Lapar mengajak saya ke warung angkringandi pinggir jalan. Tuan pedagang angkringansedang ketiduran. Ia batuk-batuk, mengerang,kemudian ia betulkan batuknya yang sumbang.Saya makan dua bungkus nasi kucing.Saya bikin kopi sendiri. Ambil rokok sendiri.Saya bayar, saya hitung sendiri. “Kembaliannyauntuk tuan saja,” kata saya dalam hati.Lalu saya pulang. “Selamat tidur pejuang.”Tuan pedagang angkringan terbangun.“Tunggu jangan tinggalkan saya sendirian!”Setelah semuanya ia bereskan, ia paksakan sayasegera naik ke atas gerobak angkringan“Berbaringlah Tuan. Saya antar Tuan pulang”Amboi saya telentang kenyangdiatas gerobak angkringan yang berjalan pelanmenyusuri labirin malam. Saya terbuai, terpejam.Seperti naik perahu di laut terang, meluncur ringanmenuju rumah impian nun di seberang.Samar-samar saya lihat bayangan seorang ibuSedang meninabobokan anaknya dalam ayunan:Tidurlah, tidur, tidurlah anakku tersayang
Puisi diatas adalah salah satu karya Joko Pinurbo yang dimuat di Harian Kompas Minggu tanggal 23 Desember 2007. Puisi ini menceritakan tentang interaksinya dengan seorang pedagang angkringan. Angkringan... yah angkringan. Orang biasa menyebutnya dengan kucingan atau juga kafe ceret telu, sebuah fenomena tempat makan malam hari yang murah meriah, dimana kita bisa ngobrol ngalor ngidul tentang segala hal sepuasnya, khas Jogjakarta.
Menu Khas Angkringan |
Menurut penuturan keluarga pengangkring, sejarah angkringan sendiri bermula dari sosok Mbah Pawiro, lelaki asal Cawas, Klaten. Sekitar tahun 1950-an ia mengusung dua pikulan ting-ting hik dan menggelar dagangannya di emplasemen Stasiun Tugu. Mbah Pawiro dengan teriakan “...Iyek!!!”, dianggap sebagai generasi pertama penjaja angkringan di Jogja. Sekitar tahun 1969 dagangan itu diwariskan Mbah Pawiro kepada Siswo Raharjo, putranya. Setahun kemudian, Siswo Raharjo yang biasa dipanggil Lik Man, memindahkan dagangannya ke depan stasiun, dan lima tahun kemudian pindah lagi ke Jalan Bumijo, persis di sebelah utara Stasiun Tugu. Di tangan Lik Man inilah angkringan mencapai kesuburannya dan menjadi bagian dari legenda Kota Jogjakarta. Seniman-seniman Jogja seperti Butet Kertaredjasa, Djadug Ferianto, Emha Ainun Nadjib, Bondan Nusantara hingga Marwoto pernah menghabiskan malam di Angkringan Lik Man.
Kini, angkringan telah menyebar luas di Jogjakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Hampir di tiap-tiap sudut kota terdapat angkringan. Diperkirakan terdapat 1000 buah angkringan dengan 120-0an pedagang serta lebih dari 30,000 warga kampung penyuplai makanan angkringan.
Angkringan yang terkesan pinggiran telah menjadi penanda kehidupan malam di Jogjakarta dan daerah-daerah sekitarnya. Di sanalah bermula ide-ide segar, konsep-konsep lawakan, tempat aksi demonstrasi direncanakan, tempat munculnya ide skripsi dan penelitian, tempat meramal nomor buntut (dulu), diskusi politik, ataupun ngobrol biasa sekenanya. Para pedagang angkringan bukan hanya sebagai penjaja, tetapi juga teman ngobrol para pembeli. Minimal, mereka menjadi saksi dan pendengar yang baik. Hubungan penjaja dan pembeli ini, lebih dari sekedar hubungan ekonomi melainkan hubungan pertemanan. Tak heran bila semua penjaja angkringan dipanggil dengan sebutan akrab lik (paman). Sebut saja Lik Man, Lik Dul, Lik Doyo, Lik Min, Lik Har ...hehehe dan masih banyak lik-lik lainnya.
Setiap orang punya angkringan favorit sendiri-sendiri. Menu boleh sama, tetapi suasana akan memberi nuansa yang berbeda. Hampir seluruh angkringan di Jogja dan sekitarnya adalah sama dengan tenda biru atau orange-nya. Dan yang terfavorit dan terbaik versi saya tentu saja angkringan Lik Purwo, sang penakluk malam, karib saya. Di sana kita bisa kongkow-kongkow sambil melihat mobil dan motor lalu lalang berseliweran di depannya. Sesekali mungkin bisa kita dengar juga petikan siter seniman-seniman berwajah sangar tapi berhati lembut...hehe.
Lepas dari itu semua, angkringan adalah wujud sebuah gerakan ekonomi rakyat bawah yang bersumber dari kearifan lokal yaitu tepo seliro lan biso rumongso (bisa menghayati perasaan orang lain) seperti yang diperlihatkan para lik-lik tadi. Sebagai sebuah penanda lokalitas sudah selayaknya fenomena angkringan ini dilestarikan atau jikalau memungkinkan dijadikan kekuatan ekonomi yang signifikan. Jangan sampai trend penggusuran suatu saat merembet pula ke area lik-lik ini.
Hernando de Sotto, seorang pakar ekonomi, mengingatkan bahwa menata hak-hak atas kekayaan yang selama ini liar merupakan cara yang paling manjur untuk menyukseskan pengembangan ekonomi. Ia secara global menganjurkan agar mengubah seluruh kekayaan rakyat yang selama ini menjadi kekayaan mati menjadi kapital atau modal. Dan saya rasa angkringan dengan segala romansanya menjadi bagian dari itu semuanya.Salam hangat buat para pengangkring dan komunitas angkringan semuanya.....
*) Catatan Mbah Im, saya kopi khusus untuk Bapak, sang penakluk malam yang berjuang menghidupi keluarga dari gerobak angkringannya.