Sepetang di KL Alternative Bookfest 2015

| Maret 21, 2015 | Sunting
Berawal dari batalnya nonton film Senyap kemarin malam, kami menyusun rencana-akhir-pekan-yang-tak-terduga di warung sushi, sambil menunggu datang makanan kami. Ia mengusulkan untuk nonton film saja. Sementara aku mengusulkan untuk datang ke KL Alternative Bookfest 2015. Mungkin karena masih diliputi oleh rasa bersalah, ia kemudian membatalkan usulannya. Dan kamipun pergi ke acara ini petang tadi.

Pasar Buku di Malaysia

Pasar buku di Malaysia sepenglihatan saya masih dipenuhi oleh novel-novel bertema cinta. Itu juga mungkin alasan kenapa buku-buku Habiburrahman begitu laku di sini. Fakta yang sama jugalah yang kemungkinan mendorong stasiun-stasiun TV rajin mengadaptasi novel-novel cinta ke layar kaca. Serial terkenal 'Rindu Awak 200%' misalnya, diangkat dari novel dengan judul yang sama. Atau yang sedang hangat dibicarakan akhir-akhir ini: Suami Aku Ustaz, film bioskop yang juga diadaptasi dari novel.

Seorang dosen saya pernah satu kali berkata, "Demi kestabilan ekonomi, bisa dibilang kami harus mengorbankan banyak kebebasan. Di antaranya ya kebebasan dalam berpikir dan berekspresi. Memang tidak ada larangan, tetapi polisi dapat datang setiap saat!"

Itu pula alasan kenapa saya lebih banyak berkutat dengan buku-buku berbahasa Inggris selama hampir tiga tahun di negeri ini. Buku-buku kuliah berbahasa Inggris. Novel-novel berbahasa Inggris. Koran dan majalah berbahasa Inggris. Satu dua buku berbahasa Malaysia yang saya bacapun kebanyakan merupakan karya terjemahan. Fakta ini pulalah yang membawa saya lebih akrab dengan jaringan toko buku semacam Kinokuniya ataupun Times dibandingkan dengan jaringan toko buku lokal seperti MPH dan Popular. Selebihnya bertualang di kedai-kedai buku bekas. Juga ke acara semacam Big Bad Wolf kalau memang sedang ada kesempatan (walaupun faktanya selalu disempat-sempatkan, hehe).

Apakah ini berarti tidak ada buku bagus terbitan (penerbit) Malaysia? Tidak juga tentunya. Bahkan tahun lalu, Penerbit Fixi - digawangi oleh penulis dan sineas Amir Muhammad, berhasil menggondol Bookseller International Adult Trade Publisher Award di London Bookfair. Bagaimana dengan penerbit-penerbit lainnya? Banyak buku bagus yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit indie. Lalu? Ya tentunya mereka tidak memiliki cukup akses untuk menembus jaringan toko buku besar (sebagaimana pula yang terjadi di Indonesia).

Beruntung kemudian ada banyak kegiatan yang turut memperkenal penerbit-penerbit tersebut bersama buku-bukunya. Mulai dari acara pemutaran film, pergelaran musik hingga yang benar-benar pameran buku. Yang terbaru ya yang kami kunjungi sepetang kemarin: KL Alternative Bookfest 2015

KL Alternative Bookfest 2015

Kegiatan ini satu rangkaian dengan Art for Grabs - juga pameran, dan sudah rutin diadakan sejak tahun 2008. Selain ada pameran, juga ada pemutaran film, diskusi, peluncuran buku hingga pembacaan naskah. Meskipun berangkat bersama, kami berdua berpisah tujuan begitu sampai di lokasi. Dia pergi melihat-lihat pameran seni. Sementara saya mendengarkan cuplikan naskah Hikayat Raja Babi - tulisan Usup ibn Abdul Kadir, pedagang keturunan India asal Semarang (ya, Semarang, Jawa Tengah!). Hikayat ini ditulis selama perjalanan niaganya ke Palembang dan selesai pada 12 Januari 1775. Naskahnya sendiri dipegang oleh keluarga penulis secara turun temurun, sebelum akhirnya jatuh ke tangan John Crawfurd dan dijual ke British Museum, pada 1842. Dari sinilah kemudian penerbit Fixi mengambil inisiatif transliterasi (dari tulisan Jawi ke tulisan latin) dan akan diluncurkan bulan Mei ini.
Masuk tas bawa pulang...
Ada sekitar 20 penerbit indie yang mengambil bagian dalam kegiatan ini, menawarkan berbagai jenis bacaan: dari kumpulan puisi, kumpulan cerpen, novel hingga berbagai buku non-fiksi. Juga ada zine-zine bertebaran. Beberapa penulis bukunyapun hadir dan menyapa para pengunjung. Saya sempat ngobrol sebentar dengan Irwan Bajang yang datang langsung dari Jogja bersama rombongan Indie Book Corner-nya. Ia cukup kaget ternyata banyak pembaca Malaysia yang akrab dengan buku-buku (indie) Indonesia. Buku-buku yang dibawanyapun laris manis. Sepenglihatan saya sih memang buku-buku pilihan yang mereka bawa. Selain itupun harganya cukup murah untuk ukuran buku bagus, belasan ringgit kebanyakan. Buku-buku dari Indie Book Corner pulalah yang kebanyakan saya masukkan tas - setelah membayar tentunya, hehe.
Victoria-nya Knut Hamsun, diterjemahkan oleh Dwicipta. Pengantar bukunya bisa dibaca di sini. Kebetulan juga saya baru selesai baca buku Hamsun yang lain, Hunger. | Kumpulan puisi terbarunya Dea Anugrah, Misa Arwah & Puisi-puisi Lainnya. Saya sebenarnya sudah mikir buku ini batal terbit karena Dea Anugrah-nya sudah 'ribut' sejak awal tahun lalu, hehe. | Lelaki yang Terus Mencari Sumbi, kumpulan cerita Hermawan Aksan. | Kumpulan esai Katrin Bandel, Sastra Nasionalisme Pascakolionalitas. | Love in the Time of Cholera, 5 ringgit saja dari lapak buku bekas. | Dompet Kulit Buaya, novel unik tulisan Wan Nor Azriq. Saya sempat baca novelnya yang lain, D.U.B.L.I.N, dan saya suka, keren isinya.
Saya sebenarnya kurang suka dengan konsep menyatukan pameran buku dengan beberapa acara lain yang cukup 'berisik' semacam bicarawara (terjemahan dari talk-show). Tetapi mungkin dengan cara ini pulalah kegiatan menjadi lebih menarik perhatian khalayak. Yah, setidaknya sepetang kemarin kegiatan ini sangat ramai. Ada yang lihat-lihat buku, ada yang yang lihat-lihat karya tangan, ada yang ikut diskusi, ada yang menggambar, juga ada yang menonton film. Intinya, kami pulang dengan gembira. :)

Kami Makan Sushi Malam Ini

| Maret 20, 2015 | Sunting
Kami memutuskan untuk keluar malam ini. Setelah berbulan-bulan lamanya hanya bisa sekadar mencuri waktu di tengah kunjungan ke toko buku. Atau sore singkat sepulang aku mengajar di hari Minggu. Melalui pesan singkat, kami menyusun kanji untuk menonton Senyap yang ditayangkan di KL untuk pertama kalinya - bagian dari Freedom Film Fest 2015. Intinya kami sama-sama doyan, sehingga janjipun dapat dengan mudah diputuskan.

Kereta api penuh sesak. Memang jam pulang kerja. Tetapi kami beruntung masih bisa dapat tempat duduk. Tidak banyak percakapan di antara kami selama hampir limapuluh menit perjalanan. Dia hanya bertanya kapan aku akan mencukur rambut. Sudah, itu saja.

Seturun dari kereta, pemberhentian bus adalah tujuan kami. Aku sempat berbasa-basi menawarkan naik taksi sebenarnya. Tapi gampang saja ia membaca pemanis mulutku. "Gak usah sok punya duit!" Dan akupun setuju-setuju saja. Lagi pula masih ada waktu sekitar 45 menit lagi.

Sayangnya, segera setelah itu ia mulai menunjukkan dominasinya. Terutama atas pengetahuannya tentang dunia angkutan umum di KL. "Bus ini juga bisa kok ke tempat itu. Ayo, naik aja!" Dan begitulah, kami akhirnya naik bus-yang-katanya-lewat-lokasi-pemutaran-film. Walaupun aku sendiri tidak begitu yakin. Tetapi, jeda 45 menit cukup menenangkan hari: kalau salah masih bisa turun, lalu ganti kendaraan.

Bus berjalan. Agak sempoyongan karena penuh penumpang. Jalanan lengang. Syukurlah, batinku. Tetapi ternyata itu tidak bertahan lama karena bus lantas berbelok ke jalanan yang penuh sesak. Hatiku mulai tidak enak.

***

Pukul 19:57. Senyap seharusnya diputar 3 menit lagi. Tetapi aku sendiri tak tahu ada dimana kami. Dia berkali-kali mengulang maaf. Tak apa, balasku. Kalau tidak karena salah bus, kapan lagi kita bisa melihat lautan mobil seperti di Jakarta seperti ini?

***

Kami berjumpa pada suatu hari di dalam bus Transjakarta, saat bulan puasa. Jalanan macet. Waktu berbuka sebentar lagi. Tetapi tak ada tanda pergerakan sedikitpun dari bus yang kami tumpangi. Azan berkumandang begitu saja. Ia yang duduk di sampingku membuka tas, mengeluarkan botol minum. Membuka tutupnya. Kemudian menyorongkan cucup botol ke arah mulutnya.

Aku mungkin terlalu khusyuk memperhatikan botol minumnya hingga ia bertanya, "Puasa juga Mas?" Aku jawab dengan anggukan. Botolnyapun berpindah ke tanganku dengan cepat.

***

Kami beberapa kami makan bareng setelah peristiwa dalam Transjakarta itu. Kebetulan pula kegemaran kami sama: yang murah-murah saja. Kopaja atau Transjakarta sudah barang tentu jadi angkutan andalan. Kadang kami makan mie ayam di depan Kantor Pos Cikini. Kali lain kami makan Bubur Ayam jalan Tanjung, Menteng yang tersohor. Kalau sedang ingin makan masakan Padang, biasanya kami pergi ke Senen. Ada banyak Warteg enak murah juga di sana.

Kadang kala kami juga pergi nonton. Di belakang XXI TIM kebetulan ada tempat pemutaran film gratis, Kineforum. Tempat ini dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta. Film yang diputarpun macam-macam, baik film lokal maupun antarabangsa. Aku yakin kami termasuk pelanggan yang paling sering datang, saat itu. Apalagi kalau film yang diputar bertema sejarah. Pasti akan kami sempat-sempatkan datang karena memang sama-sama doyan. Apalagi jadwal pemutaran film di Kineforum adalah saat akhir pekan, jadi hampir pasti kami sedang lowong.

Satu kali kami pernah terdampar di warung sushi di Senayan. Itu makanan paling luar negeri (?) yang ia suka katanya. Aku jadi agak minder sebenarnya mendengar pernyataan tersebut. Seorang penggila sushi lain pernah menertawakanku sebelumnya karena aku menyantap sushi dengan sendok. Makanya aku kelewat girang begitu melihatnya makan sushi pakai... tangan! "Haha. Ternyata bukan aku ya yang paling ndeso!"

***

Yah, seringkali manusia membutuhkan waktu untuk sekadar mengolok-olok diri sendiri. Dan kami senang mendapatkan kesempatan itu, di tengah lautan mobil di sudut antah berantah Kuala Lumpur. Senyap batal kami tonton, tetapi ada kesenyapan lain yang berhasil kami dapatkan: kesenyapan hati masing-masing setelah sama-sama memperolok diri sendiri. Kami sekarang sedang mencari warung sushi. Lapar.

Dikirim dari Windows Phone.

Selamat Pagi, Malam

| Maret 04, 2015 | Sunting

Selamat pagi, malam. Seringkali terlalu sulit untuk merangkai alasan atas rindu yang membuncah dalam benak, warna-warni hati. Atau barangkali rindu sendiri yang saat ini menjelma, berubah rasa sehingga tak lagi mudah rindu dibilang rindu. Beruntung kau seolah membaca kebingunganku menyuarakan rasa. Datang, membisikanku selarik kalimat, atau kata tepatnya, "Tidurlah..."
Akhirnya malam tiba juga
Malam yang kunantikan sejak awal
Malam yang menjawab akhir kita
Inikah akhir yang kita ciptakan
Dan pagi takkan terisi lagi
Lonceng bertingkah sebagaimana mestinya
Membangunkan orang tanpa membagi
Sedikit asmara untuk memulai hari
Tidurlah
Malam terlalu malam
Tidurlah
Pagi terlalu pagi

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine