Surat kepada 'Yang Terhormat'

| Oktober 09, 2009 | Sunting
Gedung mereka 'yang terhormat'
Saudara Yang Terhormat, saya memang harus memanggil Anda demikian. Ini bukan basa-basi, Anda memang Terhormat. Bagaimana tidak, Anda adalah orang terpilih dari jutaan, bahkan puluhan juta jiwa rakyat Indonesia. Sudah pasti Anda yang terbaik, dan di negeri ini, yang terbaik adalah yang Terhormat.

Saya kagum dengan sepak terjang Anda sehingga Anda kini menjadi orang Terhormat. Saya hargai perjuangan Anda hingga akhirnya Anda sekalian menjadi kumpulan orang yang Terhormat. Tidak ada penghormatan yang sangat tinggi, kecuali menghargai Anda, Yang Terhormat.

Saudara Yang Terhormat, saat surat ini dibuat, saya lihat Anda di televisi, sedang berdiri, tegap, gagah mengumandangkan lagu milik seluruh anak negeri, Indonesia Raya dengan kibar Merah Putih bersisi, merinding bulu roma ini. Sekejap hening, suasana berganti, tegas Anda mengatakan, Atas nama Tuhan, Saya bersumpah setia, berjanji untuk negeri. Terkisap hati, tak terasa ada leleh di pipi.Ya, betapa tidak,di saat Anda berdiri, ada ratusan nyawa lepas dari raga akibat gempa di Tanah Nagari, ratusan lainnya mungkin masih meregang sisa nafas yang tertindih beton bangunan yang menghimpit hingga ke ulu hati. Bukan tidak mungkin, di antara mereka ada yang membuat Anda berdiri Terhormat saat ini.


Ah, sesaat saya tertawa geli, terngiang apa yang baru saja saya pahami, Anda bersumpah dengan menghabiskan miliaran dana yang terkuras hanya untuk sebuah seremoni. Anda bisa berkilah, memang itu sebagai bentuk penghargaan bagi Anda yang kelak berkarya untuk negeri. Saya tak ingin berdebat, saya hanya ingin sedikit berbagi, tak terasa ratusan ribu rupiah terogoh dari saku tipis ini, hanya untuk seseruput minuman dan sedikit kue kecil tersaji di Hotel bergengsi, milik asing, tempat Anda menginap menanti seremoni. Oh ya, Hotel itu baru saja selesai direhabilitasi, usai Bom bunuh diri menghancurkan seluruh isi bangunan ini.

Saya juga tak ingin mencampuri, apa yang bakal Anda terima setiap akhir bulan nanti, yang jumlahnya sulit di-impi oleh mayoritas rakyat di negeri ini. Belum lagi fasilitas lain yang menanti. Sungguh, itu rezeki yang memang harus Anda terima, bahkan sejak dini, sebelum Anda bersumpah janji.

Saudara Yang Terhormat, saya bangga dengan Anda semua, seperti kata berita, kini, sebagian besar dari Anda adalah anak muda harapan negeri, wuiih, sebagian besar dari Anda adalah lulusan Strata Dua perguruan tinggi ternama dalam dan luar negeri, berintelejensia tinggi, dan satu lagi, terselip di antara Anda sekalian si Jelita penghias layar televisi.

Tak salah saya berharap banyak kepada Anda seusai Yang Terhormat sebelum Anda lengser menepi. Bukankah Yang Terhormat sebelum Anda banyak menghiasi sisi gelap negeri, mereka menikmati milyaran dana milik rakyat sang pengabdi, korupsi, suap, atau apalah aku tak mengerti, menyalahi kekuasaan untuk kepentingan diri dan kelompok sekoci, bahkan ada yang ber-asyikmasyuk hingga lupa telah ber-istri.

Jangan bilang saya tidak menghargai, Yang Terhormat sebelum Anda telah berbakti, menyusun legislasi, memberi arahan pada perjalanan negeri. Mereka mengkritik eksekutif pelaksana aksi, sehingga berjalan sesuai rel aturan yang disepakati, menggapai demokrasi sejati, satu-dua dari mereka juga menjadi teladan bagi kita anak negeri.

Saudara Yang Terhormat, saya telah memberikan pilihan hati nurani, lewat suara yang saya isi di bilik dengan sejumlah gambar dan nama yang tersaji, begitu juga puluhan juta jiwa rakyat negeri ini, memilih Anda menjadi wakil kami. Kini, saatnya kami menagih janji. Tak banyak harapan kami, saatnya memberi bukti. Jangan pupus mimpi kami, karena hanya itu yang tersisa milik kami, di negeri yang bertabur janji..


Terima Kasih. Salam.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine