Titik Nol

| Desember 31, 2014 | Sunting
Pulang
Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali. — Agustinus Wibowo

Terpikat Bujuk Rayu si Serigala

| Desember 12, 2014 | Sunting
Big Bad Wolf Book Sale 2014 - Buku dimana-manaa!
Big Bad Wolf Book Sale. 7 - 16 Dec 2014. Sejak beritanya tersebar, sebenarnya aku sudah memutuskan untuk tidak datang. Buku-buku tahun lalu baru habis tiga per empatnya. Sengaja juga tidak mengikuti update Facebooknya supaya tidak ada godaan datang.

Namun, semua berubah sejak negara api menyerang begitu aku tertidur di dalam KTM sepulang dari Damansara pada 11 Desember lalu. Seharusnya turun di KL Sentral, tetapi ketika terbangun kereta sudah mendekati Bandar Tasik Selatan. Sehingga, apa daya. Perjalanan akhirnya kulanjutkan hingga ke Stasiun Serdang yang hanya sepelemparan batu dari the Mines, tempat pameran buku tersebut diselenggarakan.

***
Seperti tahun lalu, sarang si serigala penuh sesak. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah tumpukan ribuan buku di tengah lalu lalang manusia - rasanya yang tepat adalah lalu lalang manusia di tengah tumpukan ribuan buku. Komitmen diri untuk tidak berbelanja semakin tergoda begitu tumpukan troli menyapa tepat di depan pintu masuk. Pihak penyelenggaranya benar-benar ingin bermain dengan psikologi pengunjung-pengunjung sepertiku. Tetapi rayuan pertama tersebut berhasil kuabaikan! Alhamdulillah, batinku.

Bagian paling menyenangkan berada di pameran buku adalah kita bisa membaca sepuas hati tanpa harus berebut dengan pengunjung lain karena jumlahnya yang melimpah. Tetapi, yang lebih menantang adalah bagaimana mendapatkan buku yang enak untuk dibaca tersebut. Setiap orang memiliki caranya sendiri. Aku sendiri pertama-tama mengandalkan apa yang terlihat mata, sampulnya. Apabila menarik hati, maka lanjut ke langkah berikutnya: membaui aroma kertasnya. Yah, aroma buku itu khas. Nikmat. Semacam candu. Baru setelah itu akan diputuskan untuk membacanya atau tidak. (Tantangan yang lebih berat adalah bagaimana meyakinkan hati untuk tidak membelinya.)

Sayangnya aroma buku-buku di sarang serigala ini hampir sama semuanya, kemungkinan besar karena efek penyimpanan. Praktis hanya mengandalkan insting. Dan beruntung, hingga setengah jam disana, tidak ada satu bukupun yang menarik perhatian. Yang lebih menarik malah kehadiran anak-anak di lokasi pameran. Sebagian membolak-balik buku dari buku tempatnya. Sebagian cekikikan bersama teman-temannya, seraya menunjuk-nunjuk halaman buku yang dilihat bersama-sama. Yah, sekolah-sekolah memang sedang dalam masa libur sejak 22 November lalu. Di Malaysia, menurut pernyataan Abdul Wahab Ibrahim - direktur Dewan Buku Nasional, setiap orang membaca rata-rata 8 hingga 11 buku setiap tahun.

Buku pertama yang menarik perhatian setelah hampir satu jam adalah karya komedinya Shakespeare, Much Ado About Nothing. Film adaptasinya kulihat beberapa bulan yang lalu. Film yang indah. Ceritanya ringan, tetapi memacu otak untuk berpikir. Dan karena itulah kutertarik pada bukunya. Buku ini semakin menarik karena dilengkapi dengan ilustrasi paper-cut cantik karya Kevin Stanton. Tetapi aku meninggalkannya begitu saja setelah puas membuka halamannya satu persatu, karena harganya yang masih cukup mahal. Komitmen untuk tidak membeli buku sejauh itu memang masih terjaga, tetapi aku takut itu tidak akan bertahan lama. Menemukan buku pertama dalam pameran hanyalah sebuah langkah awal untuk menemukan buku-buku menarik selanjutnya.
Much Ado About Nothing
Much Ado About Nothing
Much Ado About Nothing
Much Ado About Nothing
Dan ketakutan itu benar adanya. Segera setelah beranjak dari mahakarya Shakespeare, mataku tertumbuk pada satu buku bersampul perak, bergambar dua biji ceri yang tak lain adalah the Castle in the Pyrenees. Tidak terlukiskan bagaimana senangnya menemukan sebuah buku yang memang sudah lama masuk dalam daftar buku untuk dibaca. Buku Jostein Gaarder inilah yang akhirnya menjadi rayuan maut si serigala. Aku takluk.
***
Hati-hati dengan si serigala
Big Bad Wolf adalah pameran buku tahunan yang cukup populer di Malaysia. Sebabnya tak lain dan tak bukan adalah harga sangat murah yang ditawarkan. Sebagian buku bahkan seharga dengan segelas teh tarik. Yah, benar sekali, buku-buku baru yang masih bagus tetapi seharga satu gelas teh tarik! Sedikit mahal di atasnya adalah seharga sebungkus nasi lemak. Contohnya saja autobiografi Arnold Schwarzenegger, Total Recall. Di toko buku kisaran harganya masih sekitar 71 ringgit. Sementara di BBW, harganya sudah jatuh menjadi 3 ringgit saja!

Sebagian besar buku yang ditawarkan adalah buku berbahasa Inggris. Tidak gampang memang mencari buku yang benar-benar kita inginkan di sini. Otak kita harus berjuang menyeimbangkan logika dan godaan harga. Bahkan aku yakin keputusan membeli sebagian orang lebih karena alasan yang kedua. Tetapi kemudian di sinilah seninya. Ketekunan menekuri kotak-kotak buku jumbo tak jarang berbuah pada harta karun. Tahun ini aku menemukan the Castle in the Pyrenees. Sementara tahun lalu aku menemukan Paulo Coelho: A Warrior of LifeHaha, bisa aja Bas menghibur dirinya.

Tahun ini, jenis buku yang paling banyak ditawarkan adalah buku anak. Selain itu juga ada lebih banyak buku-buku berbahasa Melayu. Beberapa karya penulis Indonesia yang sudah dialih bahasakan juga ada. Seperti buku-buku Tere Liye, Kang Abik dan sebagian buku Andrea Hirata.

BBW dibuka selama dua puluh empat jam setiap harinya. Tingginya transaksi buku di pameran ini bahkan membuat NST, salah satu koran terbesar di Malaysia, pernah menarik simpulan bahwa buku sudah menjadi salah satu bagian hidup orang Malaysia.

Pameran buku ini diinisiasi oleh pasangan suami istri yang juga pembaca kelas berat, Andrew Yap dan Jacqueline Ng, pada tahun 2009. Keduanya mendirikan BookXcess, toko buku yang menyediakan buku-buku berkualitas dengan harga miring, 3 tahun sebelumnya dengan misi utama untuk meningkatkan minat baca masyarakat Malaysia. Ketika ide pameran buku murah ini dilontarkan, ada sekitar 120 ribu buka ditawarkan. Dan kini, 5 tahun kemudian, jumlah tersebut sudah menjadi 3.5 juta buku!

Aku jadi teringat dengan paparan Pak Anies beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0.001 menurut UNESCO. Maknanya, dari setiap 1000 orang Indonesia hanya 1 orang yang memiliki minat baca serius. Terendah di Asia Tenggara. Mungkinkah konsep pameran buku yang sama diadopsi ke Indonesia?
Big Bad Wolf Book Sale 2014
Bocil I, sedang menekuri buku tentang Mandela
Big Bad Wolf Book Sale 2014
Karya-karya klasik bertebaran
Big Bad Wolf Book Sale 2014
Novel-novel berbahasa Melayu
Big Bad Wolf Book Sale 2014
Asyik sendiri

Aku, Pembunuh Munir

| November 30, 2014 | Sunting
Sepuluh tahun dua bulan dua puluh hari setelah Munir dibunuh, Pollycarpus Budihari Prijanto - orang yang menurut pengadilan adalah pembunuhnya, diputuskan bebas bersyarat. Suciwati, perempuan yang tak pernah lelah menuntut keadilan atas sang suami berteriak keras, "Jokowi bohong! Kalau mau serius berbicara HAM, tidak usah ngomong terlalu tinggi. Kasus Munir kalau memang serius, pembebasan bersyarat semestinya tidak ada! Menterinya kalau tidak punya komitmen dalam penegakan HAM, akhirnya isu HAM hanya jadi komoditas jual beli!" 

Lebih keras, iapun menantang pemerintah untuk mencokok pelaku lain "Kalau memang serius, itu Hendropriyono yang bertanggungjawab kasus pembunuhan Munir, kenapa tidak diproses? Negara ini mereduksi kebohongan terus. Negara meninabobokan masyarakat dengan kebohongan!"
***

Aku, Pembunuh Munir

(Seno Gumira Ajidarma)
Aku adalah anjing kurap, karena itu aku membunuh Munir | Foto: Ova Hamer - Buenos Aires, 2010
Tentu, tentu aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri. Untuk apa? Aku bisa membunuhnya melalui tangan orang lain, sama seperti yang biasa kulakukan kepada orang-orang lain bilamana perlu.

Dikau tidak akan pernah tahu siapa diriku. Bukan karena aku berseragam, sama sekali bukan. Ini bukanlah soal berseragam atau tidak berseragam, karena membunuh atau tidak membunuh Munir tidak ada hubungannya dengan seragam.

Dirimu dan siapapun di dunia ini memang tidak perlu tahu siapa diriku sebenarnya. Bukan, bukan karena aku seorang pengecut, tidak ada pengecut yang selalu menantang bahaya seperti aku. Namun, taklebih dan takkurang, karena siapakah adanya diriku ini, ya, sekali lagi si-a-pa, memang sama sekali tidak penting.

Sudah kubilang tadi: aku adalah anjing kurap, jika bukan, aku tidak akan membunuh Munir. Jangan, jangan keburu marah. Aku toh mengatakan di-ri-ku yang membunuh Munir, bukan Tuhan yang membunuhnya melalui diriku, bukan. Jangan marah. Aku tidak mengatakan sudah kodrat Tuhan bahwa Munir harus mati melalui diriku. Tidak. Kalau caranya begitu aku tidak usah dicari-cari dong! Aku juga tidak membela diri dengan mengatakan diriku gelap mata, kerasukan setan, atau segala macam. Tidak. Sekali lagi tidak. Aku membunuhnya dengan penuh kesadaran.

Jadi tentang siapa yang membunuh Munir tidaklah perlu dipertanyakan lagi. Gamblang, tanpa keraguan, Munir mati diracun, bahkan angka-angkanya tertera dengan tepat: 83% Arsenik 3 dan 17% Arsenik 5. Konsentrasi Arsenik 3 sebanyak 0,460 miligram per liter itu menyebabkan blokade reaksi detoksifikasi, ya, lantas terjadi penekanan ekskresi arsenik melalui ginjal.

Ya, Munir mati dibunuh, artinya ada pembunuhnya. Ada. Sekali lagi ada. Munir tidak mati tanpa ada yang membunuhnya. Adapun pembunuhnya, artinya orang yang memikirkan, merencanakan, dan akhirnya menggalang usaha agar kematian Munir menjadi nyata, adalah aku dan hanya diriku. Begitu penting adanya aku, sehingga tanpa kelahiranku tidak ada kematian Munir.

Oalah, Munir, Munir, maksud hati melanjutkan kuliah di Utrecht, Belanda, dengan tesis tentang penghilangan paksa sebagai pilihan politik rezim militer, dari tahun 1965 sampai 1998, kok malah hilang sendiri.

Ya, sejak tahun 1998 itulah kamu telah menantangku. Kamu bongkar kenyataan adanya orang hilang, kamu dorong mereka yang telah dilepaskan untuk bicara, setelah susah dan payah dilakukan intimidasi terhadap para aktivis ingusan itu. Huh! Memang beberapa di antaranya salah culik. Dasar amatir! Tapi ya tidak usah dibongkar-bongkar dong! Eh, nyap-nyap! Asal tahu saja Munir, bukan aku, tapi kamulah yang membuatku memutuskan agar sisanya hilang selama-lamanya.

Ya, aku membunuh Munir, artinya akulah yang merencanakan agar riwayat hidup manusia yang dimulai dari tanggal 8 Desember 1965 di Malang itu bisa segera ditamatkan dan ternyata berhasil pada hari Selasa 7 September 2004 di udara, dalam pesawat Garuda, 40.000 kaki di atas tanah Rumania.

Memang, aku tidak dengan tepat akan mengetahui bahwa berdasarkan analisis rasio konsentrasi Arsenik 3 dan 5, ataupun berdasarkan simulasi farmakologi kinetik konsentrasi arsen di dalam darah, arsenik itu akan perlu waktu 8 sampai 9 jam untuk membunuh Munir. Tidak akan dan tidak perlu—yang penting dia mati dan tidak bekoar lagi.

Tentu, ketika merencanakan agar orang kecil berkumis lebat yang sangat menjengkelkan ini koit, aku tidak merencanakannya sampai serinci itu. Jika aku tahu orang-orang Belanda busuk itu akan memergoki adanya arsen atawa racun dalam lambung, darah, dan air kencingnya , mungkin aku akan merencanakan cara pembunuhan yang lain. Tembak jarak jauh barangkali, tabrak dengan mobil, atau santet – ya, kami, kelompok yang melaksanakan proyek ”peng-kondisi-an” Munir, pernah membicarakan ilmu Harry Potter ini, bahkan menghubungi sejumlah tukang santet, tetapi rencana yang satu ini tidak pernah terlaksana. Dasar tukang kibul semua!
rembulan merah hutan terbakar
sungai berasap terpanggang bumi
siapa dia menghirup mawar
darahnya menetes bersama sunyi
Ya, kuakui dengan terus terang akulah yang membunuh Munir, tetapi tidaklah penting aku ini siapa.

Seperti semua orang aku juga dilahirkan seorang ibu. Aku tidak lahir dari pohon, tidak juga dari batu. Aku mohon percayalah, tidak sekalipun ibuku, yang sama mulianya dengan ibu manapun di dunia ini, akan pernah mengatakan bahwa membunuh itu baik. Ibuku mencintai ayahku, ibuku melahirkan aku, menyusui diriku, merawat, mengasuh, dan dengan penuh kasih sayang membesarkan diriku, dan setelah besar aku membunuh Munir.

Mungkinkah ini terjadi pada manusia? Mungkin iya, mungkin mestinya tidak, tetapi janganlah bertanya kepadaku, karena seperti telah kukatakan, aku adalah anjing kurap dan hanyalah karena aku anjing kurap maka aku membunuh Munir.

Jangan, janganlah kepada diriku dikau bertanya tentang pembunuhan Munir sebagai pembunuhan politik, karena bahkan dalam hati kecilku pun kuingkari kejadiannya sebagai pembunuhan politik. Dengan atau tanpa politik aku memang sudah lama empet terhadap Munir. Memang betul, sudah pasti itu bukan pembunuhan kriminal dan hanya pembunuhan politik yang membenarkan pembunuhan orang kecil yang tidak sudi digertak itu, tetapi apakah dengan begitu lantas pembunuhan itu menjadi sahih?

Tentu, tentu, tentu, tentu saja tidak. Munir memang menjengkelkan dan mengkhawatirkan semua orang, tetapi politik adalah sebuah permainan dan permainan itu ada seninya. Jika ingin membungkam dan menghentikan Munir, seni itulah yang dimainkan dan itulah yang semestinya dilakukan dalam politik. Ngomong di sana dan ngomong di sini, ngomong begini dan ngomong begitu. Jujur maupun licik, lugu maupun pura-pura lugu, tipu daya macam apapun sahih, selama tidak melanggar hukum dan dikau bisa berpikir sendiri apakah pembunuhan dengan cara seperti itu melanggar atau tidak melanggar hukum.

Betapapun, di antara semua orang yang akan kebakaran jenggot itu tidak ada seorang pun yang berpikir, merencanakan, menggalang, dan melaksanakan pembunuhan seperti diriku. Hanya satu orang yang melakukan semua itu, yakni aku dan tiada lain selain aku—tentu dengan sejumlah pembantu yang goblok. Maafkan bahasaku ini. Memang goblok. Aku pun mesti ngibul supaya kelompokku ini bisa bekerja. Ya, kelompok orang-orang bego yang tidak bisa membedakan antara terpaksa membunuh demi bela diri, bela negara, dan pembunuhan politik. Buat mereka cukuplah diberi alasan bahwa Munir harus mati sebelum pemilihan presiden, dan sungguh mati itu hanyalah omong kosong sahaja. Munir mati atau tidak mati tidak akan mempengaruhi jalannya pemilihan presiden sama sekali.

Kukira, ya kukira, mereka terbawa angan-angan yang dibawa film detektif, bahwa kerja intelijen itu kok rasanya kurang afdol tanpa menumpahkan darah, dan tentu saja itu salah. Mereka yang menjalani kerja intelijen tahu benar, lain film lain pula kenyataan—aku memang bukan kritikus film, tetapi terbukti orang-orang bodoh ini bersemangat membuatnya jadi nyata, seperti dalam film detektif, dengan penuh seluk-beluk meracuni Munir. Terimakasih Hollywood!

Dikau tentu terkejut dengan pengakuan saksi kepada polisi yang telah dicabut itu, pengakuan yang disampaikan tanpa paksaan sama sekali. Ya, dicabut, tapi sudah terlanjur dikatakan, yang meskipun dengan segala kekonyolan sahih saja menurut hukum, sebagai pengakuan yang telah dituliskan takpernah dapat ditarik kembali. Sudah tertulis. Dengan aksara dan bahasa yang telah disepakati bangsa. Tercetak, diperbanyak, dan beredar. Mengendap selamanya dalam catatan sejarah.

Ya, jika dikau cukup berbudaya, dikau akan merasakan sesuatu yang kurang sepantasnya ketika mengetahui betapa racun itu sudah diujikan kepada seekor kucing! Kalimatnya tertulis dengan jelas: ”Dikasih ke ikan asin, dimakan kucing, kucingnya mati!” Dilanjutkan sebuah pesan: … racun ini tidak boleh kena orang lain selain Munir.

Ya, diucapkan seolah-olah merupakan perbuatan yang baik.

Ya, memang, betul, tentu saja, takbisa lain, bahwa banyak yang senang, bahkan sungguh-sungguh bahagia, tanpa pernah merasa perlu berterus terang, dengan kematian Munir. Itulah mereka yang ikut teruntungkan, karena kepentingannya yang terselamatkan. Kepentingan apa? Entahlah, tapi sudah pasti berbau busuk, dan mereka tahu bahwa Munir telah mengendusnya. Dasar maling. Ya, maling, yang pekerjaannya mengendap-endap dan mencuri tanpa pernah dipergoki orang. Sekali kepergok, bukannya merasa bersalah, malah menyalahkan orang yang memergokinya. Dasar logika aneh! Namun dari semua keajaiban itu, tidak ada seorang pun yang berpikir seperti aku, bahwa karena aku anjing kurap, maka aku membunuh Munir.
rembulan menghitam di langit malam
lelawa terjatuh tiada pegangan
dingin angin menebarkan dendam
bisikan maut menjelma kutukan
Dikau masih bertanya-tanya siapakah kiranya aku, yang tanpa kunyana meskipun tak akan dikenal tetap saja terkutuk dalam sejarah, karena dalam kenyataannya Munir terpuja sebagai pahlawan. Hmmm. Bukan, sama sekali bukan karena aku takut ditangkap dan dieksekusi seperti Ceausescu, dikeroyok beramai-ramai seperti Gaddafi, atau digantung dengan kepala di bawah dan menjadi tontonan seperti Mussolini. Sama sekali bukan. Jika tadi kukatakan betapa seperti dirimu pun aku punya seorang ibu, dan karena itu dapat diandaikan setidak-tidaknya pernah mengenal apa itu kasih sayang, ya, kasih sayang terhadap kucing, kambing (meski tega menyembelihnya), monyet, lutung, siamang, orangutan maupun orang biasa, dapat kukatakan diriku pun mempunyai keluarga, anak-istri, yang dengan sangat menyesal harus kusampaikan takmengenal dan tak akan pernah mengenal siapa diriku sebenarnya.

Begitulah, apa boleh buat, istriku terlanjur mengenalku sebagai suami yang meskipun barangkali tidak terlalu baik barangkali juga tidak terlalu buruk. Bersikap baik kepada mertua, menghormati segenap keluarga besarnya, bahkan melakukan sembah-sungkem kepada para sesepuh setiap hari Lebaran ketika mereka masih hidup. Anak-anak takbisa tidak juga hanya akan mengenalku sebagai ayah yang baik, meski takharus terbaik, karena terus terang diriku ini tidak terlalu berbakat menunjukkan kasih sayang. Hmmm. Betapapun, percayalah, aku tidak akan bisa membunuh bayi. Apakah itu berarti aku sebenarnya mempunyai hati yang cukup baik? Mungkin. Kenapa tidak? Tidak seperti perempuan-perempuan yang takpunya hati itu, aku tidak akan membuang bayi ke dalam tong sampah.

Yah, jelek-jelek aku masih punya sedikit hati nurani. Aku memilih untuk meracuni Munir sebenarnya bukanlah karena aku ini orang yang kejam. Meracuni adalah satu dari tiga pilihan, yakni menaruh bom dalam mobil, menyantet, dan meracuni itu sendiri.

Untuk yang pertama, ahli bomnya terlalu banyak meminta jaminan, hehe, enak bener ya, sudah meledakkan mobil orang (ya, waktu itu Munir baru saja membeli mobil bekas, dasar kismin) masih minta perlindungan; yang, kedua, sudah kubilang tukang-tukang santetnya kebanyakan alasan, katanya Munir dilindungi keris segala; yang ketiga, menggunakan racun, memang paling mungkin dijalankan.

Teror bom yang manapun pelakunya langsung tertangkap, santet manapun juga sering terlacak kembali (setidaknya begitulah dalam dongeng) oleh dukun lain yang lebih sakti, sedangkan racun ini, terbukti, meski sudah jelas Munir diracuni, belum jelas racun itu datang melalui jus jeruk, mie goreng, atau minuman dari Coffee Bean. Tidak berbau, tidak berasa, kelarutannya cukup besar, bila dicampur makanan atau minuman tidak akan menghilangkan rasa atau mengubah warna—kecuali bau bawang putih kalau dia nanti muntah dan ke WC, ketika arsenik bercampur protein. Bawang putih? Nah! Itu mah bau orang kampung kalau masuk angin. Hehehehe. Lumayan canggih bukan?

Tentu hanya diriku yang tahu bagaimana semua itu akan dan telah berlangsung. Memang ada juga yang berlangsung di luar perhitungan. Ya, ya, ya, sama sekali di luar perhitungan. (Lagi-lagi amatir!). Sehingga terjadilah kegemparan yang berlanjut dengan drama pengadilan. Drama, ya, drama dalam dua pengertian: dapat disebut drama karena memenuhi persyaratan dramatik dalam seni pertunjukan; dan bisa disebut drama karena penuh dengan kepura-puraan, bersandiwara dalam kehidupan sebenarnya.

Tidak percaya? Ikutilah kutipan percakapan jaksa dengan saksi yang sudah beredar luas ini:

"Pernahkah Saudara bekerja di (sensor oleh pengarang) ?"

"Lupa saya." (pengunjung tertawa).

"Baik, saya akan membacakan BAP Saudara. Penyidik bertanya, ’Apakah Saudara mengenal Munir? Bila iya kapan dan di mana?’ Jawaban Saudara, ’Saya kenal dengan Munir tahun 1996 waktu saya sering mengikuti diskusi di kantor KontraS membahas dwifungsi ABRI dan rezim Orde Baru.’ Betul seperti itu?"

"Betul."

"Kemudian, ’Sejauh mana yang Anda tahu tentang rencana pembunuhan terhadap Munir?’ Jawaban Saudara, ’Saya mengetahui rencana pembunuhan itu karena saya pernah disuruh melakukan pembunuhan terhadap Munir.’ Betul?"

"Betul."

"Kemudian Anda juga mengatakan bahwa yang menyuruh Anda untuk melakukan pembunuhan terhadap Munir adalah Bapak Sukab alias Pak Lik alias Rambut Geni alias Pak Pandir. Betul?"

"Betul."

"Anda juga mengatakan bahwa Bapak Sukab alias Pak Lik alias Rambut Geni alias Pak Pandir adalah agen muda (sensor oleh pengarang) dengan golongan IIIb pada Direktorat 007 Deputi II. Betul?"

Doi diam sejenak, lalu menjawab, "Tidak tahu, saya lupa, Pak."

"Lupa? Oke, sekarang pertanyaan nomor 9: ’Darimana Saudara tahu Pak Sukab adalah anggota (sensor oleh pengarang)? Saya mengetahui Pak Sukab agen (sensor oleh pengarang) dari ruang kerjanya di gedung X Direktorat 007 Lantai 2. Di mobil Pak Sukab terdapat stiker (sensor oleh pengarang). Dia juga memiliki kartu tanda anggota (sensor oleh pengarang).’ Betul?"

"Lupa saya, Pak."

Nah, aku tidak terlalu keliru bukan? Bahwa percakapan semacam itu merupakan sandiwara yang sungguh-sungguh nyata? Tentulah aku terlibat dalam penyutradaraan sandiwara semacam ini, tetapi janganlah terlalu cepat menebak dan menduga siapakah aku, karena meskipun memang akulah sebenarnya sumber segala sebab kematian Munir, siapakah diriku ini sama sekali tidak penting. Dikau tidak akan pernah dan tidak perlu mengenal diriku, tetapi tempatku di dalam sejarah sudah tertunjukkan dengan jelas. Memang, apa boleh buat, bukan di tempat Munir.
rembulan menjadi arang berhamburan
langit kosong tergelar menghapus bintang
ada tikus celingak-celinguk dalam selokan
seruling dangdut pengemis bergoyang
Aku adalah anjing kurap, karena itu aku membunuh Munir.

Namun jika kusebut makhluk Tuhan yang disebut anjing, itu bukanlah aku. Dengan segala hormat, anjing yang paling kurapan di dunia ini pun tidak akan pernah berpikir untuk membunuh Munir.

Ya, diriku dilahirkan oleh manusia. Kukenali cerlang matahari, halus pipi bayi, harum melati, dan pesona kecerdasan para cendekiawan, tetapi akulah yang membunuh Munir.

Apakah aku harus minta maaf, karena telah mempermalukan manusia di hadapan segenap anjing kurap di muka bumi? Hmm.

Selama aku tidak mampu mengungkapkan siapa diriku, dan mengakui kesalahanku, berarti aku sungguh-sungguh tidak tahu.

Itulah aku!

Melbourne, 12 September 2013. 17:44.

Langit-langit Kamar, Jam Setengah Lima Pagi

| November 22, 2014 | Sunting
Kamar Asrama IIUM, pagi tadi
Jam setengah lima pagi. Mendadak aku terbangun. Mataku terbuka begitu saja, menatap langit-langit kamar yang muam. Aku sering bermimpi buruk akhir-akhir ini. Bukan akhir-akhir ini saja sebenarnya, aku bahkan sudah lupa sejak kapan. Sejauh kubisa mengingat. Berbagai nasihat dan petuah kukerjakan untuk kononnya membuang kebiasaan tersebut, tetapi rasanya belum ada hasilnya.

Dan bukan mimpi buruk juga sebenarnya, hanya saja mungkin seram bagi sebagian orang. Bagiku sendiri, sudah terasa biasa saja. Di kamarku yang dulu, berkali-kali aku memimpikan (atau melihat?) seorang perempuan dengan rambut terurai panjang ada di dalam kamarku. Bahkan, pernah sekali aku melihatnya (atau memimpikannya?), berjalan melewati jendela sambil membenarkan bagian belakang pakaiannya. Oh ya, aku tinggal di lantai dua saat itu.

Begitupun setelah aku berpindah kamar. Aku mulai terbiasa tidur dengan kitab suci di dekatku. Tidak benar-benar dekat sebenarnya, tetapi masih pada jarak yang bisa kugapai sewaktu-waktu aku perlu.

Aku jadi ingat suatu malam. Pukul dua atau tiga mungkin. Aku bangun untuk sembahyang. Sempat ku menggerutu ketika mengambil wudhu. Sebabnya adalah kebiasaan orang-orang meninggalkan WC dengan air kran tetap mengucur. Terbuang. Tetapi bukan itu topik ceritaku. Melainkan, segera setelah kukembali ke kamar dan memulai sembahyang, aku mulai merasakan ada sesuatu di belakangku. Aku tidak tahu apa, tetapi dari dorongan udara yang dihasilkan, sesuatu itu seperti mengikuti gerakanku. Entahlah apa karena ketika kumenengok salam, hanya setumpuk pakaian kotor yang tertangkap oleh mataku. Lagipula, kamarku juga hanya muat untuk sholat satu orang, tidak lebih.

Pukul setengah lima pagi. Aku menatapi baling-baling kipas angin yang tanpa bosan memutari porosnya. Langit-langit di sini tidak seperti di rumah. Aku terbiasa melihat tikus berkejaran dengan sesamanya, sementara di sini hanya ada langit-langit kusam dimana kipas angin tanpa merk menggantung. Terasa hambar, tanpa cerita.

Baling-baling kipas angin berputar. Terus berputar.

Rak buku yang melekat di dinding terpaku tanpa irama, tak menghiraukan hasil tulisan orang-orang besar yang beristirahat di atas badannya. Kain penutup tingkap kamarkupun senada: tenang dan diam.

Tidak ada cicak seperti di rumah. Bahkan rasanya aku memang tidak pernah melihat cicak selama di sini. Aneh. Tik tak tik tak.

Bekasi Kemarin Hari

| Oktober 15, 2014 | Sunting
Bekasi tengah dirundung orang ramai. Konon penyebabnya adalah terlampau panasnya daerah di timur Jakarta tersebut. Gambar-gambar bernada olokan pun bergulir di dunia maya. Bumbu-bumbu lain bermunculan. Dari kondisi jalan, hingga harga makanan.

Aku sendiri belum pernah ke Bekasi, seingatku. Tetapi, suatu ketika aku pernah salah naik KRL. Harusnya aku naik komuter ke arah Bogor, tetapi malah melompat ke kereta tujuan Bekasi. Tepat sebelum kuurun di stasiun Manggarai, seorang kakek di samping saya menyelamati, "Untung belum kebawa sampai ke Bekasi!" Yah, terbawa sampai ke Bekasi adalah kemalangan tak terkiri bagi si Kakek.

Perjumpaanku dengan Bekasi mungkin sudah dimulai sejak bangku sekolah dasar, pada pelajaran IPS. Sumbernya bukan lain tentu adalah kisah Purnawarman dan kerajaan Tarumanegaranya. Dalam salah satu prasasti peninggalannya, konon diceritakan tentang selesainya penggalian saluran air Gomati dan Candrabhaga pada tahun ke duapuluhdua pemerintahannya.

Dari Candrabhaga tersebutlah, seperti dipercayai oleh Purbacaraka, nama Bekasi berasal. Ahli filologi UI tersebut pada 1951 mengungkapkan bahwa kata Candrabhaga terbagi dari dua bagian yakni Chandra yang artinya bulan, dan Bhagia bermakna bagian. Nah, kata Chandra memiliki makna yang sama dengan kata Sasi dalam bahasa Jawa Kuno. Sehingga, seringkali orang juga menyebut Candrabhaga dengan Sasibhaga - yang apabila diterjemahkan secara terbalik menjadi Bhagasasi. Dari situlah Purbacaraka mempercayai asal nama Bekasi

Aku yakin apa yang teman-teman dapat dari Guru IPS masing-masing kurang lebih sama. Sebagian besar hanya menceritakan konklusinya mungkin.

Ketika kelas 6 SD, buku paket bahasa Indonesia mencantumkan salah satu puisi Chairil Anwar yang legendaris, Karawang-Bekasi. Saat itulah kali kedua perkenalanku dengan Bekasi. 
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
...
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Ada banyak versi tentang peristiwa dibalik puisi ini. Salah satunya merujuk pada pembakaran Bekasi oleh Inggris pada 13 Desember 1945. Mulanya, sebuah pesawat Dakota yang terbang dari Kemayoran menuju Bandung mendarat darurat di Rawa Gatel, Cakung (Cakung masuk ke wilayah Bekasi hingga tahun 1970-an, sebelum kemudian masuk wilayah Jakarta Timur) pada akhir November 1945.

Isi pesawat tersebut adalah 4 awak berkebangsaan Inggris dan 22 tentara Gurkha. Kesemuanya dilucuti pakaian dan senjatanya oleh rakyat dan dibawa ke tangsi TKR. Mereka kemudian dibunuh pada awal Desember. Sekutu yang murka lantas membumihanguskan Bekasi. Keganasan Sekutu digambarkan oleh Army News, bertanggal 15 Desember 1945, terbitan Australia dengan kalimat ... Bekasi looked like "a picture of an atom bomb explosion,"...
Bekasi dibumihanguskan!
Tentang pembakaran ini Rosihan Anwar, kemungkinan dalam bukunya, Antara Karawang Bekasi, menuturkan, ...Waktu kita melewati Bekasi, nampaklah di tepi jalan rumah-rumah habis terbakar menjadi debu sebagai akibat kekerasan Inggris. Pemandangan amat menyedihkan, mengingatkan kita bahwa di sana ada jejeak peperangan. Akan tetapi, justru dekat reruntuhan rumah itu kita melihat perempuan turun ke sawah, memasukkan benih-benih ke dalam lumpur. Pertentangan ini mengharukan jiwa musafir, sebab di dekat reruntuhan muncul dengan tabahnya usaha menghidupkan. Itulah bangsa Indonesia penuh vitaliteit, mempunyai banyak kegembiraan dan tenaga hidup berlimpah-limpah...

Kisah-kisah heroik di Bekasi juga bisa temukan kemudian melalui tulisan-tulisan Pramoedya. Oh ya, Pram sempat menjadi prajurit Badan Keamanan Rakyat yang ditempatkan di kesatuan Teruna di Cikampek, dekat Bekasi. Melalui roman Di Tepi Kali Bekasi misalnya, Pram memberikan gambaran kehidupan para pemuda yang membaktikan dirinya menjadi tentara republik, utamanya melalui tokoh Farid.

Dengan gaya tuturnya yang khas, ia gambarkan semangat para pemuda nasionalis itu berjuang mempertahankan bangsanya melalui sebuah basis perjuangan di pinggiran Kali Bekasi. Pram menuliskan misalnya, ...Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, seorang kapten Tentara Keamanan Rakyat dengan bantuan dua belas orang prajuritnya telah berhasil membinasakan satu seksi pasukan Jepang yang hendak mengacaukan daerah Bekasi...

Bekasi kemarin hari menyiratkan sebuah inspirasi, juga romantisme revolusi. Ah, aku jadi teringat pada satu lagu gubahan Ismail Marzuki, Melati di Tapal Batas, yang saya dengar secara tidak sengaja di Konser Keroncong Merdeka Malaysia 2012: ...Engkau gadis muda jelita. Bagai sekuntum melati. Engkau sumbangkan jiwa dan raga, di tapal batas Bekasi... 

Yah, anak-anak gadis Bekasi digambarkan keberaniannya sampai turun ke medan laga. Meski begitu, lagu ini seolah ingin meminta mereka untuk kembali ke kampung-kampungnya, mengurus sawah dan ladang. ... Duhai putri muda remaja, suntingmu kampung halaman. Kembali ke pangkuan bunda, berbakti kita di ladang...

Aku mendadak malu dengan gadis-gadis Bekasi kemarin hari itu.

Sumber Gambar: Perpustakaan Nasional Australia

Sepotong Petang di Tokong Chin Swee

| Oktober 14, 2014 | Sunting
Pagoda sembilan lantai di Chin Swee
Jumat petang pekan kemarin, kami terjebak hujan di Tokong Chin Swee, Genting. Bukan terjebak sebenarnya, tetapi bisa dibilang menjebakkan diri. Sudah hampir dua minggi ini petang di Gombak dan sekitarnya selalu ditemani oleh guyuran hujan dan kami malah memutuskan untuk keluar sore-sore, sekitar pukul empat. Perjalanan Gombak - Genting ditempuh selama sekitar satu jam, Ali yang mengemudikan mobil. Saya duduk di kursi sampingnya, sementara Puspa dan Ami duduk di belakang. Sepanjang perjalanan kami penuhi dengan berbagai pembicaraan acak: mulai dari upacara sekolah, hingga obat-obatan.

Perbedaan utama kawasan tinggi Genting dengan Gombak ataupun KL adalah udaranya yang lebih dingin. Kelebihannya adalah jaraknya yang hanya sepelemparan batu dari KL. Itulah mengapa taipan Lim Goh Tong tertarik untuk mulai membangun kawasan ini hanya 8 tahun setelah Malaysia merdeka.

Mendiang Lim sendiri adalah Tionghoa totok. Leluhurnya berasal dari Penglai, Shandong tetapi sudah pindah dan menetap bagian selatan provinsi Fujian, pada sebuah daerah pegunungan bernama Anxi. Di tempat tersebutlah Lim Goh Tong dilahirkan pada 1918. Orang tuanya, Lim Shi Quan dan Goh Ban, adalah orang desa biasa yang bekerja sebagai penjual bibit sayuran dan kelinci untuk menghidupi ketujuh anaknya - Jing Ya, Lim Zhuang, Lim Bau, Lim See, Lim Goh Tong sendiri, Lim Mei dan Jing Kun yang paling muda.

Meski dilahirkan dalam masa transisi politik yang cukup kacau, Lim kecil tumbuh dalam kondisi yang cukup tentram di desanya. Bahkan ia diceritakan sempat mengenyam bangku sekolah. Hanya saja, kematian mendadak ayahnyalah yang lantas memaksanya berhenti sekolah untuk menghidupi keluarganya. Ia dan kakaknya meneruskan pekerjaan sang ayah menjajakan benih sayuran.

Patung Lim Goh Tong
Tahun 1937 Lim bertolak ke Malaya, waktu itu masih jajahan Inggris, melalui Singapura. Di Malaya, Lim menghidupi dirinya dengan berbagai macam pekerjaan. Mulai dari tukang kayu di tampat pamannya, sub-kontraktor, bertani sayur, berjualan teh, berjualan barang bekas hingga akhirnya bergelut di bidang kontruksi kembali. Dan salah satu hasil karyanya yang masih bisa kita lihat hingga sekarang ya kawasan Genting yang dimulai tahun 1963. Proses pembangunannya selesai sekitar sepuluh tahun kemudian, dengan memanfaatkan tanah pemberian dua negeri: Pahang dan Selangor. Yah, tanah tempat berdirinya pusat wisata Genting yang terkenal itu didapat secara cuma-cuma dari pemerintahan dua negeri, konon dengan campur tangan para petinggi.

Tokong Chin Swee sendiri mulai dibina tahun 1975, setelah pembangunan Genting Highlands Resort selesai. Di bangun di lereng Gunung Ulu Kali, tokong ini merupakan bentuk terimakasih Lim Goh Tong atas keberhasilannya menyelesaikan proyek Genting. Melalui tokong di tengah gunung inilah Lim Goh Tong ingin menghadirkan tanah kelahirannya di Anxi ke bumi Malaysia.

Nama Chin Swee sendiri bukanlah nama yang asing bagi sebagian besar penduduk Anxi. Dilahirkan sebagai Chen Zhao Eng sekitar 900 tahun yang lalu, ia memulai hidup sebagai biarawan sejak usia yang sangat muda. Berkat ketekunannya dalam belajar, konon ia berhasil meraih tingkatan spiritualisme tertinggi dalam kepercayaan Budha. Selain itu, ia juga belajar ilmu pengobatan tradisional China yang membuatnya juga dikenal sebagai tabib yang gemar membantu sesama.

Keluhuran budi dan pemahamannya tentang ajaran agama juga membuat doanya "ampuh". Ketika wilayah Anxi dilanda kekeringan misalnya, doanya berhasil membuat Anxi kembali tercurahi air hujan. Karena itulah namanya dikenal hingga ke pelosok-pelosok An Xi. Paska kematiannya, ia dikenal sebagai Chin Swee.

Kisah yang mengakar di kalangan penduduk An Xi itu pulalah yang membuat Lim Goh Tong lebih mudah dalam mengumpulkan donasi pembangunan tokong tersebut - di luar donasi pribadinya, dari orang-orang An Xi yang merantau ke Malaysia. Namanya begitu dihormati oleh para pengikutnya, sehingga mereka berlomba-lomba untuk mendukung pembangunan tokong penghormatan untuk Chin Swee. Pembangunannya sendiri selesai tahun 1994.

Tokong ini terdiri dari beberapa bagian sebenarnya, tetapi karena hari yang sudah cukup sore kami memutuskan untuk langsung ke bagian atas tokong dimana merupakan sebuah tempat terbuka dengan pemandangan utama bentang alam yang hijau. Petang ini udara cukup dingin, membuat perut terasa begitu lapar. Kami berjalan mengitari beberapa bagian saja. Beberapa kali pula harus berteduh ketika hujan turun.

Selain sebagai tempat wisata, fungsi utama tokong masihlah sebagai tempat ibadah. Sehingga para pengunjung juga harus lebih mengerti situasi dan kondisi agar tidak mengganggu aktivitas-aktivitas peribadatan.

Sebuah patung Buddha berukuran besar terduduk menempel dengan dinding gunung dengan posisi tangan Shuni Mudra yang melambangkan kesabaran (mohon dibetulkan apabila saya salah sebut).
to·kong n kelenteng; toapekong

Tentang Kusala

| September 16, 2014 | Sunting
Semalam, rilis resmi 10 Besar Khatulistiwa Literaty Award ke-14 berputar-putar di halaman depan Facebook saya. Menariknya, alih-alih tetap menggunakan nama Khatulistiwa Literary Award atau disingkat KLA yang sudah cukup dikenal khalayak, rilis resmi tersebut memilih menggunakan istilah baru yang terdengar asing di telinga: Kusala Sastra Khatulistiwa, atau KSK. 

Di satu sisi langkah tersebut sangat bagus karena ironis bila sebuah penghargaan untuk pegiat sastra Indonesia malah menamai dirinya dengan istilah berbahasa Inggris. Namun, di sisi lain kata "kusala" terdengar cukup asing di telinga.

Pun bila kamu mengernyitkan dahi tidak mengerti, tenang, kamu bukan satu-satunya. Istilah ini hampir tidak pernah digunakan. Saya berusaha mencari remah-remah kata kusala di beberapa laman berita Indonesia. Hasilnya cukup minim, tetapi syukur masih ada yang menggunakannya.

Laman Kompas.com adalah di antara yang "paling banyak" menggunakan kata tersebut. Sedikitnya ada 5 tulisan yang memuat kata kusala. Di antaranya yang paling gamblang adalah istilah Kusala Gloden Globe dalam berita Duet dengan Bocelli, Impian Dira Jadi Nyata bertanggal 20 Mei 2011. Selain itu digunakan pula istilah Kusala Ramon Magsaysay dalam berita bertarikh 23 April 2014 yang berjudul Jangan Amputasi KPK.

Jadi, bila dilihat dari penggunaannya, kusala merupakan padanan untuk kata award - masing-masing mengacu pada Gloden Globe Award dan Ramon Magsaysay Award

Apakah benar demikian?

Istilah kusala diperkenalkan oleh mendiang begawan bahasa Anton Moeliono, sekitar tahun 2007. Dasarnya adalah belum adanya istilah Indonesia yang dapat mencerminkan kata bahasa Inggris award - penghargaan untuk suatu prestasi yang sangat menonjol. Dari sanalah beliau merunut makna bawaan dari kata award itu sendiri.  Hasilnya, ternyata paling tidak ada tiga makna yang didapati dari kata tersebut: award, reward, prize, present, gratuity; honor, respect, appreciation, appraisal; dan gift, grace, mercy, endowment, compassion.

Dari sinilah istilah kusala disodorkan mengingat kata yang sudah diakomodasi oleh bahasa Indonesia tidak cukup spesifik untuk menjadi padanan kata award. Masing-masing dipadankan dengan kata hadiah untuk arti pertama, penghargaan untuk makna kedua dan anugerah atau karunia untuk yang ketiga.
Arti Kusala

Kusala berakar dari bahasa Sansekerta yang memiliki makna umum hadiah. Mendiang Pak Ton mengungkapkan, pemakaian kata kusala dalam bahasa kita dapat meningkatkan ketajaman daya ungkap kita karena dapat membedakan kusala dari hadiah.

Dalam artikelnya yang dimuat harian Kompas, 19 Maret 2010, Pak Ton lantas mengacu pemaknaan kata kusala ke Kusala Akademi, penghargaan yang diberikan Universitas Indonesia untuk hasil penelitian terbaik. Dari sanalah lantas makna kusala direka menjadi 'hadiah yang diberikan untuk pencapaian istimewa di bidang tertentu'.

Nah, dengan neologisme tersebut - neologisme adalah bentukan baru atau makna baru untuk kata lama yang dipakai dalam bahasa yang memberi ciri pribadi atau demi pengembangan kosakata, sangat pas apabila misalnya Ramon Magsaysay Award dipadankan dengan Kusala Ramon Magsaysay misalnya. Mengapa? Karena kusala ini diberikan kepada pihak-pihak yang mencapai prestasi terbaik dalam mewujudkan pemerintahan yang berintegritas, gigih melayani khalayak umum serta mendorong terwujudnya masyarakat yang demokratis di Asia. Atau bila kembali ke soal KSK, maknanya pun menjadi lebih gamblang kenapa bila kemudian para penerimanya mendapatkannya.

Membanjirnya istilah-istilah asing ke dalam bahasa Indonesia akhir-akhir ini memang seharusnya membuat kita cukup khawatir. Keengganan untuk mencari padanan kata asing sering kali hanya berujung pada transliterasi. Padahal, sebagai sebuah negara dengan lebih dari 400 ragam bahasa, kosakata kita seharusnya lebih kaya.

Kalaupun memang tidak ditemukan padanannya, kita bisa meniru cara Malaysia. Pencarian padanan kata asing dalam bahasa Melayu setidaknya melalui 3 tahap. Pertama mengulik perbendaharaan kata dalam bahasa Melayu sendiri. Bila tidak ada, maka pencarian akan dilanjutkan ke kosakata dialek seperti Sabah, Serawak, Dayak dan sebagainya. Bila masih belum ditemukan, pencarian berlanjut ke kosakata Nusantara yang lebih luas lagi cakupannya: Indonesia, Singapura dan Brunei.

Pada akhirnya, meluasnya penggunaan kata-kata "baru" semacam kusala adalah angin segar bagi bahasa Indonesia. Tetapi, juga merupakan peringatan bagi kita: sampai kapankah ia akan melekat dalam ingatan kita? Jangan-jangan kita akan kehilangan kata-kata itu, suatu saat.

Belajar Patriotisme dari Indonesia

| Agustus 17, 2014 | Sunting
Bendera Merah Putih di Museum Sejarah Jakarta
Mendiang Pramoedya Ananta Toer menghabiskan hidupnya di penjara selama lebih dari 12 tahun. Ketika ia dibebaskan pada tanggal 21 Desember 1979, label tahanan politik (tapol) tetap melekat pada dirinya. Ia sendiri begitu menderita, begitu pula dengan keluarganya. 

Saya terakhir bertemu dengannya 17 tahun yang lalu: kondisi kesehatannya sedang tidak begitu bagus, namun dia tetap gembira dan banyak bicara - seperti biasanya. Di atas mejanya berdiri sebuah bendera Merah Putih kecil. Bendera itulah yang lantas begitu menarik rasa keingin-tahuan saya: bagaimana perasaannya pada simbol dari negara yang telah memperlakukannya dengan sangat tidak adil. Saya menduga Pak Pram akan menjawab bahwa dia tidak memendam perasaan apapun pada negaranya. Juga bahwa ia sudah menerima nasibnya, karena dia sendiripun memiliki masa lalu yang (selalu diasumsikan) suram. Dia adalah salah satu otak dari Lembaga Kebudayaan Rakyat, lembaga underbouw Partai Komunis Indonesia. 


Namun, nyatanya ia tetaplah sebagaimana orang Indonesia lainnya: loyal dan patriotik. Dia berbicara panjang lebar tentang negeri tercintanya. Utamanya tentang keyakinannya pada Bhinneka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi satu jua, yang merupakan semboyan Indonesia. Dan satu hal: dia tidak sedikitpun membenci negaranya. Juga tidak menafikkan pentingnya Hari Kemerdekaan. Bahkan ia juga mengenal begitu banyak bapak bangsa - termasuk Sukarno, presiden pertama Indonesia. 


Saya begitu iri pada orang Indonesia. Begitu menyinggung perihal manifestasi patriotisme, mereka tidak perlu lagi banyak kompromi. T
idak perlu perdebatan, pertengkaran ataupun himbauan pada mereka untuk mengibarkan Sang Dwiwarna. Tidak perlu pula pemimpinnya tampil di televisi untuk mengiba-iba, memohon dan membujuk rakyaknya untuk mengibarkan sang Bendera Negara.

Indonesia dipenuhi warna merah putih bulan ini - 17 Agustus 1945 adalah Hari Kemerdekaan Indonesia. Lebih dari sekadar seremoni, kemerdekaan Indonesia merupakan buah dari perjuangan panjang melawan orang putih yang datang untuk menjajah. Tak berhitung bulan dan tahun yang mereka butuhkan demi bisa menjadi sebuah negara. Demi bisa mengibarkan benderanya dengan aman dan tanpa rasa was-was. Tak heran mereka sebut benderanya Merah Putih suci. Yah, karena ianya memang kudus, suci.

Berbagai macam suku, bahasa, agama hingga pandangan politik membagi-bagi mereka. Tetapi, ada satu hal yang lantas menyatukan mereka: rasa hormat pada lambang negara Indonesia. Sang Saka Merah Putih utamanya. Lagu kebangsaan. Dan, rasa cinta mereka pada tanah air yang bisa dibilang selalu hidup, menyala dalam dada mereka. 

Patriotisme menjelma dalam aneka bentuk, sebagian dicibir orang. Kesangatan cinta pada tanah air dianggap kuno oleh sebagian orang. Pun dengan simbolisme yang tidak begitu berarti bagi sebagian anggota masyarakat kita.

Padahal, rasa setia pada tanah air tidaklah hanya dengan tunduk pada norma-norma kepatutan dan perilaku luhur. Rasa cinta pada negara bisa dimanifestasikan pada bentuk yang lain. Dan, di sinilah perdebatanpun sering kali bermula.

Tetapi, coba ceritakan hal tersebut pada orang-orang Indonesia. Mungkin prioritas mereka adalah memastikan lahirnya negara bangsa mereka, sisanya adalah urusan belakangan.

Mereka percaya pada persatuan dalam keberagaman. Mereka berbicara dengan bahasa yang sama. Mereka mengamalkan Pancasila, dasar negara mereka - tidak seperti Rukun Negara kita. Mereka mungkin belum "sesukses" kita dalam hal ekonomi, tetapi mereka telah membangun dasar negara mereka. Dasar untuk menyatukan 240 juta rakyatnya.

Bahkan, Pak Pram yang mendapatkan diskriminasi negara sekalipun tetap menulis novel-novel keren tentang Indonesia. Dunia mengenal Indonesia melalui buku-bukunya. Melalui cerita-ceritanya yang sedemikian jujur dan memukau.

Dari Keluarga Gerilya hingga Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dua dari novel autobiografi terbaiknya, ia mengajari kita tentang kerendahan hati, perjuangan, dan pengorbanan. Dan di atas semua itu: rasa cinta pada tanah air.

Hari Kemerdekaan memang bukanlah sekadar soal parade, lagu-lagu perjuangan dan pengibaran bendera. Juga bukan tentang bagaimana menirukan pekikan "Merdeka!" Tunku Abdul Rahman, perdana menteri pertama Malaysia. Tidak begitu penting bagaimana kita memanifestasikan patriotisme, tetapi, belajar dari Indonesia, paling tidak kita bisa mengibarkan Jalur Gemilang, bendera Malaysia, di depan kantor, toko, juga rumah kita.

Saya penasaran bagaimana respons mendiang Yasmin Ahmad melihat kita yang masih gemar mendebatkan apa saja yang bisa disebut patriotisme. Satu hal yang pasti: ia akan terus menunjukkan kepada kita Malaysia yang bersatu dalam film-filmnya. Malaysia yang senantiasa ia idam-idamkan.

*Tulisan ini diterjemahkan oleh seorang teman dari kolom Johan Jaaffar di harian New Straits Times. Hadiah untuk Peringatan Hari Kemerdekaan RI katanya. Saya ubah seperlunya.*

Lelaki dan Rumah

| Agustus 02, 2014 | Sunting
Ayah dan anak
Seorang ayah dan anak lelakinya dalam film Bal (2010)
Déjà vu! Beberapa hari setelah menuntaskan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas-nya mas Eka Kurniawan, saya menemukan potongan artikel dari majalah majalah Bung! edisi 1, Oktober – November 2011 di antara tumpukan buku yang hendak saya loakkan. Judul artikel tersebut seperti yang saya tulis di judul. Penulisnya tidak lain tidak bukan adalah mas Eka Kurniawan. Tulisan ini bercerita tentang hubungan lelaki dan rumah. Menyibak berbagai mitos, membentangkannya dengan sekian banyak tinjauan pustaka. Jujur, ianya membuat saya semakin jatuh cinta pada rumah.

Aibkah bagi seorang lelaki dewasa untuk terus tinggal di rumah orangtuanya? Bagi kebanyakan orang mungkin iya. Lelaki semacam itu bisa dianggap kurang macho. Tidak maskulin. Bahkan beberapa tradisi (Minang, misalnya), seperti mewajibkan lelaki untuk keluar dari rumah bahkan di usia yang sangat muda. Lelaki harus pergi dari rumah, hingga kelak boleh kembali untuk menguasai rumah. Dari manakah sebenarnya stereotip semacam itu berawal?

Pikiran tentang rumah, tentang pergi dari rumah dan kembali untuk menguasai rumah, barangkali sudah ada dalam pikiran asali manusia. Kisah jatuhnya Adam dari surga bisa juga dibayangkan sebagai simbol pergi dari rumah. Di rumah bernama surga itu, Adam bersama “keluarga besarnya”: Sang Pencipta, Iblis, Malaikat, benda-benda yang telah diberi nama dan kemudian Hama. Di usia yang disimbolkan sebagai dewasa, Adam diusir dari rumah, tapi tentu dengan sebuah janji: jika tiba waktunya, ketika misinya sudah berhasil, ia boleh kembali ke rumah. Kembali ke surga. Kembali ke pelukan “keluarga”.

Tengok juga kisah Pandawa dalam Mahabharata. Mereka baru bisa dibilang layak berkuasa, layak menang, setelah memperoleh ujian: diusir dari rumah. Bahkan meskipun pada akhirnya mereka membangun rumah baru di dalam hutan, setelah terlunta-lunta, ujung-ujungnya mereka tetap menguasai rumah yang lama, negeri Astina.

Fenomena pergi dari rumah untuk menguasai kembali rumah tidak melulu terdapat dalam kisah kolosal semacam itu. Di cerita rakyat Sangkuriang kita bisa menemukan pola yang mirip: Sangkuriang diusir dari rumah karena melanggar sejenis “kode etik” rumah (yakni membunuh ayahnya), pergi merantau untuk kembali ke rumah itu dengan hasrat menguasainya. Tak hanya menguasai rumah tersebut, tapi juga penghuninya – ibunya sendiri.

Tunggu dulu. Bagaimana dengan para pangeran? Para putra mahkota? Mereka jelas tinggal di keraton bersama keluarga mereka, dan bahkan kemudian mewarisi “rumah” tersebut untuk terus ditinggali. Tetap saja pola itu terus berlaku, pada satu titik para pangeran dan putera mahkota ini perlu diusir dari istana. Kita bisa membayangkan itu juga berlaku bagi para “pangeran” di kerajaan bisnis. Seringkali kita mendengar mereka sekali waktu disuruh pergi (dititipkan di kerajaan sahabat, dibuang ke sungai seperti Musa), tapi tentu dengan harapan akan kembali untuk menguasai “rumah”.

Juga di kelompok berandalan. Masih ingat kisah The Godfather karya Mario Puzo, yang adaptasi filmnya oleh Francis Ford Coppola juga sama memukau? Don Vito Carleone pun bahkan merasa perlu mengusir Michael anak bungsunya ke Sisilia, untuk kelak kembali ke rumah dan menjadi kepala keluarga mereka. Seolah tanpa pergi ke Sisilia, Michael tak akan pernah menjadi apa-apa. Tanpa dibuang ke hutan, lima bersaudara Pandawa tak akan memenangkan perang Bharatayudha. Demikian pula, setelah kemenangan yang gilang-gemilang dan menjadikannya pahlawan di perang Troya, kisah terbesar Homer tentang Ulysses justru adalah mengenai kepulangan sang pahlawan ke rumah, ke Ithaca. Seolah-olah perjalanan terberat manusia pada akhirnya adalah perjalanan dari rantau menuju rumah. Sebab bukankah perjalanan umat manusia untuk kembali ke surga, juga merupakan perjalanan yang berat?

Dengan kata lain, rumah sejenis surga tempat lelaki dilahirkan, dan kelak ia berharap itu menjadi tempat ia bisa kembali. Tanpa keluar dari surga, manusia bukanlah manusia. Dan tanpa kemampuan untuk kembali ke surga, berkumpul dengan keluarga, manusia itu bisa dianggap tersesat. Ia akan terlunta-lunta di sebuah tempat bernama neraka.
***
Ada sebuah cerita pendek karya penulis Argentina, Julio Cortazar tentang lelaki yang tak pernah pergi dari rumah berjudul “House Taken Over”. Dikisahkan si lelaki (dan adik perempuannya) mewarisi sebuah rumah besar dari orang tua mereka. Begitu besarnya rumah tersebut, sehingga dari hari ke hari mereka hanya disibukkan oleh mengurus rumah tersebut. Kesibukan tersebut membuat mereka tak hanya menjadi tidak bergaul dengan dunia luar, tapi juga menjadikan mereka tak pernah menikah.

Meskipun demikian, si lelaki bersetia menjaga rumah dan adik perempuannya. Hingga suatu malam serangan tersebut berawal: perlahan-lahan ada sesuatu yang menginvasi rumah tersebut, yang hanya ditandai bunyi-bunyi ribut. Invasi itu semakin merajalela dari malam ke malam, sehingga untuk mereka hanya tersisa sebagian kecil dari rumah itu. Tapi tak apa, toh mereka memang tak memerlukan ruangan yang sangat besar. Si lelaki hanya butuh tempat untuk menaruh buku-buku, sementara adik perempuannya hanya butuh tempat untuk merajut. Hingga satu malam, sesuatu yang menginvasi itu berhasil mencapai ruangan terakhir yang mereka tempati. Kakak-beradik ini pun terlempar ke luar rumah, dan hidup menggelandang di jalanan.

Cerita pendek tersebut memang sangat alegoris, dengan beragam tafsir bisa diajukan kepadanya. Tapi kesimpulan ringan bolehlah diambil: untuk lelaki yang tak pernah keluar rumah, sesuatu akan memaksanya keluar rumah dan akan membuatnya terlempar ke jalanan.

Franz Kafka di “Metamorphosis” juga bisa dibilang menceritakan seorang lelaki yang tak meninggalkan rumah, alias tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Dengan kedua orang tua yang tak memiliki pekerjaan, serta seorang adik perempuan yang tumbuh remaja, Gregor Samsa tak punya pilihan lain kecuali tetap tinggal di rumah untuk menjadi tulang punggung keluarga.

Gregor dikisahkan harus menghidupi keluarganya dengan cara menjadi penjual (pakaian) keliling. Setiap pagi ia berangkat untuk berjualan, dan menjelang malam ia baru pulang ke rumah, hanya menemukan dirinya lelah dan penat. Hingga satu hari ia terbangun dari tidurnya yang berhias mimpi buruk, dan menemukan dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa besar. Gregor Samsa tak hanya susah payah untuk bangun, lebih dari itu, ia tak pernah kembali menjadi manusia, dan tak lagi mampu melakukan apa pun yang bisa dilakukan oleh manusia. Merasa aib memiliki seorang anak yang berubah menjadi kecoa, keluarganya (yang selama ini menggantungkan hidup kepadanya) memutuskan untuk mengurung Gregor di dalam kamar.

Kisah ini juga pada dasarnya alegoris, tapi bolehlah juga kita meraba-raba pesan kecilnya yang tersirat: dipaksa oleh keadaan untuk tetap tinggal bersama orang tua di satu rumah, Gregor Samsa harus melata dan membusuk selamanya di dalam rumah tersebut. Bahkan menjadi kecoa besar seolah tak cukup sebagai kutukannya, ia mati tertimbun buah-buahan yang membusuk, dan kadang-kadang dilemparkan begitu saja ke arahnya.

Jika di cerita pendek pertama kita melihat lelaki yang tak keluar rumah pada akhirnya akan dipaksa menggelandang di jalanan, di cerita pendek kedua, kita melihat lelaki semacam itu harus menerima nasibnya untuk mati menjadi bangkai binatang melata yang menjijikkan.

Gambaran-gambaran semacam inilah, dari kebudayaan kuno hingga kebudayaan modern, dari Barat hingga ke Timur, yang membentuk stereotif bahwa lelaki memang harus pergi dari rumah jika waktunya sudah tiba. Ia boleh kembali ke rumah, jika misi perantauannya telah berhasil. Seolah-olah, rumah bukanlah tempat lelaki seharusnya berada. Ia baru layak masuk ke rumah, setelah mengalami apa yang disebut “terusir”.

Bahkan penyanyi balada kita, Iwan Fals di lagu “Rindu Tebal”, setelah diusir ayahnya dari rumah karena memberi “coreng hitam di muka bapak”, baru kemudian ia merindukan rumah dan berhasrat memperoleh ampunan agar bisa kembali.
***
Ada sebutan yang agak mengejek untuk lelaki yang tak pernah pergi dari rumah beserta sifat-sifat turunannya: “Anak mami”.

Meskipun bernada negatif, julukan ini ada benarnya. Rumah sebagai surga, sebagai tempat manusia dilahirkan, bisa juga dianalogikan sebagai rahim. Dan anak yang tak pernah meninggalkan rumah, ibarat bayi yang terlena untuk tetap terus berada dalam buaian rahim ibunya. Anak mami.

Dan analogi rahim ini pula, yang membuat perempuan tak memiliki stereotif untuk meninggalkan rumah. Bahkan sebaliknya, seorang perempuan seolah-olah tempatnya memang di rumah. Sebagai pemilik, pengatur dan penjaga rahim. Perempuan membuka pintu rahim dan rumah ketika lelaki hendak masuk, dan mengeluarkan anak-anak mereka dari rahim dan rumah pula.

Rumah, sebagaimana rahim, merupakan tempat berlindung yang alami. Tempat seorang anak memperoleh jaminan pasokan makanan. Tapi bahkan janin bayi di dalam rahim pun, setelah berumur sembilan bulan, harus dikeluarkan dari tempat yang aman-nyaman tersebut, untuk menghadapi dunia yang kejam dan bisa membunuhnya. Sebab segala sesuatu di dalam rahim tak lagi memadai untuknya terus tumbuh dan berkembang. Jadi adakah alasan untuk seorang lelaki menjadi anak mami? Tinggal terus dalam kenyamanan rahim ibu yang bernama rumah keluarga?

Dalam realitas sehari-hari, tentu kita bisa dihadapkan pada anomali-anomali atau terpaksa melawan tuntutan-tuntutan semacam itu. Seorang anak lelaki tunggal dengan orang tua tinggal, barangkali lebih memilih melawan norma “lelaki-pergi-dari rumah” untuk membela norma “lelaki-yang-mengurus-orang-tua”. Kita tahu, norma-norma di masyakat betapa pun buruknya, serta stereotif-stereotif, juga memiliki jenjang dan strata. Ada aturan-aturan main yang boleh dilanggar demi aturan main yang lain.

Di kebudayaan yang lebih modern, dengan pilihan-pilihan yang lebih luas dan longgar, kita bahkan lebih sering melihat seorang lelaki yang memang memilih untuk tinggal di rumah bersama keluarga, tanpa keterpaksaan apa pun. Artinya, bisa jadi ia memiliki pekerjaan, memiliki kemampuan untuk tinggal di tempat lain, dan tak ada apa pun di rumah yang perlu diurusinya. Tapi barangkali ia bukan “anak mami”, yang hidup dalam kenyamanan rahim ibu.

Trend ini bisa dilihat secara positif sebagai benturan dari trend emansipasi. Di luar fakta kita semakin sering melihat lelaki tinggal di dalam rumah, kita juga semakin sering melihat perempuan pergi dari rumah. Tentu saja ini bukan semata-semata pertukaran peran, tapi juga bisa dilihat sebagai rubuhnya infrastruktur-infrastruktur yang membentuk stereotif awal dimana lelaki harus pergi dari rumah dan perempuan harus menetap.

Jika rumah, di sisi lain, kita anggap sebagai wilayah politik yang mungil, dengan penguasa dan segala perangkatnya, menyiapkan seorang pewaris pada akhirnya tak lagi melulu dengan melemparkannya ke jalanan. Tradisi modern bisa menawarkan hal sebaliknya: membawa segala sesuatu yang di luar ke dalam rumah, sehingga lelaki tak perlu pergi merantau. Dan kita sudah menyaksikannya hari ini: televisi, media massa, internet. Dunia bahkan ada di dalam kamar tidur.

Dengan kata lain, lima bersaudara Pandawa pada dasarnya bisa mempersiapkan dirinya untuk melawan Kurawa tanpa pergi kemana-mana. Sangkuriang bisa membunuh ayahnya dan kemudian menguasai rumah dan ibunya, tanpa perlu mengelilingi dunia.

Kita memiliki kisah pengembaraan yang bagus mengenai hal ini. Dalam kisah sufistik Musyawarah Burung-burung karya Fariddudin Attar, kita mengenal tiga puluh ekor burung yang berusaha mencari ketua mereka, bernama Simorgh. Setelah perjalanan panjang, melewati tujuh lembah, mereka akhirnya sampai di satu puncak dimana diyakini Simorgh berada. Di sanalah mereka menyadari fakta perjalanan tersebut hanya untuk menemukan bahwa Simorgh adalah ketiga belas burung tersebut.

Perjalanan, dengan kata lain, tak lebih untuk menemukan diri sendiri.

Dan kita juga bisa membandingkannya dengan alegori Paulo Coelho, The Alchemist. Santiago harus melakukan perjalanan dari Andalusia menuju Mesir, hanya untuk menemukan kenyataan harta karun yang dicarinya, terdapat di tempat awal perjalanannya. Kesimpulan sederhananya, apa pun yang dicari seseorang, pada dasarnya ada di dalam dirinya, di rumahnya. Maka, pertanyaan pragmatisnya, untuk apa pergi dari rumah hanya untuk mencari rumah yang sama?
***
Kita kutip sedikit Sigmund Freud dalam The Interpretation of Dreams: “Barangkali inilah nasib kita, untuk mengarahkan impuls seksual pertama kita kepada ibu dan kebencian serta keinginan membunuh kepada ayah.”

Jika kita singgungkan hal ini kepada bahasan di atas, bisa dikatakan kepergian seorang lelaki dari rumah hampir selalu karena ayah, dan kembali ke rumah karena kerinduan kepada “rahim”. Sangkuriang terusir dari rumah setelah membunuh Si Tumang, anjing yang tak lain ayahnya, dan ia kembali untuk ibunya. Jika rumah benar adanya merupakan simbol dari rahim ibu, maka kepada rumahlah kerinduan kita pertama-tama ditempatkan. Kita ingin berada di rumah, dan ketika pergi, kita ingin kembali ke rumah.

Masalahnya, seringkali rumah tersebut ada pemiliknya: ayah. Dan pemilik rumah diasumsikan sebagai pemilik tunggal. Ada sejenis kontrak politik, jika ingin menguasai rumah, maka harus menggeser pemilik sebelumnya. Di sinilah Oedipus Complex terjadi: untuk memiliki ibu, seseorang harus membunuh ayah.

Pengusiran dari rumah dengan janji kemungkinan kembali di satu masa, bisa dipandang sebagai kompromi untuk mengatasi impuls ini. Rumah sebagai sebuah sistem politik kecil, harus mempersiapkan suksesi penguasa rumah secara damai, tanpa melibatkan apa yang ditakutkan: membunuh ayah. Dalam skenario semacam ini, si anak diusir dari rumah pada dasarnya tak semata-mata untuk melakoni sejenis perjalanan, tapi lebih penting lagi memang untuk jauh dari rumah. Dari ayah dan ibu. Si anak hanya diizinkan pulang ketika waktu suksesi itu memang telah tiba waktunya.

Maka, soal pergi dan tidak pergi dari rumah pada akhirnya merupakan pilihan politik kecil juga. Di luar situasi-situasi di mana seorang lelaki “terpaksa” keluar dari rumah karena melanggar sejenis “kode etik” rumah (seperti Sangkuriang yang membunuh Si Tumang, atau Michael yang melanggar kesepakatan keluarga Carleone), pergi dari rumah pada dasarnya merupakan pilihan politis, demikian pula sebaliknya. Dengan asumsi semacam ini, pertanyaan kenapa seorang lelaki tidak pergi dari rumah, bukanlah perkara apakah itu aib atau tidak, tapi apa latar di belakang pilihan-pilihan tersebut?

Di sinilah kita bisa sedikit menyimpulkan: jika perjalanan jauh mengarungi dunia pada akhirnya hanya untuk menemukan kembali rumah, siapa tahu tetap tinggal di rumah bisa menemukan dunia? Di alam besar terdapat alam kecil, dan di alam kecil terdapat alam besar.

Nama Jalan: Memanjangkan Ingatan

| Juli 15, 2014 | Sunting
Malioboro,namanya berasal dari malika bara, berbaliklah segera.
Seorang karib mengirimkan gambar potongan koran melalui inbox facebook. Pesannya singkat saja: untukmu yang mencintai jalanan. Aku terharu. Yah, terharu. Terlalu terbatas kosakata yang bisa mewakili cinta saya pada jalanan dan jalan-jalan. Dan saya mendadak rindu menyusuri jalanan Jogja pagi-pagi, siang-siang, sore-sore, malam-malam. Jalan, sebagai mana judul esai ini, adalah pemanjangan ingatan. Dan menikmati jalanan bagi saya adalah memperpanjang ingatan.
JALAN Tamansiswa, siapa yang tidak mengenal nama jalan ini, jalan yang oleh sebagian orang disingkat Jalan Tamsis. Bagi warga Yogyakarta atau masyarakat yang pernah tinggal di dalamnya tentu tahu letaknya, yaitu jalan yang membentang arah utara-selatan sepanjang simpang tiga Sentul sampai simpang empat Tungkak. Di sepertiga bagian utara, sebelah timur jalan berdiri sebuah pendapa bernama Pendapa Tamansiswa.

Di daerah Jalan Tamansiswa dulu merupakan permukiman prajurit Wiroguna, sehingga disebut sebagai Wirogunan. Bagaimana jalan tersebut sekarang lebih dikenal sebagai Tamansiswa? Nama Tamansiswa dipancangkan oleh karena sejarah. Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakanpendidikan untuk mencapai cita-cita, yaitu masyarakat Indonesia yang merdeka lahir-batin.

Raden Mas Suwardi Suryaningrat pendiri pendidikan perguruan Tamansiswa yang kemudian lebih memilih menggunakan nama rakyat,Ki Hadjar Dewantara, adalah pemilik pendapa yang dipergunakan sebagai tempat belajar-mengajar.Tamansiswa yang identik dengan Ki Hadjar Dewantara, berdiri 3 Juli 1922. Oleh karena jasanya memajukan pendidikan, kebudayaan dan jasa besar lain maka jalan yang melewati pendapa tempatnya mewujudkan cita-cita luhurnya tersebut diberi nama Jalan Tamansiswa.

Menamai jalan tentu tidak asal comot. Nama jalan ditetapkan tidak pula sekadar sebagai penanda fisik (sign) yang menunjuk arah dan letak sebuah wilayah tetapi sekaligus menjadi penanda (representamen) untuk memaknai kembali sebuah acuan (designatum). Kemaknaan sebuah jalan biasanya berkaitan dengan kesejarahan, pembelajaran,harapan dan ketauladanan. Sebagai contoh, Jalan Tamansiswa dipakai karena sejarah tempatnya, harapan pada cita-cita luhur dan keteladanan Ki Hadjar Dewantara.

Khususnya di Yogyakarta, nama-nama jalan bisa dibagi menjadi lima klasifikasi, meliputi nama orang; tanaman; tempat; profesi; dan peristiwa. Nama orang antara lain orang-orang keraton, pahlawan, wayang dan seniman-budayawan, seperti Suryodiningratan, Jenderal Soedirman, Arjuna, Affandi. Nama tanaman misalnya kepuh, mawar, munggur. Nama tempat misalnya Jalan Wonosari, Jalan Kaliurang, Jalan Bugisan. Nama profesi misalnya Jalan Patehan (abdi dalem pembuat teh), Jalan Gamelan (abdi dalem yang bertugas mengurusi kuda), Jalan Jlagran (tempat tukang jlagra, membuat nisan). Nama peristiwa misalnya Jalan Palagan (perang di masa revolusi kemerdekaan), Jalan Tentara Pelajar (perang masa revolusi kemerdekaan yang dilakukan para pelajar). Nama-nama tersebut kini menjadi nama jalan.

Jalan, Teks Atau Buku

Meskipun nama jalan terdiri dari satu kata atau frasa tetapi sifatnya seperti teks atau buku, yaitu 'berbicara panjang', sehingga memanjangkan ingatan kolektif terhadap masa lalu. Apakah 'kenangan' tersebut sekadar romantisme semata yang dicapai? Tentu tidak. Orang Yunani mengatakannya verba vollant scripta manent, bahwa omongan itu akan hilang, sementara sesuatu yang ditulis akan abadi. Maka kemudian nama-nama yang bermakna bagi sebuah masyarakat di suatu wilayah dipergunakan sebagai alat untuk memaknai sejarahnya. Nama sebuah jalan yang ditulis di sebuah plang kecil, meskipun pendek, ia adalah sarana untuk ‘belajar’, ‘mengenang’ dan memanjangkan ingatan.

Apabila suatu saat Si Fulan bertanya, "Mengapa jalan anu namanya Jalan Ki Hadi Sugito?" Atau Jalan Umar Kayam, SH Mintardja, Mozes Gatotkaca, Kunti, Manthous, Suyatin Kartosuwiryo, Marsinah, Udin, Munir, Wiji Thukul dan lain-lain ma ka setelahnya akan ada penjelasan panjang tentangnya. Masa lalu yang diceritakan kembali akan mereproduksi cara pandang tentang segala hal yang terputus, lupa atau bahkan sengaja dilupakan. Ingatan kolektif terhadap sesuatu yang bermakna, jangan lupa, bisa diwakili dengan hal-hal kecil sebagaimana plang sederhana bertuliskan nama jalan. 
 
Nama jalan dalam sebuah karya sastra telah ditulis oleh banyak sastrawan. WS Rendra dalam buku Sajak-sajak Sepatu Tua yang diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1972 memuat tiga judul puisi mengenai jalan. Ketiganya kebetulan berwilayah di Yogyakarta, antara lain 'Jalan Sagan 9, Jogja', 'Sawojajar 5, Jogja' dan 'Jalan Ungaran 5, Jogja'. Rendra muda adalah  pelaku seni yang pada masanya bermukim di Yogya, tak pelak jika nama-nama jalan ditulisnya dalam sebuah puisi, bahkan sebagai judul, menjadi indeks atas isi yang diungkapkannya.
 
Dalam 'Jalan Sagan 9, Jogja', puisi romantis itu tidak terjebak pada haru biru masa lalu, sebab ada saat-saat kita tak berdaya bukan oleh duka/ tetapi kerna terharu semata./ Mengharukan dan menyenangkan/ bahwa sementara kita tempuh harihari yang keras/ sesuatu yang indah masih berada/ tertinggal pada kita/. Sebagai sebuah puisi, nilai filosofi kental di dalamnya. Begitulah puisi yang jernih nan berisi, pandangan tentang kehidupan diungkapkan dengan bahasa sederhana, bahwa hidup yang keras harus dilakoni.

Jalan atau dalan (Jawa) adalah sebuah ruang yang jika kita menyebutnya, akan dengan serta merta muncul dimensi waktu. Oleh karena itu, dalam masyarakat Jawa mengenal istilah mlaku (berjalan) atau me-laku, yaitu melakukan tindak laku (praktik/prihatin) yang kemudian disusul pertanyaan penyerta: Kapan atau sampai kapan? Jika seseorang mlaku di atas kehidupan, maka jawabannya adalah dari liang rahim sampai liang lahat, urip iku kelakone kanthi laku, hidup itu dijalani dengan praktik atau prihatin. Maka, dalam khazanah kebudayaan kita mengenal gaya bahasa polisemi, misalnya dalan bayi, dalan padhang, dalan urip dan lain-lain.

‘Mlaku-mlaku’

Jalan atau mlaku, bukan jalan-jalan atau mlaku-mlaku (senang-senang, piknik), adalah hidup itu sendiri yang harus dimaknai, yaitu hidup yang penuh dengan kenyataan yang menyenangkan dan mengharukan. Apabila di sebuah wilayah terhubung oleh ruas-ruas jalan, masing-masing jalan perlu dimaknai, perlu diberi nama agar bermakna. Pasalnya, hidup yang di dalamnya pahit dan manis saling bertemu, manusia telah melewati berlusin pemberontakan/ berlusin kekalahan/ dan berlusin kenakalan/ yang menghadang bencana,/. Untuk apa perlu dimaknai? Agar di masa akan datang masyarakat bisa berjalan dengan lebih baik, agar masyarakat tidak terjerumus di lubang yang sama sehingga kutemuilah juga hiburan ini./ Segelas air dingin/ dan kasih sepasang mata.// (Sawojajar 5, Jogja). 
 
Selama ini, sayangnya, nama jalan dari Sabang sampai Merauke nyaris seragam, terutama jalan yang memakai nama pahlawan-militer. Hal ini tidak seimbang, misalnya dibandingkan dengan nama-nama tokoh lokal dari berbagai bidang kehidupan. Nama jalan yang persuasif juga belum dipakai, misalnya 'Jalan Bumi Manusia' (diambil dari judul novel Pramoedya Ananta Toer) yang berupaya mengajak masyarakat untuk gemar membaca atau 'Jalan Berburu Celeng' (judul lukisan Joko Pekik) yang mengingatkan masyarakat agar menghindari kebatilan, nahi munkar, dll.
 
Intinya, menamai jalan adalah upaya manusia untuk terus belajar atas pengalaman hidup, agar selalu memanjangkan ingatan untuk menjangkau hari depannya. Nama jalanpun sebaiknya dikemas, kita memerlukan nama-nama jalan yang memiliki visi pendidikan dan berkebudayaan.

Esai Hasta Indriyana, dimuat di KR Minggu, 6 Juli 2014

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine