telah lama meninggal, sekira saat anaknya baru berumur 4 tahun.Karenanya, anak tersebut dirawat oleh seorang baby sitter yang disewa ayahnya. Ayahnya adalah seorang pengusaha sukses, sehingga waktunya selalu tersita untuk bekerja dan mencari uang.

Akibatnya, sang anak selalu merasakan kesepian, hingga pada suatu malam anaknya berkata pada ayahnya yang baru pulang dari kerja, “Ayah, kalau boleh tahu berapa penghasilan ayah untuk satu jam?” tanya anak itu polos. “Buat apa kamu ingin tahu, lebih baik tidur sana hari sudah malam,” jawab ayahnya tanpa roman. Mendapat jawaban ayahnya yang ketus, anak itu pun terdiam dan membalikkan badannya menuju tempat tidur. Lalu??

Namun, keesokkan harinya, anak tersebut kembali menanyakan hal serupa. Kesal karena ditanya terus, ayahnya pun terpaksa menjawab, “Satu jam ayah bisa menghasilkan uang 1 keping emas? Kenapa kamu selalu bertanya begitu?” tanya ayahnya penasaran. Mendengar jawaban dari ayahnya demikian, si anak itu pun lantas berlari ke kamar dan kembali ke tempat ayahnya sambil menenteng celengan, kemudian memecahkannya. Kepingan-kepingan uang yang berhamburan lantas dikumpulkannya, kemudian dihitung satu demi satu.

Melihat polah anaknya yang aneh, sang ayah menjadi penasaran, “Apa yang kamu lakukan dengan uang itu, apakah engkau ingin membeli permen, tahukah kamu ayah mencari uang dengan susah?” tanya ayahnya dengan kesal.

“Ayah, aku telah mengumpulkan uang yang ayah berikan kepadaku sen demi sen, dan aku berhasil mengumpulkan 1 keping emas. Aku ingin membeli waktu ayah 1 jam saja? aku sangat merindukan ditemani ayah sewaktu tidur, bukan oleh orang lain, aku sangat ingin dipeluk dan merasakan kehangatan belaian ayah walaupun hanya sejam, aku mohon ayah,” sahut anak tersebut sambil menahan isak.

Mendengar kalimat yang meluncur dari anaknya seperti itu, sang ayah tercekat kalimatnya, ia hanya terdiam dalam bisu, tak sanggup berkata apapun.

Inspirasi Dua Negro

| Maret 16, 2010 | Sunting
Film yang bagus tidak menjamin bahwa fim itu akan terkenal. Kita semua sudah tahu astinya. Sebut saja film seperti Opera Jawa yang Berjaya di negeri orang, namun sama sekali tidak dikenal di negeri sendiri. Nasib seperti itu pula yang dialami oleh dua film yang rilis di akhir 2009 namun luput dari perhatian penikmat film di Indonesia: The Blind Side dan Invictus. Bisa dimaklumi, publik sudah lebih dulu “dipaksa” datang ke bioskop oleh promosi gencar dari Avatar, Sherlock Holmes, dan Sang Pemimpi. Dan memang, ketiga film tersebut sangat layak tonton dan tak bakal menyisakan kejengkelan ketika meninggalkan gedung bioskop. Selain itu, dua film yang saya sebutkan di atas belum lagi rilis di Indonesia. Hehe…

Jadi, ketika saya menyaksikan The Blind Side dan Invictus dari kopian kepingan DVD, keindahan dunia Pandora melalui kacamata tiga dimensi serta keperkasaan Sherlock Holmes dan sobatnya dokter Watson seketika terlupakan. Tak henti-hentinya saya berdecak kagum sepanjang film sembari merasakan keharuan yang mendalam dari dua film yang diangkat dari kisah nyata tersebut. Keduanya begitu indah dan membuat saya terdiam dalam waktu cukup lama ketika tulisan “The End” muncul di akhir film.

The Blind Side: Oher dan SJ 
The Blind Side adalah film drama biasa dan dibintangi oleh aktris yang biasa pula, Sandra Bullock dan Tim McGraw. Ada dua film lainnya yang dibintangi sekaligus diproduseri Sandra di 2009, yaitu All About Steve dan The Proposal. Namun, hanya dalam The Blind Side aktingnya begitu cemerlang. Saya tak heran ketika juri Academy Awards jatuh ke tangannya sebagai aktris terbaik tahun ini.

The Blind Side menceritakan perjalanan hidup Michael Oher (diperankan Quinton Aaron), seorang remaja berkulit hitam yang pendiam di Memphis, Tennessee, Amerika Serikat. Oher yang memiliki saudara 11 orang lahir dari seorang ibu yang kecanduan kokain. Akibatnya, keluarga Oher berantakan dan IQ-nya pun sangat rendah. Oher pun tak lagi mengenal kedua orangtuanya karena hidupnya lebih banyak dihabiskan di berbagai panti asuhan. Sebab, di usia tujuh tahun pengasuhan Oher diambil alih negara.

Bahkan, di masa remajanya Oher hidup nomaden dan tak memiliki alamat. Setiap hari dia berkeliling kota tanpa tujuan. Harta yang dia miliki hanya dua pasang pakaian, satu melekat di badan dan satu lagi dia simpan di kantong plastik yang selalu dia bawa untuk pengganti. Maka, hidup bagi Big Mike –begitu dia disapa lantaran tubuhnya yang besar– tak lebih sebuah cerita kosong dan tanpa masa depan. Namun, perjalanan hidup Oher berubah pada suatu malam.

Ketika itu pasangan Sean Tuohy (McGraw) dan istrinya Leigh Anne Tuohy (Sandra) melihat Oher berjalan tanpa tujuan. Ada yang mengusik Leigh Anne ketika melihat Oher. Seorang pemuda berjalan sambil menunduk di malam musim dingin dengan hanya mengenakan kaos tipis. Serta merta Leigh Anne turun dari mobil dan menyapa si pemuda. Ketika Leigh Anne mempertanyakan tujuannya sendirian berjalan kaki dalam cuaca dingin, dengan enteng Oher menjawab, “Aku mau ke gedung olahraga, karena di sana lebih hangat,” ucapnya.

Dari titik inilah sebenarnya film dimulai. Tanpa banyak bicara, Leigh Anne kemudian membawa Oher ke rumahnya dan memperkenalkan pemuda asing itu pada anak gadisnya, Collins, serta si bungsu yang periang dan telah mengenal Oher sebelumnya, Sean Junior. Setelah beberapa malam dihabiskan Oher dengan tidur di sofa keluarga Tuohy, sang pemuda kemudian mendapatkan kamarnya sendiri. Ada dialog yang kuat ketika Leigh Anne membawa Oher ke kamar barunya:

Leigh Anne : Find some time to figure out another bedroom for you.
Michael Oher : This is mine?
Leigh Anne : Yes sir.
Michael Oher : I never had one before.
Leigh Anne : What, a room to yourself?
Michael Oher : …A bed.
Mendengar jawaban Oher, seketika Leigh Anne lari masuk kamarnya sambil bercucuran air mata. Seorang pemuda yang baru bisa merasakan tidur di atas ranjang ketika berusia 17 tahun? Tak pernah terbayangkan oleh Leigh Anne, dan mungkin juga kita.

Tak sekadar memberi tempat bermalam, Leigh Anne dan keluarganya memperlakukan Oher bak anggota keluarga lainnya. Ganjil memang, sebuah keluarga kulit putih Amerika menerima kehadiran orang asing berkulit hitam tanpa banyak bertanya. Lebih ganjil lagi ketika Sean Junior pada teman-temannya di sekolah mengenalkan Oher sebagai kakaknya, begitu pun dengan si cantik Collins yang tanpa malu memanggil Oher dengan sebutan “Bro”.

Cerita kemudian mengalir dengan cepat. Tak ada scene yang sia-sia atau dialog yang membosankan. Kelucuan pun membuat kita tertawa tatkala Oher masuk dalam tim football Briarcrest Christian High School. Meski berkulit hitam, Oher ternyata tak tahu sama sekali dengan permainan ini. Bahkan, pemain football yang biasanya sangar menjatuhkan pemain di lapangan, tak berlaku buat Oher. Sangat kontras, Oher yang bertubuh besar punya sifat sabar dan penyayang kepada siapa pun.

Waktu dan dukungan penuh keluarga Tuohy akhirnya membuat Oher berubah. Dia mulai bisa menangkap perintah pelatih di lapangan. Langkah Leigh Anne mendatangkan guru privat ke rumah juga tak sia-sia. Nilainya mencukupi untuk lulus SMA, sedangkan di lapangan dia mulai mencuri perhatian banyak universitas untuk direkrut sebagai pemain. Oher akhirnya menjadi bintang football di University of Mississippi yang kemudian bermain untuk National Football League (NFL). Dan sampai hari ini, Michael Oher masih menjadi salah satu pemain terbaik NFL American All Star yang bermain untuk klub Baltimore Ravens.

Film ini merupakan adaptasi sutradara John Lee Hancock dari buku Michael Lewis yang laris di tahun 2006, The Blind Side: Evolution Of A Game. Banyak sudah film bertema olahraga atau konflik rasial berdasarkan kisah nyata yang diangkat ke layar lebar, tapi kisah Oher sangat fenomenal.

The Blind Side bukanlah film tentang masa kelam Amerika yang terjerumus dalam perbedaan warna kulit seperti tergambar dalam film Mississippi Burning (1988). Bukan pula cerita tentang olahraga yang menciptakan persatuan dalam salah satu film olahraga terbaik sepanjang masa, Remember the Titans (2000). Namun, ada hentakan berbeda ketika menyaksikan film yang sebenarnya datar dan tanpa konflik serius ini.

Kita bisa menyaksikan perjalanan seorang anak manusia yang awalnya tanpa harapan berubah menjadi tumpuan asa. Kita juga menyaksikan sebuah keluarga yang berbuat semata-mata berlandaskan nurani dan berhasil menyingkirkan prasangka yang selama ini tertanam kuat di benak masyarakat Amerika.

Invictus

Film kedua yang tak kalah menarik adalah Invictus. Berbeda dari film sebelumnya, Invictus bertaburan bintang. Dengan memajang nama Morgan Freeman dan Matt Damon saja, film ini sebenarnya sudah sangat menjanjikan. Apalagi kemudian ternyata film ini dibesut oleh Clint Eastwood, maka lengkap sudah alasan untuk harus menonton film ini.
Invictus: Mandela
Film diawali ketika Nelson Mandela (diperankan Morgan Freeman) baru saja dilantik sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994. Hari pertama berada di kantor kepresidenan, Mandela terhenyak menyaksikan staf kepresidenan yang mayoritas berkulit putih dan memperlihatkan sikap kaku sibuk menggotong barang pribadi mereka. Sesaat masuk ruang kerja, Mandela memerintahkan seluruh staf untuk berkumpul.

Di depan seluruh staf berwajah masam itu, Mandela menyatakan keheranannya melihat mereka seolah ingin buru-buru keluar dari kantor kepresidenan. Dengan suara pelan, dia mengatakan: 

Of course, if you want to leave, that is your right. And if in your heart you feel that you can not work with your new government then it is better if you do leave right away. But if you are packing up because you fear that your language or the color of your skin or who you worked for before disqualifies you from working here, I am here to tell you to have no such fear. What is today is today, the past is the past, we look to the future now.
Mulai dari sini, agaknya mulai sulit untuk berpaling dari gambar demi gambar dan dialog demi dialog film ini yang semuanya sayang untuk dilewatkan. Tak ada satu pun adegan yang sia-sia dan tak ada dialog yang tanpa makna. Kita kemudian dipandu melihat sosok Mandela memerangi kebencian yang sudah begitu mengakar di kalangan rakyat Afsel atas dasar perbedaan warna kulit.

Mandela tahu benar bahwa meskipun rezim apartheid telah runtuh, benih perpecahan antara warga kulit putih dan warga kulit hitam di Afsel masih ada. Dan, Mandela melihat peluang mempersatukan rakyatnya lewat olahraga rugby. Apalagi Afsel ketika itu bakal menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby. Langkah Mandela ini sempat mendapat kritikan, mengingat rugby pada saat itu sangat identik dengan kaum kulit putih. Namun Mandela tidak gentar dan jalan terus.

Melalui sebuah perkenalan di istana kepresidenan, terjalin hubungan batin yang kuat antara kapten tim rugby Springboks, Francois Pienaar (Matt Damon), dengan Mandela. Keduanya bahu membahu memberi keyakinan bahwa tim rugby Springboks bukan hanya milik warga kulit putih, tapi milik seluruh warga Afsel.

Tak mudah memang untuk mewujudkannya. Benih-benih perpecahan itu begitu kuat, tak hanya di kalangan rakayat jelata. Tim rugby Springboks yang didominasi oleh pemain kulit putih tak goyah dengan pemikiran lama mereka. Bahkan, sampai lingkungan paling dalam Mandela, yaitu pengawal pribadinya, upaya untuk menyatukan agen-agen berkulit hitam dan putih malah menimbulkan sikap saling curiga.

Tapi, berkat tekad yang kuat serta sikap tidak memihak, upaya itu berhasil. Di tahun 1995, saat Afsel menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby, tim Springboks akhirnya berhasil menjadi juara dunia dengan mengalahkan tim favorit Selandia Baru. Seluruh rakyat Afrika Selatan, baik yang di rumah-rumah mewah, di warung-warung kumuh, di jalanan, hingga di stadion tumpah ruah merayakannya. Sekat-sekat itu akhirnya hilang karena sebuah olahraga telah mempersatukannya.

Film ini diangkat dari buku biografi berjudul Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation karya John Carlin. Dari sekian banyak film yang dibesut Clint Eastwood, Invictus mungkin yang paling ringan dan menghibur. Proses penyatuan dua ras yang berbeda digambarkan dengan halus dan elegan tanpa memihak. Namun, tak bisa dimungkiri, kekuatan Invictus justru pada skenarionya yang kuat, bertaburan dialog-dialog menggugah sekaligus inspiratif.

Dan, magnit utama film ini tentu saja adalah sosok Mandela. Kita diajak melihat panorama Afsel yang indah serta ruangan penjara tempat dia pernah ditahan selama 27 tahun. Meski yang tampil di layar adalah sosok Morgan Freeman, tetap saja bayangan Mandela yang berkelebat. Tak jauh berbeda dengan film tentang Mandela lainnya yang pernah saya tonton, Goodbye Bafana (2007), sulit bagi aktor sekelas Dennis Haysbert untuk memerankan sosok Mandela selama di dalam penjara.

Morgan Freeman dan Mandela memang telah bersahabat sejak lama dan Mandela sendiri yang memintanya untuk bermain di film ini. Tapi, di layar lebar pun Morgan Freeman tak bisa menggantikan Mandela. Karena itu, kendati Morgan Freeman tahun ini masuk nominasi Academy Awards untuk kategori Aktor Terbaik, terbukti ia tidak mendapatkannya.

Sulit bagi dunia untuk menyepelekan Mandela. Pria yang berhati bersih, tak pendendam, serta memimpin untuk kesatuan bangsanya. Dan itu sudah diperlihatkan Mandela sejak awal memerintah. Dunia pun mencatat, sejak kendali Afsel berada di tangan Mandela, cap negara itu sebagai biang konflik perbedaan ras di muka bumi mulai sirna.

Sebuah surat kabar nasional pernah menulis. Penunjukan Afsel sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010 sama sekali bukan karena lengkapnya sarana pertandingan atau kehebatan tim sepakbola negara itu, tapi semata-mata sebagai penghormatan kepada Mandela. Karena itu, sejatinya film ini pun juga dimaksudkan Clint Eastwood sebagai penghormatan bagi seorang pejuang kemanusiaan seperti Mandela.

Akhir kata, The Blind Side dan Invictus adalah film yang berbicara tentang manusia. Keduanya tidak membahas cinta yang dangkal atau hantu yang kasat mata. Keduanya juga jauh dari campur tangan teknologi untuk membuat layar terlihat lebih berwarna dan indah. Karena, keindahan hakiki tentu tidak sebatas yang terlihat pandangan mata, tapi harus dirasakan oleh hati.

The Blind Side dan Invictus boleh jadi tak mendapat satu pun penghargaan di ajang Oscar pada awal Maret lalu. Tapi, itu takkan mengurangi penghargaan saya kepada mereka yang telah mengangkat pengalaman menakjubkan kehidupan Oher dan Mandela ke layar lebar. Alasan saya sederhana, selain menginspirasi, keduanya telah berusaha membuat penontonnya menjadi manusia yang lebih baik. Sungguh...

Borobudur dan Serbuan 'Pasar'

| Maret 16, 2010 | Sunting
Matahari terbit di Borobudur
Ketika berkunjung ke masjid, tentu saja kita harus menanggalkan alas kaki. Begitu juga ketika datang ke sarana ibadah dan objek vital lain, ada berbagai aturan yang harus kita patuhi untuk menjaga kebersihan, ketertiban, dan seterusnya. Oh ya, ada satu lagi, di beberapa museum bahkan kamera dilarang, dalam hal ini kamera yang menggunakan blitz, dengan alasan blitz kamera dapat merusak benda-benda sejarah yang sudah uzur, sebut saja ketika sekali waktu saya berkunjung ke Museum Batik Danarhadi Solo, atau juga ke Museum Ullen Sentalu di Kaliurang. 

Namun, baru-baru ini pengelola candi Borobudur mengeluarkan peraturan unik, dan yang pasti juga menarik untuk dikaji lebih lanjut: pengunjung yang memasuki kompleks candi Borobudur harus memakai sandal karet, sedangkan bagi pengunjung yang memakai celana pendek atau rok mini diwajibkan untuk mengenakan kain batik. Alasannya cukup bagus memang: sepatu atau heels berbahan besi dapat mengakibatkan penggerusan batu. Sementara untuk pasal kain adalah untuk kesopanan dan kerapian, cukup arif memang, namun apakah cukup sampai disitu?

Yah, apabila kita berpikir lebih panjang, dalam fenomena peraturan penggunaan kain di kompleks candi Borobudur ini, pada waktu yang sama sebenarnya mengisyaratkan sebuah kerja produksi massal atas benda tersebut.

Bagi peradaban masyarakat Jawa Kuno, Candi Borobudur merupakan bagian penting dan sakral dalam laku religiusitas sehari-hari. Konstruksi batu bertumpuk yang dibuat dengan perhitungan arsitektur matang dan ragam hiasan seni tingkat tinggi itu dibangun berlandaskan pemahaman sistem kepercayaan dan filosofi spiritual sebagai tempat ibadah. Kisah-kisah yang terdapat dalam relief Borobudurpun secara tidak langsung adalah kitab kehidupan yang selama berabad-abad menjadi batu pijakan masyarakat Jawa dalam kehidupan.


Dalam prasasti Kayumwungan, lima buah penggalan batu berangka tahun 746 Saka — ditemukan di Karangtengah, Temanggung, tercatat bahwa pembangunan candi Borobudur diselesaikan pada tampuk kekuasaan Ratu Pramudawardhani dari Wangsa Syailendra pada 26 Mei 824 M. Sedangkan nama Borobudur diduga berasal dari bahasa Sanskerta: bara yang berarti candi atau biara dan beduhur yang mempunyai arti tinggi, dalam bahasa Bali kata itu mempunyai arti di atas.

Kini, bangunan karya leluhur masyarakat Jawa Kuni itu menjadi sebuah mata rantai yang seolah hilang dari sejarah masa kini. Borobudur hanya menjadi simbol peradaban lain yang memutus silsilah orang Jawa masa kini sehingga asing dengan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Bahkan peranan bangunan bersejarah itu kini menjadi sekuler, menjadi barang dagangan kepentingan pariwisata semata. Dikeluarkannya Borobudur dari 7 keajaiban dunia, menjadi bukti kegagalan masyarakat dalam merawat dan meruwat kehidupan kulturalnya, baik dalam bentuk fisik maupun konsepsi nilai yang ada di baliknya.

Dari segi fisik, segi kebersihan candi yang menjadi syarat penting pariwisata, sangat tidak terurus. Banyaknya sampah berserakan maupun vandalisme terhadap bangunan candi menjadi permasalahan yang belum terselesaikan secara tuntas. Hal ini tentu saja berkaitan dengan etos hidup masyarakat penggunanya yang tidak mempunyai sikap dan sifat kedisiplinan maupun penghargaan terhadap sesuatu yang bernilai. Wajar jika muncul sikap para wisatawan yang menaiki stupa hanya untuk sekadar mejeng dalam jepretan kamera pribadi, sebuah laku narsisme yang egois.

Borobudur bukan hanya pajangan sejarah yang tercipta berdasarkan unsur kebetulan melainkan representasi eksotisme ketajaman rohani, spiritualitas, dan eksistensi budaya manusia di bumi ini dalam pemahaman konsep Buddhisme. Borobudur membuktikan pembentukan peradaban dan olah teknik-estetika yang merepresentasikan eksistensi manusia. Maka apabila keresahan ini disikapi dengan peraturan pemakaian sarung bagi wisatawan yang bercelana atau memakai rok pendek, tidakkah hal ini menjadi respons yang naif, sporadis, dan sangat tidak visioner. Hal ini menjadi semacam afirmasi terhadap konsepsi nilai spiritualitas tapi tak implikatif karena seperti pamer diri yang genit.

Penumpukan Simbol

Perlakuan semacam ini berisiko pada reduktivitas pemahaman dan kepemilikan publik atas jejak historis dan proses transformasi identitas kultural. Kain batik tak cukup representatif untuk menjadi bukti penyikapan dan keberpihakan yang jelas karena tak diimbangi dengan literasi masyarakat terhadap arti penting Borobudur dalam peradaban dunia. Publik justru memandang aksi pemakaian sarung itu sebagai penumpukan simbol kultural yang tak komunikatif atau justru menghambat pada kepentingan kapitalisasi kekinian.

Menurut Ebenstein (1994), kini kapital bukanlah suatu benda material melainkan suatu proses yang memakai benda-benda material sebagai tahap-tahap dalam eksistensi dinamiknya yang berkelanjutan. Kapital adalah suatu proses sosial, bukan proses fisik. Kapital memang mengambil bentuk fisik, tetapi maknanya hanya bisa dipahami jika kita memandang bahwa benda-benda material ini mewujudkan dan menyimbolkan suatu totalitas yang meluas.

Dalam fenomena peraturan pemakaian sarung di Borobudur, pada saat yang sama sebenarnya mengisyaratkan sebuah kerja produksi massal benda tersebut, politik praktis tender yang menyusun kepingan konstruk pemahaman yang tak lengkap tentang subjek utama, yaitu kedudukan candi itu sendiri dalam kultur sosial masyarakat.

Pada saat itu, tanpa sadar masyarakat dipaksakan pada semacam ketidaksadaran massal. Ketidaksadaran sebagai “kesadaran baru” yang tak lebih dari sekadar puing-puing eksistensial yang tengah tercabik ini lantas meruyakkan aura eksotisme sarung yang hanya mementingkan permukaan, penampakan, penampilan, hiburan, dan permainan tanda-tanda yang tanpa kedalaman dan yang tidak mengacu kepada realitas.

Meminjam analogi budaya massa (Ibrahim, 2007) Borobudur menjadi bagian industri kebudayaan yang juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk industri, dan sudah tentu komoditas.

Hal ini memaksakan penyembahan, pemujaan, pengkultusan, eksostisme tertentu yang disebut Peter L Berger sebagai semesta simbolisme modernitas dengan bawah sadar kapitalisasi kultural.

(diolah dari berbagai sumber)

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine