Ya... Just do it |
Coba bayangkan, ketika masyarkat miskin membutuhkan sekitar $ 6 miliar untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka, sebanyak $ 8 miliar dihabiskan untuk keperluan kosmetik di AS saja. Ketika $ 9 miliar dibutuhkan masyarakat di Negara-negara miskin dan berkembang untuk perbaikan sistem sanitasi, sebesar $ 11 miliar dihabiskan untuk belanja es krim di Eropa. Pemeliharaan kesehatan dasar dan nutrisi masyarakat Negara miskin dan berkembang membutuhkan dana sekitar $ 13 miliar, di saat yang sama $ 17 miliar dihabiskan untuk pemenuhan kebutuhan hewan ternak di Eropa dan AS.
Apa yang salah dengan cara berpikir manusia? Bagaimana mungkin mereka membiarkan sesamanya meninggal kelaparan di Sub-Sahara sementara mereka memaksa sapi dan babi-babi mereka untuk semakin gemuk? Saat tukang becak dan padagang kecil di kota-kota di Indonesia kesulitan untuk memeroleh setidaknya satu dolar per hari saja, atau sekitar sepuluh ribu rupiah, rata-rata sapi di Amerika Serikat dan Eropa disubsidi dengan makanan dan perawatan harian sebesar dua dolar.
Jangan-jangan benar kata Erich Fromm, semakin hari, seiring dengan bumi yang berlari, kemanusiaan kita semakin redup saja. Saat $ 105 miliar dihabiskan untuk mengkonsumsi minuman beralkohol di Eropa dan $ 35 miliar dihabiskan untuk keperluan hiburan di Jepang, masyarakat Ethopia, Burkina Faso, dan Negara-negara di gurun Afrika lainnya menyaksikan tubuh mereka sendiri yang makin kering, tulang-tulang iga yang makin menonjol, dan mata yang semakin cekung. Ungkapan TINA atau There is No Alternative, yang diungkapkan Margaret Teacher ketika memaksa semua Negara untuk tunduk pada globalisasi, rasanya lebih tepat untuk diungkapkan oleh ibu-ibu miskin di Burkina Faso yang terpaksa menguburkan bayi-bayi mereka lebih cepat karena mati kelaparan dan kekurangan nutrisi, there is no alternative.
Ironi ini begitu getir. Sampai di sini saya harus berhenti sejenak, mengehela napas, sembari menyadari bahwa hidup ini terus-menerus mengarah pada ketidakadilan yang kontras, yang diametral. Rasanya semua isme telah gagal memainkan perannya. Bukankah semua isme dilahirkan dan dihadirkan untuk membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik? Bila sudah begini, isme manakah yang berhasil? Komunisme, Sosialisme, Modernisme, Kapitalisme, Liberalisme, Posmodernisme, atau isme apa yang sudah membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik? Ah!
Apa yang ditawarkan politik ekonomi global dengan jejaring kapitalisme liberal mereka? Ternyata tak lebih dari fenomena orang miskin yang mensubsidi orang kaya. The poor are subsidizing the rich. Orang kaya yang kelebihan uang dan bingung mau menghabiskannya untuk apa, menginvestasikan uang mereka di bank. Lalu bank meminjamkannya pada orang-orang miskin yang membutuhkan uang, untuk menyambung hidup atau sekedar tambahan modal usaha kecil, dengan bunga yang sangat besar.
Mereka harus mengangsurnya setiap bulan dengan bunga yang sudah ditambahkan dan terus-menerus diakumulasikan. Dan orang-orang kaya tadi, sambil duduk manis memegang remote control TV kabelnya menunggu jumlah uang dalam rekening dan rekaman investasi mereka bertambah setiap saat. “Kapan kita main golf bersama?” sahutnya lewat telepon pada temannya di Boston. “Minggu ini aku harus menonton opera di London.” Jawab temannya dari balik telepon. “Oh, baiklah, kalau begitu kita main golf setelah aku pulang dari Paris saja.”
Apa yang salah dengan cara berpikir manusia? Bagaimana mungkin mereka membiarkan sesamanya meninggal kelaparan di Sub-Sahara sementara mereka memaksa sapi dan babi-babi mereka untuk semakin gemuk? Saat tukang becak dan padagang kecil di kota-kota di Indonesia kesulitan untuk memeroleh setidaknya satu dolar per hari saja, atau sekitar sepuluh ribu rupiah, rata-rata sapi di Amerika Serikat dan Eropa disubsidi dengan makanan dan perawatan harian sebesar dua dolar.
Jangan-jangan benar kata Erich Fromm, semakin hari, seiring dengan bumi yang berlari, kemanusiaan kita semakin redup saja. Saat $ 105 miliar dihabiskan untuk mengkonsumsi minuman beralkohol di Eropa dan $ 35 miliar dihabiskan untuk keperluan hiburan di Jepang, masyarakat Ethopia, Burkina Faso, dan Negara-negara di gurun Afrika lainnya menyaksikan tubuh mereka sendiri yang makin kering, tulang-tulang iga yang makin menonjol, dan mata yang semakin cekung. Ungkapan TINA atau There is No Alternative, yang diungkapkan Margaret Teacher ketika memaksa semua Negara untuk tunduk pada globalisasi, rasanya lebih tepat untuk diungkapkan oleh ibu-ibu miskin di Burkina Faso yang terpaksa menguburkan bayi-bayi mereka lebih cepat karena mati kelaparan dan kekurangan nutrisi, there is no alternative.
Ironi ini begitu getir. Sampai di sini saya harus berhenti sejenak, mengehela napas, sembari menyadari bahwa hidup ini terus-menerus mengarah pada ketidakadilan yang kontras, yang diametral. Rasanya semua isme telah gagal memainkan perannya. Bukankah semua isme dilahirkan dan dihadirkan untuk membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik? Bila sudah begini, isme manakah yang berhasil? Komunisme, Sosialisme, Modernisme, Kapitalisme, Liberalisme, Posmodernisme, atau isme apa yang sudah membawa kehidupan manusia ke arah yang lebih baik? Ah!
Apa yang ditawarkan politik ekonomi global dengan jejaring kapitalisme liberal mereka? Ternyata tak lebih dari fenomena orang miskin yang mensubsidi orang kaya. The poor are subsidizing the rich. Orang kaya yang kelebihan uang dan bingung mau menghabiskannya untuk apa, menginvestasikan uang mereka di bank. Lalu bank meminjamkannya pada orang-orang miskin yang membutuhkan uang, untuk menyambung hidup atau sekedar tambahan modal usaha kecil, dengan bunga yang sangat besar.
Mereka harus mengangsurnya setiap bulan dengan bunga yang sudah ditambahkan dan terus-menerus diakumulasikan. Dan orang-orang kaya tadi, sambil duduk manis memegang remote control TV kabelnya menunggu jumlah uang dalam rekening dan rekaman investasi mereka bertambah setiap saat. “Kapan kita main golf bersama?” sahutnya lewat telepon pada temannya di Boston. “Minggu ini aku harus menonton opera di London.” Jawab temannya dari balik telepon. “Oh, baiklah, kalau begitu kita main golf setelah aku pulang dari Paris saja.”
Dalam dunia yang penuh ketidakadilan, orang-orang hidup dalam sekat dan jurang yang begitu kontras. Keadilan menjadi sesuatu yang mustahil, tapi terus-menerus ditunggu dan diimpikan menjadi niscaya. Mungkin, pada saat keadilan semakin sulit ditemui dalam kehidupan itulah, konsep Ratu Adil kemudian muncul; keadilan menjadi sesuatu yang [terus-menerus] tertunda dan harus dinantikan. Sebab bagi orang-orang yang memercayainya, keadilan adalah sebuah keniscayaan yang tertunda.
Di tengah situasi semacam ini, saya jadi berpikir bahwa keadilan bukanlah kepastian. Keadilan hanyalah harapan. Inilah dunia yang penuh ironi: putuskanlah, kau hendak berdiri di mana? Ada sejumlah uang di sakumu yang mungkin akan kau habiskan untuk sebatang coklat, sebungkus rokok, atau hal-hal lain yang [semestinya] bisa ditunda. Pada saat yang sama, ada jutaan orang yang tak memiliki apapun, sedang berjuang di antara garis teramat tipis antara kehidupan dan kematian.
lagi-lagi dari sini
Di tengah situasi semacam ini, saya jadi berpikir bahwa keadilan bukanlah kepastian. Keadilan hanyalah harapan. Inilah dunia yang penuh ironi: putuskanlah, kau hendak berdiri di mana? Ada sejumlah uang di sakumu yang mungkin akan kau habiskan untuk sebatang coklat, sebungkus rokok, atau hal-hal lain yang [semestinya] bisa ditunda. Pada saat yang sama, ada jutaan orang yang tak memiliki apapun, sedang berjuang di antara garis teramat tipis antara kehidupan dan kematian.
lagi-lagi dari sini