Pramoedya dan Masa Revolusi

| September 30, 2015 | Sunting
Subuh, karya Pramoedya
Hari-hari ini nama Pramoedya kembali banyak diperbincangkan. Akhir September memang selalu menjadi semacam momen yang pas untuk membicarakannya, paling tidak sekali dalam setahun. Sumbangsihnya pada susastra Indonesia dibahas lagi, kuranglebih seperti yang saya lakukan ini. Sayangnya, pembahasan seringkali bertumpu pada masa-masa pasca 1965. Masa-masa dimana Pram dipenjara tanpa pernah diadili dan dikirim ke Pulau Buru sebagai orang buangan. Masa-masa dimana mahakaryanya, Tetralogi Buru, lahir.

Tak semua orang senang. Sudah tentu. Di antaranya muncul suara-suara sumbang semacam: keberpihakan Pram pada kaum lemah itu karena ketidakadilan yang dialaminya - belum tentu keberpihakan itu ada kalau Pram sendiri bahagia-bahagia saja sampai akhir hidupnya. Konyol. Yah, suara-suara konyol bagi saya. Kenapa?

Pram bukanlah penulis yang lahir karena tragedi 1965. Ia sudah ada jauh sebelum itu. Dan ini yang sering luput dari perhatian: karya-karya Pram sebelum 1965. Terutama tulisan-tulisannya beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Cara gampang untuk membuktikan bahwa Pram memang penulis yang anti ketidakadilan dan penindasan dari sononya.

Surabaya Awal Abad Ke-20, Seperti Dikisahkan oleh Hamka

| September 29, 2015 | Sunting
Tuan Direktur, terbitan PTS Publishing House - Juli 2015
Tuan Direktur, terbitan PTS Publishing House - Juli 2015
Sebagaimana yang saya tulis pada awal bulan ini, lima buku Hamka diterbitkan ulang oleh penerbit Malaysia PTS beberapa bulan bulan silam. Salah satu yang saya baca adalah Tuan Direktur, novel pendek yang pertama kali terbit sekitar 76 tahun lalu. Alur ceritanya sederhana saja, khas novel-novel zaman itu. Mengisahkan kehidupan Tuan Direktur, sebagaimana judulnya. Si Tuan ini nama aslinya Jazuli, pemuda Banjar yang berusaha untuk mengubah nasibnya dengan berdagang di Surabaya. Nasib baik, toko emas intan yang dibinanya berkembang pesat. Kehidupannya berubah. Sayang, perangainya pun ikut berganti.

Hamka berusaha menampilkan cerita dengan serinci mungkin meski dalam ruang yang cukup terbatas. Oh ya, sebelum dibukukan, Tuan Direktur adalah cerita bersambung di mingguan Pedoman Masyarakat terbitan Medan.

Salah satu hal yang digambarkan Hamka dengan (agak) panjang adalah latar novel ini: Surabaya. Paparan Hamka melemparkan saya ke Surabaya di awal abad ke-20 — saya sebenarnya ingin menulis 1930an mengingat waktu penerbitan novel ini, tetapi kunjungan pertama Hamka ke Surabaya sendiri terjadi antara tahun 1924-1925 sehingga ada kemungkinan pemaparan tersebut berdasarkan kunjungan tersebut.

Bukan sekadar memantik imaji saya tentang tatanan fisik kota Surabaya masa itu, tetapi juga keadaan sosial setempat. Saya tulis ulang agar saudara-saudara bisa menyertai pengembaraan saya. Kembara lintas masa menuju Surabaya awal abad ke-20. Bersiaplah.
***
Kota yang kaya dalam sebutan, serta menjadi pusat pula dari perniagaan besar dan kecil di Indonesia ini ialah Surabaya. Kaya dalam sebutan sebab tanjungnya orang namakan Tanjung Perak, kalinya Kali Mas dan gunungnya Gunung Ringgit. Surabaya kota perniagaan antarabangsa. Kapal-kapal dagang yang akan ke Hong Kong, sampai ke Kobe sana, demikian juga ke Amerika, senantiasa melalui Surabaya.

Maka pedagang-pedagang dari Maluku Timur Besar, sampai ke Tanjung Banda Neira, berkumpullah ke kota Surabaya. Bangsa Timur asing pun bukan sedikit jumlahnya di kota itu. Bangsa Tionghoa memegang pasaran seluruhnya. Bangsa Arab menjadi tuan tanah yang mempunyai rumah-rumah sewa berpintu, mempunyai vila yang indah-indah di kota Malang, Lawang dan Batu. Tiap-tiap petang hari Sabtu, berduyun-duyunlah auto yang mahal-mahal kepunyaan pedagang-pedagang segala bangsa untuk menghabiskan hari Minggunya di pesanggarahan yang indah-indah di kota Malang, Lawang dan Batu itu. Street-streetnya ramai dan ribut, tram bersilang siur, kenderaan memekakkan telinga. Kali Mas mengalir dengan kotornya, laksana Kali Tjiliwung di Betawi. Kali Tjiliwung di kota Betawi Lama dan Kali Mas di Surabaya, meskipun bagi sesetengah orang disebut suatu cacat yang tidak dapat dihindarkan dari kedua-dua kota itu, tetapi bagi sesetengah ahli fikir, kedua-duanya terpandang ciptaan alam yang tidak boleh dipandang murah harganya.

Pada kali-kali itulah nyata terbentang bahawa manusia tidak berdaya untuk menyembunyikan aib dan cela masyarakat. Di pinggir kali itu lalu dengan cepatnya auto yang mahal, sedang beberapa orang yang tidak tentu rumah tangganya, mandi di bawah dengan tidak memakai kain sehelai kain benang jua. Beberapa perempuan melintas di atas jambatan dengan pakainnya yang indah, di bawah beberapa perempuan lagi sedang menyudahkan kain cucian yang dicucinya dengan diupah. Ada pula manusia, yang lahir ke dunia dalam satu perahu kecil penjual atap di dalam kali itu. Setelah agak besar menjadi penolong ayahnya mengayuhkan perahu atapnya dan kelak setelah besar, dari sana pula mata pencahariannya, dan setelah tuanya di sana dia sakit. Setelah matinya di sana pula dia dimandikan dan dikapankan. Baharulah ditinggalkannya perahunya itu setelah teman-temannya menghantarkan ke kuburan.

Sebab itu bertambah ramai suatu kota, akan bertambah banyak terlintas hasil perjuangan masyarakat yang berjalan sebagai mesin. Mana yang tahan di bawahnya lalu dan mana yang lemah terlempar ke tepi.
***
Demikianlah Hamka menggambarkan kota Surabaya dalam bebuka novel Tuan Direktur. Sekali lagi, singkat saja, tetapi cukup memberikan gambaran umum tentang kondisi kota di masa itu. Saya pun jadi tergerak untuk kembali membuka kajian-kajian sejarah.

Meski terletak di tepian laut, Surabaya ternyata tidak memiliki pelabuhan modern hingga awal 1900-an. Dermaga di tepian Kali Mas memang menjadi pusat niaga yang ramai selama berbilang abad, berkah dari mulut sungai yang lebar dan alirannya yang tenang. Tetapi ini menjadi masalah bagi kapal-kapal besar: mereka tidak bisa menambatkan sauh karena airnya terlalu ceték. Sehingga yang terjadi adalah bongkar muat barang dilakukan di tengah lautan, kemudian dioper ke perahu-perahu kecil untuk dibawa ke dermaga. Proses semacam itu menjadi kurang efektif seiring dengan meningkatnya volume perputaran barang di akhir abad 19.

Dari sanalah muncul ide pembangunan pelabuhan di penghujung tahun 1890-an. Meski demikian pembangunan pelabuhan baru benar-benar terwujud pada tahun 1913, ada juga yang bilang 1916. Di bangun di sisi barat muara Kali Mas, pelabuhan ini dinamai Tanjung Pérak. Pertama kali beroperasi pada tahun 1920. Pada sekitar masa inilah Hamka mengunjungi Surabaya untuk pertama kalinya, dalam sebuah perjalanan satu tahun ke beberapa kota di Jawa.

Dimulainya pengoperasian Tanjung Pérak menjadi semacam penanda mulai meredupnya pamor Kali Mas sebagai pusat dagang. Perahu-perahu masih lalu lalang untuk pengangkutan. Tetapi kegiatan ekonomi mulai berpindah ke Pérak. Yang lantas membawa pelabuhan ini ke puncak jayanya pada dekade 1930-an.
Surabaya di masa lalu. Tanjung Perak (1920-an), Kali Mas (1935), dan trem yang membelah kota (1936) | © KITLV
Dengan posisinya sebagai simpul niaga, Surabaya menjadi kota berbagai bangsa. Di antaranya yang disebutkan oleh Hamka adalah Tionghoa dan Arab. Dahulu, kawasan tinggal mereka berada di sebelah timur Kali Mas, ada kampungnya sendiri-sendiri. Orang-orang pribumi berdiam di sekitar permukiman mereka juga. Sementara orang-orang kulit putih bermukim di sebelah barat sungai.

Orang-orang dari wilayah sekitar pun berdatangan mencari penghidupan. Petani-petani di daerah pinggiran misalnya, tidak lagi dapat bercocok tanam karena lahan-lahan partikelir dijadikan kawasan industri. Ke Surabayalah mereka pergi. Menggantungkan nasib dengan menjadi pekerja rumah tangga. Juga di sektor jasa lainnya, mulai dari jasa pengamanan hingga buruh pelabuhan. Pada titik inilah pengoperasian Tanjung Pérak dan benang kusut kemiskinan bertemu. Dipermudah dengan dikembangkannya moda transportasi massal, salah satunya trem. Buruh-buruh yang tinggal di pinggiran menjadi lebih mudah untuk mencapai tempat kerjanya.

Sementara, kelas-kelas yang lebih sengsara harus berdesak-desakan hidup di gang-gang. Atau yang lebih sengsara lagi ya seperti yang digambarkan Hamka: bertahan di pinggir-pinggir kali, atau di atas perahu-perahu rombeng.

Apakabar Surabaya hari ini?

Indonesian Day PPI-IIUM, Mengingat Ulang Arti Merdeka

| September 19, 2015 | Sunting
"Indonesia sudah merdeka sejak 70 tahun lalu. Tetapi setelah hengkangnya bangsa-bangsa yang menjajah kita, penjajahan terus saja eksis dalam bentuk-bentuk baru. Penjajahan dalam konteks inilah yang akan menjadi tantangan kita ke depan.", ungkap Prof. Erry Yulian Triblas Adesta dalam upacara bendera yang membuka rangkaian cara Indonesian Day PPI-IIUM pagi tadi (19/9). Melalui kegiatan ini diharapkan hubungan masyarakat Indonesia di IIUM semakin rapat. Dan mampu mensinergikan karya bersama bersama untuk Indonesia. Turut hadir pagi tadi adalah para mahasiswa, dosen, alumni, hingga pekerja-pekerja Indonesia di IIUM.
Prof. Erry Yulian Triblas Adesta menyampaikan amanat upacara
Dalam amanat upacaranya Prof. Erry juga menegaskan pentingnya untuk mengingat ulang arti merdeka. Saat ini berbagai masalah mencengkeram negara kita, mulai dari korupsi, rendahnya mutu pendidikan, hingga kemiskinan. Padahal, bila kita mengingat ulang arti kemerdekaan Indonesia, ada janji untuk mensejahterakan rakyat, mencerdaskan bangsa, dan juga perdamaian serta keadilan sosial. Sudah benar merdekakah kita?

Retoris Prof. Erry tersebut lantas seakan diamini oleh Zamila, seorang landscaper asal Bangkalan, Madura. "Merdeka? Ya senang, ya sedih Dik. Senang karena kita hidup di (alam) merdeka. Bisa bekerja. Bisa nyekolahin anak. Tetapi Akak juga sedih kalau ingat saudara di kampung. Nak buat kerja susah. Anak-anak berhenti sekolah. Sampai airpun kadang  kena beli!"

Lantas apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara Indonesia? Juga sebagai diaspora Indonesia? Pertanyaan ini yang akan dicoba untuk dijawab malam ini oleh Dr. Ali Sophian pada sesi kedua Indonesian Day PPI-IIUM. Dimulai pukul 19:30 di Experimental Hall IIUM.

Jangan lupa datang :)

The Fantastic Flying Books of Mr. Morris Lessmore

| September 17, 2015 | Sunting
Entah dari mana saya mengetahui film ini. Tetiba saja unduhannya sudah ada dalam komputer jinjing saya. Memenangkan Oscar untuk kategori animasi pendek, film ini berkisah tentang petualangan Morris Lessmore disebuah kota mati pasca dihantam badai. Morris seolah menghidupkan kembali kota mati ini setelah secara tidak sengaja menjadi tuan sebuah perpustakaan yang berisi buku-buku magi yang bisa terbang.


Menonton ulang film pendek ini saya teringat pada tulisan mas Bre Redana dalam kolomnya di Kompas Minggu, 3 Mei 2015.  Judulnya Kenangan Membaca, Kenangan Berpikir. Berikut saya tulis ulang renungan yang sangat dalam ini. 

Beberapa kali menerima undangan menjadi pembicara dalam kegiatan yang dimaksudkan untuk menggalakkan minat membaca, termasuk kalau tak salah minggu depan di Bandung, saya justru berfirasat: jangan-jangan membaca (buku) akan segera menjadi masa lalu kita? Mengingat adanya kaitan penemuan huruf, bahasa, tulisan, buku, dan memori dalam proses evolusi manusia selama berabad-abad, dengan berlalunya kebudayaan membaca, adakah akan berlalu pula kebiasaan berpikir? Membaca dan berpikir, menjadi tinggal kenangan?

Tanda-tandanya sudah tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang dengan sebutan Twitter, orang tak perlu berpikir keras sebelum mengutarakan sesuatu. Cukup secara spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak, bukan truth, kasunyatan, kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti angin. Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak. Mengutip sajak Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti jantung, di dada tak teraba.”

Dunia kini melulu dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja, kerja. Lha, berpikirnya mana....

Jadi ingat, kata-kata para editor koran di masa lalu. Kepada reporter, mereka mengingatkan: ketika kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah jadi.

Maksudnya bukan kami disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang telah beres begitu sampai kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan, proses eksplorasi dan pencarian berita adalah proses gagasan. Saat naik bus kota atau mengendarai Vespa pulang ke kantor usai tugas lapangan, hasil wawancara, pengamatan, dan lain-lain telah kami olah dan sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur tulisan telah terbentuk di otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan telah selesai. Kami cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet, lambat, tidak sebergegas sekarang.

Itu pula ironinya. Di zaman dengan teknologi informasi yang memungkinkan orang melakukan segala sesuatu serba cepat—bercinta pun dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak selesai. Bukan saja tidak selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai setelah terpublikasikan. Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi serius terhadap kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam dunia politik, tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan kekuasaan. Kajian politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu politik.

Terus terang, dengan surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu melihat hal-hal yang bakal hilang, belum menemukan apa yang bakal menjadi gantinya. Proses membaca buku berbeda dengan proses membaca di layar laptop atau berbagai perangkat digital canggih sekarang. Membaca melalui layar komputer, istilahnya hiperteks, berbeda prosesnya di otak dibanding dengan membaca buku, dalam hal ini disebut pembacaan secara linear.

Pada pembacaan hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke satu hal. Belum lagi kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik tubuh. Dalam pembacaan dengan teknologi digital, sistem sensor dan kognitif kita berubah karena stimulus yang bersifat repetitif, intensif, interaktif, dan adiktif (membuat kecanduan). Lihat sendiri: kalau pasangan Anda kecanduan peranti digital, susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.

Menggalakkan kebiasaan membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru. Dia bukan hanya upaya memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan otak. Kenangan Desember lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir tinggal kenangan, kita kehilangan diri....

Hari-hari Tanpa Matahari

| September 15, 2015 | Sunting
Jerebu menyelimuti IIUM
Jerebu menyelimuti kampus IIUM
Minggu-minggu belakangan ini cahaya matahari adalah barang mahal di Kuala Lumpur. Selasa (8/9) lalu cahaya matahari bahkan hampir tak terlihat sepanjang hari. Kabut asap begitu tebal, menutupi pandang. Dan kian hari kondisi rasanya kian memburuk. Hari ini sekolah-sekolah di 5 wilayah: Selangor, Kuala Lumpur, Putrajaya, Negeri Sembilan, dan Malaka diliburkan oleh Kementerian Pendidikan Malaysia. Di kampus saya, IIUM, otoritas kampus juga mengumumkan peniadaan kelas untuk hari ini dan esok, 15-16 September.

Hari ini keadaan sedikit lebih terang sebenarnya. Tetapi mata saya terasa lebih pedih dari hari-hari sebelumnya. Sehingga sepanjang pagi tadi saya harus lebih banyak menyipitkan mata.

Kabut asap seolah sudah menjadi masalah tahunan, paling tidak, di tiga negara bertetangga: Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Sebab utamanya adalah praktik pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Pembakaran hutan biasanya dilakukan untuk membuka lahan perkebunan. Asap menjadi tak terkendali karena pada musim kering seperti sekarang ini, tanah gambut yang memang mendominasi kedua pulau besar tersebut menjadi mudah terbakar. Angin lantas menyebarkan kabut asap tersebut, melintasi batas negara dan wilayah.

Singapura, negara tanpa hutan yang setiap tahunnya terkena imbas, memulai inisiatif pencegahan dan penindakan bencana kabut asap lintas negara dua tahun lalu. Sistem yang diusulkan Singapura akan menggunakan data satelit dan peta konsesi hutan untuk mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan. Data-data ini juga akan digunakan dalam pengusutan yang menuntut mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan.

Sayangnya Indonesia dan Malaysia, dua negara penghasil minyak sawit terbesar dunia, masih enggan memberi akses kepada peta konsesi hutan karena ini berkaitan dengan bisnis besar.

Hujan Mengingatkanku Padamu

| September 07, 2015 | Sunting
Hujan
Hujan dari jendela kamarku
Hujan turun begitu deras petang tadi. Bulir-bulir airnya yang mengenai kaca jendela terdengar seperti suara batu kerikil yang dilemparkan oleh anak-anak tetangga suatu ketika dulu. Anak-anak yang selalu membuatmu terlihat begitu jengkel, serta merta bangkit dari duduk, bergegas ke arah jendela.

Mukamu tak terlukiskan lagi seramnya. Tetapi, begitu kau buka tirai dan melihat anak-anak itu memasang muka memelas, jangankan secuil kata kasar, mukamu pun seketika berseri. Lalu membiarkan mereka pergi.

Kau bilang, suara air hujan yang mengetuk-ngetuk genting mengingatkanmu pada masa perang. Umurmu baru menginjak belasan ketika pesawat sekutu menghujani Yogya dengan peluru, Februari 1949. Oleh bapakmu, kamu beserta Ibu dan saudara-saudaramu disembunyikan di dalam galian lubang di bawah dipan. Bapakmu berpesan agar kalian tidak bersuara, menunggu kekacauan mereda. Baru setelah itu sekeluarga akan mengungsi ke Delanggu, ke rumah simbahmu.

Tetapi janji Bapakmu itu tak pernah terjadi betul. Begitu bukan? Tubuhnya malah ditemukan tanpa nyawa, dengan bekas peluru jelas terlihat di dada dan perutnya.

"Bapakku itu pejuang. Ibuku bojo pejuang. Aku anak pejuang!" ujarmu lirih.

Dan karena itulah, ketukan-ketukan hujan akan mengingatkanmu pada bapakmu. Aku begitu hafal bagaimana kau akan membuka laci lemari kamar. Mengambil album foto bersampul biru untuk kemudian memandangi foto pertama di album itu. Gambar hitam putih seorang lelaki muda dengan setelan lengkap jas, rompi, kemeja dan dasi. Rambutnya tersisir klimis. Kacamata berbentuk bulat telur terpasang rapi. Posisi duduknya sedikit menyamping sehingga matanya sama sekali tak melihat ke arah kamera.
Lelaki di halaman pertama albummu
Lelaki di halaman pertama albummu
Aku selalu berpikir itu adalah gambar bapakmu. Ganteng dan terlihat mewah untuk ukuran anak seorang carik desa. Walau kemudian menjadi sulit untuk mencari kemiripan lelaki itu denganmu. Kecuali tentu saja hidung kalian yang sama-sama mekar.

"Dia ini bukan bapakku. Fotonya aku dapat dari pensiunan pegawai pos. Tetapi kurang lebih seperti inilah bapak. Memang nggantheng. Dia selalu bilang kalau ibuku itu banyak yang naksir. Tapi cuma bapak yang dipilih," katamu suatu ketika. Aku tentu saja kaget.

Dan seketika itulah kau akan bercerita tentang kehidupan keluarga sepeninggal bapakmu. Ibumu membawamu dan adikmu pulang ke Wonosari, ke rumah orang tuanya. Sementara dua saudaramu yang lebih tua dititipkan ke Delanggu.

Begitu situasi mulai membaik, ibumu menjual giwangnya untuk dijadikan modal berjualan di pasar. Walaupun situasi sudah lebih aman, tetapi pangan masih susah. Ia berjualan aking dan gaplek karena orang tak sanggup membeli beras. Dari situlah kau dan keluargamu lantas bisa menyambung hidup.

Belasan tahun berjualan di pasar itu, usaha ibumu kian berkembang. Namun, dari sana jugalah kepahitan hidupmu bersumber. "Begitulah hidup. Selalu saja ada yang menaruh benci dan iri pada jerih payah orang lain, méri. Méri itu memang penyakit." katamu.

Ketika peristiwa '65 meletus, ibumu turut diciduk aparat. Seseorang, yang kemudian diketahui sesama pedagang di pasar, mengarang laporan: ibumu menyumbang bahan makanan untuk kegiatan orang-orang PKI.

"Aku pulang ke rumah selang tiga atau empat hari. Aku sudah jadi perawat di Bethesda. Jadi ya walau sepeninggal bapak kami memang kéré, tapi kami tetap sekolah. Ibu yang mati-matian! Makanya begitu kami ada gaji, sedikit akan dikirim ke rumah. Terserah ibu untuk apa. Tapi semua enték diuntal sama itu orang-orang nggragas. Rumah itu sudah tidak rupa rumah. Berantakan. Barang-barang yang ada harganya hilang." jelasmu.

Kamu lantas akan menambahkan apa yang dikisahkan oleh sanak tetangga. Bahwa sebenarnya ada orang yang datang ke rumahmu beberapa malam sebelum penangkapan. Mereka menawarkan perlindungan asal dibolehkan 'bermalam'. Ibumu yang merasa tidak menyimpan salah apapun mengusir mereka dengan membawa antan beras, haha. Yah, kamu selalu menceritakan pengusiran ini dengan sangat bangga.

Beberapa hari kemudian, orang-orang itu datang lagi. Tepat setelah maghrib. Kali ini meminta ibumu menjerang air, membuat minum. Baju mereka hitam-hitam. Semakin malam jumlah mereka bertambah. Sebelum kemudian pergi begitu subuh menjelang. Ibumu turut dibawa.

Orang-orang mengingat hari itu karena sedang hari pasaran. Truk-truk yang berlarian awalnya dikira milik pedagang-pedagang dari jauh, tetapi ternyata membawa puluhan orang dari berbagai desa. Dan rumahmu adalah satu dari sekian titik kumpul. Seorang kerabatmu juga bersaksi bukan, bahwa malam itu negosiasi antara ibumu dan orang-orang itu kembali terjadi, tentang bolehkah mereka 'bermalam'. Ibumu teguh menolak.

Mukamu akan sembab kalau sudah sampai pada bagian ini. Dia memang tak lama ditahan. Pertama dikumpulkan di Kodim Wonosari. Lalu dibawa ke Wirogunan, sebelum dipindah sebentar ke Kotagede. Semuanya tak lebih dari dua tahun. Tetapi ia keluar penjara dengan kondisi ringkih. Sakit-sakitan.

"Selama Ibu ditahan aku berkali-kali hendak menjenguk. Tetapi tidak pernah ketemu. Ada malah aku ketemu mbakyu adhi dari Wonosobo yang sudah pergi ke Kendal, Semarang, Ambarawa, Magelang, sampai Purworejo untuk mencari orang tuanya, tetapi tidak ada."

Pembebasan Ibumu, sebagaimana penangkapannya, serasa petir di tengah terang. Keluarga besarmu padahal diam-diam sudah mempersiapkan berbagai uba rampe kalau sewaktu-waktu Ibumu disudahi.

Sanak saudara di pinggir-pinggir Wonosari waktu itu sering mengabari: banyak pasar di daerah itu kerinan karena pedagang tidak boleh melewati jalur-jalur tertentu selama para tentara sedang menjalankan tugas pembasmian. Sehingga keluargamu sudah siap apabila Ibumu turut dalam rombongan yang dibawa truk ke bukit-bukit gelap itu, sebelum kemudian disiksa untuk kali terakhir, dan diberikan pilihan terjun ke jurang dalam atau ditembak.

"Ditambah lagi, ada tetangga yang katanya melihat ada bola api terbang berputar-putar di atas wuwungan rumah kami. Itu tanda buruk."

Tetapi Ibumu malah pulang.

"Keluar dari penjara ibu tinggal di kontrakanku. Sempat pergi apel juga, tapi akhirnya mandek karena bola-bali opname. Terakhir ya September 1970 itu. Dokter-dokter gemati karena tahu dia ibuku. Seminggu dirawat lha kok tiba-tiba minta foto bapak." Setelah bagian ini kau akan berhenti lagi. Mengusap-usap foto lelaki di album itu.

Kalau kau terlalu lama diam, aku akan meneruskan kisah. Permintaan Ibumu itu pada intinya membuatmu sadar kalau bukan hanya harta benda berharga saja yang turut dimakan petugas. Tetapi mereka juga memakan kenangan, lewat album-album foto yang turut diangkut. Semua tanpa sisa.

"Tetapi gak mungkin juga kan aku bilang hilang semua ke Ibu? Makanya aku nyari foto yang mirip. Susah. Tapi ya mungkin sudah nasibnya Ibu, lha kok nemu satu dari pensiunan pegawai pos."

Pertanyaanku selalu saja sama begitu kau menyebut itu. "Lha ibumu apa sudah lupa wajah suaminya sendiri?"

"Ya sadar. Berkali-kali ia tanya kok bapak terlihat luwih nggantheng. Tapi aku diam saja. Aku baru bilang setelah beliau séda tiga minggu kemudian. Aku bisikkan ke kupingnya: 'Bu, itu memang bukan bapak. Tapi aku ndedonga semoga bapak bener-bener jadi se-nggantheng itu kalau ketemu ibu di akhérat nanti.' Itu pas banget saat beliau dikafani."
***
Adakah bagian yang terlewat? Ya, tentu saja, seperti biasanya. Atau kamu memang enggan menceritakan bagian ini? Iya, bagian saat Ibumu di penjara. Pernah sekali kau ceritakan bahwa selama minggu-minggu awal ditahan, Ibumu hanya disuruh menghafalkan Pancasila. Juga ditanya partai apa yang ia pilih ketika pemilu. Begitu terus menerus.

Baru setelah itu muncul cecaran tentang makani wong-wong komunis, memberi makan orang komunis. Ibumu tidak pernah mengaku tentu saja, karena memang tidak merasa melakukannya. Dan kalau sudah begitu, pemeriksanya akan mulai menariki pakaian Ibumu, satu demi satu hingga ia menangis dan pingsan.

"Mungkin mereka letih menanyai Ibu. Ada ratusan orang yang harus mereka tanyai. Sementara Ibuku teguh dengan tidak dan tangis. Pas tahu itu, jujur aku tambah marah, benci, banget. Tetapi bisa bertemu dengan Ibu lagi saja aku harusnya bersyukur. Banyak yang tidak tahu kabar berita orang tuanya setelah diambil. Kalau ingat itu, Gusti Allah tu baik banget ya sama aku."
***
Hujan-hujan seperti ini mengingatkanku padamu. Aku rindu pada cerita-ceritamu di waktu hujan. Cerita yang kurang lebih sama. Hujan terasa begitu sepi tanpamu, tanpa cerita-ceritamu. Apa di sana kau ketemu bapak ibumu? Apa di sana juga ada hujan? Kalau iya, pada siapa kau bercerita? Apa ada yang mendengar cerita-ceritamu?

Catatan: Tulisan ini diperbarui pada 25 Mei 2016 dan 13 Februari 2017 dengan menyertakan beberapa serpihan cerita. Juga mengoreksi bilangan tahun dan jumlah anak. Kecuali rincian potret lelaki yang digunakan, kisah yang diceritakan dalam tulisan ini adalah kisah benar. Atau setidaknya saya yakini demikian. Ibu dari seorang kawan menceritakannya pada pertengahan tahun 2012 dengan janji saya tidak akan pernah menyebut nama orang-orang yang terlibat. Tulisan ini saya selesaikan dengan mengikut janji tersebut.

HAMKA Milik Malaysia

| September 04, 2015 | Sunting
Buku-buku HAMKA di toko buku Kinokuniya KLCC, Kuala Lumpur, Malaysia

Seorang kawan, orang Malaysia, mencak-mencak setelah berkesempatan menonton film Di Bawah Lindungan Ka'bah besutan sutradara Hanny R. Saputra. Ia menganggap cerita yang disuguhkan dalam film melencong jauh dari novelnya, tulisan HAMKA. "Saya hafal benar detail cerita Allahyarham HAMKA itu. Ianya bukan semata cerita cinta anak-anak muda seperti dalam film itu. Yang lagi penting adalah cerita kecintaan seorang hamba pada Allah Ta'ala."

Rasanya memang sudah jamak diketahui bahwa karya-karya HAMKA juga dibaca luas oleh masyarakat Malaysia. Dan kawan itu adalah salah satunya. Ia bahkan bercerita tentang masuknya buku-buku karya sastrawan asal tepian Maninjau tersebut sebagai bacaan wajib sekolah menengah pada era 70 dan 80-an. Tak hanya itu, cerita-cerita gubahan HAMKA yang diadaptasi menjadi sandiwara radio pun didengarkan secara luas di negara ini. Abang seorang kawan yang lain pernah bercerita bahwa rekaman drama radio tersebut sampai diperdengarkan di kelas-kelas untuk kemudian dijadikan bahan pertanyaan — sesuatu yang rasanya tak dilakukan di Indonesia sekalipun.

Presiden kampus saya yang juga mantan Menteri Informasi, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia, Dr. Rais Yatim dengan bangga menyebut HAMKA adalah penjalin hubungan Indonesia dan Malaysia. Termasuk ketika politik konfrontasi dilancarkan oleh Bung Karno pada tahun 1963. HAMKA bahkan sampai dipenjara karena dituduh mengadakan rapat gelap merencanakan pembunuhan presiden — konon atas biaya Malaysia.

Kuatnya pengaruh sang Buya di negeri ini juga dapat dilihat dari anugerah Ijazah Kehormat Doktor Persuratan dari Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974. Pada kesempatan inilah Perdana Menteri Malaysia kala itu, Tun Abdul Razak, mengatakan, "Hamka bukan sahaja milik bangsa Indonesia, tetapi kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara."

Dengan persinggungan yang sudah demikian panjang, sebenarnya tak heran bila sangat mudah menemukan buku-buku HAMKA di toko-toko buku di Malaysia hingga hari-hari ini. Bahkan empat buku HAMKA — Tafsir Al-Azhar Jilid 1, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Tuan Direktur, Merantau ke Deli, dan Di Bawah Lindungan Ka'bah, diterbitkan ulang secara berkala oleh Penerbit PTS sejak bulan Juli lalu.

Masyarakat Malaysia secara umum pun begitu menghormati peran dan kiprah HAMKA. Saya merasakan betapa mereka memiliki HAMKA. Selama 3 tahun di negeri ini, sudah tak berbilang lagi saya mendengar buah pikiran HAMKA disitir dalam khotbah-khotbah Jum'at, kelas-kelas, hingga percakapan sehari-hari.

Sebelum Penerbit PTS menerbitkan pun, buku-buku HAMKA sudah pernah diterbitkan oleh penerbit lain, Pustaka Dini. Dan, sekali lagi, dengan persinggungan yang sudah demikian panjang itu jadi hal biasa bukan? 

Namun, ceritanya jadi lain bila kemudian kita melihat bagaimana HAMKA tak lagi banyak dibaca di negerinya sendiri hari-hari ini. Pun di toko-toko buku, buku-buku HAMKA adalah barang langka.

Bulan Juli silam saya iseng mendatangi 4 toko buku besar di Jogja untuk mencari tahu apakah ada karya-karya beliau yang masih dijual. Di 3 buku sama sekali tidak ada. Sementara di katalog satu toko terlihat seri buku HAMKA terbitan Republika, tetapi petugas mengatakan itu pun sudah dikembalikan ke distributor. Aduh.

Saya tak patah arang. Saya coba untuk cek koleksi buku-buku HAMKA di perpustakaan 5 universitas di Jogja melalui laman Jogjalib. Hasilnya? Tidak ada satupun karya HAMKA yang tercatat di Perpustakaan UGM, UNY, UII, dan UIN Sunan Kalijaga. Menariknya yang tersedia malah puluhan judul buku dan skripsi yang membahas tentang HAMKA, baik pribadi ataupun karya-karyanya.

Saya jadi berpikir, jangan-jangan suatu hari nanti kita harus jauh-jauh ke Malaysia demi membaca karya-karya HAMKA? Dan di saat itulah orang-orang kita akan berteriak, "Malaysia nge-klaim HAMKA!"

*) berlanjut

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine