Seorang teman, lelaki Korea, pergi ke Jepang. Setelah urusannya selesai, tentu saja ia ingin merasakan pemandian umum di Jepang yang terkenal eksotis itu. Kolam air panas di musim dingin, alam terbuka. Tata lampu dan uap yang mengepul akan membikin efek filter-lembut pada mata kita sehingga bokong yang bopeng tak terlalu kentara. Ia pergi ke sebuah ujung yang menyediakan pemandian campur, telanjang, nyemplung, lalu berharap ada gadis-gadis yang berbuat sama. Setelah menunggu lama, muncul sepasang muda-mudi. Tapi ceweknya pakai handuk. Setelah pasangan itu mentas, yang datang hanya sekelompok wanita tua. Tengsinlah teman itu. Alih-alih dia memandang-mandang tubuh muda cewek, malah tubuhnya yang dipandang-pandang nenek-nenek. Tak ada lagi anak-anak muda yang mau nyemplung ke pemandian campur.
Saya bertanya pada teman Jepang dimana ada pemandian campur sebab saya juga ingin mencoba. Sekarang sulit, katanya. Ia bercerita tentang masa kecilnya. Dulu di pedesaan, ketika belum ada tenaga gas, rumah tangga biasa membikin kolam mandi air panas secara giliran dengan bara. Barangkali karena sulitnya menggodok air dalam kolah, penduduk desa mandi bersama-sama di tempat yang kena giliran. Ketika itu telanjang bersama-sama bukan hal yang dosa.
Kini orang Jepang telah memakan buah kuldi itu. Seperti Adam dan Hawa yang diceritakan dalam Qur'an, mereka menjadi malu dengan ketelanjangan mereka. Nuditas kehilangan kepolosan, ketelanjangan menjadi senantiasa bermakna seksual. Nah, darimana mereka menemukan pohon pengetahuan itu? Saya kira buah kuldi itu diimpor dari Barat. Kita mengimpor buah-buahan itu dari Barat, sebagaimana ceri dan plum atau korma, lewat agama-agama moneteis dan modernisitas. Namun, apa yang dilihat Eropa dan Amerika pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 tentang kita? Antara lain seperti Bali dalam album juru potret Jerman Gregor Krause yang memesona Miguel Covarru. Timur yang eksotis, perempuan mandi di pancuran. The last paradise, firdaus yang terakhir, sebab di situlah ia masih bisa melihat orang diperbolehkan polos, telanjang.
Namun, Timur juga seperti dalam buku pegangan nyonya-nyonya Belanda yang dibuat dokter kolonial di akhir tahun 1800-an. Buku itu mengajarkan agar jangan sekali-sekali anak-anak Belanda dibiarkan tidur dengan babunya. Sebab babu menidurkan si bocah dengan “cara-cara yang sulit dipercaya, yang akan merusak masa depan si anak dan yang tak dapat dituliskan di sini.” Anak-anak Belanda akan kehilangan keinosenannya. Maksudnya, babu akan membuat si anak suka merangsang organ seksnya pada usia amat dini dan itu berbahaya. Ketika itu, saat Eropa masih bau Victorian, para kolonialis itu percaya bahwa masturbasi bukan kecenderungan anak Eropa, tapi diajarkan oleh para inlander, karena udara tropis. Anak-anak pribumi dianggap mengenal seks sejak dini. Itulah pengaruh jahat Timur terhadap moral Eropa.
Aneh ya? Sekarang kitalah yang suka mengutuk-ngutuk Barat karena moral seksnya yang rendah. Banyak orang yang menyederhanakan Barat sebatas film biru. Orang yang percaya bahwa seks ekstramarital itu tidak jahat, seperti saya, sering dituduh kebarat-baratan. Padahal, dulu Eropa yang menganggap itu ketimur-timuran. Seandainya saya sekarang jalan-jalan tanpa beha, tak akan ada yang memaki, “Ketimur-timuran lu!” Padahal beha itu kita impor dari luar negeri. Kalau saya goler-goler tanpa baju di pantai pasti saya dituduh tiru-tiru Londo, padahal bule-bule di Kuta itulah yang semula tiru-tiru kita. Sisa-sisa keeksotisan Timur barangkali ada pada satu teman lelaki Indonesia yang tinggal di Washington DC. Dia jalan-jalan dengan celana bokser, yang adalah celana dalam bagi orang Amrik. Tapi lelaki Indonesia punya celana dalam yang mini sehingga celana kathok begitu terhitung celana pendek. Atau, rombongan Sardono W Kusumo yang menari Hanuman dengan celana dalam termal. Mereka bisa menemukan jejak celana dalam dari potongan di bawah pusar, tapi bagi para penari itu adalah baju senam.
Jadi, adakah esensi Timur dan Barat jika kita telah berubah dan mereka juga telah berubah secara berbalikan. Siapakah kita, siapakah mereka? Sejarah menunjukkan bahwa tak ada kita atau mereka yang abadi. Modernitas abad ke-19 dan ke-20, yang di dalamnya jejak-jejak monoteisme disekularisasi, telah mencabut kepolosan kolam mandi di Jepang, juga pikiran kita. Apa boleh buat. Kita—kalau ada “kita”—selalu berubah-ubah secara aneh. Jika para feminis di Amerika Serikat telah memberontak terhadap korset dan beha dengan gerakan anti-bra, di Indonesia beha pernah menjadi lambang kemajuan. Dan kini beha punya dua makna yang nampak kontradiktif. Untuk menutupi sekaligus untuk menonjolkan.
Pemandian umum di Jepang masa kini, seperti digambarkan dalam film Okuribito (2008) |
Kini orang Jepang telah memakan buah kuldi itu. Seperti Adam dan Hawa yang diceritakan dalam Qur'an, mereka menjadi malu dengan ketelanjangan mereka. Nuditas kehilangan kepolosan, ketelanjangan menjadi senantiasa bermakna seksual. Nah, darimana mereka menemukan pohon pengetahuan itu? Saya kira buah kuldi itu diimpor dari Barat. Kita mengimpor buah-buahan itu dari Barat, sebagaimana ceri dan plum atau korma, lewat agama-agama moneteis dan modernisitas. Namun, apa yang dilihat Eropa dan Amerika pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 tentang kita? Antara lain seperti Bali dalam album juru potret Jerman Gregor Krause yang memesona Miguel Covarru. Timur yang eksotis, perempuan mandi di pancuran. The last paradise, firdaus yang terakhir, sebab di situlah ia masih bisa melihat orang diperbolehkan polos, telanjang.
Sebuah pasar, Bali 1933 |
Aneh ya? Sekarang kitalah yang suka mengutuk-ngutuk Barat karena moral seksnya yang rendah. Banyak orang yang menyederhanakan Barat sebatas film biru. Orang yang percaya bahwa seks ekstramarital itu tidak jahat, seperti saya, sering dituduh kebarat-baratan. Padahal, dulu Eropa yang menganggap itu ketimur-timuran. Seandainya saya sekarang jalan-jalan tanpa beha, tak akan ada yang memaki, “Ketimur-timuran lu!” Padahal beha itu kita impor dari luar negeri. Kalau saya goler-goler tanpa baju di pantai pasti saya dituduh tiru-tiru Londo, padahal bule-bule di Kuta itulah yang semula tiru-tiru kita. Sisa-sisa keeksotisan Timur barangkali ada pada satu teman lelaki Indonesia yang tinggal di Washington DC. Dia jalan-jalan dengan celana bokser, yang adalah celana dalam bagi orang Amrik. Tapi lelaki Indonesia punya celana dalam yang mini sehingga celana kathok begitu terhitung celana pendek. Atau, rombongan Sardono W Kusumo yang menari Hanuman dengan celana dalam termal. Mereka bisa menemukan jejak celana dalam dari potongan di bawah pusar, tapi bagi para penari itu adalah baju senam.
Jadi, adakah esensi Timur dan Barat jika kita telah berubah dan mereka juga telah berubah secara berbalikan. Siapakah kita, siapakah mereka? Sejarah menunjukkan bahwa tak ada kita atau mereka yang abadi. Modernitas abad ke-19 dan ke-20, yang di dalamnya jejak-jejak monoteisme disekularisasi, telah mencabut kepolosan kolam mandi di Jepang, juga pikiran kita. Apa boleh buat. Kita—kalau ada “kita”—selalu berubah-ubah secara aneh. Jika para feminis di Amerika Serikat telah memberontak terhadap korset dan beha dengan gerakan anti-bra, di Indonesia beha pernah menjadi lambang kemajuan. Dan kini beha punya dua makna yang nampak kontradiktif. Untuk menutupi sekaligus untuk menonjolkan.
Dari SI PARASIT LAJANG, Ayu Utami