Saya sebenarnya berencana untuk tidur lebih awal hari ini. Laptop sudah saya matikan sejak pukul 22:30. Lantas saya makan hingga tengah malam. Begitu kembali ke kamar, lampu langsung saya matikan dan bergegas ke atas tempat tidur. Yuska, teman sekamar, bahkan sampai bertanya apakah benar saya sudah mau tidur. Terlalu awal memang, tetapi saya iyakan saja. Meskipun pada akhirnya... Yah, hingga kini mata saya tak juga kunjung terpejam. Saya sudah memotong kuku, menyisir rambut (yang sebenarnya tak perlu disisir), hingga mengunci jendela yang hampir tak pernah saya kunci, tetapi tidak juga kantuk itu datang.
Akhirnya laptop kembali saya nyalakan. Dan di sinilah sekarang saya. Mengunjungi blog yang semakin lama nyatanya semakin mirip dengan namanya, tumpukan catatan kusam. Sudah sejak kapan entah tidak saya sentuh. Saya tetap menulis sebenarnya, sebagian tersimpan rapi di notepad. Sebagian berserakan di note, sebagian lagi terrekam rapi di telepon genggam.
Akhirnya laptop kembali saya nyalakan. Dan di sinilah sekarang saya. Mengunjungi blog yang semakin lama nyatanya semakin mirip dengan namanya, tumpukan catatan kusam. Sudah sejak kapan entah tidak saya sentuh. Saya tetap menulis sebenarnya, sebagian tersimpan rapi di notepad. Sebagian berserakan di note, sebagian lagi terrekam rapi di telepon genggam.
Sang Saka Merah Putih |
Puncaknya ketika beberapa hari lalu seorang teman angkatan yang menembak saya dengan pertanyaan, "Kenapa kamu kayaknya sangat mencintai Indonesia sih Bas?" Yah, pertanyaannya sedemikian vulgar. Kami jarang berjumpa. Di dunia mayapun jarang sekali bersinggungan. Saya kaget.
Di satu sisi saya masih kaget karena pertanyaan itu datang dari seorang teman yang kita sendiri jarang berhubungan. Saya bertambah kaget karena tidak terpikir sedikitpun kalimat macam apa yang harus saya ucapkan untuk menjawab pertanyaannya. Beruntung kemudian ia melanjutkan makannya, kemudian beranjak dari tempat duduk untuk membeli minum. Saya berharap ia lupa. Tapi nyatanya tidak.
Dan saat ia mengulang tanya kira-kira kalimat inilah yang mengalir dari mulutku yang masih mengunyah beberapa potong wortel.
Sebagian dari kita mungkin tanpa sadar saking cintanya pada Indonesia, sering tergumam sendiri, "Ah, kangen masakan Indonesia!", Bisa jadi kita menolak mengakui dan berkilah bahwa itu efek lapar. Tetapi, bukankah perut adalah parameter umum umat manusia?
Masih belum percaya? Minggu kemarin saya tidak sengaja berjumpa dengan seorang kawan di tempat belanja. Ia adalah satu dari sekian orang yang kujumpai pernah bertanya kenapa kita harus mencintai Indonesia dalam sebuah diskusi. Tetapi tebak, apa belanjaannya? Dua pak Indomie Cabe Ijo. Satu botol Sambal ABC. Sama serenteng Kapal Api. See?
Saya sendiri yakin bahwa bukannya tidak ada perasaan cinta, tetapi lebih ke merasa gengsi untuk mengatakan cinta Indonesia. Kenapa? Indonesia-kan banyak korupsi, macet, banjir dimana-mana, orang-orangnya tidak bisa antre dan sederet alasan lainnya. Sehingga yang terpikirkan lantas seolah-olah tidak cinta.
Padahal, sebenarnya tidak perlu juga kita berkoar-koar bahwa kita cinta Indonesia. Atau bawa tag I love Indonesia kemana-mana misalnya. Bagi saya, aktualisasi cinta Indonesia lebih ke menjadi Indonesia, menjelma Indonesia. Dengan menjadi Indonesia, tak akan lagi ada yang bertanya kenapa kita cinta Indonesia. Dengan menjelma Indonesia, tak perlu lagi kita berbicara agar orang tahu betapa cintanya kita.
Mengutip Sapardi Djoko Damono, "Mencintai angin harus menjadi siut. Mencintai air harus menjadi ricik. Mencintai gunung harus menjadi terjal. Mencintai api harus menjadi jilat. Mencintai cakrawala harus menebas jarak!"
Sehingga, kalau boleh ditambahkan, mencintai Indonesia harus menjadi... Indonesia. Yah, menjadi Indonesia adalah cara "termudah" untuk mencintai Indonesia. Bagaimana caranya? Ah, kamu tahu tentunya.
Oh ya, sore tadi saya tidak sengaja mengobrolkan masalah novel Leila S. Chudori yang berjudul pulang di komentar foto yang diunggah oleh mbak Kalis Mardiasih. Novel ini kurang lebih berkisah tentang hidup eksil politik Indonesia di luar negeri - seorang wartawan yang secara random tertahan di negeri orang ketika geger enam lima meledak. Leila secara apik (dan romantis) menggambarkan adegan Dimas Suryo - si eksil politik, menikmati aroma kunyit dan cengkih dari dua buah stoples di ruang tengah apartemennya sebagai luahan rasa rindu (dan cinta) atas negerinya yang tengah dilanda prahara.
Melalui aroma khas kunyit dan cengkih, Dimas Suryo menjaga asa dan keyakinannya tanpa mengenal habis. Melalui aroma rempah khas tanah kelahirannya ia menjelma bau comberan di pinggir Jakarta, menjelma wangi kopi yang diseduh di waktu pagi, juga harum cengkih yang dibakar dalam linting kretek. Melalui aroma penarik bangsa-bangsa penjajah itu ia "tinggalkan" Paris yang nyaman tentram, mengembara jauh ke tanah kelahiran. Ia tunjukkan betapa ia cintai negerinya tanpa syarat - bahkan tetap ingin jasadnya nanti didekap tanah pekuburan Karet.
Di satu sisi, Dimas Suryo adalah gambaran korban tirani yang mengoyak wajah negeri, mencabik-cabik nurani. Tetapi di lain sisi, ia juga ajarkan betapa rasa benci pada penguasa tangan besi tidak lantas membuatnya juga membenci tanah dimana para tiran itu berdiri. Negeri itu bagaimanapun tetap menjadi rumah asalnya. Negeri itu tetaplah negeri yang "menghidupkannya." Negeri itu tetaplah rumahnya - tempat dimana setiap orang merasa bisa pulang.
Akhir tulisan random ini bisa jadi terlalu klise, tetapi mau bagaimana lagi? Maksud saya, ketika Dimas Suryo yang terusir karena terkalahkan oleh keadaan saja masih memendam rasa yang sedemikian besar, bagaimana dengan kita yang tumbuh dengan adhem-ayem di negeri yang sama? Bagaimana? Pada apakah kita akan menjelmakan cinta kita? Atau malah kita masih mau mencari-cari alasan, memperpanjang kata?
*maaf, jadi demikian panjang dan random*
Di satu sisi saya masih kaget karena pertanyaan itu datang dari seorang teman yang kita sendiri jarang berhubungan. Saya bertambah kaget karena tidak terpikir sedikitpun kalimat macam apa yang harus saya ucapkan untuk menjawab pertanyaannya. Beruntung kemudian ia melanjutkan makannya, kemudian beranjak dari tempat duduk untuk membeli minum. Saya berharap ia lupa. Tapi nyatanya tidak.
Dan saat ia mengulang tanya kira-kira kalimat inilah yang mengalir dari mulutku yang masih mengunyah beberapa potong wortel.
"Kita lahir di Indonesia. Tumbuh dan hidup di atas tanahnya Indonesia. Menghirup udaranya Indonesia. Makan dari hasil buminya Indonesia. Masak sih tidak terbersit sedikitpun cinta?"Mukanya kulihat masih setengah bertanya. Sehingga lantas ku meyakinkannya dengan anggukkan kepala. Bisa jadi ia kecewa karena mungkin mengharapkan jawaban yang lebih filosofis - yang mustahil muncul dari mulut saya. Tetapi, itu adalah jawaban terbaik yang rasanya bisa saya berikan.
Sebagian dari kita mungkin tanpa sadar saking cintanya pada Indonesia, sering tergumam sendiri, "Ah, kangen masakan Indonesia!", Bisa jadi kita menolak mengakui dan berkilah bahwa itu efek lapar. Tetapi, bukankah perut adalah parameter umum umat manusia?
Masih belum percaya? Minggu kemarin saya tidak sengaja berjumpa dengan seorang kawan di tempat belanja. Ia adalah satu dari sekian orang yang kujumpai pernah bertanya kenapa kita harus mencintai Indonesia dalam sebuah diskusi. Tetapi tebak, apa belanjaannya? Dua pak Indomie Cabe Ijo. Satu botol Sambal ABC. Sama serenteng Kapal Api. See?
Saya sendiri yakin bahwa bukannya tidak ada perasaan cinta, tetapi lebih ke merasa gengsi untuk mengatakan cinta Indonesia. Kenapa? Indonesia-kan banyak korupsi, macet, banjir dimana-mana, orang-orangnya tidak bisa antre dan sederet alasan lainnya. Sehingga yang terpikirkan lantas seolah-olah tidak cinta.
Padahal, sebenarnya tidak perlu juga kita berkoar-koar bahwa kita cinta Indonesia. Atau bawa tag I love Indonesia kemana-mana misalnya. Bagi saya, aktualisasi cinta Indonesia lebih ke menjadi Indonesia, menjelma Indonesia. Dengan menjadi Indonesia, tak akan lagi ada yang bertanya kenapa kita cinta Indonesia. Dengan menjelma Indonesia, tak perlu lagi kita berbicara agar orang tahu betapa cintanya kita.
Mengutip Sapardi Djoko Damono, "Mencintai angin harus menjadi siut. Mencintai air harus menjadi ricik. Mencintai gunung harus menjadi terjal. Mencintai api harus menjadi jilat. Mencintai cakrawala harus menebas jarak!"
Sehingga, kalau boleh ditambahkan, mencintai Indonesia harus menjadi... Indonesia. Yah, menjadi Indonesia adalah cara "termudah" untuk mencintai Indonesia. Bagaimana caranya? Ah, kamu tahu tentunya.
Oh ya, sore tadi saya tidak sengaja mengobrolkan masalah novel Leila S. Chudori yang berjudul pulang di komentar foto yang diunggah oleh mbak Kalis Mardiasih. Novel ini kurang lebih berkisah tentang hidup eksil politik Indonesia di luar negeri - seorang wartawan yang secara random tertahan di negeri orang ketika geger enam lima meledak. Leila secara apik (dan romantis) menggambarkan adegan Dimas Suryo - si eksil politik, menikmati aroma kunyit dan cengkih dari dua buah stoples di ruang tengah apartemennya sebagai luahan rasa rindu (dan cinta) atas negerinya yang tengah dilanda prahara.
Melalui aroma khas kunyit dan cengkih, Dimas Suryo menjaga asa dan keyakinannya tanpa mengenal habis. Melalui aroma rempah khas tanah kelahirannya ia menjelma bau comberan di pinggir Jakarta, menjelma wangi kopi yang diseduh di waktu pagi, juga harum cengkih yang dibakar dalam linting kretek. Melalui aroma penarik bangsa-bangsa penjajah itu ia "tinggalkan" Paris yang nyaman tentram, mengembara jauh ke tanah kelahiran. Ia tunjukkan betapa ia cintai negerinya tanpa syarat - bahkan tetap ingin jasadnya nanti didekap tanah pekuburan Karet.
Di satu sisi, Dimas Suryo adalah gambaran korban tirani yang mengoyak wajah negeri, mencabik-cabik nurani. Tetapi di lain sisi, ia juga ajarkan betapa rasa benci pada penguasa tangan besi tidak lantas membuatnya juga membenci tanah dimana para tiran itu berdiri. Negeri itu bagaimanapun tetap menjadi rumah asalnya. Negeri itu tetaplah negeri yang "menghidupkannya." Negeri itu tetaplah rumahnya - tempat dimana setiap orang merasa bisa pulang.
Akhir tulisan random ini bisa jadi terlalu klise, tetapi mau bagaimana lagi? Maksud saya, ketika Dimas Suryo yang terusir karena terkalahkan oleh keadaan saja masih memendam rasa yang sedemikian besar, bagaimana dengan kita yang tumbuh dengan adhem-ayem di negeri yang sama? Bagaimana? Pada apakah kita akan menjelmakan cinta kita? Atau malah kita masih mau mencari-cari alasan, memperpanjang kata?
*maaf, jadi demikian panjang dan random*