Tak Melulu Puisi: Bincangan Aan Mansyur & Wan Nor Azriq

| November 20, 2016 | Sunting
Aan Mansyur bersama Wan Nor Azriq di Kuala Lumpur Literary Festival 2016
Aan Mansyur membuka perbincangan sore itu di Kuala Lumpur Literary Festival 2016 dengan pandangannya perihal puisi yang begitu mendapatkan tempat di kalangan anak muda akhir-akhir ini. Menurutnya alasan utama di balik fenomena ini adalah karena mereka memang tidak sempat untuk membaca karya-karya yang lebih panjang semacam novel.

"Membaca puisi kita dapat memilih mana yang kita suka. Sementara membaca novel misalnya, harus tekun mengikuti alur cerita dari satu halaman ke halaman lain." ungkapnya. Tepat setelah paparan singkatnya tersebut suara si penyair terdengar serak, sebelum kemudian ia memegangi tenggorokannya. Penganjur acara tergopoh memberikannya air.

Penulis Wan Nor Azriq sigap menimpali dengan menyinggung faktor kedekatan penyair sekarang dengan khalayak yang membuat puisi mendapatkan pembaca yang lebih luas. Di masa lalu para penyair seolah hidup di dunia yang berbeda, sementara kini sudah biasa penyair berinteraksi dengan para penikmat karyanya. "Penyair sekarang sudah serupa selebritis."

Alasan lain lantas ditambahkan oleh Aan. Menurutnya puisi mudah untuk dikolaborasikan dengan karya seni lain dan tentu saja ini membuat puisi tidak lagi sekadar dibaca oleh penikmat puisi. Ketika kumpulan puisinya, Melihat Api Bekerja, diluncurkan semisal, Aan yakin bahwa pembaca awalnya sebagian besar bukanlah penyuka puisi, namun penikmat seni rupa. 

Pun masih segar dalam ingatan tentu saja ketika kemudian puisi-puisi Aan dibacakan oleh Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta 2Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.

"Sebagian dari kita cenderung mudah memasukkan diri ke dalam kotak-kotak, dan menganggap mereka yang berada di luar kotak itu sebagai orang lain. Ada kotak orang teater, orang fotografi, orang musik, dan seterusnya. Kotak-kotak ini yang ingin saya terabas. Saya ingin jadikan puisi sebagai jembatan yang memungkinkan orang-orang berbeda kotak ini melakukan kerja-kerja bersama." terang Aan.

Berpuisi, Berpikir

Puisi bagi Aan bukan sekadar urusan merangkai kata-kata indah, tetapi merupakan seni berpikir. Melihat Api Bekerja misalnya, akan selalu dipandang sebagai luahan hati yang patah. Aan pun tak menampik pandangan tersebut. Tetapi patah hati hanyalah permukaan terluarnya. Di dalamnya ia membungkus ruang permasalahan yang lebih dalam: keresahan dan kemarahannya atas bermacam problema kota tempat tinggalnya.

"Kata-kata (yang indah) hanyalah satu dari sekian siasat untuk supaya orang mau membaca pikiran saya." tandasnya.

Perantara Nilai

Azriq pun setuju bahwa bagian utama puisi adalah pesan dan nilai yang dikandungnya. Bahasa yang berbunga-bunga baginya bukanlah masalah selagi pesan puisi dapat tersampaikan dengan baik. Hanya saja, menurutnya, masih banyak penulis kini yang membiarkan keindahan bahasa itu layu, kata-kata dibiarkan mengalir begitu saja tanpa mampu meneruskan makna.

Gejala demikianlah yang menurut Azriq melahirkan pandangan miring bahwa karya penulis-penulis tertentu cenderung 'merusakkan bahasa'. Keberhasilan generasi awal penulis-penulis golongan ini telah dilihat sebagai formula sukses yang harus diikuti sepenuhnya. Padahal, rumus asas yang seharusnya diikuti adalah bagaimana para penulis tersebut mencipta ruang berkembang yang digunakan untuk menemukan jati dirinya, bukan sekadar masalah bahasa itu sendiri.

Festival Penulis Makassar: Mencipta ruang

Perbincangan petang itu dipandu oleh Anis A. Azam, sosok di balik Gadis Buku. Anis sempat berbagi pengalamannya berkunjung ke kota tempat mukim Aan, Makassar, untuk menghadiri Festival Penulis Makassar. Ia menyatakan kekagumannya terhadap kegiatan sastra tahunan tersebut karena mampu mengumpulkan berbagai kalangan, tak hanya mereka yang sudah dewasa usia, tetapi juga anak-anak kecil.

Terang saja Aan gembira mengetahui pandangan demikian yang khalayak rasakan. Salah satu tujuan utama penyelenggaraan kegiatan ini adalah untuk memperbarui memori kolektif terhadap kota. Ada budaya yang hendak diturunkan terhadap tunas-tunas muda kota: budaya sastra, budaya berpikir.

"Kita tidak bisa pungkiri bahwa dalam masyarakat kita saat ini sastra bukanlah milik semua orang. Usaha kami adalah usaha membentuk ingatan generasi di bawah kami bahwa mereka juga memiliki sastra. Kami ingin mencipta ruang, bukan sekadar menyelenggarakan acara." ujar Aan.

Bukan Sekadar Perekam

Menyambar pemikiran Aan, Azriq lantas berpanjang lebar tentang peran penyair (dan penulis). Baginya penyair tidak lagi hanya menjalankan fungsi merekam perubahan zaman. Penyair malah harus turut mencipta zaman.

Posisi penyair sudah bukan sekadar di ranah ekspresi personal, namun bagian dari konteks sosial yang lebih luas. Penyair seperti Wiji Thukul misalnya, mampu menjalankan fungsi tersebut dengan baik: puisinya merekam zaman, tetapi juga menggerakkan perubahan.

Sastra Malaysia

Malaysia, termasuk sastranya, bukanlah hal yang asing bagi Aan. Ia bercerita tentang masa kecilnya dulu yang banyak membaca buku-buku dari Malaysia koleksi kakeknya.

"Saya bahkan berpikir bahwa Pramoedya itu penulis Malaysia karena yang saya baca pertama adalah karya-karyanya yang sudah diterbitkan dalam bahasa Melayu."

Hingga kini ia masih membaca tulisan-tulisan penulis Malaysia. Di antara yang membekas adalah kumpulan puisi T. Alias Taib, Piramid (Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), yang dibelinya di sebuah toko buku bekas di Jakarta. Untuk generasi penulis yang lebih baru Aan mengakui banyak membaca puisi-puisi Karl Agan.

Buku menurut Aan Mansyur

Buku adalah media sosial. Ketika kita membaca buku, sebenarnya kita tengah bercakap-cakap. Kita tengah berpelukan. Tengah saling berbisik. Fungsi ini membuat 'sudah bukan zamannya lagi penulis mengurung diri di kamar gelap untuk kemudian berkhayal-khayal'.

Konsep buku sebagai media sosial jugalah yang lantas menjadi nafas perpustakaan yang Aan bangun di Makassar, Katakerja. Buku diposisikan bukan sekadar sebagai bahan bacaan, namun juga perekat dan pembuka dialog. Pemaknaan harafiah dari konsep tersebut, terang Aan, adalah tidak digunakannya sistem katalog umum. Buku-buku disusun bisa berdasarkan warna, abjad, dan lain sebagainya, sehingga pengunjung mau tidak mau harus bertanya untuk mendapatkan buku yang dicarinya.
***
Aan Mansyur menutup perjumpaan dengan membacakan beberapa puisi dari dua bukunya: Tidak Ada New York Hari Ini dan Melihat Api Bekerja. "Saya sadar bahwa Tidak Ada New York Hari Ini adalah Rangga, sehingga saya tidak masalah kalau teman-teman ingin menutup mata selagi mendengarkan bacaan puisi saya." Khalayak terbahak. Aan membaca puisi-puisinya dengan hangat. Memeluk pendengarnya di tengah hujan yang tercurah deras.

1 komentar:

  1. Nota yang sangat kemas Tuan. Apakah Tuan ada rakaman pembacaan puisi Aan? Terima kasih.

    BalasHapus

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine