Sang Pengelana Kata

| Maret 20, 2015 | Sunting
Indonesia...
Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pengelana kata. Menyelami jutaan makna kata yang ada di dunia. Singgah di tempat-tempat miskin cahaya. Singgah di sebuah kota yang binar akan sinar, memetik ribuan huruf yang terpatri di sudut-sudutnya. Melintasi kemarau dan penghujan, membaca semua grafiti di tembok-tembok. Memerah senja yang rambat, menangkap sisa pijar matari kala malam mendentang.

Ia memeluk semua keinginan, mengurai jejak langkah, melacak sejarah. Begadang semalaman penuh sekadar mengurai kata, lelap hingga pagi hinggap di tubir hari. Akhirnya ia merasa jika kata-kata menjadi benda yang asik, menjelma menjadi mainan. Menatap curiga apa yang ada dibalik setiap huruf, mengulitinya, membedahnya, mengurai setiap ritme magis. Terkadang ia suka sekali mendengarkan lirik-lirik lagi. Membuntuti hingga coda akhir, sampai reffrain yang paling manis. Meski terkadang hujan yang deras mencuri kata-kata di dalam kepalanya, ia merasa dipeluk oleh kedinginan sejati. Hingga badannya menggigil penuh kabut. Hingga ia tak kunjung punya tempat untuk kembali. Sampai ia merasa lelah.

Ya, janganlah engkau bertanya siapa dia? Apakah ia jago orasi, mahir menunggang kuda, suka membaca novel, gemar menulis puisi, atau cerita pendek. Ia hanya seseorang yang tergila-gila pada pada kata. Ia cuma ingin setiap kalimat yang meluncur dari lidah seseorang, yang tertulis dibuku dapat dipeluknya, dapat diajak tidur dengannya, atau barangkali dapat bercinta dengannya.

Akhirnya, ia memang mengembara jauh sekali. Ke sebuah ujung yang tak mempunyai nama. Ke sebuah batas yang tak terkatakan. Ke sebuah tempat yang tak pernah dikunjungi.

Dari kejauhan ia cuma bisa mendengar sayup-sayup kata. Orang-orang yang menjerit karena harga minyak naik. Orang-orang yang menangis karena tak ada nasi di rumah. Orang-orang yang tak bisa lagi bersuara karena tubuhnya telah tercincang. Orang-orang yang menggigil ketakutan oleh sebuah peraturan. Orang-orang yang kalah dan tak bisa berkata-kata. Ia mendengar sayup-sayup. Lalu ia menggali makna kata di dalamnya. Bahkan dari yang diam sekalipun. Ia seperti mendengar jeritan kata dari dalam hati. Segenap kecewa yang meluncur dari labirin tubuh. Begitu bertenaga. Kata-kata yang baginya tersa penuh bergairah. Kata-kata yang membuat dirinya ingin bercinta dan masuk ke dalamnya. Tapi kata-kata itu tak kunjung ditemukan sumbernya. Barangkali dari sebuah negeri yang jauh, yang tak bakal sanggup ia tempuh.

Akhirnya ia tak kunjung datang lagi. Mungkin ia telah mati. Tanpa ada sorangpun yang sempat untuk sekadar mencatat.

Arsip

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine