Dari Alcatraz ke Pondok Bambu

| Januari 28, 2010 | Sunting
Penjara mewah Artalyta - Reuters
Nama Alcatraz tentu sudah tak asing lagi di telinga kita. Pulau kecil yang ditemukan oleh penjelajah Spanyol, Juan Manuel de Ayala, pada tahun 1775 ini sudah kondang ke mana-mana. Tetapi bukannya karena pulau seluas 12 hektare itu banyak ditinggali burung alcatraces (pelikan) atau suburnya populasi hiu di sekelilingnya, tapi karena sebuah penjara. Yah, karena sebuah penjara. Selain itu? Tak ada. Tak ada yang istimewa dengan pulau di Teluk San Francisco ini. Tak ada sumber air bersih, tanahnya gersang tak banyak ditumbuhi rumput. Karena itu, baik pemerintah Spanyol atau Meksiko sebagai penguasa waktu itu tak sudi memanfaatkan pulau nan tandus ini.

Namun ketika penguasaan beralih ke tangan Amerika Serikat ceritanya jadi lain. Tanah mulai diangkut ke pulau ini dan sayur-sayuran pun ditanam. Di tahun 1861 Alcatraz menjadi tempat tahanan Perang Saudara dan ditutup tahun 1934.

Tapi, pada 1 Juli di tahun yang sama Departemen Kehakiman AS memfungsikan kembali Alcatraz sebagai penjara federal. Sistem keamananpun dibuat super ketat. Sosialisasi di antara tahanan diatur agar menjadi seminim mungkin. Hanya ada satu tahanan dalam tiap sel. Uniknya, dua kali sehari tahanan mandi dengan air panas. Eittss, jangan terkagum-kagum dulu dengan pelayanan ini karena sebenarnya adalah taktik agar tahanan tidak bisa menyesuaikan diri dengan air laut yang beku jika berniat kabur. Tahun 1963 sejarah penjara ini berakhir ketika Jaksa Agung Robert Kennedy memutuskan menutupnya dan menjadikan Alcatraz sebagai sarana rekreasi.

Lain AS lain Indonesia. Lihat saja Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Meski kalah kondang, untuk ukuran kita nama penjara ini cukup menyeramkan karena penghuninya adalah narapidana pilihan. Tapi, bagi yang pernah merasakan hidup di balik temboknya, tidak begitu. Aktivitas yang biasa dilakukan orang di luar tembok penjara juga bisa dilakukan di sini.

Main gaple, makan enak, mengisap ganja, hingga pacaran lewat telepon seluler bebas saja. Tidak cuma itu, peredaran narkoba ternyata lebih lancar jika dikendalikan dari dalam sel penjara. Kalau bandar kakap selalu dikejar-kejar polisi saat bertransaksi di hotel-hotel, di dalam penjara dengan sedikit uang dengar, tak ada yang mengusik mereka. Lain lagi di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Beda penghuni beda pula gayanya. Karena rutan ini dihuni narapidana wanita, polah mereka lebih feminin. Sebagian tetap bertelepon ria, tapi bukan untuk mengendalikan bisnis narkoba, melainkan untuk mengendalikan perusahaan di luar penjara.

Tak sampai di situ, mereka juga lebih gaya. Lihat saja isi kamar sebagian narapidana. Sesuai kodratnya, dinding sel pun terlihat cerah dengan balutan berbagai motif warna. Alat kecantikan hingga peralatan serta pancuran mandi mengisi sel. Ada pula penyejuk ruangan serta lemari pendingin di sudut kamar. Dan, jangan kaget, perangkat karaoke untuk mengusir kejenuhan juga tak tabu dihadirkan.

Pemandangan itulah yang membuat kaget empat anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, akhir pekan lalu, saat berkunjung ke Rutan Pondok Bambu. Alih-alih akan melihat penderitaan kaum terpenjara, narapida kasus suap Artalyta Suryani ternyata tengah mengikuti perawatan kecantikan. Begitu juga dengan sel yang dihuni Artalyta, ruangan 6×6 meter jelas tidak pas disebut ruang tahanan, apalagi dilengkapi meja kantor, kursi sofa dan ranjang empuk.

Sejatinya, penjara adalah tempat dimana hak-hak dasar seseorang memang dibatasi sebagai konsekuensi dari perbuatannya. Pembatasan itu bisa dalam bentuk ruang gerak, aktivitas, dan berekspresi. Jangan harap bisa keluar dari sel seenaknya atau minum kopi sambil nonton siaran langsung sepakbola dari layar televisi hingga larut malam. Begitu juga dalam hal berekspresi, cukup dalam mimpi membayangkan punya telepon genggam seperti Blackberry.

Tapi, itu semua adalah cerita tentang bagaimana seharusnya, bukan apa yang terjadi di alam nyata. Pada kenyataannya, penjara kita hanya memindahkan tempat tinggal seseorang dari rumahnya ke tempat bernama penjara. Sedangkan soal kebutuhan dan fasilitas bisa diatur. Bagi yang kaya tetap saja bergaya ketika di dalam sel. Sebaliknya, kaum papa yang terjerumus di penjara harus tidur berdempetan.

Itulah cermin keadilan di negeri ini. Tidak hanya di luar keadilan terasa mahal, sesudah vonis jatuh pun keadilan tetap ada harganya. Ketika mental dan perilaku bobrok aparat bertemu dengan godaan materi dari pelaku kriminal, maka menyatulah kedua kebutuhan itu sehingga membentuk wajah penjara kita seperti sekarang ini.

Kita jelas tidak membahas Rutan Pondok Bambu semata. Wajah penjara di Jakarta Timur itu hanya secuil contoh dari wajah penjara lainnya di Tanah Air. Lantas, kemana yang namanya pengawasan, penegakan hukum, dan pemasyarakatan yang didengung-dengungkan itu? Atau, membiarkan para narapida berbuat semaunya sama dengan konsep memasyarakatkan itu? Entahlah, yang jelas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiyono masih sibuk membantah kabar kiri dan kanan. Patrialis berdalih tak melihat adanya kamar istimewa di Rutan Pondok Bambu saat dia berkunjung. Sedangkan Untung tegas membantah adanya kamar mewah milik beberapa terpidana, seolah gambar yang berulang-ulang ditayangkan televisi adalah rekayasa.

Padahal, sudah dipahami dan diyakini kalau biang dari semua kemunafikan penjara kita adalah sistem pengawasan yang tidak jalan. Pengawasan terhadap aparat dan pengawasan terhadap siklus kehidupan di dalamnya. Dengar saja ucapan Patrialis tentang tidak sebandingnya jumlah tahanan dengan jumlah sel tanpa menyoal seorang Artalyta yang menghuni ruangan luas sendirian. Jadi, hanya akan menghabiskan energi jika Patrialis dan Untung sibuk membantah tanpa ada niat untuk berubah. Penjara mestinya tetaplah menjadi penjara. Kebijakan menjadikan penjara tidak sekadar sarana penghukuman, namun juga tempat pembinaan dengan memperhalus namanya menjadi lembaga pemasyarakatan, ternyata telah membuat penjara kita lemah, banci, sekaligus bebas layaknya taman bermain.

Jika tahanan merasa betah, tidak kapok, malah bertambah “ilmu”-nya, jelas penjara telah gagal menjalankan misi yang diemban. Kegagalan itu bukan karena ruangan penjara yang sempit, tapi karena kemunafikan, tidak mengakui kalau kesalahan ada pada orangnya, bukan pada sarananya. Itu yang seharusnya dijadikan tolok ukur untuk berubah oleh Patrialis dan Untung.

Jangan-jangan, langkah pemerintah yang akan merenovasi seluruh penjara (Patrialis menyebutkan bakal mengucurkan dana senilai Rp 1 triliun) akan membuat mereka lebih betah. Kalau itu yang terjadi, sekalian saja tulis ucapan “Selamat Datang” besar-besar di pintu masuk penjara. Tak lupa, tempelkan pula tarif kamar sesuai ukuran dan fasilitasnya, agar calon penghuni paham jumlah uang yang harus mereka bawa ke “hotel” yang tidak prodeo itu.

catatan lain seorang wartawan liputan enam

Bonek dan Fanatisme 'Ugal-ugalan'

| Januari 28, 2010 | Sunting

Bonek Persebaya, bidikan kamera Fajjar Nuggraha

Sungguh murahkah harga nyawa di republik ini? Seorang Bonek, sebutan umum pendukung Persebaya, bernama Ari Sulistyo (18) meninggal usai menyaksikan big match Persib vs Persebaya di Stadion Si Jalak Harupat Bandung. Ari tergencet dalam gerbong kereta api yang mestinya mengantar murid SMK ini pulang ke Surabaya.

Sedihnya, Ari bukan satu-satunya korban dalam laga kali ini. Seorang remaja lain yang belum dikenali identitasnya juga meninggal dalam rangkaian kereta yang ditumpangi Ari. Sementara jelang duel klasik ini, seorang Bonek lain bernama Ahmad Fathoni (21) meninggal terjatuh dari atap kereta di Nganjuk. Ini belum termasuk korban luka yang berbilang jumlahnya.

Selain korban jiwa, kerugian material juga berderet. Sebutlah misal PT Kereta Api yang memperkirakan kerugian hingga 1 miliar. Selain rusaknya fasilitas kereta, mereka juga kehilangan pemasukan karena hampir semua rombongan suporter dari Surabaya tidak membeli tiket.

Inilah potret sepak bola ini, kalau bukan gambar buram bangsa Indonesia. Fanatisme ugal-ugalan–meminjam istilah ekonom Rizal Ramli–yang tak hanya membahayakan diri sendiri, namun juga komunitas tempat para subyek berdiam serta masyarakat luas.

Kata fanatisme saya gandengkan dengan kata ugal-ugalan bukan tanpa maksud. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2000), fanatisme diartikan sebagai keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dst). Subyek yang terjebak fanatisme mengekspresikan keyakinan atau kegemarannya atas sesuatu secara berlebihan–kadang membabi buta–sehingga berakibat kuarang baik, bahkan menimbulkan perseteruan dan konflik serius. Penganut agama yang fanatis misalnya kerap masuk perangkap absolutisme–tak menyisakan kebenaran bagi pihak lain. Fanatisme yang kelewat batas sering kali mengantarkan subyek menjadi fundamentalis.

Tentu saja ada pula energi positif yang bisa diraih dari berpikir dan bertindak fanatis. Subyek dapat menenggak kesenangan saat jadi fanatis. Misalnya, penggemar fanatik grup Slank rela membentuk komunitas, lengkap dengan pengurus dan benderanya setiap distrik, meski tanpa bayaran. Subyek melebur dalam komunitas, menerbitkan jejaring sosial dan ekonomi dan akhirnya membentuknya menjadi manusia utuh. Bagi Slank, fansnya yang fanatis adalah berkah melimpah yang mempertebal keyakinannya terus berkarya dan dengan begitu mengisi pundi-pundi grup band tersebut.

Dengan optik sama, Bonek sebetulnya aset bagi Persebaya–sebagaimana juga Viking (Persib), Jakmania (Persija) atau Aremania (Arema). Dari sisi itu eksistensi Bonek layak disyukuri–bukan hanya bagi bagi klub asal Surabaya itu, melainkan bagi eksistensi sepak bola Indonesia yang sekian tahun ini kering prestasi. Bisa dibayangkan pertandingan Liga Indonesia tanpa penonton yang berjubel. Mungkin tetap pertandingan sepak bola, tapi tanpa jiwa karena tak melibatkan publik sebagai penikmat olahraga tersebut.

Yang jadi soal, justru ketika fanatisme itu tidak terkelola. Yayasan Suporter Surabaya menyatakan Bonek yang berulah itu kerap kali bukan bagian dari perkumpulannya. Artinya mereka kumpulan individu (subyek) yang anonim, tak diwadahi dalam perkumpulan suporter. Berbekal uang pas-pasan, mereka bergabung dengan sesamanya dan lalu melebur menjadi kumpulan individu dalam jumlah massal. Ini yang terjadi ketika puluhan ribu Bonek ngluruk ke Bandung untuk mendukung tim kesayangannya bertanding. Alhasil, Bonek tanpa perkumpulan itu berulah di jalanan: mulai dari merampas makanan para pedagang hingga naik kereta api tanpa bekal tiket. Kisah pilu terjadi pada salah seorang yang tewas setelah jatuh dari atap kereta api. Bermodal Rp75 ribu, ia nekat ke Bandung bergabung dengan kawan-kawannya. Nahas, ia terpelanting dan jatuh dari kereta sehingga nyawa tak tertolong.

Inilah ironi subyek. Adalah maklum dalam kerumunan, subyek bisa terlempar jadi manusia anonim–tanpa identitas. Subyek itu melebur dalam kerumunan, sehingga tanpa sadar melakukan hal sama yang dilakukan subyek-subyek lain dalam kerumunan itu. Seorang diri manusia pastilah takut naik atap kereta api, apalagi jika harus menempuh ratusan kilometer Surabaya-Bandung. Namun, bersama individu lain dalam kerumunan, rasa takut itu akan lenyap. Subyek akan kehilangan rasa takut, ia tak peduli pada risiko. Sebaliknya dalam kerumunan, subyek bermetamorfosis jadi diri yang lain.

Itulah yang saya lihat mana kala menyaksikan Jakmania berjubel naik Metromini. Jika seluruh kursi dan ruang penumpang penuh, maka para Jakmania itu pun duduk di atap Metromini. Di jalanan menuju Lebak Bulus atau Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, mereka berjingkrak dan bernyanyi. Memang terselip masalah laten ekonomi di balik ekspresi kumpulan individu yang kini tak lagi memiliki rasa takut itu. Tapi jika saja rasionalitas masih bertahta pada kumpulan individu itu, ia akan berhitung dengan risiko.

Sungguh pun begitu. Marilah belajar dari masa silam. Saya masih ingat. Saat itu musim kompetisi perserikatan 1986/1987. Saya tinggal nun jauh dari Surabaya–kira-kira sejarak 200-an kilometer. Di Jember, mobilisasi yang dilakukan Jawa Pos [koran lokal paling berpengaruh di Surabaya dan Jawa Timur] untuk memompa semangat warga Jatim mendukung Persebaya yang lolos ke peringkat 6 Besar terasa sekali. Koran yang dibesarkan Dahlan Iskan ini menjadi semacam penyelenggara perjalanan bagi warga Jatim yang hendak menyaksikan Persebaya bertanding di Jakarta. Alhasil puluhan ribu warga Surabaya dan sejumlah kota ikut serta. Persebaya masuk final, tapi dibenamkan PSIS sehingga gagal membawa gelar juara ke Kota Pahlawan.

Pada musim berikutnya, Jawa Pos, tetap melakukan hal tersebut. Persebaya yang kala itu di bawah manajer M. Barmen, kini tak memberikan ampun pada PSIS untuk lolos ke 6 Besar di Senayan. Lewat sandiwara sepak bola gajah, Persebaya mengandaskan PSIS setelah secara suka rela dihujani 12 gol oleh Persipura. Persebaya pun terbang tinggi. Mereka menjemput gelar setelah membungkam tuan rumah Persija [3-1]. Mustaqim Cs meraih gelar itu berkat suntikan moril para pendukung fanatiknya, bukan bonek yang ugal-ugalan.

Jikalau kita sepakat “tak ada yang setara dengan nyawa”, maka mulai sekarang seluruh pihak harus mampu mengelola fanatisme itu biar tak menerbitkan anarki di jalanan. Bersama kita bisa!

dari sebuah catatan wartawan liputan enam

Sebatang Pensil

| Januari 21, 2010 | Sunting
Sebatang pensil HB
Anda pasti tahu dan mungkin masih memakai pensil kayu, meskipun ada juga pensil dari bahan plastik dan sebagainya. Nah, dalam tulisan di hari minggu ketiga bulan Januari ini, saya mencoba menuliskan sebuah filosofi hidup, belajar dari pensil kayu. Ada tiga hal menarik tentang pensil kayu. Apa sajakah itu? Pertama, jika pensil kayu itu hanya dibiarkan begitu saja tanpa dituntun dan digerakkan oleh sebuah tangan, tentu saja tidak ada gunanya. Kedua, pensil kayu akan selalu ditajamkan dari waktu-waktu, tentu saja ini menyakitkan, namun ini diperlukan agar pensil dapat menghasilkan kualitas terbaik. Ketiga, bagian yang paling penting dari pensil kayu itu adalah di dalamnya, yaitu isi pensil kayu itu.

Selanjutnya, filosofi hidup apa yang dapat kita pelajari dari pensil kayu?

Pertama, hidup kita perlu tuntunan dan bimbingan orang lain. Kita akan menjadi manusia egois jika mengandalkan kekuatan sendiri. Seperti seorang balita yang baru belajar bicara dan berjalan, maka tuntunan dan kesabaran dari ibunya sangat berarti. Di dalam hidup ini, siapakah yang mampu hidup sendiri dan mengatasi segala sesuatu tanpa bantuan dan campur tangan orang lain? Saya rasa tidak ada! Hidup kita digerakkan untuk sebuah tujuan, dan untuk mencapai tujuan itu, kita memerlukan andil Tuhan dan orang lain. Jika tujuan kita ingin sukses, maka kita harus membiarkan diri kita digerakkan oleh motivasi dari diri sendiri dan orang lain. Kata-kata yang memberi semangat dan mensugesti diri kita, bahwa saya bisa. Jika kita ingin bahagia, maka hidup kita harus digerakkan oleh kekuatan cinta dari orang-orang di sekitar kita. Jika kita ingin sebuah kedamaian, maka hidup kita harus digerakkan oleh doa dan kepasrahan menuju pusat kedamaian itu, yaitu Tuhan. Kita akan bermanfaat bagi hidup orang lain, jika ada yang menggerakkan kita, yaitu Tuhan dan orang-orang di sekitar kita.

Kedua, kualitas hidup bukan diukur dari berapa banyak masalah yang kita dapat, tetapi berapa banyak kita dapat keluar dari masalah-masalah itu dengan sebuah senyuman dan ucapan syukur. Hidup kita memang sama seperti pensil yang diraut dan ditajamkan. Sakit memang, tapi itulah proses yang Tuhan bentuk. Bagi manusia, mungkin masalah adalah beban hidup, tetapi bagi Tuhan, masalah adalah sebuah cobaan untuk menuju hidup yang lebih berkualitas. Kita minta agar lebih rendah hati, lebih bijaksana, lebih sabar, sukses dan sebagainya, maka apa yang kita minta itu terselip lewat setiap masalah yang kita hadapi. Kesabaran, kerendahan hati dan kebijaksanaan tidak datang dalam bentuk coklat, setelah anda makan, lalu tiba-tiba anda berubah. Semua hal itu adalah proses dalam hidup yang dibentuk dari kematangan dan kedewasaan kita dalam menghadapi sebuah masalah. Setiap manusia dirancang untuk menjadi manusia sukses, bukan manusia gagal. Tidak ada manusia bodoh di dunia ini, yang ada hanyalah manusia malas.

Ketiga, kualitas hidup yang terpancar di luar itu karena di dalamnya juga bagus, yaitu isi hati kita. Mungkin otak boleh berpikir, tangan boleh menggerakkan dan kaki boleh melangkah, tetapi dari hatilah segala sesuatu diputuskan. Kenapa kita merasa sakit hati ? Menangis karena sedih? Tertawa karena gembira? Itu karena kekuatan di dalam hati kita. Salah seorang sahabat saya yang menjadi dokter pernah berkata, segala obat dapat menyembuhkan, tetapi apa gunanya jika hati belum disembuhkan? Artinya, percuma minum obat tetapi masih menyimpan dendam, tidak mau mengampuni dan penolakkan untuk orang-orang yang mencintai kita? Di dalam hati, kita memerlukan dua pintu yang selalu terbuka, yaitu memberi dan menerima. Jika hanya satu pintu saja yang terbuka, kita akan menjadi manusia egois. Orang yang mempunyai kualitas hidup yang baik , juga memerlukan dua pintu di dalam hatinya, yaitu sabar dan mengasihi. Sabar menghadapai segala sesuatu dan memakai bahasa kasih dalam menghadapi segala sesuatu juga.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine