Untuk mereka yang tak punya nama, untuk mereka yang ketlingsut dalam arsip besar yang menumpuk, yang ditengok saat absensi dan terima gaji, untuk mereka yang senantiasa diawasi waktu, untuk mereka yang jadi “batubata” perusahaan-perusahaan raksasa, untuk mereka yang mengais hidup dengan keras, dengan atau tanpa perhatian.
Marsinah
Catatan Goenawan Mohamad
Marsinah adalah sebuah petunjuk, mungkin lambang, yang terang dan perih. Ia yang ditemukan terbunuh di sebuah dusun di daerah Nganjuk itu telah menunjukkan bahwa hak asasi bukanlah sesuatu yang hanya dibicarakan sebagai sebuah benda yang datang dari luar, dan bergulir jadi percaturan antara orang-orang penting.
Hak itu bukan ibarat sebutir bola golf. Dunia tempat Marsinah tewas dalam umur 24 tahun bukanlah sepetak luas rumput yang tenteram. Apa yang dialami Marsinah adalah sebuah gambaran yang menyesakkan, tentang bagaimana seseorang yang memperjuangkan tuntutan yang bersahaja pada akhirnya tersangkut dengan masalah hak yang dasar: hak untuk punya suara, hak untuk punya harapan, bahkan hak untuk punya jiwa dan badan.
Kita tak tahu siapa yang membunuh Marsinah. Tetapi kita tahu mengapa ia dibunuh. Ia seorang buruh yang mengais-ngais dari remah-remah dunia yang dikenalnya secara terbatas. Ia tak punya pilihan lain. Ia bermaksud mengubah nasibnya. Ia pernah bekerja di pabrik Sepatu Bata selama setahun, dan akhirnya ia bekerja di pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, itu. Upahnya Rp 1.700 sehari ditambah uang ''tunjangan'' Rp 550 yang hanya diberikan bila seorang buruh masuk bekerja. Untuk menambah penghasilan, ia berdagang kecil-kecilan. Kebutuhan dan harapannya sederhana.
Kita tahu, Marsinah tak bersalah karena itu. Tapi rupanya inilah yang berlaku: dengan cara kotor atau tak kotor, para pemilik modal boleh menghimpun kekayaan, para manajer dan para pemegang kekuasaan boleh menambah penghasilan, tapi buruh sebaiknya jangan. Pertumbuhan ekonomi kita, kegairahan investasi kita, telah dibuat bertelekan pada upah buruh yang kecil, untuk menghemat ongkos produksi. Tapi, sementara itu, kita tak pernah mengusik berapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan pengusaha untuk menyogok para pemberi tender atau pemberi kredit. Keserakahan boleh berlangsung di atas, tapi buruh tak usah berteriak menuntut nafkah yang lebih baik dan tak boleh berteriak kesakitan. Itulah sebabnya Marsinah dibunuh dan tubuhnya dibuang. Ia bersama teman-teman sekerjanya menuntut agar ''tunjangan'' yang Rp 550 itu bisa diberikan secara tetap.
Bukan angka rupiah itu benar yang menjadi persoalan di sini, melainkan keberanian untuk menuntut itulah yang agaknya mengganggu. Para buruh di Porong, Sidoarjo, itu sudah mengganggu sebuah paham tentang ''ketenteraman'', ''keselarasan'', ''ketertiban'', dan ''kesatuan dan persatuan'' paham yang tengah diberlakukan dengan cara yang sering gampangan, kasar, dalam skala besar di Indonesia.
Marsinah mati karena tusukan benda runcing. Perutnya luka sedalam 20 sentimeter. Selaput daranya robek dan tulang kelamin bagian depannya hancur. Sekitar dua liter darah keluar dari tubuhnya yang disiksa dan dijarah. Barangkali bila kelak ada orang yang bisa berbicara tentang suatu semiologi pembantaian, kita mungkin akan lebih melihat dari jasad yang ditemukan di tepi jalan di Dusun Jegong itu bahwa luka-luka dan kematian Marsinah menandai dua macam agresi sekaligus: yang pertama adalah agresi terhadap Marsinah sebagai seorang buruh, dan yang kedua adalah agresi terhadap Marsinah sebagai seorang perempuan.
Dari sini kita pun bisa bercerita tentang hadirnya di antara kita sebuah ''ideologi'' (dan jalinan kepentingan) yang bisa begitu sewenang-wenang terhadap segala anasir yang selama ini sudah berada dalam posisi marjinal. Yang saya maksudkan di sini adalah kaum buruh dan kaum perempuan. Tentang buruh, kita tahu betapa lemah kedudukannya dalam sebuah kehidupan sosial-ekonomi yang berkelebihan tenaga kerja seperti Indonesia sekarang. Tentang perempuan, kita tahu betapa senantiasa genting posisinya dalam sebuah lingkungan budaya yang semakin memuja ''Ramboisme'' seperti sekarang. Dalam ''Ramboisme'', yang diagungkan adalah citra kewiraan, citra kelaki-lakian di medan laga, citra yang akhirnya menganggap ketegaran (rigiditas) sebagai sesuatu yang baik dan disamakan dengan keteguhan, citra yang melihat dunia dan orang lain dalam hubungan kalah atau menang, citra yang tidak toleran terhadap apa yang halus, subtil, kompleks, dan cerewet, dan karena itu harus ditampik dan dicemoohkan.
''Ideologi'' seperti itulah sebenarnya yang membunuh Marsinah. Siapa pun orang atau kelompok yang membantai Marsinah pasti mengira, kematian seorang buruh perempuan dari dusun itu tak akan menimbulkan heboh: sangka mereka mayat yang terpuruk di tepi jalan Desa Jegong itu akan hanya jadi berita satu kolom di koran lokal, meskipun cukup efektif buat menggertak para pengganggu ''ketertiban'' di sekitarnya.
Untunglah, para pembunuh itu pongah dan salah sangka. Mereka tak sadar bahwa ketika Marsinah dan kawan-kawan bangkit menuntut perbaikan nasib, pada saat itu kaum buruh tak bisa disepelekan terus, sebagaimana kaum perempuan tak bisa dimarjinalkan lagi. Industri tumbuh, buruh kian tampak, suara mereka semakin terdengar, dan juga perempuan mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk bekerja dalam sektor yang lebih membuat mereka mandiri.
Maka, sesungguhnya suara Marsinah, baik suara protesnya yang terdengar maupun jerit kesakitannya yang tak terdengar, adalah satu dari gelombang pasang pembebasan yang sedang mendesak. Dalam gelombang pasang itu dengan nyata terlihat bahwa manusia memang punya hak-hak dasar, hak-hak asasi, dan ia akhirnya akan sadar tentang itu biarpun ia seorang gadis miskin yang jauh dari Jakarta yang bising ini.
Itulah sebabnya, bila kita menghormati Marsinah malam ini, kita juga menghormati mereka yang ikut membentuk gelombang pembebasan itu, terutama di kalangan buruh dan kaum perempuan. Pada saat yang sama juga kita menghormati seorang korban, seorang yang dianiaya, karena kita tahu bahwa dalam diri orang seperti inilah kita menemukan saksi yang tenggelam dalam ketakadilan dan kesewenang-wenangan yang terjadi.
Maka, Marsinah adalah sosok pahlawan dan juga korban, lambang kekuatan dan juga kelemahan. Keduanya tak bisa dipisah-pisahkan. Sebab, dengan kepahlawanan dan kekuatan semata-mata kita akan terus mengabaikan dan menyepelekan yang lemah, sebaliknya dengan kelemahan semata-mata kita akan mudah pasrah kepada keadaan.