Nama Jalan: Memanjangkan Ingatan

| Juli 15, 2014 | Sunting
Malioboro,namanya berasal dari malika bara, berbaliklah segera.
Seorang karib mengirimkan gambar potongan koran melalui inbox facebook. Pesannya singkat saja: untukmu yang mencintai jalanan. Aku terharu. Yah, terharu. Terlalu terbatas kosakata yang bisa mewakili cinta saya pada jalanan dan jalan-jalan. Dan saya mendadak rindu menyusuri jalanan Jogja pagi-pagi, siang-siang, sore-sore, malam-malam. Jalan, sebagai mana judul esai ini, adalah pemanjangan ingatan. Dan menikmati jalanan bagi saya adalah memperpanjang ingatan.
JALAN Tamansiswa, siapa yang tidak mengenal nama jalan ini, jalan yang oleh sebagian orang disingkat Jalan Tamsis. Bagi warga Yogyakarta atau masyarakat yang pernah tinggal di dalamnya tentu tahu letaknya, yaitu jalan yang membentang arah utara-selatan sepanjang simpang tiga Sentul sampai simpang empat Tungkak. Di sepertiga bagian utara, sebelah timur jalan berdiri sebuah pendapa bernama Pendapa Tamansiswa.

Di daerah Jalan Tamansiswa dulu merupakan permukiman prajurit Wiroguna, sehingga disebut sebagai Wirogunan. Bagaimana jalan tersebut sekarang lebih dikenal sebagai Tamansiswa? Nama Tamansiswa dipancangkan oleh karena sejarah. Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakanpendidikan untuk mencapai cita-cita, yaitu masyarakat Indonesia yang merdeka lahir-batin.

Raden Mas Suwardi Suryaningrat pendiri pendidikan perguruan Tamansiswa yang kemudian lebih memilih menggunakan nama rakyat,Ki Hadjar Dewantara, adalah pemilik pendapa yang dipergunakan sebagai tempat belajar-mengajar.Tamansiswa yang identik dengan Ki Hadjar Dewantara, berdiri 3 Juli 1922. Oleh karena jasanya memajukan pendidikan, kebudayaan dan jasa besar lain maka jalan yang melewati pendapa tempatnya mewujudkan cita-cita luhurnya tersebut diberi nama Jalan Tamansiswa.

Menamai jalan tentu tidak asal comot. Nama jalan ditetapkan tidak pula sekadar sebagai penanda fisik (sign) yang menunjuk arah dan letak sebuah wilayah tetapi sekaligus menjadi penanda (representamen) untuk memaknai kembali sebuah acuan (designatum). Kemaknaan sebuah jalan biasanya berkaitan dengan kesejarahan, pembelajaran,harapan dan ketauladanan. Sebagai contoh, Jalan Tamansiswa dipakai karena sejarah tempatnya, harapan pada cita-cita luhur dan keteladanan Ki Hadjar Dewantara.

Khususnya di Yogyakarta, nama-nama jalan bisa dibagi menjadi lima klasifikasi, meliputi nama orang; tanaman; tempat; profesi; dan peristiwa. Nama orang antara lain orang-orang keraton, pahlawan, wayang dan seniman-budayawan, seperti Suryodiningratan, Jenderal Soedirman, Arjuna, Affandi. Nama tanaman misalnya kepuh, mawar, munggur. Nama tempat misalnya Jalan Wonosari, Jalan Kaliurang, Jalan Bugisan. Nama profesi misalnya Jalan Patehan (abdi dalem pembuat teh), Jalan Gamelan (abdi dalem yang bertugas mengurusi kuda), Jalan Jlagran (tempat tukang jlagra, membuat nisan). Nama peristiwa misalnya Jalan Palagan (perang di masa revolusi kemerdekaan), Jalan Tentara Pelajar (perang masa revolusi kemerdekaan yang dilakukan para pelajar). Nama-nama tersebut kini menjadi nama jalan.

Jalan, Teks Atau Buku

Meskipun nama jalan terdiri dari satu kata atau frasa tetapi sifatnya seperti teks atau buku, yaitu 'berbicara panjang', sehingga memanjangkan ingatan kolektif terhadap masa lalu. Apakah 'kenangan' tersebut sekadar romantisme semata yang dicapai? Tentu tidak. Orang Yunani mengatakannya verba vollant scripta manent, bahwa omongan itu akan hilang, sementara sesuatu yang ditulis akan abadi. Maka kemudian nama-nama yang bermakna bagi sebuah masyarakat di suatu wilayah dipergunakan sebagai alat untuk memaknai sejarahnya. Nama sebuah jalan yang ditulis di sebuah plang kecil, meskipun pendek, ia adalah sarana untuk ‘belajar’, ‘mengenang’ dan memanjangkan ingatan.

Apabila suatu saat Si Fulan bertanya, "Mengapa jalan anu namanya Jalan Ki Hadi Sugito?" Atau Jalan Umar Kayam, SH Mintardja, Mozes Gatotkaca, Kunti, Manthous, Suyatin Kartosuwiryo, Marsinah, Udin, Munir, Wiji Thukul dan lain-lain ma ka setelahnya akan ada penjelasan panjang tentangnya. Masa lalu yang diceritakan kembali akan mereproduksi cara pandang tentang segala hal yang terputus, lupa atau bahkan sengaja dilupakan. Ingatan kolektif terhadap sesuatu yang bermakna, jangan lupa, bisa diwakili dengan hal-hal kecil sebagaimana plang sederhana bertuliskan nama jalan. 
 
Nama jalan dalam sebuah karya sastra telah ditulis oleh banyak sastrawan. WS Rendra dalam buku Sajak-sajak Sepatu Tua yang diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1972 memuat tiga judul puisi mengenai jalan. Ketiganya kebetulan berwilayah di Yogyakarta, antara lain 'Jalan Sagan 9, Jogja', 'Sawojajar 5, Jogja' dan 'Jalan Ungaran 5, Jogja'. Rendra muda adalah  pelaku seni yang pada masanya bermukim di Yogya, tak pelak jika nama-nama jalan ditulisnya dalam sebuah puisi, bahkan sebagai judul, menjadi indeks atas isi yang diungkapkannya.
 
Dalam 'Jalan Sagan 9, Jogja', puisi romantis itu tidak terjebak pada haru biru masa lalu, sebab ada saat-saat kita tak berdaya bukan oleh duka/ tetapi kerna terharu semata./ Mengharukan dan menyenangkan/ bahwa sementara kita tempuh harihari yang keras/ sesuatu yang indah masih berada/ tertinggal pada kita/. Sebagai sebuah puisi, nilai filosofi kental di dalamnya. Begitulah puisi yang jernih nan berisi, pandangan tentang kehidupan diungkapkan dengan bahasa sederhana, bahwa hidup yang keras harus dilakoni.

Jalan atau dalan (Jawa) adalah sebuah ruang yang jika kita menyebutnya, akan dengan serta merta muncul dimensi waktu. Oleh karena itu, dalam masyarakat Jawa mengenal istilah mlaku (berjalan) atau me-laku, yaitu melakukan tindak laku (praktik/prihatin) yang kemudian disusul pertanyaan penyerta: Kapan atau sampai kapan? Jika seseorang mlaku di atas kehidupan, maka jawabannya adalah dari liang rahim sampai liang lahat, urip iku kelakone kanthi laku, hidup itu dijalani dengan praktik atau prihatin. Maka, dalam khazanah kebudayaan kita mengenal gaya bahasa polisemi, misalnya dalan bayi, dalan padhang, dalan urip dan lain-lain.

‘Mlaku-mlaku’

Jalan atau mlaku, bukan jalan-jalan atau mlaku-mlaku (senang-senang, piknik), adalah hidup itu sendiri yang harus dimaknai, yaitu hidup yang penuh dengan kenyataan yang menyenangkan dan mengharukan. Apabila di sebuah wilayah terhubung oleh ruas-ruas jalan, masing-masing jalan perlu dimaknai, perlu diberi nama agar bermakna. Pasalnya, hidup yang di dalamnya pahit dan manis saling bertemu, manusia telah melewati berlusin pemberontakan/ berlusin kekalahan/ dan berlusin kenakalan/ yang menghadang bencana,/. Untuk apa perlu dimaknai? Agar di masa akan datang masyarakat bisa berjalan dengan lebih baik, agar masyarakat tidak terjerumus di lubang yang sama sehingga kutemuilah juga hiburan ini./ Segelas air dingin/ dan kasih sepasang mata.// (Sawojajar 5, Jogja). 
 
Selama ini, sayangnya, nama jalan dari Sabang sampai Merauke nyaris seragam, terutama jalan yang memakai nama pahlawan-militer. Hal ini tidak seimbang, misalnya dibandingkan dengan nama-nama tokoh lokal dari berbagai bidang kehidupan. Nama jalan yang persuasif juga belum dipakai, misalnya 'Jalan Bumi Manusia' (diambil dari judul novel Pramoedya Ananta Toer) yang berupaya mengajak masyarakat untuk gemar membaca atau 'Jalan Berburu Celeng' (judul lukisan Joko Pekik) yang mengingatkan masyarakat agar menghindari kebatilan, nahi munkar, dll.
 
Intinya, menamai jalan adalah upaya manusia untuk terus belajar atas pengalaman hidup, agar selalu memanjangkan ingatan untuk menjangkau hari depannya. Nama jalanpun sebaiknya dikemas, kita memerlukan nama-nama jalan yang memiliki visi pendidikan dan berkebudayaan.

Esai Hasta Indriyana, dimuat di KR Minggu, 6 Juli 2014

Memilih: Mengejawantahkan Rasa

| Juli 09, 2014 | Sunting
Satu atau dua?
Hari ini, masyarakat Indonesia akan menggunakan hak lima tahun sekalinya untuk menentukan pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Lebih dari 190 juta jiwa - setidaknya demikian data KPU menyebutkan, akan mengungukan jari sebagai tanda tuntasnya hak (sekaligus kewajiban) mereka. Antuasisme rakyat Indonesia bisa dibilang berada pada puncaknya hari ini. Santi, adik tertua saya, misalnya terdengar sudah tidak sabar lagi untuk menggunakan hak pilih pertamanya dalam percakapan telepon beberapa malam yang lalu. Begitupun juga dengan teman-teman dan sanak kerabat yang sempat diceritakannya, "Nyoblos, ben negarane soyojoss!" - "Memilih, supaya negara kita semakin bagus!"

Tidak hanya antusiasme warga. Pemilihan presiden kali ini bisa dibilang juga membuat Indonesia menjadi pusat perhatian dunia. Kolumnis Jakarta Globe, Jamil Maidan Flores misalnya, menyebut bahwa Indonesia telah menjadi sebuah laboratorium demokrasi dimana dunia bisa belajar dua hal sekaligus: bagaimana demokrasi berjalan dan juga bagaimana (teori) demokrasi tidak selalu berhasil.

Sementara itu, harian Inggris, the Guardian, mengungkapkan setidaknya ada 5 alasan kenapa pemilihan presiden Indonesia kali ini begitu penting bagi dunia. Pertama, karena Indonesia salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan jumlah pemilih pemula yang cukup tinggi: lebih dari 60 juta. Dan pemilihan ini akan menjadi kali pertama suksesi antara dua presiden yang sama-sama dipilih langsung - SBY menjadi presiden pertama hasil pemilu langsung dalam sepanjang sejarah kita. Kedua,kondisi perekonomian Indonesia berada dalam posisi yang sangat kuat saat ini.Setelah porak poranda akibat krisis 1998, Indonesia telah bertransformasi menjadi kekuatan terbesar ASEAN, anggota G-20 dan salah satu negara dengan performa ekonomi terbaik di dunia.Bahkan diprediksi akan menjadi satu dari tujuh kekuatan ekonomi dunia pada 2030.

Alasan ketiga adalah karena kondisi masyarakat Indonesia yang begitu dinamis dan menjadikan transisi demokrasi Indonesia dianggap sebagai salah satu yang tersukses. Kebebasan pers dijamin. Desentralisasi kekuasaan. Juga pemilu yang bebas dan tanpa tekanan. Meski korupsi masih menjadi momok, tetapi KPK sudah bekerja sedemikian keras untuk mengamputasi penyakit bersama tersebut. Puluhan petinggi negara dijebloskan ke penjara - termasuk bekas Ketua MK yang divonis penjara seumur hidup.

Lebih dari itu, Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang sering dijadikan model keselarasan antara Islam dan sistem demokrasi. Jumlah Muslim Indonesia adalah separoh dari total Muslim di dunia dengan mayoritas pemeluk yang moderat. Kebebasan beragamapun dijamin oleh konstitusi - meski beberapa kasus represi minoritas masih sesekali terjadi.

Dan yang terakhir, diprediksi akan memainkan peran penting di kancah global, Indonesia tentu membutuhkan pemimpin yang dapat menyatukan keberagaman: tujuh belas ribu pulau, ratusan etnis dan bahasa. Dan di tengah sengkarut berbagai perpecahan di dunia, Indonesia seharusnya menjadi teladan manfaat persatuan dan kebersamaan.

Yah, sebegitu pentingnya pemilihan presiden kali ini - meski dinodai oleh kenyataan bahwa pilpres kali ini adalah pemilu yang paling penuh intrik dan permainan-permainan kotor.
***
Saya sendiri sudah menggunakan hak pilih pada akhir pekan kemarin. Pemilu di luar negeri memang dijadwalkan lebih awal dibandingkan jadwal pemilu di tanah air untuk menyesuaikan, utamanya, dengan hari kerja negara setempat.Saya sebenarnya hampir tidak memilih karena urusan perut yang tidak bisa dikompromi. Saya terkapar dan terlelap tidur setelah berkali-kali bolak balik kamar mandi. Tetapi syukurlah badan terasa lebih segar begitu terbangun. Sehingga akhirnyapun saya pergi memilih ke Sekolah Indonesia Kuala Lumpur - beberapa jam sebelum TPS ditutup.

Tidak seperti saat pemilu legislatif bulan April lalu yang lengang, antuasiasme warga untuk menggunakan hak pilihnya di pemilihan presiden kali ini lebih terasa. Sejak keluar dari stasiun kereta, orang-orang berbahasa Jawa dengan kelingking bertinta ungu begitu mudah saya temukan di sepanjang jalan. Begitupun ketika sampai di tempat pemungutan suara, kendaraan yang parkir di depan SIKL terlihat begitu penuh. Begitupun lalu lalang orang yang masuk ke dalam sekolah, padahal hari sudah cukup sore dan matahari begitu terik.
Suasana salah satu TPS di KL | Credit: @migrantcare
Pemilu kali ini bagi saya sangatlah menarik. Di satu sisi, saya belum memutuskan untuk memilih salah satu calon presiden hingga saya memasuki bilik pencoblosan. Tetapi, di sisi lain, saya sendiri juga terlibat (atau melibatkan diri?) dalam pusaran gelombang pertarungan antara kedua kandidat di sosial media - utamanya Facebook. Mendengar kata Facebook mungkin akan melontarkan benak kita pada sesuatu yang abstrak, maya dan rasanya terlalu blur untuk disatukan dengan terma pemilihan presiden. Tetapi, tahukah Anda bahwa pengguna FB di Indonesia meningkat pesat dalam dua kuartal terakhir? Yah, dua kuartal terakhir yang di antaranya melibatkan hiruk pikuk pemilihan legislatif April lalu, diikuti oleh pemilihan presiden hari.

Signifikannya jumlah pengguna Facebook di Indonesia - 69 juta, bahkan hingga menarik raksasa sosial media ini untuk meluncurkan Indonesia Election Tracker dua pekan lalu demi mengamati pergerakan pendukung kedua kandidat di dunia maya. Apa yang diperkirakan oleh Facebook hampir pasti benar. Paling tidak itu yang saya lihat: beranda depan akun saya penuh dengan berbagai materi kampanye dalam beberapa pekan terakhir. Awalnya saya sendiri tidak begitu memperhatikan status-status tersebut. Bahkan saya sudah bersih-bersih newsfeed dengan meng-unfollow akun-akun teman yang gencar berkampanye. Tetapi, kemudian saya menyadari bahwa semakin hari semakin banyak informasi berputar dari satu orang ke orang lainnya mengandalkan fasilitas share. 

Yah, begitu mudahnya.

Hanya saja, kemudahan tersebut pulalah yang membuat banyak informasi salah hilir mudik ke sana kemari. Isu yang tidak jelas kebenarannya bergulir dan bersalin rupa menjadi (seperti) fakta. Pernyataan-pernyataan para tokoh dipelintir dan diputarbalikkan demi memperdekat jarak pada kemenangan. Segala bentuk materi lama - foto, berita, artikel dan sebagainya, mendadak kembali laris manis bak kacang rebus. Dan pada level inilah saya secara tidak sengaja terjerumus. #aduh, bahasaku.

Semua bermula dari keinginan meluruskan informasi-informasi tanpa dasar yang berseliweran. Dari sanalah saya mulai mengomentari posting akun-akun partisan yang menyebarkan informasi invalid dengan memberikan data ataupun berita yang saya rasa lebih valid. Yang ada dalam pikiran saya, kalau si empunya status tersebut tidak suka dengan komentar saya, ya paling akan dihapus. Atau pahit-pahitnya saya di-block. Tetapi paling tidak sudah ada upaya untuk memotong kebohongan-kebohongan agar tidak terus berputar-putar.

Tetapi, berawal dari situlah akun-akun tidak dikenal mulai rajin menyambangi inbox saya - utamanya antara petang hingga malam. Dan berhubung posting yang saya komentari hanyalah postingan yang secara tidak sengaja lihat di newsfeed, akun-akun awam tersebutpun terbelah secara dukungan. Sebagian akun memborbardir saya dengan berbagai pertanyaan mengapa saya (seolah) mendukung calon X, sementara sisanya berpikir sebaliknya. Tidak ada yang saya jawab!

Tidak hanya akun-akun tidak dikenal. Akun-akun orang yang saya kenalpun sesekali mulai mengait-ngaitkan saya dengan salah satu calon yang (mereka persepsikan) saya dukung. Beberapa orang teman bahkan - ini yang paling saya takutkan, rasanya mulai sedikit menjauh karena mereka (berpikir) pilihan saya berbeda dengan pilihannya. Aih.
***
Pada tahap ini sebenarnya saya kebingungan. Kenapa banyak dari kita yang sulit membedakan antara fakta objektif dengan pilihan subjektif. Begitu, menurut saya, menyampaikan data, berita, kutipan dan sebagainya adalah sebuah keharusan, apalagi bila data tersebut tertutupi oleh isu-isu samar dengan dasar tak kalah gamang. Di sisi lain, pilihan adalah sesuatu yang begitu personal. Pilihan adalah pengejawantahan rasa, selera. 

Gampangnya begini, walaupun saya penggemar berat Indomi*, tetapi saya tetap akan bilang bahwa Indomi* tidak terlalu baik untuk kesehatan apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Atau contoh lain misal: walaupun saya tidak suka durian, saya tidak mengelak bahwa durian dapat mengatasi gejala anemia. Jelas bukan? Pilihan saya adalah: saya suka Indomi* tetapi tidak suka durian. Sementara faktanya, Indomi* ternyata tidak begitu bagus untuk kesehatan, sementara durian malah memiliki manfaat untuk mencegah anemia. Apakah pilihan saya lantas bisa dibilang salah? Tidak, karena pada dasarnya saya bebas memilih dan saya sudah tahu apa risiko pilihan saya. Tetapi bagaimana jika kemudian saya mengada-ada bahwa Indomi* bagus sekali untuk kesehatan dan durian itu merugikan kesehatan? Tidak bisa! Fakta adalah fakta. Rasa adalah rasa.

Begitupun dengan memilih calon presiden. Tidak ada yang salah dengan pilihanmu. Karena itulah manifestasi dari pandangan, pendapat dan perasaanmu. Tetapi, akan menjadi salah apabila kemudian kamu berusaha mengaburkan fakta calon presiden yang lain agar calon presiden yang kamu dukung terlihat lebih terbaik.

Memilih adalah pengejawantahan rasa. Rasa suka, rasa benci, rasa muak dan rasa-rasa lainnya. Tak jarang seseorang memilih calon X bukan karena si X adalah calon idamannya, tetapi semata-mata karena ketidaksukaannya pada calon yang lain. Yah, sesimpel itu. Seringkali begitu personal, dan susah untuk dijelaskan. Namun apakah lantas pengejawantahan rasanya salah? Tidak.

Sehingga rasanya begitu picik apabila kita harus saling menyerang karena perbedaan selera, perbedaan rasa. Bayangkan saja makanan: ada yang suka pedas, ada yang benci asin, ada yang suka manis, ada yang senang asam dan seterusnya. Begitupun pilihan atas pemimpin. Semuanya adalah sah dan merupakan ranah yang sangat personal. Apa hak kita untuk saling menghakimi?

Selamat pagi, selamat mengejawantahkan rasa (baca: memilih).

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine