Sekantong Paku

| September 27, 2009 | Sunting
Paku dan papan

Seorang pengusaha tahu di satu wilayah sejuk bernama Mojo mempunyai seorang karyawan yang seringkali datang terlambat bernama Nyoto. Karena keterlambatannya, produksi pabrik kecil itu sering terganggu.

Setiap kali ditegur oleh sang majikan, Karyo, Nyoto akan selalu berjanji untuk membayar kelambatannya dengan pulang satu jam lebih lambat. Karyo menerima saja. Terlebih sebenarnya Nyoto adalah pekerja yang baik. Namun, Karyo juga mencari jalan untuk membuat Karyo sadar akan kesalahannya.

Suatu hari Karyo memasang papan kayu kecil di tempat kerjanya. Kepada Nyoto ia berpesan agar menancapkan sebatang paku ke papan itu setiap kali ia terlambat datang. Paku tersebut boleh ia cabut bila ia mengganti keterlambatannya dengan pulang lebih lambat. Begitu seterusnya.

Nyoto menurut saja, meski sebenarnya ia juga bertanya-tanya.

Hari berlalu. Nyoto akan menancapkan sebatang paku ke papan itu setiap kali ia terlambat datang. Ia akan menebus keterlambatannya dengan memundurkan jam pulangnya. Dan mencabut paku dari papan di akhir hari. 

Setelah berjalan hampir satu bulan, tergelitik keinginan Nyoto untuk mengetahui maksud "tugas aneh ini". Dia menemui Karyo untuk melaporkan bahwa tugasnya sudah dilaksanakan dengan baik. Dia bisa membuktikan bahwa jam kerja telah dipenuhi, sehingga sebenarnya Karyo tidak ada kerugian jam kerja.

Dengan tenang Karyo mengamati-amati papan yang dipasang di ruang produksi tersebut. Hanya ada satu paku yang terpasang, bararti pagi tadi Nyoto juga datang terlambat.

"Pagi tadi kamu datang terlambat lagi?" tanya Karyo.
"Ya, Pak, akan saya ganti sore nanti."
"Bagus. Terima kasih ya sudah menyelesaikan tugasmu, hingga kau harus pulang lambat."
"Ya, Pak, itu saya menebus kelambatan saya"

Karyo menambahkan, "Begini, To, aku sebenarnya tidak ingin kamu pulang lambat, namun kamu memaksakan hal itu. Kamu telah merusak disiplin kerja pada dirimu sendiri".

Nyoto masih belum menyadari masalah ini dalam hubungan kerja pada perusahaan dengan managemen kekeluargaan ini.

"Aku sebenarnya ingin papan ini tidak pernah dipaku karena kamu tidak terlambat, bukannya pagi hari kamu memasang paku, kemudian sore hari kamu mencabutnya. Bagaimanapun, kesalahan tetap kesalahan. Ia membekas seperti bekas paku pada papan ini. Besok papan ini akan kuganti dengan yang baru, dan mulai besok kamu tidak boleh datang terlambat lagi sehingga papan ini akan tetap bersih."

Ternyata sangat sulit untuk hidup tanpa melakukan kesalahan. Selama ada tekad untuk tidak melakukan kesalahan, kebijaksanaan akan bertambah dan makin tenanglah kita menempuh kehidupan ini. Dan dengan tekad itu pula, dalam suasana bulan Syawal ini, saya mengucapkan Mohon Maaf Lahir dan Batin. Semoga tahun ini tancapan paku di papan saya semakin berkurang amin.

Cerita asli dari andriewongso.com

Ramadhan: Sebuah Catatan

| September 18, 2009 | Sunting
Suasana salat tarawih di masjid Al Akbar 2009
Ibadah Ramadan telah hampir mencapai purnanya. Kesibukan orang yang berkaitan dengan ibadah puasa kembali terasa. Tempat-tempat ibadah yang semula "sepi" di pertengahan bulan ramai kembali dengan jamaah salat tarawih di malam hari dan jamaah subuh di pagi buta.

Demikian jamaah yang setia mengikuti ceramah para ustadz dan ustadzah beriringan dengan salat tarawih atau setelah salat subuh. Tidak ketinggalan antrean panjang pembelian tiket kereta api dan bus serta pesawat atau kapal untuk mudik. Semuanya dilakukan untuk mencari berkah bulan suci Ramadan yang nilainya lebih hebat dari 30.000 hari (seribu bulan).

Orang pun beramai-ramai ngalap (mencari) berkah bagi kehidupannya sendiri, sesuai pemahaman dan pengalamannya masing-masing, karena memang itulah pengetahuan yang selama ini dikenalnya. Berkah sendiri dipahami secara berbeda, sesuai pengalaman pendidikan, latar belakang sosial, dan cara berpikir seseorang atau suatu masyarakat.

Sebagian mencari berkah dengan puasa tiga puluh hari di siangnya, salat tarawih berjamaah di malamnya, membaca kitab suci Alquran di sela-sela waktu ngantor atau kegiatan dan pekerjaan lain. Sebagian lagi masih ditambah dengan ziarah ke makam ulama dan wali-wali terkemuka, bahkan ada sebagian bermalam berhari-hari di cungkup makam.

Ada juga yang mukim di masjid-masjid tua hingga beberapa malam, ada yang sampai satu bulan penuh. Semuanya dengan tujuan serupa, mencari berkah Ramadan dengan keyakinan akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Tidak sedikit yang percaya dengan ziarah dan bermalam di tempat-tempat keramat orang akan memperoleh limpahan berkah dari arwah yang jasadnya berada di makam keramat tersebut.

Keyakinan mistis ini lebih banyak menghinggapi masyarakat, terutama dari kelas masyarakat bawah, walaupun tidak sedikit dari pejabat atau politisi dan pengusaha yang mengalami ketidakpercayaan diri berlebihan.Lebih produktif keyakinan mistis berkah puasa dikaitkan dengan tindakan nyata, misalnya "berziarah ke makam-makam keramat berbuah berkah berlimpah rezeki yang terus mengalir jika disertai pembersihan makam, rumah, dan lingkungan tempat tinggal."
*** 
Syahdan, pedagang kaki lima di berbagai kota ngalap berkah dengan menjajakan makanan, kadang modalnya ngutang rentenir atau bank plecit. Maksud hati mengeruk untung, apa daya buntung yang didapat. Makanan yang dijajakan itu keburu disita petugas karena melanggar peraturan pemerintah.

Petugas itu menyita makanan di bulan suci didasari keyakinan berkah puasa, selain berkah atasan. Sementara pedagang itu berusaha melayani para musafir (orang yang sedang bepergian) yang memang boleh tidak puasa yang tentunya butuh santap siang atau sore. Amatlah bijak jika petugas menyanggong pedagang sejak pagi sehingga saat hendak menggelar dagangan, petugas ketertiban itu bisa mencegah, tidak perlu harus menyita.

Selain menambah pekerjaan juga rawan terjerat maksiat ketika makanan itu menjadi basi karena mubazir. Namun, tindakan demikian kurang sensasional dan tidak diliput pers. Jadilah apa yang dilakukan petugas itu tidak murni atau tidak ikhlas, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai riya, yaitu tindakan yang dilakukan dengan maksud mencari pujian dari atasan, bukan pujian dari Tuhan.

Sudah menjadi suratan atau nasib wong cilik tidak memahami aturan dan tidak mempunyai kekuatan membela diri. Kerugian pedagang itu pun berlipat. Tapi percayalah, jika niat pedagang itu ikhlas, hendak melayani musafir, kerugian akibat disita petugas itu pasti akan memperoleh ganti lebih hebat. Namun betapa susah dan menderita si pedagang saat menunggu sebelum pengganti rezeki dari Tuhan tiba.

Sering kali pemahaman berkah puasa itu berbeda berkah di bulan lain. Perolehan atau tindakan di luar bulan suci dipahami sebagai akibat bekerja dalam hubungan sebab-akibat. Sementara yang diperoleh dan dilakukan di bulan puasa dipahami sebagai limpahan rezeki, baik dalam bentuk uang dan materi, sehingga di bulan suci seseorang yang menerima uang atau harta benda lain dipandang sebagai berkah walaupun untuk itu dia harus bekerja.

Sementara tindakan yang dilakukan di bulan puasa, tapi dilakukan di bulan yang lain sering kali lain: dipahami sebagai maksiat. Berdasar pemahaman demikian itulah mungkin mengapa pencurian justru bisa terjadi di tempat ibadah saat orang menjalani ibadah puasa. Bedanya, si pencuri percaya dia tidak akan tertangkap karena telah memperoleh berkah puasa.

Seandainya tertangkap pun, dia pahami sebagai berkah. Berbeda pula bagi mereka yang kecurian sandal kulit di sebuah masjid saat berjamaah tarawih, misalnya, seperti terjadi di awal puasa di masjid terkenal di Yogyakarta. Seusai mengikuti kuliah subuh sehabis salat subuh berjamaah, seorang jamaah kelimpungan mencari sandal kulitnya.

Setelah mencari beberapa saat, dia menyadari si pencuri mungkin sedang ngalap berkah atas sandalnya itu, sehingga dia bisa memahami mengapa sandalnya hilang di masjid saat dia beribadah salat subuh dan mengikuti ceramah pagi.
*** 
Peristiwa lebih besar di bulan suci sering kali juga dikaitkan dengan ngalap berkah tersebut. Siapa bisa mengevaluasi ketika suatu berkah bulan suci menjadi hak prerogatif Gusti Pangeran (Tuhan) Yang Mahaadil, ketika Sang Pangeran juga Mahagaib atau Maha Tak Dikenal sedang berkehendak atas sesuatu.

Dalam ajaran Islam, Sang Maha Gaib itu dilukiskan sebagai laisa kamitslihi syai'un yang berarti tidak ada sesuatu pun yang menyerupai. Dalam ungkapan Jawa, ajaran itu dilukiskan sebagai tan keno kinoyo ngopo atau suatu subjek yang tidak bisa dibayangkan seperti apa. Sering kali manusia berusaha menempatkan diri seperti kemahaan Tuhan, misalnya hak prerogatif presiden dalam menentukan ketua DPR dari partai pemenang pemilu yang menempatkan sang presiden sebagai figur utama pendulang suara.

Raja-raja di zaman dulu juga memiliki hak-hak kemahaan demikian. Menjadi persoalan ketika alam demokrasi membutuhkan akuntabilitas dan transparansi setiap tindakan pejabat, apalagi yang dipilih rakyat, tapi siapa yang bisa menilai? Ramadan sebenarnya memiliki ajaran lebih dari sekadar berkah mistis dari fungsi kemahaan yang tak bisa dievaluasi. Berkah tidak mistis itu ialah ajaran kemanusiaan yang akuntabel dan transparan.

Seseorang dinilai puasanya berhasil jika bisa berfungsi bagi kebaikan dan kemuliaan umat manusia, tidak peduli manusia itu saleh atau kafir. Puasa seseorang dinilai berhasil manakala mempertinggi martabat kemanusiaan. Keberhasilan puasa itu terukur sepanjang berlaku dalam kehidupan empiris seperti lingkungan yang semakin bersih dan sehat sebagai akibat tidak membuang sampah sembarangan.

Orang yang bersangkutan (yang puasa) menjadi semakin peduli pada orang lain yang lebih menderita dan bernasib buruk akibat kelaparan dan kurang gizi. Puasa adalah ajaran kemanusiaan yang duniawiyah, sehingga orang yang berpuasa itu menjadi semakin manusiawi dan hidupnya semakin bermanfaat bagi lingkungannya.

Mencari Tan Malaka

| September 18, 2009 | Sunting
Sosok Tan Malaka, salah satu Bapak Republik ini. Namanya seolah hilang dari sejarah.
Sesuai pemberitaan media massa, pada 12 September 2009 lalu dilakukam penggalian di tempat yang diduga sebagai makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Hasilnya, diperoleh sebuah kerangka jenazah yang sudah sangat rapuh dengan tengkorak, termasuk gigi. Tinggi tubuhnya diperkirakan sekitar 160 sentimeter. Tim forensik dari FKUI telah mengambil sampel untuk dicocokkan dengan DNA dari Zulfikar Tan, keponakan Tan Malaka. Uji DNA ini memerlukan waktu dua sampai tiga minggu. Sembari menunggu hasilnya, ada baiknya dijelaskan mengapa penggalian ini baru dilakukan sekarang? Kenapa harus menunggu 60 tahun setelah kematiannya? Pencarian makan ini sendiri dilakukan atas prakarsa keluarga yang tentu ingin memastikan dimana Tana Malaka dikuburkan, agar tahu kemana mereka harus berziarah. Tan Malaka sendiri sudah diangkat menjadi pahlawan nasional sejak 1963, sehingga sudah selayaknya makam pahlawan ini diketahui secara pasti.

Tertunda sekian lama, 3 dekade tidak diketahui rimbanya, oleh Departemen Sosial jaman Orba ia dianggap sebagai "off the record." Gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut, tapi namanya dihilangkan dalam daftar. Baru setelah era reformasi namanya ditampilkan kembali. Bermunculanlah karya baru atau buku-buku lama tentang atau oleh Tan Malaka yang pada masa sebelumnya sempat dilarang. Seorang sejarawan Belanda, Harry Poeze, menulis disertasi tentang Tan Malaka pada 1976.

Karya akademis ini diterjemahkan menjadi dua jilid dalam bahasa Indonesia, volume pertama Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 terbit 1988 dan dibredel tahun 1989. Jilid dua, Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 baru bisa beredar 1999. Poeze melanjutkan kisah Tan Malaka sampai akhir hayatnya, tahun 1949. Tahun 2007 terbit karya Harry Poeze Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolutien 1945-1949 (Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949).

Berdasarkan hasil penelitian selama bertahun-tahun dengan riset kepustakaan dan serangkaian wawancara di Jawa Timur, maka diperkirakan Tan Malaka ditembak di sebuah desa di kaki Gunung Wilis, Kediri. Ironis juga karena sejarawan Belanda yang serius mengkaji pahlawan nasional kita bukan sejarawan Indonesia. Jika penggalian makam tersebut membuahkan hasil, maka ada tiga pilihan. Pemugaran makam dilakukan di tempat tersebut (Kediri) atau dipindahkan ke kampung halamannya di Suliki, Sumatera Barat.

Pilihan ketiga adalah disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Tentu pihak keluarga yang memutuskan hal itu. Selanjutnya kisah perjuangan Tan Malaka tentu perlu diajarkan dalam buku sejarah di sekolah dengan mengoreksi berbagai pemahaman/persepsi yang keliru. 

Pertama, selama Orde Baru, tokoh ini telah dizalimi dengan tidak mencantumkannya dalam buku pelajaran sejarah di sekolah. Padahal, statusnya sebagai pahlawan nasional tidak pernah dicabut. Hampir seluruh hidupnya telah diserahkannya untuk memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan. 

Kedua, sang pahlawan telah disingkirkan dari dunia pengajaran sejarah nasional karena dia dianggap pemberontak. Ini tidak tepat, karena memang Tan Malaka menjadi tokoh penting dalam lingkaran generasi pertama PKI tahun 1920-an. Tokoh PKI masa itu sebagian juga pemimpin Islam yang gigih seperti Haji Misbach di Jawa dan Datuak Batuah, guru sekolah Sumatera Thawalib di Padang Panjang.

Aktivis partai komunis di Padang Panjang dan Silingkang ini tak pernah meninggalkan salat, meskipun mereka dikejar-kejar oleh PID (intel Belanda). Dalam perkembangan selanjutnya Tan Malaka menentang kebijakan PKI yang melalukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda tahun 1926/1927 yang dianggap sebagai blunder. Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok pada 1927. Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka mendirikan partai Murba yang dalam berbagai hal berlawanan dengan PKI. Jelas dia tidak terlibat dalam gerakan komunis tahun 1926 dan 1948. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada 1948, program politiknya memiliki beberapa kesamaan dengan Tan Malaka. Ketika ditanya wartawan apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawab sinis. Bila punya kesempatan, katanya, yang pertama dilakukannya adalah menggantung Tan Malaka. 

Ketiga, Tan Malaka adalah seorang tokoh nasional yang juga memiliki reputasi regional Asia, bahkan internasional. Pada 1925 di Canton, China, dia mencetak buku tentang konsepsi negara Indonesia dalam bahasa Belanda berjudul "Naar de Repoeblik Indonesia".

Dia melakukan gerakan di Bangkok, Manila, Amoy, Hong Kong, Syanghai, Rangon, Singapura, dan pernah bekerja sama dengan Sun Yat Sen dan Ho Chi Minh. Tan Malaka sendiri pernah berujar di depan polisi Hong Kong yang menangkapnya pada 1927, "Di dalam kubur suaraku akan terdengar lebih keras." Tan Malaka tidak sependapat dengan Komintern di Moskow yang menyepelekan bahkan memusuhi Panislamisme yang berkembang di Timur Tengah yang justru termasuk gerakan perlawanan antipenjajah.

Keempat, Tan Malaka bukan saja dikagumi generasi muda dan aktivis pergerakan kemerdekaan, tetapi juga oleh pemimpin nasional. Soekarno sangat menyanjung Tan Malaka, sehingga dalam suasana kritis pascaproklamasi, Tan Malaka adalah salah satu yang ditunjuk sebagai pemimpin bangsa bila Soekarno-Hatta ditangkap Belanda.

Kelima, Tan Malaka adalah pemimpin yang ide-ide dan perjuangannya masih relevan dengan kondisi nasional sekarang. Setelah kemerdekaan diproklamasikan, terdapat dua model perjuangan untuk menghadapi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, yaitu berunding atau mengadakan perlawanan bersenjata. Pemerintahan Sjahrir memilih jalan yang pertama, sedangkan Tan Malaka memiliki visi yang berbeda yaitu melakukan revolusi total. Awal 1946 terbentuklah Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 organisasi politik, laskar, dll, termasuk Masyumi dan PNI.

Dalam pembentukannya di Purwokerto, Tan Malaka menyampaikan pidato tentang pentingnya persatuan untuk mencapai kemerdekaan 100 persen yang kemudian menjadi program pertama gerakan tersebut ("Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 persen"). Dalam Persatuan Perjuangan antara lain duduk sebagai anggota subkomite, Jenderal Sudirman yang mewakili TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pemikiran untuk "Berunding setelah ada pengakuan kemerdekaan 100 persen" masih relevan sampai hari ini.Apakah dalam perundingan dengan pihak asing- seperti para peminjam utang- kita telah mendesakkan prinsip pengakuan kemerdekaan 100 persen ini? Apakah dalam membahas kontrak pengolahan kekayaan alam nasional, kita tidak didikte seperti semasa Orde Baru? 

Keenam, Tan Malaka adalah tokoh kaliber Asia, pejuang nasional yang sekaligus pemimpin lokal atau pemangku adat. Nama aslinya Ibrahim, dia diangkat menjadi datuk dari suku Koto, dengan gelar Tan Malaka. Perjuangannya sendiri bersumber dari nilai-nilai falsafah adat Minangkabau. Dia pejuang global dengan tidak melupakan nilai lokal

Sensasi Naik Angkot di Tanah Papua

| September 11, 2009 | Sunting
Naik angkot di pedalaman Papua adalah kenikmatan tersendiri. Inilah saat dimana kita bisa menikmati aroma tubuh penduduk lokal yang bercampur dengan aneka hasil bumi dan hewan peliharaan...hihihiii. Angkot juga dapat menguji kesabaran kita karena si sopir baru mau menyalakan mesin kendaraan ketika semua kursi sudah terisi. Untuk angkot yang menggunakan mobil jenis Kijang, jumlah penumpang minimal 12 orang (tidak termasuk sopir dan kernet). Bisa lebih dari itu, apalagi kalai si Ibu juga membawa anaknya. 

Angkot jenis L300 umumnya diisi 21 orang. Sementara barang bawaan diletakkan di atas kendaraan dengan jumlah tak terbatas. Butuh waktu 2 jam untuk mengisi angkot ini penuh penumpang. Setidaknya, 3 kali naek angkot dari terminal dekat pasar Jibama (pasar baru) di Wamena, ketiganya memaksa kita bersabar sekitar 2 jam hingga penumpang memenuhi masing-masing kursi. 

Ongkos angkot di Wamena relatif mahal karena harga bensin dan solar di sana gila-gilaan, Rp 20.000/liter! Mahalnya harga BBM ini juga membuat si sopir sering berulah, memanfaatkan kesempatan. Mereka sering minta tambahan lebih hanya untuk mengantar penumpang ke depan rumahnya yang berjarak tak sampai 200 meter dari terminal pemberhentian. Apalagi jika si penumpang punya barang bawaan banyak. "Tambah 5000 ya, bensin mahal nih...!" 

Sopir-sopir di Wamena umumnya pendatang dari Jawa dan Sulawesi. sementara yang jadi kernet biasanya bocah usia 12-an tahun, anak-anak Papua. Angkot yang kita naiki ini disopiri laki-laki dari Jawa Timur. Bukan angkot milik pribadi, tapi milik sang juragan yang merupakan salah satu pejabat di kabupaten. Hhmm... Pantas lah. Sejak tadi kita amat-amati angkot ini tak berplat nomor, tapi operasi jalan teruss...! 

*) Ini adalah oleh-oleh perjalanan Mbak Tita
Angkot L300 a la Papua
Halo cantik :)
Babi turun dari angkot
Penuh luar dalam
Mama pu anak tidur di angkot
Bercengkrama dalam angkot 
Mari, masuk angkot
Motorpun naik angkot :D

Aku dan Puasa

| September 11, 2009 | Sunting
Menunggu waktu berbuka puasa
Menyebalkan, mungkin itulah kesan dulu ketika saya kecil belajar berpuasa. Kala itu saya masih tinggal di rumah nenek (rumah nenek terletak tepat di belakang rumah bapak, hehe). Selain aku, ada 2 orang saudara bapak saya yang belum menikah. Alhasil, sayalah cucu paling kecil di keluarga nenek saya, dengan badan sehat berisi dan gempal..(tidak terlalu gemuk maksud saya). Aktif, bandel, bebas bermain diluaran rumah, banyak kegiatan sekolah, mengaji dan bermain. Di kala itu, sama seperti kedua kakak sepupu saya maka wajib bagi saya untuk mulai belajar berpuasa. Entah mulai kapan saya akhirnya berhasil puasa hingga satu hari penuh, yang jelas masih teringat bagaimana saya membuat pusing orang di rumah.

Sehabis shaur, biasanya saya sholat subuh di mesjid dengan temen2 sebaya lalu melanjutkannya dengan jalan2 pagi yang biasa kami sebut “SEPOR”. Mungkin itu dari kata SPORT yang artinya kami berolahraga jalan kaki pagi-pagi. Seru sekali suasana sepor zaman saya dulu, jalanan begitu riuh dan gaduh dengan para remaja juga anak – anak yang jalan pagi, main petasan, sepeda atau hanya sekedar beputar – putar dengan riang. Saya bahkan suka jalan hingga lebih dari 1 km dari mulai langit gelap hingga langit terang.

Selanjutnya seringkali saya malah bermain hingga berkeringat, bermain galasin, petak umpet, “cing benteng” bahkan beklen hingga monopoli juga congklak. wah, pokoknya terasa riang sekali..puasa yang jauh lebih menarik dari saat ini.

Masalah muncul pada jam 10. Mulailah terasa rasa haus, lalu saya mulai marah – marah di rumah. merengek, melempar – lempar bantal, membuka tutup pintu, dan merengut. Namun jangan salah, itu bukan pertanda saya minta buka puasa namun hanya menunjukan kalau saya lapar dan haus. Biasanya kalo udah gitu, nenek saya membujuk agar saya kuat hingga pukul 12 siang. Biasanya jam 10 suka ada penjual kue2 dan roti yang lewat depan rumah, lalu saya minta mama saya beli kue2 itu untuk buka. Setelah dibeli, kue2 itu akan disembunyikan di tempat yang saya ketahui tempatnya. Dan itu kadang berhasil menenangkan saya. hihihi

Pada waktu dzuhur tiba, saya lebih membuat jengkel lagi orang2 dewasa di rumah saya. saya akan tidur guling – gulingan, atau sekedar duduk di meja makan. Semisal pulang sekolah, tas akan saya lempar sembarangan,lalu lalu lalang di sekitar kulkas dan memasukan wajah saya ke kulkas mencari kesegaran..hhihihihi. JIka udah begitu, nenek saya suka langsung mengambilkan nasi dan lauk lalu disodorkan ke saya, lalu saya akan melirik ke arah ayah dan ibu saya minta persetujuan. selama mereka gak mengangguk, saya gak akan memakan apapun makanan yang disodorkan oleh nenek saya.

Pernah suatu sore, saya jalan2 sore (ngabuburit) dengan teman2. mungkin saya kelas 5 SD waktu itu. Saya ingat sekali kami melewati pohon mangga. Kami main di bawah pohon itu, ada yang main2 dengan buah yang jatuh dan sebagainya. saking asiknya bermain, jam 5 saya merasa capek setibanya di rumah dan kepala mulai pusing. saya mulai menangis lapar, tiduran lemas di kursi. Nenek saya udah siap bawa air menyuruh saya buka, namun mamak bersikeras saya harus terus puasa yang hanya tersisa 1 jam lagi sebelum usai. rasanya payah sekali, saya tidur dengan lemas dan kaki pegal sedikit pusing karena udah mengeluarkan energi berlebihan dalam kondisi puasa.

Tampak berbeda gaya dalam puasa antara saya dan 2 kakak sepupu saya yang lain. keduanya tampak tenang dan manis. Gak banyak mengeluh, minta buka, melirik2 makanan terus, marah – marah , tapi saya justru sebaliknya. Hal ini selalu jadi bahan cerita jika bulan Ramadhan tiba. Orang tua dan kakak sepupu saya suka mengingatkan kembali kelakuan saya semasa kecil dengan sedikit menyindir dan meledek..hihi, mau gimana lagi kalo memang semua itu terjadi. walau kadang saya malu mengingatnya.

Ramadhan tampak selalu indah untuk di ingat, banyak hal indah dan hangat selain kagiatan menahan lapar dan haus. Ramadhan selalu terukir di hati sekalipun masa lalu saya dengan kegiatan berpuasa dimasa kecil kadang memalukan diri sendiri setelah usia 16 tahun ini.

*walau saya puasa dengan rewel, saya belum pernah sekalipun buka puasa di luar sepengetahuan 'orang tua' dari kecil, hingga kini 16 tahun usia saya…alhamdulillah

Klaim Malaysia - Putu Setia

| September 11, 2009 | Sunting
Pertama kali tadi saya buka blog, deg, saya kaget. Karena ternyata saya mempunyai pembaca-pembaca setia yang senantiasa menanti postingan di blog saya. Lihat saja misalnya di shout-box. permintaan untuk segera posting ternyata mengalir dari orang-orang yang, jujur, tidak saya kenal. Sehingga saya benar-benar matur suwun kepada para pembaca yang sudi mampir ke kamar saya ini, dan menuliskan sepatah- dua patah kata yang menjadi suntikan semangat tersendiri bagi seorang blogger amatiran seperti saya.
***
Hari ini, geger tari Pendet sudah menyurut. Acara berita di televisi sudah kembali fokus terhadap berbagai berita dalam negeri yang seolah tiada habis. Terakhir, dari yang saya tahu penyelesaian kasus Pendet yang merupakan identitas lokal kita ternyata dengan cara yang sangat Melayu. Pemerintah negara Malaysia mengaku tak tahu menahu tentang urusan itu, karena promosi pariwisata di kerajaan tersebut dikerjakan oleh pihak swasta. Adapun pihak swasta yang membuat tayangan promosi itupun sudah meminta maaf karena mereka mendapatkan gambarnya dari pihak ketiga. Sedangkan pihak ketiga, yang entah tak juga diketahui identitasnya, diduga mendapatkan bahan dari sekeping VCD yang dibelinya di Bali--bisa jadi pula VCD bajakan, yang memang mudah sekali diperoleh di kaki lima.
Penari Pendet
Ya, kasus Pendet sudah selesai, mau diapakan lagi? Akan tetapi, yang kemudian harus dicatat adalah, Tari Pendet merupakan klaim yang kesekian kali yang dilakukan oleh Malaysia terhadap budaya Indonesia. Sebelumnya, sekedar mengingatkan, ada reog Ponorogo, kain batik, wayang kulit, angklung, keris, beberapa lagu. Bahkan masuk pula nama tempe dan rendang Padang yang mereka akui sebagai makanan asli Malaysia. Urusan non-budaya juga ada, misalnya klaim terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan. Hebatnya, Malaysia selalu menang. Artinya, mereka berhasil mendapatkan publikasi tanpa menerima hukuman apa pun, sedangkan di Indonesia, orang hanya teriak-teriak di jalanan sambil mengacungkan tangan: ganyang Malaysia.

Ketika sejumlah seniman Bali bersedih atas klaim tari Pendet ini, saya sempat tertawa dalam hati. Sebab, begitu bodohnya Malaysia mengklaim sesuatu. Begitu banyak jenis tari di Bali, baik yang tradisional maupun setengah tradisional, kenapa memilih tari Pendet? Hanya orang idiot yang bisa diyakinkan bahwa tari Pendet milik orang non-Bali. Jika promosi pariwisata itu dilakukan dengan cara-cara orang idiot, memangnya ada yang percaya? Apa turis yang mau disasar Malaysia adalah turis yang bloon? Jadi memprotes kerjaan orang bodoh, ya, sama juga bodoh.

Tari Pendet awalnya tari sakral, persembahan untuk Hyang Widhi, Tuhan dalam sebutan orang Bali. Meskipun diprofankan oleh seniman tari angkatan Nyoman Reneng, tetap saja bau sakralnya ada. Dan terus terang, irama dan busana tari itu tak cocok--atau bahkan bisa disebutkan bertentangan--dengan akidah Islam, agama mayoritas di Malaysia. Karena itu, saya tak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah "negara kerajaan" yang berbasis ajaran Islam berani mengklaim kesenian dari khazanah budaya Hindu yang wanita penarinya menonjolkan aurat.

Saya menduga, Malaysia telah kehilangan jati diri, setidaknya kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan bangsanya sendiri, terutama dalam hal budaya. Karena tak percaya akan modal bangsanya, negara itu lantas mengklaim berbagai kekayaan budaya negeri jirannya, Indonesia. Nah, kenapa kita justru ribut? Mestinya kita kasihan dan membantu Malaysia dengan menyodorkan lebih banyak lagi budaya kita untuk mereka klaim. Setelah batik, reog, wayang, angklung, Pendet, ya, jika perlu, nanti kita sodorkan jaipong, tayub, bedoyo, dan banyak lagi. Lalu, kita tawari mereka mengklaim Pancasila sebagai dasar negara, kemudian merah putih sebagai bendera bangsanya, dan siapa tahu nanti terus mengklaim Presiden SBY sebagai kepala negaranya.

Nah, setelah itu, kita tinggal mengundang para sultan di Semenanjung Malaysia ke Senayan dan Ketua MPR RI membacakan maklumat: "Dengan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa, Semenanjung Malaysia resmi sebagai Daerah Istimewa Khusus Malaysia bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sarawak resmi menjadi Provinsi Kalimantan Utara."

Inilah sejatinya yang diniatkan Mahapatih Gajah Mada ketika mengucapkan Sumpah Palapa. Kini kita mewujudkan sumpah itu tanpa bau mesiu, karena dibukakan jalan damai: mulai dari klaim-mengklaim budaya. Selamat datang, Malaysiaku, Indonesia yang sebenarnya.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine