Petang tadi jalanan tak sepadat biasanya. Azan Maghrib baru berkumandang ketika aku memasuki kampus. Padahal biasanya malam sudah turun jauh sebelum gerbang kampus kulalui.
Abang Sopir |
Sang sopir, masih dalam usia tiga puluhan, hanya mengangkat tangannya, mengiyakan. Namun tak lama kemudian ia menengok. "Pulang kerja?" begitu tanyanya. Tentu saja kuiyakan.
Kemudian kami sama-sama diam. Sang sopir mengemudikan busnya perlahan. Langit masih terang, namun lampu-lampu di kiri kanan sudah mulai berkerlipan. Bus berhenti. Lampu merah.
"Busnya baru ya Bang?" tanyaku berbasa-basi.
Bus yang kutumpangi memang berbeda dengan bus biasanya. Bus yang biasa melayani rute dari kampus ke tengah kota Kuala Lumpur adalah bus dengan lajur kursi penuh dari depan hingga belakang. Sementara bus yang sedang kunaiki separuh saja lajur kursinya, sementara sisanya tanpa kursi.
"Iya. Baru tukar."
"Benar. Muat lebih banyak. Tetapi karena itu juga kami harus sering berhenti untuk menaik-turunkan penumpang. Kami jadi sering ditegur karena kedatangan tidak sesuai jadwal." terangnya panjang lebar.
Aku diam saja. Penjelasannya memang sangat bisa diterima. Bus sore sering kali terlambat datang karena dua hal tadi: jalanan yang padat, dan terlalu banyak penumpang yang naik-turun. Satu... satu.
Persis seperti apa kata Pram dalam Bukan Pasar Malam: Di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana…
Kulihat kembali bus yang sudah kosong. Hanya ada aku dan si pemandu. "Syukur, aku masih tahu kemana pulang..." batinku.
Balasan