Kutinggalkan Kotamu dengan Sejuta Tanya

| Januari 05, 2014 | Sunting
Jalanan Jakarta - Scotty Graham
Hari ini aku pergi
Waktu berlalu begitu cepat
Padahal banyak tanya yang belum pula terjawab

Di Gambir kubertanya pada kereta terakhir yang meninggalkan seorang Ibu yang sudah berlarian mengejar jadwal! "Saya padahal membawa makanan untuk makan (tengah) malam anak saya!"

Di Senen kubertanya pada pedagang buku aspal dengan geram, "Bagaimana bisa judul roman Pram salah cetak? Anak Semua Bangsat?" Ada special request dari Pramoedya karena hari ini semua orang kan memang sudah jadi bangsat!, candamu.

Di Kota kubertanya pada satu kaki lima, bagaimana bisa ia menjual anak-anak penyu dalam plastik, sementara di seberang jalan sekelompok anak muda berbekal toa serukan konservasi hewan langka?

Di Kopaja, ku mengelus dada melihat seorang nenek terjungkal hanya karena sang sopir sudah sebegitu bernafsu mengejar seteron. Dari kaca depan mengintip sepotong stiker kusam, "Utamakan Keselamatan Penumpang!"

Di Cikini, kubertanya pada serumah keluarga gerobak, "Jadi kalian masih di tempat ini? Berlantai papan, beratap plastik? Tidakkah ada calon gubernur yang hampiri kalian?"

Di Dao, kubertanya, kabarnya rumah kalian akan digusur, kemanakah lantas kalian akan pergi? Tapi, kalian malah balik bertanya, "Memang kami punya rumah? Apa bukan bedeng? Kami bahkan terbiasa tidur bergelimpangan di atas rel kereta! Itukah rumah kami?"

Di depan Museum Mandiri, kutanyai abang penjual gorengan, minyaknya semakin jarang diganti semakin enak ya Bang? Yang lantas hanya dijawab dengan cengiran.

Di Stasiun Pondok Cina kubertanya pada sekelompok pengemis kecil, tidakkah kalian bosan, lagi dan lagi mengatai ku pelit? Menyorakiku Cina hanya karena mengantongi lagi receh kembalian tiket? Sempit kali pikiran kalian ini!

Di Gondangdia, kubertanya pada seorang bapak dari Cirebon yang mengaku keturunan wali dan mengharapkan bantuan agar bisa pulang, "Ini kali ke berapa bapak bertemu saya meminta bantuan palsu? Batu akiknya kok sekarang merah Pak? Yang hijau dulu itu di mana?"

Pada pagar istana, kubertanya, "Apa kabar tuan Presiden. Masihkah beliau suka karaoke? Kabarnya nyonya presiden mau nyalon presiden yah?" Tidak ada jawaban, merah putih berkelebat di kejauhan.

Pada sekelompok waria di belakang taman Menteng, kubertanya kabar. Lagu apa yang tengah hits? Goyangan yang bagaimana yang lagi in? Hehe

Pada satu panti asuhan di Manggarai, kubertanya, "Masihkah kalian suka telat makan? Calon gubernur mana yang datang meminta doa kalian? Apa? Tidak ada? Apa karena kalian belum juga bisa memilih?"

Padamu, aku bertanya, "Ada apa denganmu?"

10 Juli 2012, dalam Kereta Bogowonto

4 komentar:

  1. beribu tanya untuk beribu realita.. keren :)

    BalasHapus
  2. Pertanyaan utamanya sepertinya kalimat yang paling terakhir saja, tapi dirangkai apik dg kalimat-kalimat yang berhasil menyembunyikan kalimat utamanya sendiri. :)

    BalasHapus

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine