dimana kau pohonku hijau
disini aku sudah jadi batu
hai perantau darimana kau
dari mana saja aku mau melekat jadi debu
di karet, di karet katamu
wahai chairil apa kau masih disitu
atau lenyap dipasok batu
atau senyap sebelum tahun 2000
ya Banda mengena juga yang kau bilang
tak seorang berniat pulang
pulang? kemana harus pulang
si burung samudera tanpa sarang
bangga aku teringat Sujoyono berani menuding
dan bilang untung aku bukan anjing
ini juga modernisasi globalisasi
kata-kata jadi kering kebudayaan baru
dari bawah sampai atas
tukang peras atau maling
puisi hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi hanya kaulah pacarku terbang
puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang
dimana kau pohonku hijau dalam puisimu wahai perantau
dalam cintamu jauh di pulau
***
disini aku sudah jadi batu
hai perantau darimana kau
dari mana saja aku mau melekat jadi debu
di karet, di karet katamu
wahai chairil apa kau masih disitu
atau lenyap dipasok batu
atau senyap sebelum tahun 2000
ya Banda mengena juga yang kau bilang
tak seorang berniat pulang
pulang? kemana harus pulang
si burung samudera tanpa sarang
bangga aku teringat Sujoyono berani menuding
dan bilang untung aku bukan anjing
ini juga modernisasi globalisasi
kata-kata jadi kering kebudayaan baru
dari bawah sampai atas
tukang peras atau maling
puisi hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi hanya kaulah pacarku terbang
puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang
dimana kau pohonku hijau dalam puisimu wahai perantau
dalam cintamu jauh di pulau
***
Pulang di atas adalah puisi Agam Wispi, terkumpul dalam antologi puisi Pulang: Di Negeri Orang – kumpulan puisi penyair Indonesia eksil terbitan Amanah – Lontar, April 2002. Agam lahir di Pangkalan Susu, 1930. Ia mengenal sastra (dan perlawanan) dari ayahnya yang merupakan anggota sebuah rombongan sandiwara keliling di Langsa, Aceh.
Agam pindah ke Medan awal tahun 50-an, setelah ayahnya meninggal. Ia mengerjakan apa saja untuk bisa makan, dan sekolah. Puisi pertamanya yang dimuat di surat kabar berjudul Merdeka Bernoda, muncul di Harian Kerakyatan. Berkat inilah di kemudian hari ia diterima sebagai wartawan di harian ini.
Karir jurnalistik Agam terbilang cemerlang. Di samping puisinya yang kadang membuat gempar tentu saja. Tahun 1955 ia memotret kesewenang-wenangan pemerintah menggusur petani dari lahan garapannya melalui sajak Matihya Seorang Petani: depan kantor tuan bupati, tersungkur seorang petani, karena tanah.
Tahun 1957 Agam ditarik ke Jakarta, mengasuh bagian Kebudayaan Harian Rakyat bersama Njoto. Ia sempat dikirim ke Berlin untuk belajar jurnalistik selama setahun, 1958-1959. Ketika Angkatan Laut membuka perekrutan wartawan, Agam juga terpilih dan menyandang pangkat letnan. Ia berangkat ke Vietnam Selatan untuk meliput perang melawan Amerika pada awal Mei 1965. Kepergiannya ke negeri Paman Ho ini adalah permulaan dari kisah hidupnya sebagai orang terbuang. Saat peristiwa 30 September meletus di Jakarta, Agam tengah berada di Beijing demi mendapatkan izin masuk ke Kamboja. Huru-hara yang terjadi di tanah air membuatnya terjebak di Tiongkok hingga tahun 1973.
Dari Tiongkok Agam bergerak ke Soviet, sebelum kemudian sampai ke Leipzig, Jerman Timur sekitar tahun 1978. Di sana Agam belajar di Institut fur Literatur, dan bekerja sebagai pustakawan di Deutsche Bucheret. Ia mulai bermukim di Amsterdam pada tahun 1988.
Puisi Pulang ini ia tulis ketika ia berkesempatan kembali ke Indonesia untuk pertamanya kalinya, tahun 1996. Tujuh tahun kemudian Agam meninggal dengan tenang di sebuah rumah untuk orang jompo di Amsterdam.
Balasan