|
Cinta sejati... |
Keisenganku mengklak-klik serakan file waktu online di warnet suatu hari membuat aku menemukan sebuah surat cinta yang lupa dihapus oleh pemiliknya. Begini ungkapannya:
/*/iya, kan neng bilang gpp. jadi artinya gpp.. / iya, lebih baik ke dokter aja. biar gak nambah serius.. / kenapa? / apa yg aa bilang itu kedengeran gak masuk akal buat neng. i'm chinesse. and u hate chinesse. aa messy, dan neng benci acak"an. apa itu bikin jadi gak pantes saling mendampingi? kalo iya... gampang aja. berarti kita gak cocok brg, kan? tp diluar itu kan ada fakta: kita luv each other. karena itu kita harus coba... neng benci sesuatu yg acak"an, kan bukan krn neng meng'set pikiran neng seperti itu. itu cuma satu part dari otak neng yg bilang begitu. apa bedanya sama neng yg kecanduan sama hal teratur? ritual? berulang? itu bukan mau neng. dr. richard bilang, "anggap aja itu karena cuma satu belah otak kamu yg kerja,"neng juga yakin itu sama hal'nya dengan aa yg benci chinesse, gay... ato apalah...aa gak mau, kan? tp aa gak bs nolak itu.jadi neng percaya. i have much more than my chinsse part. aa juga gitu, u have much more dari pada sekedar messy. dan itu artinya kita DESERVE buat saling mendampingi. karena kita gak sempurna dan kita coba untuk saling berusaha ngerti.gitu aja. simple, kan? :) apa lg yg aa pikirin? luv u2, a../*/
Aku rada-rada geli membaca surat cinta itu, meski kasihan juga membayangkan masalah serius dalam hubungan mereka. Aku menebak-nebak: Si lelaki tampaknya punya masalah/penyakit, tapi dia enggan diperiksa dokter untuk memastikan masalahnya. Si lain pihak mereka berusaha kuat mengatasi persoalan yang muncul dalam hubungan mereka.
Pasangan ini tampaknya sedikit ganjil: Seorang gadis Tionghoa yang begitu mencintai kerapian, berpacaran dengan lelaki acak adut yang benci dengan orang Tionghoa. Aku sulit membayangkan bagaimana mereka dulu bisa ketemu, saling suka, kemudian hati mereka tertaut. Tapi sepertinya segera setelah mereka pacaran, persoalan perbedaan - termasuk masalah dalam diri pria itu, muncul nyaris di luar kemampuan mereka untuk mengatasinya.
Tentu sebelum "kejadian", mereka punya sesuatu yang melampaui kebencian masing-masing, boleh jadi itu berbentuk kepribadian (karakter), pembawaan, sikap, dan sebagainya, sampai mereka bisa sama-sama jatuh cinta lepas dari perbedaan yang begitu genting. Yang sulit aku bayangkan ialah cara mereka mengungguli kualitas yang bisa membuat mereka ribut atau pisah. Apa yang dilakukan pria itu sampai membuat si gadis ini bisa menoleransi keacak-acakannya? Apa yang terjadi dalam diri si pria atau apa yang dilakukan si gadis sampai-sampai laki-laki ini mengabaikan prasangka kebenciannya pada etnis Tionghoa?
Dari surat itu terbaca niat masing-masing untuk terus berusaha saling cinta, tetap bareng, meski itu harus mereka perjuangkan dengan gigih. Sebuah surat cinta. Rasanya aku terakhir kali mengirim sejenis surat cinta pada DIA dan anak-anak pada awal Juni. Memang pada Juli lalu aku kirim lagi sebuah surat cukup panjang ke dia, tapi sebenarnya itu karbon kopi dari surat curhatku pada seorang kawan, tentang beberapa kejujuran atas diriku. Memang agak susah bikin surat cinta kalau sepasang manusia berdekatan, karena cinta tampaknya lebih mudah langsung diucapkan pada seseorang daripada repot-repot harus ditulis lebih dulu. Lebih mudah kirim sms cinta daripada harus bikin surat cinta dulu, termasuk lewat email, kecuali kita hidup terpisah dengan kekasih, dan satu-satunya cara menghubunginya, mengungkapkan perasaan, ialah lewat snail mail.
Pada 1992 lalu, waktu OPSPEK fakultas, surat cintaku terpilih sebagai surat cinta terbaik buat senior. Aku tentu cengar-cengir ketika harus membacakan surat itu di hadapan semua orang, sementara si senior yang aku maksud ini berdiri persis di sampingku. Aku heran kok bisa suratku mengalahkan semua tulisan para junior. Entah mereka kurang berbakat atau aku yang terlalu menganggap serius tugas itu, jadi aku kerjakan sungguh-sungguh.
Beberapa kalimatnya sering disoraki oleh orang-orang, dan aku lihat si gadis senior ini wajahnya jadi bersemu merah dan kesulitan menahan senyum karena aku rayu. Rasanya, kalau itu bukan kewajiban norak perintah dari senior, aku ingin bilang bahwa aku jujur dengan yang aku tulis di surat itu. Sayang surat itu nggak dikembalikan setelah aku bacakan, jadi aku juga sulit mengira-ngira kenapa surat itu sampai bisa menang. Jadi kesaktiannya nggak teruji.
Yang lucu, beberapa minggu setelah masuk kuliah, aku sering digodain teman-teman si senior bila kebetulan kami ketemu. Sementara gadis senior itu mungkin agak-agak jengkel, kenapa juga ada anak culun kok bisa-bisanya menembak dia sebagai sasaran rayuan. Apa yang ada dalam kepalaku waktu itu? Mungkin dia terlalu cantik untuk mendadak jadi senior judes dalam OPSPEK, atau secara fisik dia memenuhi selera fantasi seksualku. Sekarang aku bahkan lupa nama gadis itu. Namun sayang kemampuanku menulis surat cinta yang sungguh-sungguh malah gagal meyakinkan seorang gadis yang dulu ingin aku jadikan istri.
Kalau ingat itu aku ingin ketawa juga. Padahal seingatku waktu itu aku sudah kerja, punya karir di sebuah perusahaan "yang sedang berkembang pesat." Padahal rasanya hubungan kami baik-baik saja ketika aku lama-lama cukup yakin bahwa gadis ini bakal rela diajak ke level hubungan yang lebih serius.
Ini membuktikan ternyata kepercayaan seorang calon pasangan kadang-kadang gagal dijamin oleh adanya karir atau penghasilan. Tapi meski dia menolak harapanku, dia nggak mengembalikan surat cintaku itu. Atau jangan-jangan sebenarnya begitu selesai baca---entah tamat atau tidak---langsung dia cabik-cabik dan dilemparkan ke tempat sampah.
Sayang aku nggak memfoto kopi dulu surat cinta itu. Mungkin menarik mengenang lagi betapa ada seorang pemuda menyusun sebuah rencana ideal akan cinta, tapi apa lacur dia salah strategi. Mestinya yang pertama-tama diyakinkan ialah memastikan bahwa gadis itu bakal menerima cintanya, bukannya mengajukan proposal pembangunan kehidupan masa depan.
Tapi yang paling konyol, kalau aku ingat sekarang, ialah entah darimana aku mendadak merasa dapat keberanian atau gagasan hebat pada suatu hari memutuskan mengirimi surat seorang jomblo yang ikut kontak jodoh di Kompas. Rasanya aku tolol sekali kalau ingat sekarang. Mungkin ada waktu kepalaku gelap hingga merasa begitu hebat atau malah putus asa bisa menulis risalah tentang hubungan lelaki dan perempuan. Keputusan memalukan. Untunglah surat itu berhenti segera. Aku berharap penerimanya- --seorang gadis yang ciri-ciri fisik dan kriteria keinginannya sekarang sudah aku lupa---langsung mengibas-ngibaskan surat itu dari tangannya, menolak memegangnya sama sekali setelah itu. Itu lebih mending daripada dia menyangka aku seorang psikopat yang berusaha menjebak gadis baik-baik yang sedang sungguh-sungguh berusaha mencari jodoh baik-baik. Sekarang aku merasa menyesal dan berdosa berbuat itu.
Kebiasaan menulis surat ternyata memudahkan aku bercerita tentang apa saja ke beberapa kenalan dan sahabat pena yang awalnya aku tahu dari Hai. Di antara mereka ada yang bertahan hingga kini, aku kunjungi di kota mereka kala bisa. Menurutku ini agak menakjubkan. Dengan teman-temanku itu kami bisa saling kirim surat berbelas-belas halaman. Ada salah seorang gadis yang kerap curhat tentang pacarnya yang malah sering membuatnya jengkel karena hubungan mereka banyak masalah. Aku untungnya tetap waras untuk berposisi sebagai teman sejati, bukan lelaki yang diam-diam berusaha menebar pesona dan kemudian mengirim sebuah surat balasan dengan tulisan: Sudah, putuskan pacar kamu. Aku di sini menunggumu. Untung aku tidak memanfaatkan kemalangan seseorang demi keuntungan atau kesenangan pribadi. Kali ini aku lebih bisa menguasai diri. Aku bersyukur bisa mempertahankan sikap baik seperti itu selama hubungan kami.
Di zaman orang kirim surat via email dan chatting berkepanjangan dengan kekasih atau selingkuhan, sementara kadang-kadang mereka ceroboh dengan file itu, aku jadinya beberapa kali menemukan berkas surat cinta atau chatting mereka. Aku pernah baca surat seorang gadis yang antara marah atau putus asa pada lelaki yang sudah sembilan tahun berhubungan dengannya. Gadis itu merasa dikhianati dan sakit hati karena si lelaki menolak mengakui mencintainya atau minimal mereka saling mencintai; malah sebaliknya, si lelaki ini tampaknya dengan sombong bilang bahwa dia yang dikejar-kejar oleh gadis itu, bukannya mengakui bahwa hubungan mereka resiprokal. Si gadis meradang: Kurang ajar sekali kamu bilang seperti itu. Kamu pikir hubungan kita ini apa hah? Apa artinya kita berhubungan selama sembilan tahun itu? Wah... jelas hubungan mereka sedang gawat. Aku membatin: mungkin lelaki ini sedang terjebak dalam badai perkawinan dan berharap si gadis tetap mau jadiselingkuhan daripada jadi istri keduanya. Rasanya tipikal seorang laki-laki bilang bahwa dirinya dikejar-kejar gadis, untuk mengangkat egonya, seolah-olah "dicintai" itu lebih unggul daripada "mencintai." Lelaki malang. Dasar male chauvinist pig!
Setelah beristri dan beranak (yah, ini penegasan saja: aku beristri dulu baru punya anak; bukan punya anak dulu baru kemudian beristri), rasanya aku baru bisa menulis sejenis surat cinta lagi justru bila kami sedang berjauhan, misal karena sedang di luar kota. Sebenarnya menyenangkan bisa menulis cinta, apalagi yang mesra-mesra, bukan yang malah penuh masalah seperti surat yang aku temukan di atas. Tapi kan tiap orang punya maksud sendiri-sendiri. Gadis di atas, yang surat pribadinya aku temukan, lepas bahwa dia sedang dirundung masalah, sebenarnya mencintai pacarnya dengan segenap hati. Gadis itu waras, meski ejaannya sembrono. Kata dia dalam ungkapan khas anak gaul 2008-an: "i have much more than my chinsse part. aa juga gitu, u have much more dari pada sekedar messy. dan itu artinya kita DESERVE buat saling mendampingi. karena kita gak sempurna dan kita coba untuk saling berusaha ngerti." Aduh, senangnya punya kekasih pengertian seperti dia!
Beberapa tahun lalu aku sempat baca novel Subject: Re (Novita Estiti) yang sedikit bikin heboh di media karena penulisnya ngambek menolak novelnya dipaksa dilabeli kategori chick-lit oleh penerbit, Gagas Media. Aku membela kengototan penulisnya. Beberapa minggu kemudian aku dikirimi novel itu. Isinya ternyata kumpulan email-emailan surat cinta (dalam sastra bentuk itu disebut sebagai novel epistolari) antara gadis yang tinggal di Indonesia dengan seorang lelaki yang tinggal di Australia. Aku kurang terkesan oleh isi novel itu, karena tampaknya kurang ada aksi atau plot yang bisa membuat ceritanya lebih menegangkan atau menyedot aku masuk dalam dunia mereka. Isinya tampak melulu tentang hubungan mereka, membicarakan aspek psikologis wanita dan pria ketika sedang jatuh cinta. Sebenarnya menarik sepasang manusia bisa membicarakan cinta jadi seintens itu, setebal itu, dengan bahasa yang tampak dingin, lewat surat elektronik. Seingatku, ada kala mereka ragu tentang hubungan mereka, meski aku ragu apa ada unsur selingkuh di sana. Akhirnya aku menghadiahkan novel itu ke komunitas Asoe Kaya di Banda Aceh.
Yang sedikit mengejutkanku malah kisah di balik novel itu. Fakta ini baru aku ketahui belakangan saja waktu jalan bareng ke Jakarta dengan seorang kawan. Cerita punya cerita surat-surat dalam novel itu memang surat pribadi penulis dengan lelaki yang membalas suratnya. Artinya setengah dari isi novel itu sebenarnya karya si lelaki, yakni balasan yang bersubjek Re:. Kata kawanku, si penulis dan lelaki ini sampai bikin surat perjanjian perihal isi surat yang dimasukkan dalam novel itu. Entah apa maksudnya; apa kira-kira untuk mencegah jangan sampai ada gugat menggugat atau sakit hati di antara mereka di kemudian hari atau bagaimana. Yang jelas hubungan cinta wanita dan pria ini sekarang sudah kandas secara menyakitkan. Bagaimana kamu tahu? tanyaku. Aku kenal penulisnya, kata dia. Karena itu dia masih menyimpan novel itu. Sementara si lelaki ini dia kenal reputasinya saja. Aku juga kenal reputasi si lelaki itu sebenarnya, bahkan pernah sekali waktu kami email-emailan. Menurutku, lelaki ini tipe kritikus jujur paling nyelekit yang pernah ada, dengan integritas yang bisa dipercaya dan berlandas pada argumen hebat. Tipe kritikus yang paling aku takuti bila sampai ketemu. Wah, kenyataan ternyata lebih ajaib dari fiksi.
Banyak sebenarnya kisah tentang surat cinta, termasuk yang dilagukan oleh Vina Panduwinata (Surat Cintaku yang Pertama) atau Sinead O'Connor (Love Letters). Film Message in the Bottle yang dibintangi Kevin Costner juga cerita tentang itu. Seperti apa surat cinta Anda? Kalau belum pernah, sesekali tulislah sebuah surat cinta. Pada kekasih, orang tua, adik, kakak, untuk benda atau Tuhan Anda. Mungkin surat cinta bisa melampiaskan emosi-emosi lembut dan terdalam dalam diri Anda.
*) diambil dari satu email yang entah sudah berapa kali diforward di milis mediacare