Wan Nor Azriq dan Lapan Puluh Enam

| Januari 31, 2016 | Sunting
86 tulisan Wan Nor Azriq terbitan Moka Mocha Ink, September 2015

Suatu kali penulis Eka Kurniawan mengunggah gambar paket kiriman dari Malaysia. Eka tidak menulis banyak, hanya bahwa  isinya buku dari dua penulis yang ia rasa akan menonjol dalam kesusasteraan negeri jiran. Kedua nama penulis itu lantas kucatat. Berharap dapat menemukan buku mereka suatu saat. Susah ternyata. Catatan itu lantas tertimbun oleh catatan-catatan lain. Hingga suatu waktu aku tak sengaja menemukan satu di antara bukunya di koperasi kampus saat mencari buku kuliah.

D.U.B.L.I.N, begitulah tajuk novel tersebut. Penulisnya Wan Nor Azriq. Ditulis berdasarkan tradisi jalan kaki yang digemari oleh kalangan sastrawan dan pengarang dunia. Dari sini Azriq membawaku pada hidup Encik H, pengarang uzur yang tengah membacakan karyanya di Kedutaan Irlandia. Labirin cerita bergulir liar dari pembacaan Encik H tersebut, ke lipatan-lipatan cerita dalam lipatan-lipatan lainnya. Lengkapnya mungkin akan kuceritakan dalam tulisan lain. Intinya novel ini unik. Azriq memperkenalkanku pada semesta yang lebih luas dari sekadar Dublin, ibukota Irlandia.

Dari pembacaan D.U.B.L.I.N inilah mulai aku ikuti dunia-dunia Azriq yang lain. Mulai dari laman pribadinya. Juga buku-bukunya yang seperti tak henti terbit setelah itu. Dunia dalam dompetnya kunikmati dari buku yang kudapat di KL Alternative Bookfest 2015 petang itu. Dompet Kulit Buaya, demikian judulnya, penuh dengan kartu nama, tiket parkir, tiket bus, tiket bioskop hingga berbagai macam kuitansi yang sudah penuh coret moret tulisan tangan.

Pun dengan novel Azriq yang lain, Boneka Rusia Guido. Aku begitu menikmati dunia bocah 13 tahun bernama Chairil Gibran yang baru saja pindah ke Kuala Lumpur bersama emaknya. Dunia yang lantas bertaut dengan dunia Tuan Megat Guido, jirannya yang seorang novelis cum pemain boneka.  Sama dengan di D.U.B.L.I.N, Azriq juga memasang banyak labirin cerita dalam bukunya yang satu ini.

Nah, dunia Azriq yang lebih beraneka warna baru saja habis kubaca. Judulnya 86, yah sependek itu. Dibaca 'lapan puluh enam'. Sebagaimana tertulis di kulit belakangnya, buku ini adalah himpunan 86 tulisan, terdiri dari prosa dan puisi (juga catatan-catatan singkat yang kurasa adalah kenyataan, non-fiksi).

Bila buku-buku Azriq sebelum ini memiliki alur cerita dan penokohan yang jelas, 86 sama sekali berbeda. Tidak ada alur yang dapat dikenali dengan mudah, kalau bukan memang tanpa alur. Kesan yang kutangkap adalah terdapat 86 tulisan lain yang dikumpulkan dalam satu buku. Beruntung ada benang merah dalam penokohannya yang meyakinkanku bahwa isi buku ini memiliki dunia yang sama. Buku ini berkutat pada ayah, isteri, abang, dan aku. Meski kemudian  tetap saja berkecamuk berbagai tanya: apakah isteri yang tengah berziarah ke Kathmandu misalnya, adalah juga isteri yang menjerit karena menemui bangkai tikus dalam stor? Tidak pasti. Tidak ada garis jelas yang mengisyaratkan mereka adalah orang yang sama, terlebih memang tiada satu pun yang bernama.

Satu hal yang lebih mudah dicerna adalah konsep buku secara umum yang terlihat acak. Meskipun menggunakan jenis huruf yang sama, tetapi ukurannya berbeda-beda. Ada yang kecil, ada yang besar. Ada yang disusun mengikut rata kiri, rata tengah, atau kanan-kiri. Ada paragraf-paragraf yang dimulai dengan paragraf menjorok ke dalam, ada yang tidak. Begitu seterusnya. Dengan citra semacam itu, bagiku buku ini semacam kisah 'dunia' yang tengah kacau. Dan anggapan ini rasanya mendekati betul, karena nama Imam Mahadi yang dipercaya akan menyelamatkan akhir zaman disebutkan beberapa kali. 

Tetapi siapa di zaman ini yang tidak percaya Imam Mahadi...; Tidak kusangka isteriku sanggup pergi sampai ke puncak Kathmandu untuk mencari kelibat Imam Mahadi; Katanya Imam Mahadi tengah mengejar Yeti... (Nepal, 16-17) Semua orang juga mencari Imam Mahadi. Dan kau sudah jumpa Imam Mahadi? (Pengembara, 66) Imam Mahadi dah beri amaran! (Komputer, 103)

Kesan lain yang aku tangkap adalah proses mencari yang terasa menguasai jalinan cerita. Apa yang dicari? Entah. Bisa jadi memang hal-hal berbentuk semacam barang atau orang. Tetapi bisa saja proses pencarian jati diri. Pertanyaan-pertanyaan menyeruak. Potongan-potongan ingatan dicatat. Puisi-puisi digelar. Banyak di antaranya adalah pertanyaan-pertanyaan untuk diri sendiri. Atau juga pertanyaan ke orang-orang dengan relasi kuasa yang lebih tinggi: ayah, abang, dokter.

86 berisi tulisan-tulisan pendek (dan amat pendek). Satu dari sedikit yang panjangnya sampai beberapa halaman adalah kisah berjudul Buli. Ada enam belas halaman, berkisah tentang kasus buli yang tengah merebak di sebuah sekolah. Menariknya, meski cerita terjalin jelas, Buli disusun melalui potongan-potongan kisah yang mewakili tokoh atau sudut pandang tertentu. Dirunut dari sudut pandang korban pertama,  seorang siswa bernama Hasrul Nizam, disusul oleh tokoh-tokoh lainnya. Baik itu cikgu, korban lain, bahkan juga sudut pandang 'Berita'. Menarik.

Pada akhirnya, membaca 86 adalah membaca dunia sang penulis. Dunia yang beraneka rupa. Dunia yang terlihat acak, namun sebenarnya terhubungkan oleh benang-benang cerita yang berkelindan satu sama lain. Bila dibaca satu per satu saja, benak kita mungkin akan menangkap Coelho (atau malah Borges) di satu tulisan, Haruki Murakami di tulisan lain, dan Sapardi Djoko Damono, juga Joko Pinurbo, pada satu-dua tulisan. Tetapi, jalinan tulisan yang dibaca secara padu akan membawa kita pada dunia yang sama sekali lain. Dunia Azriq.
Kerana aku masih tidak
mendengar suaraku, aku
masih tidak bercakap
pada diriku.
(Mikrofon, 115)

Sang Komponis – Hassan Blasim

| Januari 19, 2016 | Sunting
Basra, Irak
Basra, Irak - karya Paolo Pellegrin
JAAFAR AL-MUTALLIBI DILAHIRKAN DI KOTA al-Amara. Pada tahun 1973 ia keluar dari partai Komunis dan bergabung dengan partai penguasa, Baath. Pada tahun yang sama, istrinya melahirkan anak kedua mereka. Jaafar adalah pemain gambus handal, juga komponis lagu-lagu patriotik ternama. Ia mati dibunuh saat pemberontakan Kirkuk meletus, tahun 1991.
---
Hari ini aku bisa menceritakan padamu bagaimana ia mati. Apakah kau lihat perempuan tua yang tengah berteriak menawarkan ikan di ujung sana? Ia ibuku. Kami sudah berjualan ikan sejak kembali ke Baghdad. Biarkan aku membantunya mengangkat peti ikan dulu, setelah itu kita bisa pergi ke kedai kopi dan berbincang.
---
Setelah berakhirnya perang Irak-Iran, ayahku mulai terang-terangan menunjukkan keateisannya dan itu membawa banyak masalah pada kami. Satu malam ia pulang ke rumah dengan baju berlumuran darah. Hidungnya berdarah karena dipukul orang, temannya sendiri. Mereka tengah bermain domino di warung kopi ketika ayah mulai menyenandungkan hinaan-hinaan cabul pada Allah dan Nabi. Ia mengarang sendiri liriknya, juga solmisasinya, selagi bermain domino. Sebagaimana kamu ketahui, ia adalah komponis terkenal. Mulanya ia sekadar menyiulkan satu lagu bergaya militer, lalu ia menambahkan sebuah cacian: sebatang paku di dalam buah zakar saudara perempuan (?) imammu.

Orang terbahak-bahak mendengar kalimat-kalimat hinaan meluncur dari mulutnya, tetapi mereka segera pergi dan memohon ampun pada Allah. Beberapa dari mereka lantas menghindar setiap kali berjumpa dengan ayah di jalan. Seseorang bahkan dengan setengah bercanda mengatakan ia berharap truk penuh baja melindasnya. Tetapi, di saat yang sama, mereka juga takut pada koneksi ayah dengan pemerintah. Sehari setelah dipukuli itu, ayah melaporkan Abu Alla, si pelaku, ke markas besar partai. Dua hari kemudian Abu Alla menghilang.

Kami bermukim di sebuah wilayah bernama Second Qadissiya. Di sana pemerintah membangun rumah untuk para tentara berpangkat rendah, para pendatang dari kota-kota di bagian selatan dan tengah, juga untuk keluarga-keluarga Kurdi yang bekerja pada penguasa. Kami satu-satunya keluarga di kawasan itu yang mencari penghidupan dengan cara lain. Semua keluarga, kecuali kami, hidup dari gaji yang diberikan tentara, partai, dan badan intelejen. Sementara kami hidup dari lagu-lagu patriotik yang ayah tulis. Meski demikian, status ayah sebenarnya lebih tinggi dari walikota dan para partai sekalipun, karena Presiden sendiri sudah beberapa kali menganugerahinya medali kemiliteran. Tentu saja untuk lagu-lagu perang karangannya, lagu-lagu yang orang ingat hingga hari ini.

Dengarkan, saudaraku, aku akan meringkas ceritanya untukmu. Setahun setelah peperangan berakhir, ayah menderita apa yang media sebut sebagai writer’s block. Ia tidak lagi mampu mengarang musik baru. Pujian-pujian untuk Presiden malah lebih banyak disuarakan oleh penyair-penyair terkenal lewat puisi mereka.

Bulan berganti tahun, dan ia tetap tidak bisa menulis satu pun lagu baru. Tahukah kamu apa yang ia lakukan di waktu senggang? Ia memanfaatkannya untuk menulis dan mengatur nada puisi-puisi pendek yang mengolok-olok agama. Pada suatu malam yang hangat di musim dingin kami tengah menonton televisi ketika kami dengar ayah menyanyikan lagu barunya, tentang istri-istri Nabi dan betapa liar mereka itu.

Sekonyong-konyong abang bangkit dari duduknya, mengambil pistol milik ayah dari dalam lemari. Ia lompati tubuh ayah lalu menodongkan pistol itu ke mulutnya. Abang pasti sudah membunuhnya jika bukan karena ibu yang seketika itu bajunya, lalu mempertontonkan payudaranya sambil menjerit. Abang tercengang beberapa saat memandangi payudara yang sedemikian besar. Itu adalah kali pertama kami melihat payudara ibu, kecuali saat masih bayi dulu tentunya.

Aku pergi ke kamar mandi, sementara abang meninggalkan rumah, menghindari tatapan tajam Ibu tepatnya. Ibu sebenarnya buta huruf, tetapi ia lebih cerdas dari ayah, yang ia perlakukan dengan aneh. Ia memanjakan ayah seolah ia adalah anak lelakinya. Ibu adalah bidan yang memiliki izin praktik di daerah Qadissiya, dan orang-orang sangat mengasihinya. Ayah memutuskan untuk melaporkan abang ke kantor cabang partai, tetapi mereka tidak menanggapinya.

Reputasi ayah mulai memburuk di lingkungan tempat kami tinggal dan kalangan seniman. Mereka bilang bahwa Jaafar al-Mutallibi sudah edan. Teman-teman lama mengucilkannya. Ia pergi ke Baghdad untuk mengajukan permohonan ke radio dan stasiun televisi agar mereka menyiarkan ulang lagu-lagu perang karyanya, atau setidaknya satu lagu setiap minggu. Mereka menolak permohonannya itu karena lagu-lagunya sudah tidak layak putar. Sekarang lagu-lagu patriotik hanya disiarkan dua kali setahun: di hari peringatan bermula dan berakhirnya perang. Ayah ingin mengembalikan kejayaan masa lalunya dengan cara apa saja. Ia bahkan mencoba untuk bertemu dengan Presiden, meski gagal. Ia memasukkan proposal  ke departemen film dan teater, mengusulkan pembuatan film dokumenter tentang lagu-lagu dan musiknya, dan lagi-lagi permintaannya tidak diacuhkan.

Selagi ia mencoba segala kemungkinan, ia juga merampungkan penggarapan musik untuk sepuluh lagu yang menghina Allah dan kewujudan-Nya, juga sebuah lagu yang indah tentang empat khalifah pertama. Kami sadar bahwa ia sudah benar-benar sinting ketika ia mulai mendatangi studio-studio rekaman dan meminta mereka untuk merekamkan lagu-lagunya. Jelas saja ia ditolak mentah-mentah, beberapa melemparkannya ke jalanan dan mengancam untuk membunuhnya.

Pada akhirnya ayah memutuskan untuk merekam sendiri lagu-lagunya dengan perekam di rumah. Ia duduk di depan alat perekam lalu mulai menyanyi dan memainkan gambus. Tentu saja hasil rekamannya payah, tetapi masih cukup jelas untuk didengar. Ia memainkannya saat sarapan. Kami takut kalau orang-orang tahu. Kami mencoba untuk mengambil dan memusnahkannya, tetapi ia selalu mengantonginya di mantel, kemana saja ia pergi. Ketika tidur, rekaman itu ia selipkan ke kantong khusus yang sudah ia buat di bantalnya.

Sekarang sudah tidak perlu lagi menyembunyikan salinan rekaman ini. Ada saja orang yang membutuhkannya. Agama juga sudah berkembang pesat. Juga para jagal dan maling. Reaksi jalanan mungkin saja riuh rendah, tetapi tinggal tembakkan saja peluru ke udara. Terus saja begitu. Kamu ini wartawan, hal ini akan baik untuk kamu beritakan. Orang-orang juga suka. Seorang penyanyi muda meminta izin untuk menyanyikannya ulang, membawanya ke dapur rekan. Ako tolak. Lagu-lagu ini tidak boleh berubah. Harus sebagaimana yang ayah rekam dulu. Ini adalah bukti atas cerita-cerita tentangnya. Rekaman-rekaman itu hanya bisa digandakan.

Orang-orang cepat melupakan kisah-kisah tentang kejadian ini. Ketika kamu menceritakannya, mereka tidak akan percaya. Sebut saja pedagang lapak sebelah kami: Abu Sadiq, si penjaja bawang. Kalau ia sekarang menceritakan kisahnya bertempu dengan orang-orang di Iran di sungai Jassim, pasti akan terdengar seperti cerita seram Hollywood yang ia reka sendiri.

Tentara pemerintah melarikan diri, dan milisi Kurdi, Peshmerga, memasuki Kirkuk. Penduduk kota menyambut pemberontakan itu dengan suka cita. Kekacauan besar terjadi, baku tembak, mayat-mayat, tarian dan nyanyian Kurdi dimana-mana. Kami tidak bisa melarikan diri. Pengacau membakar rumah-rumah di kawasan pendukung pemerintah dan mana-mana anggota partai tinggal. Mereka membunuh dan menggantung tubuh para pendukung partai Baath, polisi, dan aparat keamananan.

Kami diam saja di rumah, dan sekelompok pemuda mendobrak pintu beton kantor ayah. Mereka membawa kami keluar ke jalan untuk menerima hukuman mati kami. Ibu bersimpuh memohon-mohon pada mereka, tetapi kali ini tidak merobek bajunya.

Apa? Ayahku? Tidak, tidak, ayah tidak bersama kami. Berbulan-bulan sebelum pemberontakan ia telah benar-benar menjadi orang gila kota kami, berkeliaran di jalanan menyanyikan lagu-lagu menentang Allah sambil membawa gambusnya, yang sidah ompong, tanpa senar. Api membakar rumah kami, dan ibu jatuh tak sadarkan diri sementara kami semua bersandar ke dinding. Umm Tariq, tetangga kami yang beretnis Kurdi, muncul pada saat-saat terakhir, berteriak ke arah pemuda-pemuda tadi dan berbicara dengan bahasa mereka. Lalu ia mulai memohon untuk membebaskan kami.

Ia memberi tahu mereka betapa baik dan murah hati Ibuku dan bagaimana ia membantu perempuan-perempuan Kurdi melahirkan dan merawat wanita-wanita hamil. Ia katakan pada mereka bagaimana ibu akan memberikan roti kepada para tetangga untuk menghormati Abbas, anak Imam Ali, saat hari raya. Juga betapa berani abangku. Ia teman baik mendiang anak lelakinya yang mati terbunuh selagi berjuang dengan Peshmerga selama kampanye Anfal. Abang juga yang membantu si mendiang melarikan diri dari Kirkuk (di sini ia berbohong). Aku sendiri diceritakan sebagai anak lelaki baik-baik yang menyakiti lalatpun tidak berani.

“Mereka tidak bertanggungjawab atas apa yang Jaafar al-Mutallibi telah perbuat,” katanya mengakhiri usahanya. Ia lalu meludah ke tanah. Setelah itu kami pergi ke rumah Umm Tariq dan tinggal di sana hingga pasukan Republican Guard memasuki kota dan milisi Peshmerga pergi. Sebagian besar pengacau turut lari bersama para milisi.

Pada akhirnya kami menemukan jenazah ayah tanpa kepala, dikaitkan ke traktor dengan seutas tali besar. Tubuhnya ditarik keliling kota sepanjang hari, mayatnya dipertontonkan dengan cara yang sebenarnya tak terbayangkan. Saat mereka hendak mengeksekusi kami, ayah berada di sekitar kantor cabang partai, yang halamannya dipenuhi tubuh-tubuh anggota partai memenuhi halamannya. Ayah masuk ke gedung yang kosong melompong dan menuju ke ruang informasi. Ia hafal betul ruang ini karena dari sanalah lagu-lagunya biasa disiarkan melalui pengeras suara selama masa perang yang pertama. Dari pengeras suara yang sama anggota partai akan mengumumkan bilamana seseorang dieksekusi karena membelot dari militer atau membantu prajurit Peshmerga. Ayah memasukkan kaset rekaman itu ke dalam alat pemutar dan pengeras suara mulai menyiarkan lagu-lagunya yang menghina Allah. Ayah tengah memeluk gambusnya dan tersenyum ketika para pemberontak datang. Mereka membawanya keluar –

Maaf, kawan. Ada pedagang ikan datang membawa beberapa karung ikan gurameh, aku harus pergi sekarang. Esok akan kuceritakan hubungan rahasia ayahku dengan Umm Tariq, perempuan Kurdi itu.
Diterjemahkan dari The Composer, bagian dari buku The Corpse Exhibition and Other Stories of Iraq (Penguin Books, 2014). Hassan Blassim lahir dan besar di Baghdad, sebelum hidup sebagai pengungsi di Finlandia sejak tahun 2004. Cerpennya yang lain, Pameran Mayat, bisa dibaca di sini.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine