Sepanjang Jalur Gaza

| Januari 13, 2009 | Sunting
Bukanlah Tuhan sesuatu yang paling dekat di kota ini, namun adalah kematian, tuan!
Kabar apa yang lebih menakjubkan ketimbang berita duka? Hari-hari di kota ini, adalah hari-hari neraka yang tak bisa lepas dari derita. Dentum roket yang menghantam permukaan kota, derak suara pesawat di setiap sudut cakrawala, tangis anak-anak, jeritan seorang ibu, itulah neraka yang Tuhan   sediakan sebelum akhirat menjelang, tuan. Maka setiap hari aku menatap asap yang menggumpal seram itu. Tujuh hari sudah, dan asap itu tetaplah asap ledakan roket yang menyeberangkan beberapa penduduk menuju kematian: ayahku, (ah, ayah, tak akan kuucap sesuatu apapun, kecuali: “Tuhan memberkatimu selalu”), adikku Hussen, (boneka beruangmu masihlah tertinggal di antara reruntuhan bangunan, adik), Fayyad, (di akhirat, kita pasti bisa bertemu lagi, kawan. Kita habiskan hari-hari bahagia kita dengan segala macam permainan).

Dua bocah dibalik dinding koyak
Cobalah tuan perdalam pikir jernih yang tuan miliki, bahwasanya dendam yang tuan-tuan simpan, --yang katanya hanya akan menghancurkan sekelompok tertentu, dan tidak membuat lecet sesentipun kulit penduduk-- telah mengundang duka yang mendalam. Mungkin tuan sulit mempercayai perasaan kami. Dan terlalu biasa tuan menganggap sebuah kematian.

"Bukankah negara ini memang wilayah yang seorang malaikat pencabut nyawa terlalu sering mendatanginya?"

Betul, tuan! Negara ini telah menjadi bidikan utama malaikat Tuhan. Seperti juga bidikan utama sekelompok tak tahu perasaan. Sekelompok yang hanya peduli dengan dendam: Yahudi.

Aku lalui setiap bangunan. Kubaca reruntuhan kaca. Bangunan yang kemarin berdiri kokoh, ah, terlalu hebat sedetik ledakan itu membinasakan keindahan kota ini. Ya, kota ini memang indah. Tuan akan merasakan deru angin yang menerbangkan debu-debu, dan itulah tiupan angin (yang sekalipun terasa gersang) namun membuat setiap orang merindu persaingan. Angin itu, bila aku bermain bersama beberapa kawan, maka bisa menerbangkan baling-baling setinggi yang kami mau.

“Lemparkan dengan keras, Fayyad!” Baling-baling terbang, rianglah seluruh kawan mengejar.

Seraya kita tunggu baling-baling itu jatuh, kadang aku dorong tubuhmu, Fayyad! Kau tersungkur, tertawalah kita. “Hidungmu, hai, Fayyad, tak ubahnya seorang badut,” begitu celetuk Yasmin, satu-satunya gadis di antara kita-kita yang jantan. “Fayyad... Fayyad, kau tampak lucu manakala hidungmu yang mirip paruh rajawali belepotan dengan    debu.”

Rafah, inilah kotaku, tuan. Kota yang ‘terima kasih’ tuan telah mengubahnya sedemikian rupa. Bila datang sebuah pertemuan, rasanya ingin kupukul muka tuan-tuan. Akan kutendang tubuhmu, tuan. Akan aku kerahkan seluruh tenagaku untuk melempari kepalamu yang layaknya batu dengan kerikil-kerikil Rafah. Itulah bukti kelapangan batinku, bukti ucapan ‘terima kasih’ atas kebengisan tuan sekalian.

Jalur Gaza..... Jalur Gaza..... Jalur Gaza..... Jalur Gaza..... Jalur Gaza!
Jalur kematian..... Jalur kematian....... Jalur kematian.... Jalur Kematian!

Ah, mengapa aku selalu mencium aroma kematian di sini. Jalur ini, betapa pantasnya bila kusebut jalur kematian saja. Jalur yang sebagai pembatas antara hidup dan mati, bukan pembatas antara dua kubu yang saling berseteru.

Di jalur ini, suatu sore, ketika senja rebah di ufuk barat, aku bersama seorang ibu sedanglah berjalan. Perjalanan yang nikmat, ibu memperlihatkan kepadaku, (juga kepada Hussen yang beliau dekap dalam gendongan) keindahan bangunan-bangunan kota. Seraya berjalan, diceritakannya kepadaku hikayat-hikayat masa lalu. Tentang Jerusalem, tentang sabda sang Nabi yang mengatakan bahwa selamanya negeri ini tak akan sepi dari keriuhan dendam.

“Hussen, Khudz hadzil li’b!” Ambil boneka ini, adik! Maka diremaslah boneka beruang yang kuberikan. Hussen, adik kecil berambut keriting sepertiku. Berkulit putih, bermata tajam layaknya bulatan mata ayah. Bila mendengar dia mengeluarkan sepatah kata, rasanya aku ingin memaksa kedua mulutnya untuk berucap sepatah kata lagi. “Menggemaskan sungguh kau, Hussen!”
“Rasul sudah mengatakan bahwa negeri ini tak mungkin lepas dari serangan Yahudi?” tanyaku terhadap ibu.
“Benar sekali, anakku. Namun ada masanya dimana kita akan merasa tenang.”
“Kapan itu, wahai ibu? Kapan kita bisa lepas dari suara-suara ledakan?”

Ibu diam. Mengelus pipi Hussen. Dan bisa kau bayangkan sendiri, betapa riangnya seorang anak menunggu jawab tentang kedamaian. Maka kutunggu kedua bibir ibu bergetar mengucap kata: “Itulah masa ketika malaikat Isrofil meniupkan terompetnya!”

Ternyata kiamat yang akan mengakhiri perseteruan ini. Dan mulai hari itu, dalam kepalaku tak kutemukan sebuah kerinduan kecuali kiamat. Sebab telingaku terlalu bosan dengan tangis anak-anak, dengan jerit seorang ibu di sudut Rafah. Sebab senja itu juga, terdengarlah derit pesawat-pesawat angkasa. Terdengarlah ledakan dahsyat yang berakhir tangis kedua mataku, tangis ibuku.

Tuan tahu, di mana aku dan ibuku mencari Hussen? Aneh sekali Tuhan menulis skenario. Mengapa harus anak kecil yang belumlah sanggup memanggil ayah-ibu? Mengapa harus perpisahan menjadi ujung dari pertemuan?

Aku mencari Hussen. Aku masuki gumpalan asap. Ledakan bom itu menggetarkan bumi Rafah. Mungkin Hussen terlepas dari pelukan ibu, sejurus ibu yang juga terguling-guling di atas debu.Namun apa yang aku dapat, tuan? Aku menginjak beberapa jasad manusia. Hitam, suram, tak bisa laju nalarku mengenali. Bila kutemui sekujur tubuh mungil, maka bersiaplah kedua mataku mengucurkan air mata yang panjang. Ah, bukankah nyata-nyata kedua mataku berguguran air mata. Sampai keesokan hari, dan tak kudapati kabar seseorang yang menyebutkan selamatnya anak usia tiga tahunan di antara robohnya kota.

Aku, ibuku, berlarilah menapaki jalan menuju rumah. Dan tidaklah kami berjalan sendirian, tuan. Derak kaki seluruh warga menebarkan debu-debu. Pergerakan kaki yang terburu-buru. Seolah ada yang sedang mereka cari. Ya, mereka memang sedang mencari. Kepala mereka dipenuhi bayang-bayang ketakutan yang kemudian membentuk bercabang pertanyaan: bagaimana keluarga di rumah? Bagaimana seorang kawan di sepanjang jalur Gaza? Bagaimana sahabat yang barulah usai melemparkan baling-baling? Bagaimana nasib Rafah esok hari, ketika asap kematian tak bisa hilang; ketika negeri dirundung ledakan.

Dan ketika itulah kutemui seluruh bangunan rumahku hancur. Tempat di mana aku teduhkan tubuhku sehabis bermain. Tempat yang... ah, detak jantung ini terlalu menyimpan banyak kenangan untuk diceritakan.

Ibuku mencari ayah. Bisa kau menjawab kalimat ibu yang memanggil-manggil ayah? Lihatlah seorang perempuan yang meraup reruntuhan bangunan. Bergulung. Merayap. Berteriak. Mengacak-acak rambutnya. Sebelum kemudian datang seorang anak sebelas tahun merangkul pundaknya. Dan bocah kecil yang juga tak bisa lepas dari air mata itu adalah aku.

Aku eratkan rangkulanku. Kucium aroma ibu yang berkeringat. Kudapati pada setiap angin yang menebarkan bau keringatnya, aroma duka yang dalam. Aroma duka seorang ayah yang (jelas) tertimbun di antara reruntuhan bangunan. Ayahku, adalah ayah yang tak pernah menelusuri jalan. Ayahku adalah suami yang menaruh ketergantungan pada sebentuk alat bernama kursi roda.

“Sudah ibu katakan kepadaku, kematian adalah perihal biasa di negeri ini. Baik kiranya, jikalau ibu mendiamkan senggukan tangis ini!” mendengar kalimatku, berhentilah ibu meraup-raup reruntuhan.

Cerita sore itu, aku kesudahi dengan kematian ayahku. Dengan kematian Hussen.

***

Semoga tuan tidak menganggapku seperti kemarin hari. Aku hari ini, bukanlah aku yang terlalu mudah menitikkan air mata. Sengaja aku dan ibuku menelusuri sepanjang kota Rafah. Batu-batu berserakan, sama halnya ketakutan yang hinggap pada setiap jiwa. Duduk sebentar di sini, telingamu tentu menangkap banyak ancaman yang tak sekadar ancaman, tuan: gema tangis manusia, seruan takbir, dan lebih seramnya lagi derak pesawat yang masih menghantui pikir.

Maka di sepanjang jalan Rafah, aku berbisik dengan batinku, “jangan menangis! Sebab tangismu tak akan berubah apa-apa. Kecuali penyesalan sebentuk luka.”

Berhentilah ibu di samping tiang listrik. Tiang yang sedikit condong, dan kabel yang menggelantung lemah. Bila seseorang tak hati-hati, tentunya akan menghantam kabel tersebut. Lantas bisa tuan perkirakan sendiri apa akibatnya: kabel putus, mengeluarkan aliran listrik yang ganas. Ah, tidak-tidak. Aku salah berucap. Kota ini telah terputus dari aliran listrik. Namun jangan dibayangkan bermalam di sini, tuan berada dalam kegelapan. Di sini, sekalipun tak ada nyala lampu kota, masihlah ada setitik cahaya: itulah sisa nyala api yang membakar gedung-gedung kubus.

Tiang listrik yang condong ini, kudapati di atasnya burung-burung dara. Kelabu, seperti warna langit sekarang. Datanglah pada tempat ini, tuan. Pertemukan wajah tuan dengan burung-burung di atas. Pertemukan batin tuan dengan sisa nyala api di pinggir-pinggir jalan. Lantas bicarakan kepadaku, perasaan apa yang tuan dapat?

“Ketika kau menapaki jalan yang menurun, Jangan kau terburu-buru tersenyum, anakku! Sebab kelengangan kemarin hari adalah pertanda keriuhan esok. Dan di hadapan kita, nampaklah tanjakan yang panjang.”

Aku mendengar kalimat itu. Telah kutanam, dan tak mungkin hilang dalam ingatan. Ayahkulah yang mengajariku akan hal itu. Mungkin, ajaran tersebut juga tertanam dalam benak semua anak Rafah. Kota yang berdiri di atas jalur kematian: Gaza.

Di sepanjang jalan Rafah, di sebuah lorong kecil, lorong yang penuh dengan tulisan Harrik Yadak, Harrik Yadak! Allah Fiina, Allah Fiina - Gerakkan tanganmu, gerakkan tanganmu. Allah menyertai kita, Allah menyertai kita., bisa aku kisahkan kepada tuan, bahwasanya tempat itulah lahan yang paling mengasyikkan buatku bersembunyi. Ketika hitungan seorang kawan sampai pada angka ke tiga, larilah aku menuju lorong itu. Dan bisa dipastikan Fayyad, Yasmin, atau kawan yang lain tak bisa menemukanku. Kecuali ketika aku lelah bersembunyi, maka bergeserlah aku sedikit keluar. Dan, “Hadzil asra, hadzil asra!” berteriaklah Fayyad mengatakanku sebagai tawanan.

Sudah kukatakan, tuan. Kota ini terlalulah dekat dengan kematian. Maka hendak kuundang dirimu pada hari kematianku. Tunggu saja suatu hari dimana kupersembahkan darahku untuk pertempuran. Sebab perjuangan rakyat Rafah adalah percuma, sebab Rasul sendiri telah mentakdirkan kemenangan Jerusalem di ujung hari yang manusia sebut kiamat.

Dan janganlah kau bilang Gazaku sekadar derita, sebab tuan akan menemukan banyak kisah berupa darah. Di sini!

Cerpen Naqib Najah

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine