Menguak Tabir Mutiara Laut Selatan Indonesia

| Oktober 24, 2016 | Sunting
Dalam perjalanannya ke Kepulauan Aru, Mei hingga Juni 1857, naturalis dan penjelajah Inggris Alfred Wallace mendapati bahwa setidaknya ada lima ratusan orang dari berbagai bangsa mendiami Dobo, sebuah 'desa' pusat perdagangan di kepulauan tersebut. Di tempat terpencil ini mereka mengadu peruntungan dari salah satu komoditas utama wilayah ini: tiram mutiara - banyak ditemukan di laut timur kepulauan ini. 

Kesaksian Wallace tersebut dikonfirmasi oleh Anna Forbes yang menyertai perjalanan suaminya, naturalis Inggris Henry Forbes, ke Dobo pada bulan Juli 1885. Catatan perjalanannya dikumpulkan dalam buku Unbeaten Tracks in Islands of The Far East, Experiences of a Naturalist's Wife in The 1880s. Menurut Anna, Dobo adalah sebuah desa yang cukup maju. Sepanjang jalan ia menjumpai toko-toko, juga gundukan tiram mutiara yang tengah dihitung dan disusun untuk kemudian dibawa ke Makassar, lalu ke Eropa. Tiram-tiram mutiara itu didapat dari para penyelam yang dalam seharinya disebut hanya dapat mengumpulkan dua puluh hingga empat puluh buah. Anna menambahkan, mutiara dari Aru adalah yang termahal di pasar Eropa. 

Mutiara-mutiara yang dikisahkan oleh Wallace, juga Anna, itulah yang lantas dikenali sebagai Indonesian South Sea Pearl alias Mutiara Laut Selatan. Mutiara yang menjadikan Dobo sebagai sebuah pusat perdagangan yang sibuk selama berbilang abad. Pesonanya pula yang kemudian mengilhami dimulainya percobaan budidaya tiram mutiara di Buton, Sulawesi Tenggara pada awal abad ke-20.
Mutiara Laut Selatan Indonesia, dari masa ke masa
Hingga kini, Mutiara Laut Selatan masih diakui sebagai mutiara terindah dari empat jenis mutiara yang mendominasi pasar dunia. Mutiara jenis ini bahkan dianggap sebagai puncak kesempurnaan mutiara karena kilau, warna, bentuk, juga kualitasnya.

Kecantikan Mutiara Laut Selatan pertama dapat ditelusuri sejak dari tiram penghasilnya: Pinctada maxima. Tiram jenis ini adalah yang terlangka di dunia karena hanya bisa di temukan di lautan dalam - itu kenapa Anna Forbes menulis para penyelam di masa itu hanya dapat mengumpulkan paling banyak empat puluh buah dalam sehari. Dan lagi, tiram jenis ini juga hanya bisa ditemukan di beberapa tempat: laut bagian barat dan utara Australia, laut selatan Filipina, sebagian besar laut di Indonesia, dan sebagian laut Myanmar. 
Beberapa fakta tentang Mutiara Laut Selatan
Kedua, Mutiara Laut Selatan memiliki keragaman warna dan kilau. Dari dua warna utamanya: perak dan emas, mutiara jenis ini juga mampu memancarkan berbagai warna lain, tergantung pada tiram induknya. Mulai dari merah muda, kebiru-biruan, putih, kuning, kuning gelap, kuning gading, bahkan pelangi. Keberagaman warna tersebut lantas berpadu pada kilau yang juga bervariasi dari yang redup hingga yang terang tajam. 

Keunikan lain Mutiara Laut Selatan adalah ukuran dan bentuknya. Dari segi ukuran, Mutiara Laut Selatan adalah yang terbesar di antara mutiara-mutiara lainnya. Diameter mutiara ini berkisar antara 8 hingga 15 mm. Meski demikian, ada sebagian kecil yang mencapai 16 hingga 20 mm, yang tentu saja juga semakin mahal harganya. Sementara, meski bentuknya mungkin sama, dapat dipastikan bahwa tidak ada dua Mutiara Laut Selatan yang benar-benar serupa. Dengan kata lain kecantikan Mutiara Laut Selatan Indonesia benar-benar tiada duanya.
 
Sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, lebih dari 95 ribu kilometer, Indonesia adalah pemasok terbesar Mutiara Laut Selatan di dunia. Tak kurang separuh dari total produksi Mutiara Laut Selatan di dunia berasal dari lautan Indonesia. Hingga tahun ini sudah terdapat puluhan pusat pengembangan tiram mutiara Pinctada maxima yang tersebar di dua belas provinsi, melibatkan lebih dari 60 perusahaan. 
Peta sebaran pengembangan tiram mutiara di Indonesia
Meski demikian, dalam hal penguasaan pasar Indonesia ternyata berada di belakang Australia. Negara benua ini menguasai hampir 50 persen pasar Mutiara Laut Selatan dunia. Padahal produksi Australia hanya sekitar 80 persen dari jumlah yang dapat dihasilkan Indonesia. Dengan kata lain, kita belum memaksimalkan potensi yang begitu besar dari lautan kita.

Lantas apa saja yang mungkin dilakukan?

Pertama, kegiatan promosi Mutiara Laut Selatan Indonesia harus lebih intensif dan tepat sasaran. Penyelenggaraan kegiatan Indonesian Pearl Festival oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tentu saja harus diapresiasi. Tahun ini kegiatan ini sudah memasuki kali keenam. Melalui kegiatan ini pesona Mutiara Laut Selatan Indonesia diperkenalkan pada khalayak. Bahkan tahun ini penyelenggara secara spesifik mengangkat The Magnificent Indonesian South Sea Pearl sebagai tema.

Kesungguhan pemerintah untuk memperkenalkan Mutiara Laut Selatan ke khalayak luas juga bisa dilihat dari berbagai kegiatan yang turut dilaksanakan, mulai dari diskusi, lomba desain perhiasan mutiara, lomba blog, hingga lomba fotografi. Pesan yang disampaikan jelas: berbagai pihak harus terlibat kerja-kerja memperkenalkan Mutiara Laut Selatan Indonesia.

Kedua, kolaborasi antara pelaku bisnis mutiara, pemerintah, dan pihak-pihak terkait harus diperkuat. Dalam Sarasehan Pre Event 6th Indonesian Pearl Festival, 12 Oktober lalu semisal, Menteri Kelautan dan Perikanan Ibu Susi Pudjiastusi menggarisbawahi bahwa pengembangan industri mutiara Indonesia memerlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, pelaku usaha, dan juga sektor jasa keuangan.
Pemerintah, selain menyelenggarakan berbagai kegiatan promosi, juga terus melakukan penyederhanaan proses birokrasi yang berkaitan dengan bisnis mutiara. Beberapa bentuk sokongan yang juga tengah disiapkan adalah penyediaan petugas penguji mutu, dan juga sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mutiara. Berbagai kemudahan tersebut diharapkan bisa memberikan kepastian dan juga perlindungan kepada para pelaku bisnis mutiara. 
Dengan pemerintah yang sudah cukup suportif, para pebisnis mutiara dapat memfokuskan diri untuk membenahi profil dan portofolio bisnis masing-masing. Contohnya dengan memastikan setiap produk mutiaranya dilengkapi brosur informasi yang memadai, pengetatan standar sortir mutiara, hingga yang tidak kalau penting: pajaknya jangan lupa.

Kolaborasi lain yang juga potensial adalah antara industri dengan institusi pendidikan. Pertama, kerjasama dengan institusi pendidikan bisa menjadi cara untuk akuisisi teknologi dan ilmu pengetahuan mutakhir dalam dunia mutiara. Kedua, peran institusi pendidikan juga diperlukan untuk memastikan bahwa kegiatan industri mutiara berlangsung tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem sekitar. Sehingga berkembangnya industri tidak akan dibarengi dengan rusaknya ekosistem laut.

Pada akhirnya, Mutiara Laut Selatan Indonesia tidak boleh kalah pamor di negara sendiri. Dan berbagai pihak harus bergandengan tangan untuk menggapai visi tersebut. Masyarakat juga harus melibatkan diri, mulai melirik, mencintai, dan menggunakan produk mutiara negeri sendiri.

Kesungguhan memajukan industri Mutiara Laut Selatan, juga sektor maritim secara luas, bukan tak mungkin akan membawa kejayaan Dobo di masa lalu ke konteks kekinian negara Indonesia (karena seperti kata Presiden Jokowi,) masa depan kita ada di laut. Salam.

4 komentar:

  1. Buku 'Unbeaten Tracks in Islands of The Far East, Experiences of a Naturalist's Wife in The 1880s' itu bisa dapat dimana ya Mas? Dan apakah mutiara secara spesifik dikaitkan dengan Aru dalam buku tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mruput Pak komennya :D
      Salinan lengkap bukunya bisa dibaca di sini Pak.

      Dan begitulah, mutiara secara spesifik dihubungkan dengan Kepulauan Aru. Catatan Anna sebenarnya tidak begitu panjang, namun mutiara mendapatkan porsi cerita yang cukup banyak.

      Selamat membaca :)

      Hapus
    2. Matur tengkyu, sedang dibaca ini. Oh ya, selamat berkompetisi.

      Hapus
    3. Sami-sami Pak.
      Hitung-hitung 'membantu' Bu Susi ini Pak. :)

      Hapus

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine