Dua Ribu Rupiah di Lipatan Dompet

| Desember 31, 2012 | Sunting
Saya adalah manusia random yang senang menyimpan barang-barang yang sebenarnya tidak penting di dalam dompet. Mulai dari tiket bioskop, materai, potongan boarding pass, lipatan tiket kereta, risit belanja, hingga kertas-kertas penuh coretan tangan yang sebenarnya lebih layak untuk dibuang. Namun, entalah, saya merasa enggan saja untuk membuangnya. Sekali dompet butut saya sudah penuh, maka akan saya pindahkan barang-barang minor itu ke dompet pensil yang lebih besar.

Malam ini, di penghujung bulan Desember, saya kembali membongkar dompet. Beberapa recehan ringgit bergemerincing menggelinding ke kolong tempat tidur, berturut-turut kemudian terjatuh tiket bioskop untuk film Hobbit dan Life of Pi, tiket Metro Bus 91 ke Ong Tay Kim - pasar tempat saya biasa belanja bulanan, tiket Bus Transnasional jurusan Melaka - KL, slip ATM, dan kupon bekas pulsa elektrik. Namun, sepertinya ada benda lain yang nyrempil di antara KTP dan ATM, lantas saya tariklah ia. Wahai, selembar dua ribu Rupiah bergambar Pangeran Antasari kumal. Saya buka ia dari lipatan yang sudah benar-benar mlipit. Dan seketika itu terlihat tanda tangan saya di bagian tanda air, bertanggalkan 24 Juni 2012.
***
"Maaf mas, apakah ada uang lain yang lebih bagus?" ujar mbak-mbak petugas konter check-in Philippine Air, Terminal 2, Soekarno-Hatta, seraya mengembalikan selembar uang dua ribu rupiah kumal yang saya gunakan untuk membayar airport tax.
"Maaf mbak, itu uang terakhir saya. Sudah tidak ada lagi!" jawabku.
"Tetapi ini sudah terlalu kumal Mas, tidak bisa kami terima!" si mbak keukeuh.
"Mbak, ana rongewu?", tanyaku pada mbak Maria, teman perjalananku.
"Duitku kurang rongewu Mbak!", ulangku meyakinkan mbak Maria yang masih belum ngeh.

Sejurus kemudian mbak Maria menyorongkan lima rupiah padaku seraya berujar, muk ana iki Bast, uang yang langsung ke serahkan kepada si mbak petugas. Kubernapas lega begitu ia memberikan boarding pass-ku sambil mengucapkan selamat jalan. Namun aku sendiri yakin ia masih tertawa dalam hati melihat ada orang yang mau pergi ke luar negeri tanpa membawa uang. Yah, itulah aku! Uang terakhir dalam dompetku adalah seratus lima puluh satu ribu rupiah. Dalam perjalanan dari Gambir ke Soetta kugunakan untuk membeli air minum, tersisalah seratus empat puluh delapan ribu rupiah. Sebenarnya kubermaksud untuk menahan haus, namun karena sudah tidak tertahan ditambah lagi deraan lapar karena belum makan sama sekali, akhirnya ya sudah ku beli. Ku pun begitu gembira begitu mendapatkan dua ribu rupiah kumal dari dalam kotak pensil. Masih cukup untuk membayar airport tax, batinku. Namun, yah, dua ribu rupiah itu tadilah yang baru saja kutemukan, setelah 6 bulan berselang. :')
***
Enam bulan silam saya berangkat ke Manila, Filipina untuk sebuah pelatihan jurnalistik atau lebih tepatnya debat, jurnalistik dan videografi (selanjutnya akan saya tulis media saja) selama dua minggu. Sejak insiden kecil di konter check in saya langsung yakin perjalanan tersebut akan menjadi pengalaman yang menarik. Dan, ternyata saya memang benar. Hingga enam bulan berselang, memorinya masih begitu lekat dalam angan.

Empat puluh pemuda dari seantero Asia Tenggara dikumpulkan untuk belajar tentang pemanfaatan media dalam membantu kegiatan sosial yang tengah mereka jalankan di negaranya masing-masing. Sekilas lalu, ada Dave Albao - seorang Buddhist, delegasi Filipina yang concern pada isu kerukunan antar umat beragama, Precy - pejuang hak buruh yang senegara juga dengan Dave, Lucas - penjuang HAM dari Malaysia, dan puluhan aktivis lainnya yang masing-masing dari Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Singapura, dan tentunya Indonesia. 

Indonesia sendiri kala itu berhasil mengirimkan 6 orang. Masing-masing mbak Maria - advokasi hak anak dan perempuan dari Klaten, bang Waway - peneliti di FKM UI, bang Zul - pekerja di salah satu badan PBB di Jakarta, mbak Dining - advokasi remaja dari Pati, Vina - pejuang perempuan dari Medan, dan saya sendiri - penggembira, haha.
***
Pelatihan sendiri secara keseluruhan adalah hari-hari panjang yang penuh dengan kelas debat - jurnalistik - video. Namun yang menarik adalah selalu dan selalu ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, sehingga praktis kami selalu menghabiskan malam di lobby hotel untuk mengebut tugas.
Sebagian peserta SEA Youth Media Camp
Di luar itu, pelatihan juga diisi dengan malam budaya, dimana masing-masing negara menyiapkan booth untuk memperkenalkan budaya negara bersangkutan. Indonesia sendiri, yang tidak tahu kalau harus mempersiapkan booth, mempersiapkannya dengan sangat sederhana. Booth kami hanya berisi beberapa baju batik, kostum timnas Indonesia, beberapa kerajinan dan cinderamata khas, dengan backdrop bendera Merah Putih. Namun, sebagai warga negara Indonesia sejati, kami didukung dengan bakat meramaikan suasana yang mumpuni. Walhasil malam itu Manila digoyang Ayu Ting Ting dan juga Tor-tor massal, diikuti oleh peserta dari berbagai negara, hehe.

Selain itu, kegiatan juga diisi dengan semacam praktik lapangan. Peserta dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk kemudian diserahi dua tugas untuk diselesaikan: membuat video pendek dan feature story. Preccy (Filipina), Sokha (Kamboja), Chamta (Myanmar), dan Nguyen (Vietnam), itulah kelompok saya. Kelompok yang kemudian berubah menjadi keluarga lintas negara dan budaya. :) Keluarga yang terkadang dibatasi oleh kemampuan bahasa, namun kemudian tercairkan dengan semangat kerja sama.

Kerja sama yang kemudian membuahkan gelar Best Feature Story. Kami menyoroti kisah hidup Pasita Coliera, seorang nenek 68 tahun yang sudah puluhan tahun tidak mendapatkan akses air bersih. Kasus ini kami angkat mengingat kasus yang sama juga dihadapi oleh jutaan penduduk di berbagai negara. Merekam keseharian nenek ini seolah melemparkan kami ke bagian terkumuh Filipina - meskipun menurut Preccy masih ada kawasan yang lebih kumuh. Pasita tinggal di dekat pantai yang selalu kebanjiran di saat pasang ataupun hujan. Dan sekali banjir, beragam materialpun kemudian lalu lalang, mulai dari kotoran anjing hingga sampah plastik.
***
Manila (baca: 2012) secara tidak langsung juga mengukuhkan hati saya untuk memupuk passion di bidang tulis menulis. Saya bukanlah debater yang handal, bukan bula tukang video yang mahir, namun paling tidak saya bisa menulis dengan (lebih) baik. Salah satu tulisan saya bahkan secara tidak terduga menjadi media memoir terbaik. :')


Siapa?
Malam ini, enam bulan kemudian di Kuala Lumpur, saya tengah mengumpulkan memori-memori itu melalui selembar uang dua ribu rupiah. Tulisan saya memang belum bisa berperan apa-apa. Namun, Alhamdulillah, saya bisa banyak belajar dari sana. Status-status facebook saya mendapatkan respon positif dari para pegiat dunia maya. Beberapa tulisan di blog ini juga sempat diperbincangkan di forum-forum. Yah, menulis telah menyadarkan saya akan dunia, mengasah ketajaman insting saya akan apa yang tengah terjadi di luar sana. Yah, saya bahagia dengan menulis. Oh ya, dibicarakan atau tidak, dibaca atau tidak, saya akan tetap menulis :)

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine