Bunuhlah Dahulu Harimau dalam Dirimu

| April 24, 2015 | Sunting
Harimau! Harimau! tulisan Mochtar Lubis
Terbitan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013
"Aku tengah resah." Sesingkat itu pesan yang kukirimkan padanya. Jawabnya datang secepat kilat, "Lalu?" Singkat. "Aku membentak seseorang pagi tadi, ia menyerobot antreanku di kantor pos!" Lama, tak ada jawaban apapun darinya. Kukirim pesan selanjutnya, "Iya meminta maaf, aku iyakan. Separuh hati tapi karena aku jadi telat masuk kelas!"

"Fifty-nine, eighteen. O you who have believed, fear Allah . And let every soul look to what it has put forth for tomorrow - and fear Allah . Indeed, Allah is Acquainted with what you do."

"Aku ingin meminta maaf, tetapi bahkan aku tak tahu apapun tentangnya. Kecuali ia berkaus biru pagi tadi, mengirimkan sekotak paket ke Kota Bharu, kudengar isinya kasut!"

"Paling tidak kau telah menyesalinya! Kurasa tidak seharusnya pula ia menyerobot antrian."
***
"Kalian masih muda, ambillah pelajaran dari apa yang terjadi... aku pun kini sadar ... kita tak hidup sendiri di dunia ... manusia sendiri-sendiri tak dapat hidup sempurna, dan tak mungkin hidup sebagai manusia, tak mungkin lengkap manusianya. Manusia yang mau hidup sendiri tak mungkin mengembangkan kemanusiaannya. Manusia perlu manusia lain. 

Sungguh kini aku sadari. Aku salah selama ini, kehilangan kepercayaan pada manusia dan pada Tuhan. Tuhan ada, anak-anak, percayalah. Tapi jangan paksakan Tuhanmu pada orang lain, seperti juga jangan paksakan kemanusiaanmu pada orang lain. Manusia perlu manusia lain ... manusia harus belajar hidup dengan kesalahan dan kekurangan manusia lain. Wak Katok jangan dibenci. Maafkan dia. Ampuni dia. Kita harus selalu bersedia mengampuni dan memaafkan kesalahan dan dosa-dosa orang lain. Juga kita harus selalu memaafkan dan mengampuni orang-orang yang berdosa terhadap diri kita sendiri ... 

Ingatlah ucapan Bismillahhirrokhmanirrokhiim... Tuhan adalah yang Maha Pemurah dan Pengampun. Di sinilah kunci kemanusiaannya manusia yang diturunkan Tuhan kepada manusia. Sedang Tuhan dapat mengampuni segala dosa jika yang berdosa datang padanya dengan kejujuran dan penyesalan yang sungguh. Apalagi kita, manusia yang biasa dan daif ini, di mana kekuasaan kita untuk menjadi hakim yang mutlak, dan menjatuhkan hukuman tanpa ampun kepada sesama manusia? 

Aku tersesat selama ini, aku telah menghukum seluruh manusia, dan dengan itu menghukum diriku sendiri ... aku tahu kini, akulah yang paling berdosa. Aku lah yang paling tua, akan tetapi hatiku dan pikiranku buta. Aku terlalu sombong dan angkuh ... aku menghendaki manusia sempurna, sedang manusia hanya dapat berikhtiar dan berusaha menjadi sempurna... kini aku sadar, kemanusiaan hanya dapat dibina dengan mencinta, dan bukan dengan membenci. Orang yang membenci tidak saja hendak merusak manusia lain, tetapi pertama sekali merusak manusia dirinya sendiri... kasihani Wak Katok ... 
Orang yang berkuasa, jika dihinggapi ketakutan, selalu berbuat zalim... ingatlah hidup orang lain adalah hidup kalian juga ... sebelum kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri ... mengertikah kalian... percayalah pada Tuhan ... Tuhan ada... manusia perlu bertuhan..
***
Harimau itu terus mengikutiku. Semacam potongan-potongan acak dalam mimpi tengah malam. Atau bahkan sepertinya ia mengintipku selagi aku buang air. Harimau itu menjadi terasa begitu nyata ketika kutahu si orang berkaus biru meninggal pagi tadi. Atau setidaknya mahasiswa yang meninggal itu mirip dengannya. Kesedihan yang tak terlukiskan melingkupi benakku ketika kulihat kerandanya diangkat, selepas shalat jenazah ditunaikan. Harimau itu kini rasanya tengah tertawa-tawa.

Detik-detik Tertentu Ketika Waktu Diharap Berhenti Dulu

| April 17, 2015 | Sunting
Nature Morte Vivante karya Salvador Dalí
Apa yang berjalan dengan begitu cepat dalam hidup ini? Waktu. Ia berlalu, melaju, tanpa benar-benar memberi kesempatan manusia untuk bersiap. Banyak hal dalam hidup(ku) yang bertumpu pada ketergesaan hanya karena (seolah) laju waktu yang terlalu cepat. 

Bisakah kumeminta waktu untuk berhenti terlebih dulu barang sekejab? Pada detik-detik, atau sekadar seperdetik, tertentu saja pastinya. Detik tertentu sebelum motor bapak tersungkur menabrak deretan kios di pinggir jalan misalnya. 

Atau detik-detik dimana Mamak harus bekerja sedemikian keras hingga lupa makan mungkin. Permintaan-permintaan ini sungguhlah konyol. Tentu. Tetapi pada saat-saat seperti ini rasanya detik-detik semacam itu begitulah berharga.

Ketika kematian, saat waktu manusia benar-benar sudah tuntas, adalah sebuah keniscayaan, mungkinkah manusia meminta kesempatan istirahat sementara? 

Orang-orang bijak berujar tidak ada yang salah dengan waktu. Bahwa setiap detik berlalu tentu membawa hikmah. Juga bahwa sudah pasti tidak bisa waktu berhenti dulu meski sejenak. Yah, sudah sangat pasti. Hanya saja, seringkali tanya memang bukan untuk mengharap jawab. Kadang lebih untuk sekadar menghibur hati. Sehingga kuulang sekali lagi, bisakah kiranya berhenti? Sejenak.

Ya Allah, ampunilah hamba-Mu.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine