Dua Ribu Rupiah di Lipatan Dompet

| Desember 31, 2012 | Sunting
Saya adalah manusia random yang senang menyimpan barang-barang yang sebenarnya tidak penting di dalam dompet. Mulai dari tiket bioskop, materai, potongan boarding pass, lipatan tiket kereta, risit belanja, hingga kertas-kertas penuh coretan tangan yang sebenarnya lebih layak untuk dibuang. Namun, entalah, saya merasa enggan saja untuk membuangnya. Sekali dompet butut saya sudah penuh, maka akan saya pindahkan barang-barang minor itu ke dompet pensil yang lebih besar.

Malam ini, di penghujung bulan Desember, saya kembali membongkar dompet. Beberapa recehan ringgit bergemerincing menggelinding ke kolong tempat tidur, berturut-turut kemudian terjatuh tiket bioskop untuk film Hobbit dan Life of Pi, tiket Metro Bus 91 ke Ong Tay Kim - pasar tempat saya biasa belanja bulanan, tiket Bus Transnasional jurusan Melaka - KL, slip ATM, dan kupon bekas pulsa elektrik. Namun, sepertinya ada benda lain yang nyrempil di antara KTP dan ATM, lantas saya tariklah ia. Wahai, selembar dua ribu Rupiah bergambar Pangeran Antasari kumal. Saya buka ia dari lipatan yang sudah benar-benar mlipit. Dan seketika itu terlihat tanda tangan saya di bagian tanda air, bertanggalkan 24 Juni 2012.
***
"Maaf mas, apakah ada uang lain yang lebih bagus?" ujar mbak-mbak petugas konter check-in Philippine Air, Terminal 2, Soekarno-Hatta, seraya mengembalikan selembar uang dua ribu rupiah kumal yang saya gunakan untuk membayar airport tax.
"Maaf mbak, itu uang terakhir saya. Sudah tidak ada lagi!" jawabku.
"Tetapi ini sudah terlalu kumal Mas, tidak bisa kami terima!" si mbak keukeuh.
"Mbak, ana rongewu?", tanyaku pada mbak Maria, teman perjalananku.
"Duitku kurang rongewu Mbak!", ulangku meyakinkan mbak Maria yang masih belum ngeh.

Sejurus kemudian mbak Maria menyorongkan lima rupiah padaku seraya berujar, muk ana iki Bast, uang yang langsung ke serahkan kepada si mbak petugas. Kubernapas lega begitu ia memberikan boarding pass-ku sambil mengucapkan selamat jalan. Namun aku sendiri yakin ia masih tertawa dalam hati melihat ada orang yang mau pergi ke luar negeri tanpa membawa uang. Yah, itulah aku! Uang terakhir dalam dompetku adalah seratus lima puluh satu ribu rupiah. Dalam perjalanan dari Gambir ke Soetta kugunakan untuk membeli air minum, tersisalah seratus empat puluh delapan ribu rupiah. Sebenarnya kubermaksud untuk menahan haus, namun karena sudah tidak tertahan ditambah lagi deraan lapar karena belum makan sama sekali, akhirnya ya sudah ku beli. Ku pun begitu gembira begitu mendapatkan dua ribu rupiah kumal dari dalam kotak pensil. Masih cukup untuk membayar airport tax, batinku. Namun, yah, dua ribu rupiah itu tadilah yang baru saja kutemukan, setelah 6 bulan berselang. :')
***
Enam bulan silam saya berangkat ke Manila, Filipina untuk sebuah pelatihan jurnalistik atau lebih tepatnya debat, jurnalistik dan videografi (selanjutnya akan saya tulis media saja) selama dua minggu. Sejak insiden kecil di konter check in saya langsung yakin perjalanan tersebut akan menjadi pengalaman yang menarik. Dan, ternyata saya memang benar. Hingga enam bulan berselang, memorinya masih begitu lekat dalam angan.

Empat puluh pemuda dari seantero Asia Tenggara dikumpulkan untuk belajar tentang pemanfaatan media dalam membantu kegiatan sosial yang tengah mereka jalankan di negaranya masing-masing. Sekilas lalu, ada Dave Albao - seorang Buddhist, delegasi Filipina yang concern pada isu kerukunan antar umat beragama, Precy - pejuang hak buruh yang senegara juga dengan Dave, Lucas - penjuang HAM dari Malaysia, dan puluhan aktivis lainnya yang masing-masing dari Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Singapura, dan tentunya Indonesia. 

Indonesia sendiri kala itu berhasil mengirimkan 6 orang. Masing-masing mbak Maria - advokasi hak anak dan perempuan dari Klaten, bang Waway - peneliti di FKM UI, bang Zul - pekerja di salah satu badan PBB di Jakarta, mbak Dining - advokasi remaja dari Pati, Vina - pejuang perempuan dari Medan, dan saya sendiri - penggembira, haha.
***
Pelatihan sendiri secara keseluruhan adalah hari-hari panjang yang penuh dengan kelas debat - jurnalistik - video. Namun yang menarik adalah selalu dan selalu ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, sehingga praktis kami selalu menghabiskan malam di lobby hotel untuk mengebut tugas.
Sebagian peserta SEA Youth Media Camp
Di luar itu, pelatihan juga diisi dengan malam budaya, dimana masing-masing negara menyiapkan booth untuk memperkenalkan budaya negara bersangkutan. Indonesia sendiri, yang tidak tahu kalau harus mempersiapkan booth, mempersiapkannya dengan sangat sederhana. Booth kami hanya berisi beberapa baju batik, kostum timnas Indonesia, beberapa kerajinan dan cinderamata khas, dengan backdrop bendera Merah Putih. Namun, sebagai warga negara Indonesia sejati, kami didukung dengan bakat meramaikan suasana yang mumpuni. Walhasil malam itu Manila digoyang Ayu Ting Ting dan juga Tor-tor massal, diikuti oleh peserta dari berbagai negara, hehe.

Selain itu, kegiatan juga diisi dengan semacam praktik lapangan. Peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk kemudian diserahi dua tugas untuk diselesaikan: membuat video pendek dan feature story. Preccy (Filipina), Sokha (Kamboja), Chamta (Myanmar), dan Nguyen (Vietnam), itulah kelompok saya. Kelompok yang kemudian berubah menjadi keluarga lintas negara dan budaya. :) Keluarga yang terkadang dibatasi oleh kemampuan bahasa, namun kemudian tercairkan dengan semangat kerja sama.

Kerja sama yang kemudian membuahkan gelar Best Feature Story. Kami menyoroti kisah hidup Pasita Coliera, seorang nenek 68 tahun yang sudah puluhan tahun tidak mendapatkan akses air bersih. Kasus ini kami angkat mengingat kasus yang sama juga dihadapi oleh jutaan penduduk di berbagai negara. Merekam keseharian nenek ini seolah melemparkan kami ke bagian terkumuh Filipina - meskipun menurut Preccy masih ada kawasan yang lebih kumuh. Pasita tinggal di dekat pantai yang selalu kebanjiran di saat pasang ataupun hujan. Dan sekali banjir, beragam materialpun kemudian lalu lalang, mulai dari kotoran anjing hingga sampah plastik.
***
Manila (baca: 2012) secara tidak langsung juga mengukuhkan hati saya untuk memupuk passion di bidang tulis menulis. Saya bukanlah debater yang handal, bukan bula tukang video yang mahir, namun paling tidak saya bisa menulis dengan (lebih) baik. Salah satu tulisan saya bahkan secara tidak terduga menjadi media memoir terbaik. :')


Siapa?
Malam ini, enam bulan kemudian di Kuala Lumpur, saya tengah mengumpulkan memori-memori itu melalui selembar uang dua ribu rupiah. Tulisan saya memang belum bisa berperan apa-apa. Namun, Alhamdulillah, saya bisa banyak belajar dari sana. Status-status facebook saya mendapatkan respon positif dari para pegiat dunia maya. Beberapa tulisan di blog ini juga sempat diperbincangkan di forum-forum. Yah, menulis telah menyadarkan saya akan dunia, mengasah ketajaman insting saya akan apa yang tengah terjadi di luar sana. Yah, saya bahagia dengan menulis. Oh ya, dibicarakan atau tidak, dibaca atau tidak, saya akan tetap menulis :)

Gaza, Bola-bola Mimpi yang Pupus

| November 19, 2012 | Sunting
#PrayForGaza, #StayStrongGaza, #GazaUnderAttack, dan berbagai hashtag berbau Gaza lainnya lalu lalang di twitter beberapa hari belakangan ini. Tetapi entah kenapa seruan tersebut tidak pernah benar-benar menjadi trending topic, sebagaimana ketika kasus penyerangan Mavi Marmara dulu. Di Indonesia sendiri, gaungnya di twitter tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan hashtag tidak penting (menurut saya) semacam #IndonesiaBanggaPunyaSmash (?).

Ketika Mereka Datang
Namun, sudahlah, ini soal hati. Hati yang bermain soal peduli atau tidaknya seseorang atas apa yang tengah terjadi di Gaza. Hatilah yang membuat ribuan orang tergerak mengusung petisi daring menyeru para pemimpin dunia untuk melakukan sesuatu, hatilah yang menggerakkan ribuan orang mengumpulkan donasi, dan hati pulalah yang menyetir jutaan lainnya untuk sekadar mengabarkan di laman facebook, twitter maupun blog mereka tentang apa yang sedang terjadi di Palestina.

Bagaimana denganku? Entahlah. Tetapi ku tetiba teringat pada satu buku yang belum juga selesai kubaca. Buku murah seharga lima belas ribu rupiah di belakang Taman Pintar beberapa bulan silam. Judulnya Bola-bola Mimpi. Sebuah novel  yang diterjemahkan dari  A Little Piece of Ground-nya Elizabeth Laird. Novel yang sempat kutulis beberapa paragraf pembukanya di buku serbagunaku. Dan, setelah kubuka-buka lagi, ternyata masih ada.
Sepuluh hal terbaik yang aku inginkan dalam hidupku oleh Karim Aboudi, Apartemen Jaffa 15, Ramallah, Palestina.
1. Pemain sepak bola terbaik di dunia
2. Keren, populer, ganteng, dengan tinggi minimal 1,9 meter (yang jelas lebih tinggi dari Jamal)
3. Pembebas Palestina dan pahlawan nasional.
4. Pembawa acara televisi dan aktor terkenal (yang penting terkenal)
5. Pencipta game komputer terbaik sepanjang masa.
6. Jadi diri sendiri, bebas melakukan semua yang aku suka tanpa diawasi terus-terusan oleh orangtua, kakak, dan guru-guruku.
7. Penemu formula asam (untuk menghancurkan baja yang digunakan dalam persenjataan, tank, dan helikopter milik Israel).
8. Lebih kuat dari Joni dan teman-temanku yang lain (ini tidak terlalu berlebihan).
9. Hidup. Kalaupun harus tertembak, hanya di bagian yang bisa disembuhkan tidak di kepala atau tulang belakang, insya Allah.
10. ......
Yah, novel ini berkisah tentang Palestina, tentang dunia penjajahan. Tetapi dituturkan dengan sangat sederhana dan apa adanya oleh seorang bocah 12 tahun bernama Karim Aboudi. Babanya, Hasan, adalah pemilik toko elektronik. Sementara ibunya, Lamia, ibu rumah tangga yang nyambi bekerja paruh waktu di sebuah universitas. Jamal yang beberapa kali ia sebut tadi adalah kakaknya – 15 tahun – yang sering meleset ketika melontarkan ketapel ke tank-tank Israel.

Hidup di bawah opresi tidaklah mudah, terutama bagi Karim sendiri. Bahkan untuk sekadar menuliskan 10 hal yang ia inginkan saja ia harus berpikir begitu keras. Memastikan bahwa apa yang ia tulis itu benar-benar harus diberi prioritas. Baginya kelewat lebih mudah untuk menuliskan apa yang tidak ia inginkan tentunya.
Sepuluh hal yang tidak aku inginkan:
1. Tidak jadi pemilik toko seperti Baba.
2. Tidak jadi dokter. Mama terus-terusan memaksaku menjadi dokter. Padahal mama tahu aku benci darah.
3. Tidak pendek
4. Tidak menikah dengan perempuan seperti Farah.
5. Tidak tertembak di punggung dan duduk di kursi roda seumur hidup seperti salah satu teman sekolahku.
6. Tidak jerawatan seperti Jamal.
7. Tidak dihancur-ratakan (maksudku rumah kami) oleh tank Israel dan mengungsi ke tenda “kumuh”.
8. Tidak sekolah.
9. Tidak hidup dalam penjajahan. Tidak dicekal terus-terusan oleh tentara Israel. Tidak takut. Tidak terjebak di dalam rumah atau gedung.
10. Tidak mati
Lancar sekali Karim menuliskannya. Walaupun beberapa memang terlihat sangat lucu. Untuk tidak menikah dengan perempuan seperti Farah misalnya, sekadar karena Farah – adiknya – masih sering ngompol. Haha

Karim banyak melewatkan hari-harinya bersama sang sahabat, Joni Boutros, seorang Nasrani. Ia juga secara tidak sengaja berkawan dengan seorang anak Palestina yang tinggal di kamp pengungsian, Sami – namun memperkenal dirinya sebagai Grasshopper. Nah, bersama si Hopperlah Karim menemukan surganya, sebuah lahan sempit untuk bermain bola (demi mewujudkan mimpinya untuk menjadi pemain sepak bola sehebat Zidane).

Meraka Bombardir Sekolah Kami
Malangnya, di sekitar tempat itu pulalah pada akhirnya Karim terjebak oleh tentara Israel yang mendadak mengumumkan jam malam dan menduduki “lapangan Karim.” Selama beberapa hari ia bersembunyi di sebuah mobil bekas yang memang sudah ia dan Hopper rancang untuk keadaan darurat – bersama seekor kucing betina dan dua anaknya: Aziza, Huriyah dan Ginger. 

Saat pelarian pulang inilah ia terkena tembak. Anak Gaza ditembak tentara Israel memang bukanlah sesuatu yang asing lagi. Itupun Karim masih bisa mengucap syukur karena ia tertembak di bagian kaki, bukan di kepala atau punggung – seperti yang ia tulis dalam daftar hal terbaik yang dimaunya.

Pasca penambakan itu praktis Karim lebih banyak menghabiskan waktunya di atas tempat tidur. Berusaha untuk tidur meski tak pernah berhasil. Ia mencoba membuat permainan baru, merangkai cerita, hingga melamun. Mengingat kembali mimpi-mimpi yang ia tulis. Sembebaskan Palestina, menjadi pemain bola, menciptakan game komputer, menjadi penemu – semuanya sampah, begitu pikirnya.
Karim ingat, daftar itu belum selesai. Ada satu lagi yang perlu ia tambahkan agar benar-benar lengkap sepuluh. Sekarang dia tahu. Setelah mengalami semua kejadian ini, Cuma ada satu hal yang paling dia inginkan.
Menjadi orang biasa, gumam Karim. Hidup sebagai orang biasa di negeri biasa. Di negeri Palestina yang merdeka. Tapi itu seperti mustahil. Mereka tidak akan pernah memberikan apa yang seharusnya menjadi hak kami, gumamnya lirih.
Aku menangis di beberapa bagian. Betapa tidak mengenakkannya penjajahan. Bagaimana mimpi anak-anak seperti Karim harus pupus (walaupun mereka tidak pula lantas menyerah begitu saja pada keadaan).

Saat ini, mungkin sudah lebih banyak lagi mimpi anak-anak Gaza yang terputus. Mimpi belasan anak yang meninggal sejak operasi gencar dilancarkan oleh Israel beberapa hari lalu misalnya – diluar mimpi ribuan anak lainnya yang harus bertahan di kamp pengungsian seperti Hopper.

Sungguh, bagaimanakah perasaanmu bila menjadi seorang Karim. Dulu, sebagian darimu, bahkan sudah sangat marah hanya karena mobil-mobilan atau robot-robotanmu direbut orang lain, lantas seberapa "marah"kah engkau ketika ada orang yang mengambil tempat bermainmu, merenggut mimpi-mimpimu? – diluar juga kemungkinan hilangnya nyawa keluarga, teman, dan sanak saudaramu. Mari menunduk sejenak. Berdoa untuk Gaza, juga saudara-saudara kita di belahan bumi manapun yang masih dicabik-cabik penjajahan.  Yang pasti, perjuangan tidak akan pernah mencapai kata menyerah. We will not go down!
We will not go down! dari Michael Heart

Merah Putih di Titian Kawat Pintu Gabang

| November 08, 2012 | Sunting
Awal tahun ini, publik kita dibuat terhenyak oleh media Inggris, Daily Mail, yang memuat foto perjuangan anak-anak SD di Banten menyeberangi jembatan rusak demi berangkat sekolah. Mereka bahkan menamai pemandangan di jembatan penghubung kampung Ciwaru dan kampung Cikiray, Kalanganyar, Lebak, Banten ini sebagai  Indiana Jones dari Indonesia. Merujuk pada salah satu adegan film Indiana Jones and the Temple of Doom, dimana Jones harus menyeberangi jembatan yang nyaris putus. Beruntungnya, jembatan tersebut kemudian dibangun kembali dengan dana CSR dari Krakatau Steel.

Sayangnya, masih banyak jembatan lain yang juga menantang maut anak-anak kita demi pergi ke sekolah. Dan kali ini, media yang sama kembali mengekspos perjuangan mereka dalam sebuah berita dengan selarik judul sarkastik - No, they're not in training for I'm A Celebrity... they're just going to school.
Merah Putih di Titian Kawat
Adalah pada sebuah kampung bernama Pintu Gabang, kelurahan Lambung Bukit, kecamaan Pauh, kota Padang, Sumatera Barat yang saat ini menarik perhatian. Foto seorang anak laki-laki lengkap dengan seragam merah putih dipotret tengah meniti sebatang kawat baja, satu-satunya bagian jembatan yang masih tersisa, yang terbentang di atas sungai Batu Busuk. 
Kasus Lama
Saya tergerak untuk mencari informasi apakah hal tersebut benar terjadi. Dan ternyata, berdasarkan berita dari Harian Haluan tertanggal 26 Juni 2012, kasus ini sebenarnya merupakan kasus lama. Dalam berita tersebut dituliskan tentang kampung Pintu Gabang - dan satu kampung lain, Ubi, sebagai daerah terisolir yang belum tersentuh aliran listrik. Dan juga pembangunan infrastruktur yang sangat minim.
Harian Haluan, 26 Juni 2012
Bahkan, untuk sampai ke kampung tersebut, warga terpaksa meniti pengikat jembatan yang telah hancur - jembatan yang kemudian dipotret fotografer lokal, uda Igoy el Fitra. Ironisnya adalah daerah tersebut berada tidak jauh dari kawasan PLTA Kuranji, pemasok kebutuhan listrik PT Semen Padang. Plus, daerah ini sendiri merupakan binaan Universitas Andalas dan PT Semen Padang.

Masih dari berita yang sama, dikutip pernyataan Enek, nenek 80 tahun warga setempat yang mengatakan bahwa bahwa kondisi jalan yang buruk dan juga tidak adanya aliran listrik sudah dirasakan sejak berdirinya perkampungan tersebut. Dan kemudian keadaan diperparah dengan hancurnya jembatan yang melintasi sungai Batu Busuak 2 tahun silam karena diterjang banjir.

Penjelasan Enek diamini oleh Rabbanis (60), warga Kampung Ubi. "Sudah tak terhitung berapa banyak janji yang kami terima dari pihak terkait untuk membangan daerah kami. Namun, janji sekadar janji, pembangunan tidak pernah kami rasakan. Kami hanya rakyat biasa, tidak bisa melakukan apa-apa!", ujarnya.

Janji dan kunjungan yang dimaksud Rabbanis terekam sempurna salah satunya oleh berita dari harian Singgalang bulan Juli lalu - Jembatan 'Maut' Batu Busuk DPRD Ngaku Prihatin. Wakil Ketua DPRD menyebutkan beberapa poin seperti, "DPRD sudah beberapa kali mendesak Pemko Padang untuk membangun jembatan tersebut...", "...komisi terkait sudah beberapa kali melakukan kunjungan lapangan dan koordinasi dengan PT Semen Padang untuk memperbaiki jembatan itu.", hingga "... PTSP pun sudah pernah menyatakan kesanggupannya untuk membantu perbaikan..."

Tetapi, nyatanya keadaan di lapangan menunjukkan tidak ada tindakan apa-apa hingga beritanya masuk Daily Mail.
***
Kalau harian lokal semacam Haluan ataupun Singgalang tak cukup mempan menyentil publik dan pemerintah, semoga sentilan dunia kali ini cukup terasa untuk "memaksa" kita (dan lagi-lagi pemerintah) untuk melakukan sesuatu demi anak anak Pintu Gabang dan Kampung Ubi! Lantas apa?
Meniti kawat
Pintu Gabang, Sumatera Barat
Basah
Pintu Gabang, Sumatera Barat
Menunggu
Pintu Gabang, Sumatera Barat
3 Gadis
Terbaru: Desember 2012, jembatan ini kini diperbaiki melalui swadaya masyarakat tanpa bantuan pemerintah setempat. Meski begitu, telah dilakukan kesepakatan tertulis dengan PT Semen Padang untuk pembangunan jembatan baru bagi warga. Keterlambatan pembangunan jembatan tersebut disebabkan oleh terhambatnya izin tanah. Berdasarkan kesepakatan baru tersebut, posisi jembatan akhirnya akan digeser sekitar 200 meter.
Jembatan Pintu Gabang mulai dibangun

Edukasi untuk Bangsa: Jamilah dan Para Pembelajar

| November 06, 2012 | Sunting
Namanya Jamilah, pekerja rumah tangga asal Indonesia di Malaysia. Kami bertemu secara tidak sengaja di meja pengambilan modul Pelatihan Bahasa Inggris dan Komputer untuk rekan-rekan Tenaga Kerja Indonesia, hari Minggu — 4 November lalu di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL).

Perempuan lima puluh tahunan tersebut dengan penuh semangat menceritakan "perjuangannya" untuk sampai ke SIKL: berjalan kaki dari Chow Kit menerobos rintik hujan yang memang turun sedari pagi. Menurut Google Map, jarak yang ia tempuh memang tidak lebih dari satu setengah kilometer. Namun, melihat umurnya yang tak lagi muda dan juga kemauannya mengorbankan hari Minggu yang biasa ia gunakan untuk istirahat setelah sepekan bekerja, maka kulangsung terkagum-kagum padanya. "Lari-lari saya Mas, takut terlambat!", ujarnya dengan keringat berlelehan, melunturkan sapuan bedak tipis di wajahnya.

Rasa kagumku padanya ternyata tak berhenti di sana. Dalam kelas bahasa Inggris, Bu Jamilah menunjukkan antusiasme belajar yang luar biasa. Kelas dimulai dengan pengenalan subject dan to be. Materi yang terlihat sangat gampang, namun nyatanya banyak rekan TKI yang membutuhkan ekstra waktu untuk benar-benar memahaminya.
"Jadi, we itu kata untuk menggantikan sejumlah orang Bu. Bisa dua, tiga, ataupun empat. Tetapi, diri kita sendiri juga dihitung. Contohnya begini Bu: saya, Cahyati, Rinto, dan Amir, itu disebutnya we! Sudah jelaskah Bu?"
"Ohh begitu ya, jelas sekarang saya Mas...!"
"Alhamdulillah. Sekali lagi ya Bu: saya, Rani, Joko, dan Fitri, itu kata gantinya apa Bu?"
"Hummm, hehe, she ya mas? Atau they?"
Seperti itulah kondisinya, sehingga pengajar memang harus bersabar untuk kembali menjelaskan. Untung saja, selain tim pengajar, para TKI yang sudah mengerti juga berinisiatif untuk menjelaskan pada rekannya yang belum paham. :')

Namun, hal yang berbeda kutemukan dari sosok Bu Jamilah. Ia dengan penuh semangat ternyata telah menyelesaikan soal latihan dengan persentase kebenaran hampir 100 %. "Ibu sudah pernah belajar Bahasa Inggris ya sebelumnya?", tanyaku menyelidik yang kemudian dijawabnya dengan gelengan, "Belum mas, makanya saya mau belajar!"

Ah, pepatah belajar di usia tua bagaikan mengukir di atas air ternyata tidak begitu berlaku pada Ibu yang kemungkinan besar dari Madura ini — atau paling tidak daerah lain di Jawa Timur sesuai logatnya. Ku tercenung, terkagum lagi lebih tepatnya. Kalau tadi karena kemauannya, sekarang karena kemampuannya membuka pikiran untuk kemudian menyerap materi pelajaran. "Saya malu Mas, karena malah saya yang diajarin sama si Ibu!", bisik seorang peserta yang masih muda, teman duduk bu Jamilah.

Kekagumanku pada Bu Jamilah semakin membuncah ketika di akhir kelas beliau menemui salah satu koordinator pengajar. "Mbok kalau bisa saya dibuatkan surat keterangan (mengikuti pelatihan ini) Mas!", ujarnya seraya menceritakan betapa majikannya sebenarnya tidak mengizinkannya keluar pagi itu. "Tetapi saya tetap ngeyel. Mereka kejar terus, saya tahu dari siapa ada pelatihan segala macam, saya jawab dari koran, mereka tanyakan mana korannya. Setelah itu dikejar lagi, kenapa tidak dari dulu-dulu ikut pelatihannya. Tetapi saya jawab terus Mas. Mereka tegas, sayapun jawab dengan tegas, jujur! Mungkin mereka takut kalau saya keluar untuk bekerja di tempat lain! Jadi saya minta tolonglah untuk surat itu", tandasnya.
***
Edukasi untuk Bangsa
Kisah Bu Jamilah hanyalah sekelumit kisah yang mewarnai hari pertama Pelatihan Bahasa Inggris dan Komputer — Edukasi untuk Bangsa hari Minggu lalu. Pelatihan ini sendiri lahir dari gagasan para ekspatriat dan mahasiswa Indonesia untuk turut berkontribusi, mengembangkan kemampuan para TKI di Malaysia. Dibantu oleh berbagai pihak, pelatihan ini sudah memasuki angkatan ke tiga. Dan tidak seperti dua angkatan sebelumnya yang diadakan di salah satu restoran Indonesia di Pasar Seni, kali ini pelatihan diadakan di SIKL.

Kegiatan dibuka langsung oleh Mulya Wirana (Wakil Dubes RI untuk Malaysia) dan dihadiri beberapa pejabat terkait. Menyulap tiga buah ruang kelas SIKL menjadi sebuah aula, acara berlangsung dengan sangat sederhana. Tidak ada pemotongan pita, pemukulan gong, apalagi kembang api. Penyerahan modul dan bahan ajar oleh Ketua Umum Edukasi untuk Bangsa, Aulia Badar, kepada Wakil Dubes sudah lebih dari cukup untuk menjadi penanda dimulainya pelatihan!

Namun, lebih dari itu, acara tidak benar-benar sesederhana penampilannya. Sebagai orang yang diamanahi untuk menjadi pembawa acara, ku menyaksikan dengan jelas gelombang semangat seratusan TKI yang hadir. Kumenyaksikan sejak aula masih kosong, beberapa kursi mulai terisi, setengah aula penuh, hingga beberapa panitia mulai mengangkut kursi tambahan ke dalam aula tanda membludaknya rekan-rekan TKI yang datang. Dari mbak Finy, petugas pendaftaran, kudapatkan informasi mengenai banyaknya TKI yang baru mendaftar pagi itu, sehingga wajar bila kemudian tempat yang disiapkan panitia kurang.

Angkat Harkat

Pelatihan bahasa Inggris dan Komputer ini diharapkan bisa mengangkat harkat dan martabat tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Sejauh ini, meskipun menguasai berbagai sektor pekerjaan, namun tenaga kerja kita kadang masih kalah "nilai jualnya" apabila dibandingkan dengan pekerja asing lainnya. Di sektor pekerja rumah tangga misalnya, TKI kita harus susah payah untuk mendapatkan gaji minimal RM 700 (sekitar Rp 2,100,000), bandingkan dengan gaji minimal RM 1000 (Rp 3,000,000) yang dengan mudah didapat oleh pekerja rumah tangga asal Filipina.

Apakah sebabnya? Ternyata karena faktor kemampuan komunikasi dan keterampilan ekstra yang menjadi pembedanya. Pekerja asal Filipina lebih fasih berbahasa Inggris. Humm.

Untuk itulah selama kurang lebih 4 bulan ke depan, para peserta akan dibekali dengan berbagai kecakapan berbahasa Inggris juga dalam mengoperasikan komputer. Sesuai jadwal, kelas akan dibagi menjadi 3 sesi: pukul 11:00 - 13:00 untuk bahasa Inggris, dilanjutkan kelas Komputer pukul 14:00 - 16:00. Berdasarkan tes yang sudah dilakukan sebelumnya, kelas dibagi menjadi dua: beginner (pemula) dan upper-beginner (lanjutan).Di kelas beginner memang benar-benar untuk mengenalkan peserta pada materi dari dasar. Sementara, di kelas upper-beginner diberikan variasi materi lain.

Diharapkan, keterampilan lebih dapat menjadi bekal rekan-rekan TKI untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. "Beberapa jebolan pelatihan ini juga menjadi punya keberanian lebih untuk kuliah di UT (Universitas Terbuka). Beberapa yang mau untuk terus mengasah kemampuannya juga berhasil memanfaatkannya untuk membuka usaha sendiri, seperti percetakan undangan, sekembalinya ke tanah air!", ungkap salah satu inisiator pelatihan.

Lahir dari Semangat

Peran pengajar disini memang penting, namun tidak ada apa-apanya tanpa semangat rekan-rekan TKI. Dan seperti yang sudah kuceritakan di awal, semangat mereka memang luar biasa! Ini terlihat dari sebaran tempat tinggal mereka yang tidak hanya di sekitar Kuala Lumpur, namun juga dari Bangi, Shah Alam, Klang, Puchong, Selangor, bahkan ada pendaftar dari Johor, sekitar 4 jam perjalanan darat dari Kuala Lumpur.

Di luar itu, hari Minggu sebenarnya adalah quality time bagi rekan-rekan TKI untuk beristirahat. Namun nyatanya, belajar lebih menjadi pilihan mereka. Bahkan sampai ada seorang Ibu yang membawa anaknya ke dalam kelas. "Ya bagaimana lagi Mas, kalau ditinggal sendiri juga kasihan, makanya saya ajak!" Beberapa di antara para TKI bahkan sebenarnya hari itu masih masuk kerja, "Saya masuk sore, senang masih bisa ikut belajar, walau hanya bahasa Inggrisnya!"

Semangat para pengajarpun tak kalah hebatnya. Mereka yang kebanyakan sudah berkeluarga dan memiliki anak sampai membawa serta semua anaknya. Tempat tinggal merekapun tak semuanya dekat: Cyberjaya, Gombak, Setiawangsa - yang rata-rata satu jam perjalanan, hingga ada pengajar yang dari Tronoh, Perak, sekitar 3 jam perjalanan dari KL. Semuanya sukarela, dengan niat tulus ikhlas turut mencerdaskan bangsa! Ah, semoga menjadi niat yang diberkahi Allah.
Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang 'terdidik'. Semua orang memiliki potensi, mereka hanya dibedakan oleh keadaan- Anies Baswedan

Sambal Indonesia

| Oktober 22, 2012 | Sunting
Seperti yang sudah pernah saya tulis sebelumnya, sensor ke-Indonesia-an saya bertambah tajam selama di Malaysia. Detail-detail yang tidak penting menurut orang lain selalu saja menjadi detail penting bagi saya. Kemarin saya berkumpul dengan pengajar Edukasi untuk Bangsa – gerakan sosial yang diinisiasi oleh para ekspatriat Indonesia di Malaysia dengan memberikan pelatihan komputer bahasa Inggris gratis untuk para pekerja Indonesia di Malaysia. Hari ini saya belum ingin bercerita tentang semangat para pengajar yang #WoW karena memang saya masih pendatang baru dalam gerakan ini. Yang ingin saya ceritakan padamu adalah detail kecil bernama sambal! Es – a – em – be – a – el, yah, sambal yang saya dapatkan di tengah acara ramah tamah yang digelar di Tunku Sri Bukit!
sam·bal n makanan penyedap yg dibuat dr cabai, garam, dsb yang ditumbuk, dihaluskan, dsb, biasanya dimakan bersama nasi
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang akrab dengan yang namanya sambal. Di Wikipedia bahkan secara spesifik disebutkan bahwa sambal adalah unsur hidangan khas Indonesia – terutama Jawa.

Sambal
Tidak heran kalau kemudian sambal Indonesia sampai melalang buana seiring dengan keliling dunianya manusia-manusia Indonesia (baca: pecinta sambal). Seorang kawan pernah menceritakan pengalamannya di salah satu puncak tertinggi di daratan Eropa, di jajaran pegunungan Alpen Swiss, hampir membeku di suhu yang menyentuh angka di bawah nol. Namun, secara kebetulan, sebotol sambal “ABC” ia temukan di atas meja satu restoran. Dan, voila, iapun terselamatkan dari kedinginan.  Seorang kawan lainnya, ditahan berlama-lama di salah satu bandara tersibuk di dunia gara-gara stoples sambal yang dibawanya! “Gw kagak bawa bom, atau apapun yang berbahaya Bas! Itu hanya satu stoples sambal buatan Amak yang gw rela-relain bawa dari tanah air!”, ceritanya kala itu.

Saya sendiri berani menulis bahwa Indonesia adalah salah satu negeri yang akrab dengan sambal juga bukan pula tanpa alasan. Karena di negara lain, jangankan sambal, makanan pedas (tapi nikmat menurut lidah saya) sangat jarang ditemui. Di Qatar misalnya, hampir semua makanan yang saya kudap rasanya antara asin sampai gurih. Kalaupun mereka bilang pedas, level kepedasan mereka hanya sebatas yang penting ada cabainya, itu sudah disebut pedas! Di Thailand, memang banyak masakan pedas, tetapi pedasnya bikin mati! bukan pedas nikmat seperti sambal Indonesia! Di Filiphina begitu pula, variasi makanannya adalah asin, gurih, atau tidak ada rasa menurut lidah saya, hehe. Ada juga sebenarnya makanan pedas, namun sekali lagi maaf, tidak sampai membuat keringat saya bercucuran dan mata saya pedas. Sementara di Malaysia sendiri, sambal memang melimpah macamnya, namun level kepedasan sambal maupun makanan yang pernah saya makan baru mencapai 4 dari 10!

Di luar itu, teman-teman dari berbagai negara yang saya ajak menikmati sambal - juga makanan pedas lainnya, hampir selalu memberikan komentar yang sama, "Orang Indonesia benar-benar gila! Kami bisa-bisa sakit perut kalau tiap hari mengkonsumsi makanan seperti ini!" 

Catatan: Level kepedasan tersebut adalah apa yang saya alami, sehingga jangan digeneralisir menjadi data representatif negara tersebut. :D

Nah, sebagai penggila sambal, sebulan tanpanya benar-benar membuat saya tersiksa! Apalagi bila mendapati sambal, namun ternyata asam atau bahkan manis! Ah, bagaimana pula mereka menyebutnya sebagai sambai? Dan kemarin, 21 Oktober 2012, bisa disebut sebagai hari bersejarah dalam pengalaman saya di dunia persambalan! #lebay 

Saya mendapatkan sambal nikmat pertama di Malaysia! Sambal yang pedasnya membuat saya ingin tambah terus, lantas membuat keringat bercucuran, untuk kemudian menjalarkan panas ke mata, ah! Saya merasa menjadi sangat Indonesia di salah satu sudut Kuala Lumpur siang itu.

Sambal bagi saya adalah cinta! Sambal ternikmat yang pernah saya rasakan adalah sambal Mamak! Sambal yang cabainya diuleg dengan sempurna, mencampurkan bawang, garam, dan sedikit MSGnya sampai benar-benar lumat! Sambal adalah salah satu dari sekian alasan yang membuat saya rindu rumah. Sambal menyatukan kami, duduk bersama menekuri cobek yang sama, untuk kemudian kembulan – makan bersama.

Biasanya, di sore hari, ketika sudah tidak ada lagi lauk di atas meja, mamak akan menanak nasi. Kemudian memetik cabai dari kebun di samping rumah, lantas meraciknya menjadi sambal nomor satu di dunia (saya). Terkadang masih ada kerupuk yang menemani makan kami, namun seringkali memang hanya sambal! Namun, semuanya terasa nikmat karena cinta yang menyelimutinya. Nasi yang masih mengepul rasanya diolah dari beras berkualitas terbagus! Sambal dengan cabai yang langsung petik rasanya menjadi lauk paling nikmat di dunia! Cobek tanah yang mewadahi makanan kamipun naik derajat: bukan lagi peralatan dapur, namun sarana perekat kehangatan keluarga!

Sambal adalah cinta! Cinta saya kepada adik-adik saya. Saat saya sedang tidak bernafsu makan, seringkali saya minta tolong salah satu adik saya – biasanya sih Santi, untuk membuatkan sambal. Sambal yang hampir selalu mendapatkan komentar yang sama dari saya, “Kasinen ndhuk sambelmu!” - terlalu asin. Namun, sekarang, ketika tidak ada lagi yang bisa saya suruh, saya menyadari bahwa sambal yang saya bilang terlalu asin itulah yang menggugah selera makan saya. Sambal yang terlalu asin itulah yang memacu naluri saya untuk lagi dan lagi mengeruk nasi. Sambal adalah sahabat seperjuangan! Kawan setia selama belajar (dulu). Di sekolah misalnya, saya dan teman-teman sering makan gorengan bersama-sama.

Kami terbiasa berburu gorengan yang masih hangat, untuk kemudian menciduk sepiring sambal untuk digunakan bersama-sama! Sesekali memang terpikir, sambalnya bersih – higienis tidak ya, piringnya dicuci bersih tidak ya, tetapi rasa lapar dan juga kebersamaan nyatanya menghapus semua pertanyaan itu! Di rumahpun, di tengah kantuk yang mendera ketika belajar di waktu dini hari, sambal selalu berhasil mengusirnya. Membuka kembali mata untuk menekuri lembar-lembaran buku ladang ilmu!

Dan lebih dari itu, sekali lagi, sambal adalah rumah. Dengan cabai, bawang, dan brambang yang digoreng bersama-sama, kemudian dilumat bersama garam dan sedikit moto. Sambal yang nikmat untuk menjadi teman nasi, maupun sekadar dicocol karak-kerupuk nasi. Ah, saya jadi ingin pulang.

Menulis adalah Keberanian

| Oktober 18, 2012 | Sunting
Yah, demikianlah Pramoedya Ananta Toer berujar dalam Bumi Manusia. Ujaran yang akan cepat aku amini. 

Coba kita mengingat sejenak. Memutar waktu ke masa-masa SD dulu. Beberapa dari kita  pasti mempunyai pengalaman menulis surat, cerita pendek (yang hampir pasti selalu berakhir suka), atau paling tidak pantun dengan liukan rima memikat hati.  

Mendapati puisi yang kita tulis tertempel di majalah dinding sekolah adalah prestasi yang sangat luar biasa. Kita akan pandangi tulisan itu berlama-lama. Penuh bangga. Belum lagi dengan surat cinta untuk orang yang kita suka! Bahagianya tiada tara. 

Namun, apakah tulisan-tulisan itu terlahir begitu saja? Tidak bukan? Proses menulis selalunya diawali dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, "Ada yang mau baca tidak ya nanti?", atau "Enaknya kata pertamanya apa ya?"

Begitu bukan?

Dan keberanianlah yang akhirnya membuat tulisan tercipta. Keberanian menyudahi pergulatan batin menentukan kalimat pertama. Keberanian membubuhkan titik penutup. Dan setetusnya. Keberanian berbuah gembira, di luar bagaimanapun wujud tulisannya.

Menulis adalah keberanian karena tulisan itu sebenarnya seperti 'nyawa'. Seringkali, bahagia datang karena tulisan tersebut. Dan tak jarang petaka datang juga karena tulisan! Untuk sekadar mengingatkanmu, orang-orang seperti Pramoedya misalnya, harus hidup di penjara karena tulisannya dinilai sebagai pembangkangan.

Keberanian pulalah yang kemudian membuat mereka tetap menulis! Pramoedya, sekali lagi, bahkan menghasilkan sebagian besar mahakaryanya di penjara. Kalau ia tidak berani, mungkin karya-karya dewa seperti Tetralogi Buru tidak akan pernah kita baca.

Mas Udin 

Contoh lainnya adalah kasus Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan harian Bernas Jogja yang dibunuh karena berita. Lagi-lagi, penguasa saat itu berusaha mengganti skenario pembunuhan dengan alasan perselingkuhan istrinya. Namun, untuk ke sekian kali, skenario tersebut mental apabila kita melihat alasan yang lebih logis : mas Udin, panggilan akrabnya, membuat penguasa kebakaran jenggot dengan laporan-laporannya
Udin! Dibunuh karena berita. | Gambar ditambahkan September 2013, milik Anti-Tank Project
Begini: penguasa mana yang tidak merasa terancam kedudukannya, sementara rezim Orde Baru melindungi mereka dengan membungkam rakyat banyak, tetiba saja boroknya ditelanjangi di media massa. 

Mas Udin menulis serangkaian berita tentang kerja kotor Sri Roso Sudarmo, bupati Bantul yang hendak maju lagi dalam pemilihan bupati. Pada 28 April 1996 Harian Bernas menurunkan berita, "DPRD Bantul Terima Surat Kaleng: Salah satu calon dikabarkan beri bantuan satu milyar". Calon yang dimaksud tidak lain adalah Sri Roso, ia menjanjikan bantuan dana untuk yayasan milik Soeharto, Dharmais, bila terpilih lagi.

Berita lain yang sempat membuat berang Sri Roso adalah "Dana IDT Hanya Diberikan Separo", terbit pada 7 Agustus 1996. Isinya tentang penyunatan dana Inpres Desa Tertinggal di Karangtengah, Imogiri. Utusan bupati bahkan mendatangi kantor Bernas, mengancam akan membawanya ke pengadilan. 

Sebelum itu, Mas Udin juga aktif memberitakan berbagai kasus dan ketimpangan dalam masyarakat seperti sengketa tanah di Guwosari, kasus pembangunan jalan Tamantirto-Pengkolan, hingga megaproyek 100 milyar di Parangtritis. Hampir semuanya menyangkut nama orang nomor satu Bantul.

Mas Udin sebenarnya sadar apa yang ia lakukan itu penuh risiko. Suatu kali, Marsiyem, istrinya, mengingatkan, "Ya, mbok kalau menulis berita jangan terlalu berani!" Namun, bagaimanakah kemudian jawabannya?
"Ya, gimana, memang kenyataannya begitu, yang saya tulis itu kan kenyataan. Kalau memang saya harus mati akan saya terima!" 
Malam, 13 Agustus 1996 Marsiyem tengah menyetrika di kontrakannya di Jalan Parangtritis KM 13, ketika lima orang tak dikenal datang mencari suaminya. Marsiyem sendiri yang membukakan pintu. Seorang lelaki berpakaian rapi mencari suaminya. Ingin menitipkan sepeda motor, katanya. Tanpa menaruh curiga, Marsiyem panggil suaminya, lalu meneruskan pekerjaannya. 

Mas Udin menemui tamu itu di teras. Beberapa saat kemudian Marsiyem mendengar suara gedebuk. Sang wartawan terkulai tak sadarkan diri, berlumur darah. Si tamu sudah tidak ada. Tiga hari berselang, mas Udin benar-benar pergi, menghadap Illahi Rabbi.

Bukankah sebuah keberanian besar bagi seorang mas Udin untuk menulis kala itu? Keberanian yang membuatnya tetap bertahan dengan idealismenya tatkala beberapa yang lain dengan mudah menukarnya dengan pengganjal perut atau segepok amplop. 

Mas Udin adalah contoh dari mereka yang bertahan untuk memberitakan kebenaran, sementara beberapa yang lain melata ketakutan di kaki kekuasaan. Keberanian untuk tetap memilih gaji 360 ribu sebulan, yang memang halal, daripada mendapatkan lebih namun dengan cara laknat.

Dalam catatannya, Goenawan Mohamad menulis, 
“Jika saya mati hari ini atau besok pagi, saya ingin berdiri, kalau diperkenankan Tuhan, di belakang arwah Udin yang sedang menghadap-Nya. Dan saya akan merasa bangga karena itu." 

Alfred Mirulewan: Hilang Karena Bisnis Gelap 

Kuingin memberikan satu lagi contoh, bahwa seringkali ada tulisan mengandung nyawa. Bahkan di masa yang konon sudah bebas seperti sekarang ini. Kemerdekaan untuk menyampaikan kebenaran belum juga jadi keniscayaan. Keberanian masih tetap sangat dibutuhkan! Selain itu, kujuga ingin mengingatkanmu pada sosok yang mungkin sudah terlupa ini. 

Adalah Alfred Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi Maluku yang dibunuh secara sadis dua tahun silam. Kenapa? Lagi-lagi karena berita yang (hendak) ditulisnya!

Jenazah Alfred ditemukan mengambang di perairan Pantai Nama, Kisar, Maluku Barat Daya, 17 Desember 2010. Saat itu Alfred tengah melakukan investigasi mengungkap bisnis minyak gelap penyebab kelangkaan BBM yang diduga melibatkan sejumlah aparat.

Alfred menghilang hanya selang beberapa jam setelah percekcokannya dengan petugas Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Kisar. Dalam rekaman yang tersimpan di memori telepon genggamnya, ia diperingatkan petugas, "BBM yang tengah diturunkan malam itu milik Komandan Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KPPP) Kisar! (Jangan macam-macam)!" Hmm.

Yah, Alfred belum juga mengedarkan tulisannya, namun sudah sebegitu tragis nasibnya.

Malala, Catatan Harian Si Pemberani 

Sementara itu, kisah teranyar tentang keberanian datang dari sebuah kota kecil di Pakistan. Seorang gadis berusia 14 tahun, yah 14 tahun!, ditembak oleh Taliban sebagai buntut dari catatan harian yang ditulisnya di blog BBC Urdu, 3 tahun lalu. Kala itu, Malala Yousafzai menuliskan kisah hidupnya di bawah kuasa Taliban, ketika fatwa pelarangan sekolah bagi anak-anak perempuan dikeluarkan di kotanya.
Malala Yousafzai
Malala, dalam sebuah kesempatan
Tulisannya yang jujur sontak menarik perhatian publik kala itu. Wikipedia menyebutkan, Presiden Zardari bahkan sampai harus mengkaji ulang interpretasi hukum di kota tempat tinggal Malala.

Lebih lanjut, Malalapun mendapatkan banyak kesempatan untuk berbicara di depan umum. Menyuarakan hak-hak perempuan yang dikerdilkan, utamanya hak atas pendidikan. Namanya dianggap sebagai simbol perjuangan mendapatkan akses pendidikan. Suaranyapun semakin didengar.

Taliban berang! Ancaman pembunuhan Malala sampai ditulis di surat kabar, juga melalui tulisan-tulisan yang diselipkan di pintu rumahnya. Namun Malala tak gentar. Ia

Puncaknya adalah 9 Oktober lalu, ketika ia ditembak di atas bus sekolah, dalam perjalanan pulangnya! Taliban sudah kelewat marah (atau takut?), dan akhirnya membuktikan ancamannya!

Malala saat ini telah diterbangkan ke Inggris untuk pengobatan. Taliban mungkin sudah cukup senang karena melihatnya diam. Namun, ternyata suara dalam diamnya malah terdengar lebih keras! Tulisan-tulisan Malala dibaca lagi, memantik berbagai solidaritas untuknya.

Tutupan

Sosok keempatnya memang sama sekali tak sama. Namun, pada akhirnya, ada satu benang merah yang menautkan mereka: keberanian mereka dalam menulis!

Jaman terus berputar. Facebook, blog, twitter, tumblr, dan beragam media lainnya adalah sesuatu yang teramat lazim sekarang ini. Namun, bukan berarti semua itu menjamin keberanian untuk menulis menjadi lebih besar. Keleluasaan memang ada, namun sudah cukup beranikah kita menulis tanpa represi?

Aku sendiri misalnya, apa yang kutulis terkadang masih disetir oleh asumsi publik: yang seperti ini layak tidak ya kalau dibaca orang? Aku cenderung memikirkan lagi apa yang kutulis setelah beberapa orang bertanya, "Bastian, kamu Islam Liberal ya?", atau di kali yang lain, "Bastian, gw mau tanya-tanya nih soal Tan Malaka. Oh ya, lu marxis ya? Atau komunis?" 

Aku boleh saja berkilah, "Aku nggak mau ribet saja, ditanya terus (makanya sekarang aku lebih hati-hati nulis)!", namun bukankah itu bukti ketidakberanian menjawab pertanyaan orang?
Mari belajar berani (baca: menulis) bersama-sama
Bonus: Terjemahan catatan harian Malala

Surat dari Yangon

| Oktober 09, 2012 | Sunting
Salam,
Saudaraku, dimanapun kalian berada.

Newsweek edisi 24 September lalu dengan meyakinkan menyajikan satu artikel berjudul "Boom Days in Burma". Artikel dibuka dengan pernyataan optimistis seorang konsultan bisnis asal Italia, "Orang-orang yang belum pernah berkunjung ke Yangon pasti selalu berpikir bahwa kota ini adalah zona perang, dengan tank di mana-mana. Itu artinya mereka harus menyempatkan sekali waktu untuk kesini (dan lihat betapa semua itu tidak ada)." 

Selebihnya, artikel tersebut berusaha keras untuk meyakinkan publik bahwa isu hak asasi manusia di negeri Irawadi tersebut tidak sepelik dulu. 

Setali tiga uang dengan artikel tersebut, presiden kami, Thein Sein, dalam debut pidato- nya di hadapan Sidang Umum PBB, New York (27/9) lalu juga menyebutkan, "Burma saat ini sudah memasuki era baru dengan berbagai perubahan yang yang mengagumkan. Kami tengah menuju pemerintahan yang demokratis  pemilu sukses digelar tahun ini dan menempatkan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi di parlemen. Sensor terhadap media pun sudah dicabut. Amnesti juga diberikan kepada tahanan pemerintah!"

Namun, sayangnya, apa yang dipuji-puji sebagai kebangkitan Burma itu tidaklah seratus persen benar Saudaraku. Kami, 13 pemuda Burma, meminta izin untuk melakukan peringatan Hari Perdamaian Dunia 2012 di Yangon tanggal 21 September lalu. Sesuai hukum Burma, segala bentuk aksi massa di depan publik harus mendapatkan izin dari otoritas kepolisian . Dan tahukah kamu, permintaan izin tersebut ditolak mentah-mentah oleh sembilan kantor polisi sekaligus! Alasan yang mereka gunakan adalah peringatan tersebut bisa memicu kemacetan lalu lintas, ketidaknyamanan publik, dan bisa jadi memicu kekerasan.

Bukankah penolakan tersebut sangat kontradiktif dengan usaha Burma (baca: presiden) meyakinkan dunia internasional  bahwa kondisi Burma sudah berubah?

Namun, penolakan tak juga menggentarkan kami. Berbekal keberanian dan mimpi tercapainya perdamaian di tanah Irawadi, pada 21 September 2012,  jalan damai tetap kami lakukan dari City Hall ke Inya Lake sesuai rencana. Memprotes dan mendesak dihentikannya kekerasan terhadap berbagai etnis di Burma yang seolah tiada ujung.

Hari itu adalah hari yang penuh semangat bagi kami. Kepolisian hingga detik-detik dimulainya acara masih saja berusaha menghalangi kami, "Ini kegiatan illegal!" Namun kami berteriak melawan, "Sorry officer! Tidak ada seorangpun mau bertanggungjawab atas perang saudara yang telah mengubah kondisi negeri ini. Sekarang, Anda menuduh kami yang hanya ingin mengadakan jalan damai telah menyebabkan kekacauan? Ini sangat tidak adil! Kami tidak bisa menuruti perintah Anda. Kami akan tetap bergerak maju. Anda dapat mengambil tindakan hukum terhadap kami kemudian!"

Melibatkan ratusan pemuda, aktivis, dan juga masyarakat sipil yang datang dari berbagai kota, aksi damai tersebut berhasil mendengungkan lagu-lagu perdamaian ke langit Yangon. Dengan kaos biru terang, berikat kepala "Stop the Civil War", dan poster "Nothing Beats Peace" di tangan, kami menyeruak jalanan sibuk Yangon. Di Inya Lake, kami lantas melakukan aksi diam, untuk kemudian mendirikan miniatur monumen perdamaian.

Kami puas, telah melakukan aksi massa terbesar pertama kalinya di Burma, sejak tahun 2007. Lebih membahagiakannya, tiada darah tertumpah hari itu! Kami bangunkan publik, banyak saudara kita yang masih tertindas, bahkan terusir dari rumahnya.

Saudaraku, pada akhirnya, kepolisian memenuhi 'permintaan' kami, untuk menindak kami setelah aksi selesai. Tanggal 22 dan 23 September surat panggilan untuk melapor ke kantor polisipun datang pada kami. Kami kemudian diminta menandatangani surat pernyataan akan datang ke pengadilan apabila tuntutan sudah resmi dijatuhkan, kecuali kami mau membayar denda 1 juta kyat (sekitar USD 1160).

Kami dinyatakan telah melanggar pasal 18 Law Relating to Peaceful Assembly and Peaceful Procession Burma, melakukan aksi massa di tempat umum tanpa izin, atau lebih tepatnya walau tidak diberi izin! Kami sedari awal menyadari bahwa apa yang kami lakukan sangat berisiko, namun bukan berarti kami harus terus diam, membiarkan kekerasan terus berlanjut.

Saat ini, kami dihadapkan pada hukuman penjara maksimal 1 tahun, dan denda 30 ribu kyat (USD 35). Tetapi, kemudian angka tersebut kemudian akan dikalikan sepuluh, karena aksi jalan damai yang kami lakukan melewati 10 wilayah otoritas kepolisian. Singkatnya, ada kemungkinan kami akan dipenjara hingga 10 tahun lamanya.

Hingga saat ini, 6 orang dari kami tengah diadili di pengadilan. Dan, sisanya, akan mendapatkan perlakuan yang sama, segera. Kepolisan menangani kasus kami dengan sangat serius.

Pada akhirnya, beberapa hal yang ingin kami garis bawahi:
  • Meskipun banyak perubahan yang dilakukan oleh pemerintah, namun masih banyak hal tetap sama dari waktu ke waktu. Walau sensor media telah dihapus, masih belum ada kebebasan berekspresi di Burma. Masih ada kontrol atas apa yang bisa atau tidak bisa katakan, atas apa yang dapat atau tidak dapat kita lakukan. Polisi memiliki kuasa untuk menahan izin kegiatan, seperti halnya aksi damai yang kita lakukan, ekspresi masih sangat diatur, dan kondisi aktivis-aktivis kemanusiaan masih saja sangat sulit! There is no freedom of expression in Burma!
  • Kehidupan kelompok etnis minoritas di negeri ini, seperti Kachin, tidak juga membaik. Perang saudara di Kachin State misalnya, masih terus berlanjut sejak dimulai Juni tahun lalu – mengakhiri 17 tahun gencatan senjata. Lebih dari 75 ribu warga terusir dari kampung halamannya, bahkan mengungsi sampai ke China. Di bagian barat Burma, kaum Budha, juga Muslim Rohingya, telah mengalami kekerasan selama berbulan-bulan. Menyebabkan banyak korban jiwa, dan memaksa lebih 65.000 jiwa untuk hidup di pengungsian, sebagai akibat dari pengrusakan permukiman. 
Semoga surat ini dapat memberikan pemahaman kepada saudara-saudara semua tentang apa yang sebenarnya terjadi di Burma. Perhatian khalayak atas kasus ini semoga dapat menekan pemerintah untuk membebaskan kami. Dan lebih dari itu, untuk kemudian menunjukkan bahwa hak asasi manusia, utamanya hak untuk berekspresi dan berpendapat itu masih ada dan sudah seharusnya dihormati!

Salam,

13 Pemuda Burma yang Ditangkap Kepolisian Karena Aksi Damainya


Free the thirteen
Surat ini adalah bagian dari kampanye "Free the Thirteen", #freethe13, salah satu upaya mendesak otoritas Burma untuk membebaskan 13 aktivis lokal yang ditangkap kepolisiankarena melakukan aksi jalan damai memperingati Hari Perdamaian Dunia 2012 lalu di kota Yangon. Kampanye ini juga mendukung dijaminnya hak berekspresi di Burma, pada khususnya, dan di dunia pada umumnya. Surat ini dinarasikan berdasarkan informasi terbatas yang didapat dari salah satu aktivis yang ikut di tangkap.

Kampanye ini diinisiasi oleh pemuda-pemuda lintas negara alumni Debating & Producing Media Camp 2012, Manila. 
   
Baca berita lebih lanjut soal apa yang terjadi di Burma.
Democratic Voice of Burma : A Call for Peace 
International Freedom of Expression Exchange: Burma charges Peaceful Protest Organisers

Beritahukan informasi ini ke orang-orang disekitarmu

Ajak mereka untuk menyukai page facebook kami: "Free the Thirteen"
Twit info kampanye dengan hashtag #freethe13
Sebarkan link surat ini ke orang-orang yang kamu kenal: http://bit.ly/freethe13
Sebarkan link petisi online kami di (segera)

Apa lagi yang bisa kamu lakukan?
Tulis email ke human rights organizations, UN atau US State Sect
Tulis pendapatmu mengenai kasus dan atau kampanye ini di bagian komentar, ataupun di blog atau jejaring sosialmu
Tandatangani petisi online kami (segera)

Nyala Radar Nasionalisme

| Oktober 02, 2012 | Sunting
Itu cuma gara-gara kau di Malaysia aja Yuang (baca: Bas). Cobalah kau ada di Yogya atau Jakarta misalnya, palingan juga ga pernah ketemu dan ga pengen-pengen amat buat ketemu.
Demikian tulis seorang saudara dalam percakapan kami di Facebook, menanggapi, "Ngobrol berlama-lama & jauh-jauhan ternyata membuat rindu untuk benar-benar bertemu ya Da?" Kami memang terpisahkan oleh dimensi jarak dan waktu saat obrolan hangat terjadi semalam. Aku tengah berjuang menaklukkan kantuk dan dinginnya Gombak di pukul 1 dini hari, waktu Malaysia. Sementara, di ujung percakapan, Depok - domisili Uda tersebut, jam masih menunjukkan pukul 12 tengah malam, waktu Indonesia bagian barat.
Walaupun saya pergi jauh...
Jawabannya memang terkesan spontan, meski sedikit menyindir, juga :D. Namun dari sanalah ingatanku kemudian melayang pada satu pepatah lama, "Kecintaan pada bangsa dan negara justru akan tumbuh ketika kita tinggal di luar negeri." Bunda Tatty Elmir dalam tulisannya juga sempat mengatakan, "... Watak sentimental perantau adalah “Rindu Kampung Halaman”. Lalu berbekal rasa rindu inilah akan lahir rasa cinta yang lebih dalam, dan penghargaan yang tinggi terhadap ranah kelahiran, akar kehidupan, yaitu tanah air pusaka." Aku memang belum cukup lama tinggal di luar negeri untuk mengatakan bahwa pepatah tersebut seratus persen benar. Namun, sebulan berada di tanah orang, aku merasa lebih sensitif terhadap hal-hal yang berbau Indonesia. Bahkan, detail-detail kecil keIndonesiaan yang mungkin tidak terlalu diperhatikan orangpun berhasil menyalakan radar nasionalisme dalam benakku.

Untuk sekadar memberikan pandangan, ada beberapa kejadian yang berhasil mengaduk-aduk perasaanku dalam sebulan ini. Kejadian pertama adalah kejadian di Masjid Sultan Haji Ahmad Shah IIUM pada hari Senin, seminggu yang lalu. Aku baru saja selesai menunaikan sholat Ashar ketika seorang anak berumur sekitar 5 tahunan berlari dari kejauhan. Ia kemudian duduk sekitar satu meter di hadapanku, di bawah tiang utama masjid. Pakaiannya biru muda, dengan celana kain berwarna putih. Namun, bukan pakaiannya yang menarik pandanganku, beberapa lembar kertas yang dibawanyalah yang membuatku terkesiap! Bocah kecil bermata bening itu membawa uang kertas Rupiah, yah RUPIAH! Yang lebih menarik adalah, permainan yang kemudian ia lakukan dengan uang-uang tersebut,

"Hai anak muda, kamu siapa?" katanya sambil mengangkat pecahan dua ribu rupiah.
"Saya Pattimura, dari Ambon. Saya pimpin pasukan saya, mengusir penjajah!" ungkapnya kemudian, sambil mengangkat pecahan seribu Rupiah.
"Wah, beraninya dirimu!"
"Saya hanya tidak ingin dijajah terus kok! Oh ya, kamu siapa?"
"Perkenalkan, saya Antasari dari Kalimantan Selatan. Saya juga memimpin rakyat saya melawan penjajah Belanda!"

Aku yang tertegun melihat dan mendengarkan permainannya tanpa sadar melelehkan air mata. Air mata bahagia tepatnya. Entah kenapa, namun pengetahuan anak kecil itu akan sejarah bangsanya benar-benar brilian bagiku. Ketika anak-anak seusianya sibuk bermain mobil-mobilan, robot-robotan, dan berbagai boneka, ia malah sibuk dengan Antasari dan Pattimura. Sangat mungkin pula anak-anak seusianya bahkan belum juga tahu siapa itu Pattimura, siapa itu Antasari, namun dia? Ah, betapa nasionalisnya ia (baca: betapa cerdas orang tua yang telah mendidiknya untuk menjadi anak bangsa).

Bahkan, sejak beberapa hari pertama di tanah Malaysia, selubung cintaku pada Indonesia sudah diuji saat prosesi penyambutan mahasiswa baru oleh Rektor IIUM. Sebagai sebuah upacara resmi, maka acara dibuka dengan lagu nasional Malaysia, Negaraku. Gemuruh suara lebih dari seribu mahasiswa baru dengan tangan mendekap dada, kontan meruntuhkan hatuku. Pelan-pelan kulantunkan Indonesia Raya untuk tetap menghormati tuan rumah. Ada hal lain yang menyeruak perasaan. Dari dulu, aku adalah orang yang selalu bersemangat dengan Indonesia Raya. Bahkan setiap kali perayaan upacara HUT RI disiarkan di stasiun TV, aku selalu menanti bagian dimana lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Dan ku akan tercenung di depan TV, ikut melantunkan lagu yang sama. Namun, jujur, sayup lagu yang kudengungkan hari itu terasa berbeda. Ada janji yang seolah dicatat dan disaksikan oleh semua orang yang datang ketika terlantun, "Di sanalah, aku berdiri, jadi Pandu Ibuku..." Ada gemuruh yang berbeda dari biasanya!

Ah, kau terlalu sensitif Bast, sentimentil, cemen!

Yah, boleh saja kau berkata demikian. Namun, aku tidak merasakannya sendirian. Bahkan orang yang sudah puluhan tahun di Malaysiapun ternyata masih merasakannya. Akan kuceritakan padamu sosok bernama Suliyem binti Karto, wanita berumur 45 tahun yang sudah puluhan tahun di Malaysia. Ia adalah satu dari ratusan pekerja Indonesia di IIUM, bertugas membersihkan asrama mahasiswa setiap harinya. Percakapan kami tidak sengaja terjadi semingguan yang lalu, ketika aku tengah mencuci baju. Sementara wanita asal Puger, Jember, Jawa Timur itu tengah membersihkan kamar mandi. "Saya meninggalkan desa pada awal 1990-an. Saya sudah 3 tahun bekerja di pabrik jam di Sidoarjo saat itu. Namun penghasilan tidak juga mencukupi untuk hidup. Apalagi suami saya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Jadi, akhirnya saya beranikan diri menerima ajakan Paklik untuk ke sini. Sangunya waktu itu dipinjami dulu sama Paklik!"


Sekian lama di Malaysia, ia menyebutkan sudah memiliki IC Merah Malaysia - sejenis KTP untuk bisa bekerja dan mendapatkan kemudahan secara ekonomi disini. Dan selama sekian lama itu pula, "Saya sudah merasakan berbagai macam pekerjaan. Mulai dari pabrik kayu lapis, kebun kelapa sawit, di pasar, hingga jadi tukang bersih-bersih di sini ini. Hanya satu yang belum pernah saya rasakan: jadi pembantu rumah tangga. Bukan apa-apa, namun kok rasanya tidak menghargai diri sendiri dengan bekerja seperti itu. Teman-teman saya memang banyak yang mbabu, tapi saya tidak!", tuturnya dalam bahasa Jawa yang sudah tercampur dengan bahasa Melayu.


"Kalau dulu masih sering pulang. Njenguk orang tua. Bapak Mamak saya kan tinggal sendiri. Suami saya nyusul kesini tahun 1994 (suaminya sudah meninggal pada tahun 2002 karena asma). Mamak saya meninggal tahun 1998, setelah itu Bapak saya menikah lagi. Selepas itu saya sudah jarang pulang ke Puger. Kalau mau kirim uang, saya kirim lewat rekening. Saya terakhir pulang tahun 2009, bulan Puasa. Saudara-saudara bertanya kapan pulang (berhenti bekerja) dari Malaysia. Ada juga yang bertanya apa tidak mau menikah lagi. Namun, saya hanya diam saja."


Lantas bagaimana dengan masalah tanah air? "Kalau ditanya enak dimana, sebenarnya enak di rumah, di Puger. Saudara banyak, bisa ketemu kapan saja. Di sini saudara juga banyak, namun semuanya kerja. Saya sudah semakin berumur, anak saya satu-satunya sudah menikah sama orang Gombong, anaknya sudah dua! Dulu waktu menikahkan mereka saya buat besar-besaran, namanya juga anak satu-satunya. Kalau di desa kan banyak saudara yang datang, membantu. Di sini ya ada yang bantu, tapi lebih banyak yang disewakan orang. Di saat-saat seperti itu muncul perasaan tidak enaknya tinggal di negeri orang."


"Tapi, saya juga ingin nanti kalau sudah tua bisa hidup enak. Seperti bapak saya sekarang, tua tapi tidak susah. Untuk itulah saya harus bekerja keras dulu sekarang!"


"Bikin jantungku berdebar, akupun terpesona. Ada isyarat cinta dari kerling matamu, malu aku jadinya. Baru seminggu saja kukirim surat cintaku. Kini kau telah berada tepat di depanku.", suara wanita itu bergetar, mendendangkan lagu berlirik cinta yang aku sendiri tidak pernah mendengarnya.


"Itu lagu kesukaan saya dulu. Lagunya Hary Mukti! Ingat-ingatan seperti itu yang membuat keinginan saya bisa pulang, suatu hari nanti, bertambah besar. Kalau ditanya tabungan memang sudah lumayan, namun saya masih ingin bekerja. Tapi ya itu, saya ingin pulang!" Lama berpanjang lebar, kutersadar, mata wanita paruh baya berkerudung itu sembab! Aah..


Orang-orang seperti Bu Suliyem barangkali tidak pernah belajar soal nasionalisme, cinta tanah air, namun rasa yang dipegang dan disimpannya nyata-nyata adalah aktualisasi dari semua itu. Rasa cinta yang kemudian memupuk semangatnya untuk bekerja keras, untuk masa tua yang disebutnya bahagia!

Beberapa darimu mungkin memprotes, kenapa representasi Indonesia dikisahkan melalui seorang pekerja kasar? Tukang bersih-bersih? Kok kesannya Indoensia itu bangsa pembantu? Ahh, kau mungkin berusaha untuk menutup mata, bahwa merekalah salah satu kelompok terbesar penduduk Indonesia di luar negeri. Dan bagiku, pernyataan orang-orang seperti mereka terdengar lebih jujur, tidak dibuat-buat, tidak dimanis-maniskan atas alasan pernah belajar ilmu bela negara. Dan benar adanya, rasa cinta mereka bukan sekadar teori, namun sudah berbukti. Dan aku juga yakin, 10 juta penduduk Indonesia di luar negeri lainnya pasti juga merasakan hal yang sama: para peneliti, para dosen, para pelajar, para duta besar, para pekerja rumah tangga, para teknisi, semuanya! Ku begitu yakin pula, cinta mereka pada negara akan mereka wujudkan dengan dedikasi tinggi, menyelesaikan pekerjaannya.


Pada akhirnya, berkarya untuk bangsa memang tidak harus dengan eksistensi secara fisik di tanah air. Mengutip ucapan mas Akhyari Hananto, “Ibarat rumah, negeri kita atapnya ada yang bocor, lantainya ada yang berlubang, banyak rayap dan nyamuk, dan dindingnya perlu dicat ulang. Mari perbaiki bersama-sama. Karena ini adalah rumah kita.” 


Satu kutipan lain dari Negeri van Oranje juga layak untuk kita resapi:
“….Namun, tolong jangan dilupakan bahwa sumbangsih bisa bermacam-macam bentuknya. Ambil contoh deh, India. Begitu banyak nama-nama India yang masyhur lewat prestasinya di luar negaranya. Mereka bekerja mengembangkan ilmu pengetahuan atau membangun bisnis dari luar India. Mengapa? Karena, bila ngotot bertahan di dalam negeri, mereka nggak akan berkembang! Lah, nggak ada fasilitasnya! Maka eksoduslah mereka mencari tantangan dan mengembangkan isi kepala mereka di luar India. Setelah puluhan tahun bermukim dan menimba sukses di luar, apakah kemudian nasionalisme mereka luntur? Tidak! Nah, setelah para perantau itu sukses, ternyata mereka kembali untuk menginvestasikan uang dan teknologi yang dikuasainya di berbagai kota di India. Implikasinya? Transfer teknologi berjalan dengan tingkat yang sangat mengagumkan, industri mereka garap, jutaan kesempatan kerja dibuka, ekspor meningkat, devisa mengalir. Apa itu tidak dihitung sebagai sumbangsih bagi tanah air? Saya kini balik bertanya, apakah pembangunan di India bisa secepat sekarang tanpa sokongan putra-putrinya yang berjuang di luar negeri?”
Semoga kita bisa berkontribusi bersama, membangun rumah kita! :')

catatan random menunggu kelas Akuntansi | Beberapa bagian percakapan dengan Ibu Suliyem sudah saya bahasa Indonesiakan | sumber gambar: @diasporaIndonesia

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine