Hampir pukul tiga pagi waktu Malaysia. Aku tengah membereskan beberapa tumpuk kertas. Terlalu banyak yang aku simpan. Dari kertas ulangan hingga potongan koran. Satu yang lantas menarik perhatian: selembar kertas A4 yang sudah koyak bagian atasnya. Sebuah daftar tertulis di sana. Daftar mimpi anak-anak Dao Atas, Pademangan, Jakarta Utara. Ditulis tiga tahun lalu. Aku kebetulan tengah ke Jakarta waktu itu, awal Mei 2013. Dan Heny mau menemaniku kembali ke Dao Atas, ke Umbrella Wisdom.
Kelas ramai seperti biasa. Banyak muka baru, hasil dari urbanisasi yang deras. Tapi juga banyak di antara mereka yang sudah cukup lama belajar bersama teman-teman di Umbrella Wisdom. Heny membuka kelas dengan doa, lalu mengajak anak-anak bernyanyi Potong Bebek sebelum memintaku untuk ke depan untuk memimpin games.
Merasakan kelas yang tetap hidup tentu saja membuatku senang. Juga kagum kepada teman-teman yang setengah mati menghidupinya. Heny bercerita banyak hal, utamanya tentang dinamika pengelolaan kelas. Profil Umbrella Wisdom yang saat itu mulai banyak diangkat ke media membuat banyak pihak tergerak untuk mengulurkan tangan. Tidak semuanya mengajar. Ada yang membagikan makanan, memberikan donasi, hingga membantu perbaikan kelas.
Selepas edisi mampir itu, aku belum pernah mampir lagi. Tetapi dari laman facebook aku mengikuti kegiatan teman-teman di sana. Anak-anak bermain dan belajar seperti biasa. Komunitas-komunitas lain juga banyak yang berkolaborasi dengan kerja-kerja Umbrella Wisdom. Hingga kemudian kabar sedih datang akhir tahun lalu. Kampung Dao Atas digusur.