Lelaki Tenggelam Paling Tampan di Dunia

| Oktober 04, 2016 | Sunting
Lelaki itu bernama Esteban
Anak-anak yang pertama kali melihat benda gelap itu mendekat dari arah laut mengiranya sebagai kapal musuh. Begitu menyadari benda itu tidak berbendera ataupun bertiang, mereka pikir itu pasti seekor paus. Baru setelah benda itu terhempas ke pantai dan mereka bersihkan rumpun rumput laut, tentakel ampai-ampai, dan bangkai-bangkai ikan, juga kapar yang ikut tersangkut, mereka sadar bahwa yang mereka perhatikan sedari tadi adalah jasad seorang lelaki.

Anak-anak itu sudah memainkannya sepanjang siang: menguburnya di pasir lalu menggalinya lagi, menguburkannya lagi, ketika seseorang tidak sengaja melihat dan mengabarkannya ke desa. Para pria yang kemudian menggotongnya ke rumah terdekat merasa bahwa si lelaki lebih berat dari mayat siapa pun yang pernah mereka tahu, ia hampir sama beratnya dengan seekor kuda. Mereka menerka-nerka mungkin karena si lelaki sudah terlalu lama hanyut, sehingga air sampai meresap ke tulang-tulangnya. Ketika membaringkannya ke lantai, mereka berkata bahwa lelaki itu lebih tinggi dari siapa pun karena hampir tidak ada ruangan yang cukup untuknya di rumah itu. Tetapi (lagi-lagi) mereka menerka-nerka bahwa mungkin ada lelaki tenggelam yang tetap memiliki kemampuan tumbuh. Aroma laut meliputi si lelaki dan hanya perawakannyalah yang membuat orang menduga bahwa ia adalah mayat manusia karena kulitnya terselimuti oleh lumpur dan kerak air.

Mereka tidak perlu membersihkan wajahnya untuk mengetahui bahwa si lelaki bukanlah warga desa mereka. Desa itu hanya terdiri dari dua-puluhan rumah kayu berhalaman batu, tanpa bunga, yang tersebar di ujung sebuah tanjung yang lebih mirip padang pasir. Hanya ada sedikit sekali daratan. Para ibu selalu diliputi cemas kalau angin akan menerbangkan anak-anak mereka dan, seperti yang korban-korban sebelumnya, mereka harus melemparkan jasad mereka dari atas bukit karang. Tetapi, lautan sekitarnya tenang lagi melimpah ikan dan semua lelaki desa itu muat masuk ke dalam tujuh perahu saja. Sehingga ketika menemukan lelaki itu, mereka hanya perlu melihat satu sama lain untuk tahu tidak ada seorang pun yang kurang.

Malam itu mereka tidak keluar melaut. Sementara para lelaki pergi ke desa-desa tetangga memastikan apakah ada warga mereka yang hilang, para perempuan tinggal untuk merawat jasad si lelaki. Mereka membersihkan lumpur di badannya, juga bebatuan bawah air yang tersangkut di rambutnya, dan dengan alat yang biasa digunakan untuk membersihkan ikan mereka mengerok kerak di tubuhnya. Ketika itulah mereka menyadari bahwa tumbuh-tumbuhan yang menyertai si lelaki berasal lautan jauh dan perairan dalam, dan dengan pakaian sobek di sana-sini, sepertinya ia terhanyut melewati labirin karang. Mereka juga merasa bahwa si lelaki pasti meninggal dunia dengan bermartabat, karena tidak sedikit pun tersirat raut kesepian di wajahnya sebagaimana korban tenggelam lain, atau kuyu lesu seperti orang yang tenggelam di sungai. Tetapi, baru setelah selesai membersihkannyalah mereka benar-benar sadar sosok seperti apakah si lelaki dan hal tersebut membuat mereka menahan nafas. Bukan hanya lelaki paling tinggi, paling kuat, paling jantan, dan juga lelaki bertubuh terindah yang pernah mereka lihat, tetapi bahkan sudah memandanginya sekali pun, tetap tidak ada ruang untuknya dalam angan-angan mereka.

Mereka tidak bisa menemukan ranjang yang cukup besar untuk membaringkannya ataupun meja yang cukup kokoh untuk persemayamannya. Celana panjang lelaki tertinggi di desa itu tidak akan pas untuknya, pun dengan kemeja orang paling gemuk, juga sepatu ukuran paling besar yang ada di desa itu. Terkesima oleh ukuran badan dan juga ketampanannya, para wanita memutuskan untuk membuatkannya celana dari potongan kain layar dan juga kemeja berbahan linen Brabant supaya si lelaki bisa melanjutkan kematiannya dengan terhormat. Selagi mereka menjahit, duduk melingkar sembari terus menatapi si mayat, terasa bagi mereka bahwa angin malam tak seperti biasanya, pun laut begitu bergelora dan mereka menduga bahwa perubahan itu ada hubungannya dengan si mayat. Mereka berandai-andai kalau lelaki yang menakjbkan itu pernah tinggal di desa, rumahnya tentu memiliki pintu yang paling lebar, langit-langit yang paling tinggi, dan lantai yang paling kuat. Ranjangnya pasti terbuat dari papan-papan bekas kapal yang mesti disatukan dengan baut baja, dan istrinya tentu adalah wanita paling bahagia. Mereka juga mereka-reka bahwa ia pasti memiliki kesaktian sehingga bisa mengeluarkan ikan dari lautan hanya dengan memanggil nama mereka dan ia adalah penggarap tanah yang ulet, yang mampu mengalirkan mata air dari sela bebatuan, sehingga ia bisa menanam bunga di atas bukit-bukit karang. Diam-diam para wanita juga membandingkannya dengan kaum lelaki desa, mereka yakin bahwa seumur hidup sekalipun mereka tak akan mampu melakukan apa yang si lelaki bisa lakukan dalam semalam, dan ujung-ujungnya para wanita itu menganggap kaum lelaki desa mereka sebagai makhluk yang paling lemah dan tak berguna di muka bumi. Mereka masih melanjutkan khayalan sampai seseorang yang paling tua di antara mereka, yang memandangi si lelaki malang dengan penuh kasih sayang dibandingkan nafsu, berbisik lirih: 'Lelaki ini memiliki wajah seseorang bernama Esteban.'

Benar memang. Sebagian besar dari mereka hanya perlu memandangi si lelaki sekali lagi untuk kemudian setuju tidak ada nama lain yang lebih cocok untuknya. Hanya seorang yang lebih keras kepala di antara mereka, yang paling muda, yang masih setia dengan khayalannya hingga beberapa jam kemudian, ketika mereka memakaikan baju pada lelaki itu dan membaringkannya di antara kuntum-kuntum bunga dengan sepatu kulit yang mengkilat, ia berpikir bisa saja namanya Lautaro. Tetapi tentu itu hanyalah ilusi kosong. Kain layar yang ada ternyata tidak cukup, celana yang dipotong dan dijahit seadanya juga terlalu ketat, dan kekuatan tersembunyi hati si lelaki sanggup melepaskan kancing-kancing kemejanya. Selepas tengah malam, hari Rabu sudah, hembusan angin mulai berhenti dan lautan mulai tenang. Keheningan itu seketika menghilangkan semua keraguan: lelaki itu memang Esteban. Wanita-wanita yang memakaikannya baju, menyisir rambutnya, memotong kuku-kuku jarinya, dan mencukur janggutnya tidak bisa menahan sedih ketika harus pulang dan meninggalkannya terbaring di lantai begitu saja. Saat itulah mereka mulai mengerti betapa tidak menyenangkannya hidup si lelaki dengan ukuran tubuh sedemikian besar, yang tetap merepotkan sampai ia setelah ia meninggal. Mereka bisa melihat berbagai kesulitan hidupnya: harus melewati pintu dengan tubuh menyamping, kepala terantuk gelagar, hingga harus tetap berdiri ketika sedang bertamu, tidak tahu apa yang harus dilakukannya dengan tangan besarnya yang lembut dan merah sementara nyonya rumah sibuk mencari kursi yang paling kuat dan mempersilakannya duduk dengan penuh rasa takut, silakan duduk Esteban, dan ia, dengan tetap bersandar ke dinding menjawab sambil tersenyum, tidak usah repot-repot Nyonya, saya berdiri saja, tumitnya merah dan punggungnya panas karena harus mengulanginya setiap kali berkunjung ke rumah orang, tidak usah repot-repot Nyonya, saya berdiri saja, demi menghindari rasa malu karena mematahkan kursi, dan tidak pernah tahu kalau mungkin mereka yang mengatakan jangan pergi dulu Esteban, tunggu kopinya siap, adalah orang-orang yang kemudian diam-diam akan berbisik si raksasa akhirnya pergi juga, syukurlah, si tampan dungu itu pergi. Itulah yang para wanita pikirkan di hadapan mayat si lelaki, beberapa saat sebelum subuh. Kemudian, ketika mereka menutupi mukanya dengan sapu-tangan untuk menghindarkannya dari cahaya, ia terlihat benar-benar sudah meninggal, begitu tak berdaya persis seperti kaum lelaki desa mereka, dan itu membuat hati mereka menangis. Yang lebih mudalah yang pertama-tama tersedu. Yang lain mengikuti, dari mulanya lirih saja lama kelamaan mereka meraung-raung, kian lama kian berurai air mata, karena bagi mereka si lelaki terasa semakin pantas menjadi Esteban, mereka benar-benar meratapi nasibnya yang sengsara, lelaki yang paling tenang dan baik hati di muka bumi, Esteban yang malang. Sehingga ketika para lelaki kembali dengan membawa kabar bahwa lelaki itu juga tidak berasal dari desa-desa terdekat, para wanita diliputi rasa bahagia di antara isak tangis mereka.

'Terimakasih Tuhan,' seru mereka, 'lelaki ini milik kita!'

Para lelaki berpikir bahwa kehebohan itu hanyalah drama khas wanita. Lelah dengan susahnya proses pelacakan sepanjang malam, satu-satunya yang ingin mereka lakukan adalah segera menyinggirkan si pendatang yang merepotkan itu sebelum matahari meninggi di hari yang kering tanpa angin itu. Mereka membuat tandu seadanya dari sisa-sisa tiang kapal lalu menalinya dengan laberang agar cukup kuat untuk membawa tubuh si lelaki hingga ke ujung tebing karang. Mereka ingin menalikan jangkar kapal barang ke tubuh si lelaki supaya ia tenggelam ke alun terdalam dengan mudah, tempat ikan-ikan buta dan para penyelam tak lagi mengenal iba, dan tidak akan ada ombak yang membawanya kembali ke pantai seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. Tetapi semakin mereka bergegas, para wanita juga semakin mencari-cari cara untuk mengulur waktu. Mereka berjalan kesana kemari seperti induk ayam yang tengah ketakutan, mematuk-matuk dengan jimat laut di dada mereka, beberapa merangsek dari satu sisi untuk memasangkan lemusir pembawa angin baik ke tubuh si lelaki, beberapa lagi di sisi yang berbeda memasangkan gelang kompas ke tangannya, dan setelah harus bersabar dengan teriakan semacam, jangan di situ hei, perempuan, minggir, lihat, kamu hampir membuatku jatuh menimpanya, kaum lelaki mulai menaruh curiga dan mempermasalahkan banyaknya pernak-pernik altar yang disiapkan untuk lelaki yang sama sekali tidak mereka kenal, karena seberapa pun banyak paku relikui dan guci air suci yang disertakan padanya, ikan-ikan hiu akan tetap saja memakan jasadnya, namun para wanita terus menumpukkan relikui-relikui kuno mereka, berlari kesana kemari, tersandung, tanpa tangis sedikit pun mereka meratapi si mayat, hingga para lelaki akhirnya hilang kesabarannya, sejak kapan kita ribut hanya karena mayat hanyut, lelaki tenggelam yang jelas bukan siapa-siapa kecuali seonggok daging dingin di hari Rabu.

Salah seorang wanita, tersinggung oleh ketidak-pedulian yang ditunjukkan para lelaki, lantas membuka sapu tangan yang menutupi wajah si mayat, membuat para lelaki melongo.

Lelaki itu adalah Esteban. Tidaklah perlu diulang lagi untuk mengenalinya. Mungkin mereka pernah menyinggung tentang Tuan Walter Raleigh, bahkan mungkin juga terkagum-kagum dengan aksen asingnya, burung makaw di pundaknya, dan senapan kopaknya yang mampu membunuh kanibal, tetapi hanya ada seorang Esteban di muka bumi ini dan di sanalah ia: terbujur seperti paus sperma, telanjang kaki, dengan celana yang kekecilan, dan kuku-kuku sekuat batu yang hanya bisa dipotong dengan pisau. Mereka hanya perlu mengambil sapu tangan yang menutupi wajahnya untuk mengerti bahwa ia merasa malu, bahwa bukan salahnya ia berukuran sedemikian besar, sedemikian berat, atau sedemikian tampan, dan kalau saja ia tahu apa yang akan terjadi, ia pasti sudah mencari tempat yang lebih terpencil untuk menenggelamkan diri, sungguh, aku bahkan akan mengikatkan jangkar galleon ke leherku dan terjun dari atas karang terjal seperti seseorang yang tidak ingin menyusahkan siapa pun dengan kehadiran mayat di hari Rabu, seperti yang kalian katakan, agar tidak merepotkan siapa pun dengan seonggok daging dingin nan kotor yang tidak ada hubungannya denganku. Sikapnya itu hampir sepenuhnya benar sehingga para suami yang paling pencemburu pun, yang sepanjang malam diliputi ketakutakan bahwa istri mereka akan berhenti memimpikan mereka dan mulai memimpikan si lelaki tenggelam, bahkan juga yang lebih pencemburu sekalipun, tak lagi mampu menyangsikan ketulusan Esteban.

Begitulah cerita bagaimana akhirnya mereka menyelenggarakan upacara pemakaman termegah yang pernah mereka lakukan untuk seorang lelaki tenggelam yang tak terbuang. Beberapa wanita yang pergi mencari bunga ke desa tetangga pulang membawa serta wanita-wanita lain yang tidak percaya pada cerita mereka, dan wanita-wanita itu pulang mengambil lagi banyak bunga begitu melihat jasad si lelaki, mereka terus membawa bunga lagi dan lagi hingga tempat itu sesak dengan bunga dan manusia, membuat untuk sekadar jalan pun susah. Pada saat-saat terakhir itu sungguh berat bagi mereka untuk memulangkan kembali lelaki itu ke laut sebagai yatim-piatu sehingga mereka memilihkan ayah dan ibu untuknya dari golongan yang terpandang, juga bibi, paman, dan kemenakan, sehingga karena dialah seluruh penghuni desa menjadi saudara. Para pelaut yang mendengar isak tangis dari kejauhan hingga salah memutar kemudinya, kabarnya seseorang bahkan sampai mengikatkan dirinya ke tiang pancang kapal, karena teringat akan dongeng kuno tentang Siren. Dan selagi orang ramai, lelaki dan wanita, berebut mendapatkan kesempatan untuk mengangkat jasad si lelaki menyusuri lereng tebing karang yang curam, untuk pertama kalinya mereka menyadari betapa jeleknya jalanan mereka, juga gersangnya pekarangan mereka, dan sempitnya angan-angan mereka begitu menyaksikan keelokan dan ketampanan si lelaki. Mereka menghanyutkan si lelaki tanpa jangkar supaya, kalau mau, ia bisa kembali ke desa itu kapan saja, dan mereka menahan nafas begitu jasad si lelaki perlahan-lahan jatuh ke dasar teluk. Mereka tak perlu melihat satu sama lain untuk sepakat bahwa mereka tak lagi, dan tak akan lagi, lengkap tak kurang suatu apa. Tetapi mereka juga mengerti bahwa segalanya akan sama sekali berbeda setelah ini, rumah mereka akan mempunyai pintu yang lebih lebar, langit-langit yang lebih tinggi, dan lantai yang lebih kuat sehingga kenangan akan Esteban dapat tetap lestari tanpa harus terantuk gelagar, dan agar tidak ada seorangpun yang akan bersorak gembira di masa mendatang, si raksasa akhirnya mati juga, kasihan, si tampan dungu itu akhirnya mati, karena mereka akan mengecat muka rumah mereka dengan warna-warna terang untuk mengabadikan kenangan akan Esteban, dan mereka akan memeras keringat menggali bebatuan untuk mencari mata air sehingga mereka bisa menanam bunga di atas bukit karang agar pada masa mendatang para penumpang kapal-kapal pesiar akan terbangun di pagi buta karena mencium aroma taman di atas lautan uty, dan si kapten kapal, dengan seragam dan atribut lengkap: astrolab, bintang pangkat, dan jajaran medali perangnya, akan berjalan menuruni anjungan kapalnya seraya menunjuk bentangan tanjung yang sesak dengan mawar di kejauhan, lantas ia akan berujar dalam empat belas bahasa, lihat itu di sana, tempat angin begitu tenang, di sana, yang matahari bersinar terang hingga bunga matahari kebingungan ke arah mana harus menghadap, ya, di sana, itulah desa Esteban.

Aku senang mengetahui bahwa ada satu tempat, di tengah hutan, di mana aku tertidur dengan bahagia.
Diterjemahkan dari cerpen Gabriel Garcia Marquez, The Handsomest Drowned Man in the World. Cerpen ini bagian dari Collected Stories terbitan Penguin, 2014, hasil terjemahan Gregory Rabassa and J.S. Bernstein.

Meski merupakan nama besar dalam aliran realisme magis, Gabo, demikian panggilan intimnya, lebih senang menyebut dirinya penulis realis karena menurutnya tidak ada satu pun karyanya yang tidak diilhami oleh kejadian nyata.

Ilustrasi adalah karya Jodie Richardson.

4 komentar:

  1. Terjemahan yang menurut saya paling masuk dibandingkan dengan beberapa terjemahan lain yang ada di internet. Ada beberapa pertanyaan dari saya Mas:

    1. Proses penerjemahan ini memakan waktu berapa lama?
    2. Bagian mana yang menurut mas paling menantang untuk diterjemahkan?
    3. Apakah ada terjemahan lain yang mas jadikan acuan untuk proses ini?

    Terima kasih Mas.

    Yusra

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih apresiasinya. :)

      Lupa sy sebenarny berapa lama karena prosesnya sendiri sy sambi dengan beberapa pekerjaan lain. Tapi setelah proses penerjemahan awal selesai, teksnya sy diamkan dulu, baru setelah beberapa waktu kubaca kembali untuk revisi.

      Cerpen ini secara keseluruhan cukup menantang karena ceritanya sendiri menurut sy sangat 'fotografis'. Kesan yang sama harus ada juga dalam terjemahannya. Dan itu sulit banget. Hehe.

      Sementara untuk perbandingan sy menggunakan terjemahan yang dipakai oleh Short Fiction Group @CU-Boulder. Secara bahasa, versi ini lebih ringan dibandingkan terjemahan Rabassa dan Bernstein.

      Hapus
  2. Esteban itu bisa di jelaskan ? Siapa itu esteban ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, kalau maksudnya siapa sebenarnya Esteban dalam cerita ini, tidak ada yang tahu. Gabo pun tidak pernah menjelaskannya.

      Beberapa orang percaya bahwa penduduk desa menamainya Esteban karena ciri-cirinya yang mirip dengan seorang penjelajah Amerika Utara bernama Esteban de Dorantes.

      Sebagian sumber lain berpendapat bahwa Gabo merujuk pada seorang tokoh dalam Injil ketika menyebut Esteban.

      Begitu, semoga membantu. :)

      Hapus

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine