Empat Sajak Sapardi

| Desember 07, 2008 | Sunting
Sapardi, Februari lalu. Foto milik Gieb

Layang-layang

Layang-layang barulah layang-layang jika ada angin memainkannya. Sementara terikat pada benang panjang, ia tak boleh diam — menggeleng ke kiri ke kanan, menukik, menyambar, atau menghindar dari layang-layang lain. Sejak membuatnya dari kertas tipis dan potongan bambu, anak-anak itu telah menjanjikan pertemuannya dengan angin.

“Kita akan panggil angin Barat, bukan badai atau petir. Kita akan minta kambing mengembik, kuda meringkik, dan sapi melenguh agar angin meniupkan gerak-gerikmu, mengatur tegang-kendurnya benang itu.” Sejak itu ia tak habis-habisnya mengagumi angin, terutama ketika siang melandai dan aroma sore tercium di atas kota kecil itu.

Dari angkasa disaksikannya kelak-kelok anak sungai, pohon-pohon jambu, asam jawa, bunga sepatu, lamtara, gang-gang kecil, orang-orang menimba di sumur tua, dan satu-dua sepeda melintas di jalan raya.

Ia suka gemas pada angin. Ia telah menghayati sentuhan, terpaan, dan bantingannya; mungkin itu tanda bahwa ia telah mencintainya. Ia barulah layang-layang jika melayang, meski tak berhak membayangkan wajah angin.

Iklan

Ia penggemar berat iklan. “Iklan itu sebenar-benar hiburan,” kata lelaki itu. “Siaran berita dan cerita itu sekedar selingan.” Ia tahan seharian di depan televisi. Istrinya suka menyediakan kopi dan kadang-kadang kacang atau kentang goreng untuk menemaninya mengunyah iklan.

Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika ia menirukan lagu iklan supermi — kepalanya bergoyang-goyang dan matanya berbinar-binar. Anak lelakinya sering memandangnya curiga jika ia tertawa melihat badut itu mengiklankan sepatu sandal — kakinya digerak-gerakkannya ke kanan-kiri. Dan istrinya suka tidak paham jika ia mendadak terbahak-bahak ketika menyaksikan iklan tentang kepedulian sosial itu — dua tangannya terkepal dan dihentak-hentakkannya.

Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon yang terakhir diucapkannya sebelum “Allahuakbar” adalah “Hidup Iklan!” Sejak itu istrinya gemar duduk di depan televisi, bersama anak-anaknya, menebak-nebak iklan mana gerangan yang menurut dokter itu telah menyebabkannya begitu bersemangat sehingga jantungnya mendadak berhenti.

(Hingga teringat ia omongan suaminya beberapa hari berlalu: "Monyet-monyet itu ngomong Kem!")

KATA, 1

Matahari, yang akhir-akhir ini jarang sekali kauperhatikan, pagi ini menerobos celah-celah jendela kamar sampai ke wajahmu.

“Jam berapa ini?” Sudah pagi. Masih juga belum kautemukan kata sambung itu. Kau kenal betul setiap kata yang ada dalam kamus itu, karena ikut menyusunnya dulu: yang, karena, dari, atas, terhadap — tetapi bukan semua tu.

Akhirnya kauperhatikan juga matahari itu, dan kau seperti bertanya sejak kapan ia berada di sana, sejak kapan ia seperti suka menyalah-nyalahkan kita, sejak kapan ia  menyebabkan kau bertanya, “Jam berapa ini?”

Masalahnya, belum juga kautemukan kata sambung itu. Apakah kami berhak mengatakan padamu, “Sudahlah!”?

KATA, 2

“Ada sepatah kata bergerak ke sana ke mari jauh dalam dirimu; biarkan saja, ia tak punya bahasa.”

Tapi ia suka membangunkanku.

“Biarkan saja. Ia toh akhirnya akan menyadari bahwa bukan yang kaucari, dan akan mengembara lagi jauh dalam dirimu jika kau terjaga dan tenang kembali.”

Tapi aku tak bisa lagi terjaga.
— Empat puisi ini merupakan bagian dari Kumpulan Puisi, Ayat-ayat Api. Bentuk paragraf sama sekali berbeda dengan aslinya. Tulisan bercetak tebal pada puisi Iklan adalah tambahan pribadi. :)

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine