Membacai O, Membacai Manusia

| Juli 21, 2016 | Sunting
Novel O tulisan Eka Kurniawan (Gramedia, Februari 2016)
Tumbuh dengan pelbagai cerita hewan yang simbah ceritakan, juga yang kubaca sendiri dari buku-buku suplemen salah satu produk susu, membuat selarik kalimat sinopsis buku ini terasa seperti sihir: Tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut. Aku langsung teringat pada kisah Lutung Kasarung: seekor lutung hendak meminang putri raja. Pemikiran awal yang kemudian kuakui konyol: Eka Kurniawan tidak mungkin bertutur dengan begitu sederhana.
---
O, tentu saja seekor monyet sebagaimana digambarkan di sampulnya, adalah anggota kelompok topeng monyet milik seorang pawang bernama Betalumur. Meski tuannya ini sering menyiksanya, O tetaplah setia padanya. Kesempatan untuk kabur tidak pernah ia hiraukan. Semua itu demi sebuah mimpi mulia: menjadi manusia.

Keyakinan O ini, bahwa bergabung kelompok topeng monyet akan mengubahnya jadi manusia, berawal dari kisah cintanya dengan seekor pejantan bernama Entang Kosasih. Yah, seperti manusia, mereka juga mempunyai nama. Bukan hanya mereka berdua, tetapi juga monyet-monyet lain yang dikisahkan hidup di satu tempat di pinggir Jakarta, Rawa Kalong. Armo Gundul semisal, adalah nama yang sudah menjadi legenda dalam dunia per-monyet-an. Cerita turun temurun meyakini bahwa ia adalah monyet pertama yang berhasil menjadi manusia. Kisahnya diceritakan terus menerus oleh monyet-monyet tua kepada generasi yang lebih muda. Dan Entang Kosasih adalah satu di antara yang tersihir dengan cerita tersebut. Lantas juga membuatnya memiliki cita-cita sama: menjadi manusia.

Keinginan sang kekasih membuat O pusing. Bukan apa-apa. Keduanya sudah sepakat untuk menikah. Waktu sudah ditetapkan, bulan sepuluh. Tetapi, semenjak cita-cita menjadi manusia tercetus, Entang Kosasih seolah mulai tak acuh pada rencana mereka. Tujuan hidupnya kini satu saja: menjadi manusia. Sementara yang lain, "...lihat saja nanti."

Lantas bagaimana ceritanya O, yang awalnya menganggap kekasihnya sudah dibutakan oleh keyakinan, akhirnya memiliki mimpi serupa?

Ini karena kisah binatang-binatang lain bermunculan, seiring dengan kisah keduanya: Kirik, Wulandari, Manikmaya, Todak Merah, Siti, Tukimin, Leo hingga Boboh. Demikian pula manusia-manusia, sebut saja: Sobar, Dara, Toni Bagong, Joni Simbolon, Rini Juwita, Mimi Jamilah, Rudi Gudel, Jarwo Edan, Si Kutu, Kaisar Dangdut, juga pasangan pemulung Ma Kungkung dan Mat Angin, satu per satu datang.

Kisah masing-masing dari mereka bersilangan, lalu berkelindan membentuk satu semesta yang padu. Nah, perubahan pandangan O tentang mimpi menjadi manusia paling tidak adalah persilangan mimpi Entang Kosasih dengan nasib apes sepasang polisi bernama Sobar dan Joni Simbolon. Keduanya dipindahkan ke Rawa Kalong setelah kejadian salah tembak yang dilakukan Sobar saat menyergap Toni Bagong si bandar narkoba. Yang terkena tembakan Sobar pun bukan main-main: Dara, kekasih Toni Bagong yang juga kekasih gelap si polisi. Pilu.

Tragedi berlanjut setelah Entang Kosasih diam-diam mengambil revolver Sobar dan lantas menembaki monyet-monyet lain. Juga seorang manusia: Joni Simbolon. Entang Kosasih yakin, “Jika kau ingin menjadi manusia,” kata Entang Kosasih kepada O, “kau harus tahu bagaimana mereka membunuh. Sebab dengan cara itu kau mengerti bagaimana mereka bertahan hidup.”

Sobar yang kalut lantas membalas dendam. Entang Kosasih mati tertembak. Jasadnya yang raib malah menumbuhkan keyakinan O bahwa ia sudah berhasil menjadi manusia. Dan terdamparlah si O kemudian di sirkus topeng monyet, dalam perjalanannya mencari si kekasih hati.
---
"Menjadi" adalah topik penting pilihan Eka Kurniawan kali ini. Selain binatang-binatang yang ingin menjadi manusia, juga ada manusia-manusia yang menjadi binatang – entah memang ingin atau secara tidak sadar menjadi demikian. Karenanya batas antara keduanya seolah menjadi sumir. Tak jarang sifat-sifat manusia diperkenalkan oleh para binatang, sementara sebaliknya manusia-manusia mempertontonkan kebinatangannya. Meski pada akhirnya tiap-tiap dari mereka memiliki dua kepribadian tentu saja.

Tokoh Entang Kosasih semisal, bisa dapat begitu bersemangat menolong Uyung, si anak manusia, yang meregang nyawa dalam lilitan si Boboh. Namun di lain waktu ia menembaki monyet-monyet lain sesuka hati, demi memenuhi ambisinya untuk menjadi manusia. Pun dengan tokoh manusia, sama saja. Rini Juwita yang mau melakukan apa saja demi menolong si Kirik juga bisa dengan keji membiarkan suaminya diterkam oleh Leo si anjing gila.

Hidup adalah perkara makan atau dimakan… kau harus memakan yang lain, sebab jika tidak, kau akan dimakan.
---
Jalinan kisah mereka diramu dengan Jakarta sebagai latar utama yang digambarkan dengan tak kalah gelapnya. Jakarta menjadi semacam periuk yang mempertemukan penyanyi dangdut, begal, pemulung, pengamen, anjing, babi, kelas menengah ngehe hingga pemuka agama. Jakarta juga tujuan pelarian mereka yang dihempas beratnya beban hidup di tempat lain, meski kemudian Jakarta malah menghempaskan mereka lebih keras lagi.

Semua manusia dan binatang dan benda-benda dan kenangan dan harapan berebut untuk hidup di kota ini. Mereka hanya perlu saling memakan.
---
Pilinan kisah O yang sempat saya catat. Banyak lagi yang tidak tercatat.
Dengan tebal hampir limaratus halaman, dan juga tokoh yang tak sedikit, O menyimpan banyak lipatan cerita. Salah satu yang mungkin tidak banyak disentuh oleh Eka Kurniawan dalam novel-novel sebelumnya, tetapi dimunculkan dalam novel ini adalah sindirannya terhadap praktik beragama sebagian masyarakat kita. Setidaknya ada tiga tokoh yang mewakili tiga praktik beragama yang berbeda: Kiai Sobirin, Syech Asyhadie, dan Si Siti.

Tokoh pertama adalah seorang imam masjid yang buta. Ia adalah sosok yang begitu taat dan gemar berbuat baik karena baginya balasan Sang Pencipta adalah sebuah keniscayaan, sekalipun ia tak tahu kapan. Sementara, tokoh kedua juga adalah sosok yang juga taat, namun ia juga berusaha bagaimana pun caranya (baca: memaksakan) agar orang lain juga setaat dirinya.

Sedangkan Si Siti sebenarnya adalah seekor kakaktua yang tinggal tak jauh dari pusat kegiatan Syech Asyhadie. Sosoknya adalah seperti mukjizat bagi si Syech karena kemampuannya menghafal ayat-ayat suci yang didengarnya dari si Syech. Si Syech bahkan meninggalkan pesan terakhir khusus untuk Siti yang lantas selalu diocehkannya, "Dirikan salat! Dirikan salat!" Ia mewakili sebagian dari masyarakat kita yang begitu getol menyerukan kebaikan tanpa memahami, juga melakukan, seruannya. Yang tentu saja akan menyulut makian semacam, “Dengar, Burung. Sebelum kau memaksa orang untuk salat, coba kau lakukan itu sendiri! Jangan sok saleh.”

Lipatan lain yang juga cukup menggelitik adalah: "Hidup lebih enak di zaman Soeharto," kata si lelaki kepada sopir taksi yang membawanya. "Setidaknya di zaman Soeharto, umurmu beberapa tahun lebih muda."

Jargon 'Piye kabare? Enak jamanku to?' langsung menyeruak dalam benak saya. Memang tidak ada penjelasan khusus tentang maksud 'umurmu beberapa tahun lebih muda'. Tetapi ada beberapa kemungkinan yang bisa menjelaskan maknanya. Pertama, 'umurmu beberapa tahun lebih muda (baca: pendek)' karena penguasa bisa menghilangkanmu kapan saja. Dalam serpihan kisah masa lalu Dara misalnya, diceritakan bahwa bapaknya mati dibunuh karena menentang penguasaan lahan warga oleh negara. Atau lihat saja tokoh Sobar, meski digambarkan sebagai orang baik, ia tetaplah aparat negara yang mendapat kuasa untuk menggunakan revolvernya kapan saja.

Hal kedua yang mungkin membuat 'umurmu beberapa tahun lebih muda' adalah kedekatanmu dengan penguasa. Tokoh Kaisar Dangdut semisal, bisa dapatkan uang lebih – juga fasilitas lain, karena mau menyanyi untuk keperluan penguasa, kampanye politik.

Lipatan-lipatan cerita tersebut menjadi bagian padu dari semesta O tanpa ada pembedaan berarti apakah cerita tersebut 'penting' atau 'tidak'. Eka Kurniawan berhasil memposisikan bagian satu dengan yang lain saling mengunci, sehingga dunia O adalah sulur yang saling terhubung seperti yang saya ilustrasikan di atas.
---
Intisari cerita O, bila boleh saya sarikan, adalah penggalan percakapan ibu-anak berikut ini: “Kau tahu kenapa ayahmu almarhum memberimu nama yang lucu itu? Nama yang pendek? Hanya satu huruf?” tanya ibunya. Si gadis menggeleng. “Itu untuk mengingatkan betapa hidup ini tak lebih dari satu lingkaran. Yang lahir akan mati. Yang terbit di timur akan tenggelam di barat, dan muncul lagi di timur. Yang sedih akan bahagia, dan yang bahagia suatu hari akan bertemu sesuatu yang sedih, sebelum kembali bahagia. Dunia itu berputar, semesta ini bulat. Seperti namamu, O.”

Yah, O adalah lingkaran cerita yang tak ada habisnya. Tak heran, ketika akhirnya Eka Kurniawan memutuskan untuk mengakhiri ceritanya, ada yang terasa janggal. Ada hal-hal yang sepertinya belum dijelaskan. Ada mereka yang nasibnya tak diketahui dengan gamblang. Dan ada hal-hal yang terasa agak dipaksakan.

Namun, tetap saja membacai O adalah pembacaan yang mencerahkan. Ada cukup banyak tenaga yang terkuras, namun ada banyak hal yang mengisi dan melengkapi pemikiran. Membacai O adalah membacai manusia, tak ada habisnya. 

1 komentar:

  1. Pembaca yang niat, sampai membuat diagram jalinan ceritanya :) Tabik.

    BalasHapus

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine