Aku, Pembunuh Munir

| November 30, 2014 | Sunting
Sepuluh tahun dua bulan dua puluh hari setelah Munir dibunuh, Pollycarpus Budihari Prijanto - orang yang menurut pengadilan adalah pembunuhnya, diputuskan bebas bersyarat. Suciwati, perempuan yang tak pernah lelah menuntut keadilan atas sang suami berteriak keras, "Jokowi bohong! Kalau mau serius berbicara HAM, tidak usah ngomong terlalu tinggi. Kasus Munir kalau memang serius, pembebasan bersyarat semestinya tidak ada! Menterinya kalau tidak punya komitmen dalam penegakan HAM, akhirnya isu HAM hanya jadi komoditas jual beli!" 

Lebih keras, iapun menantang pemerintah untuk mencokok pelaku lain "Kalau memang serius, itu Hendropriyono yang bertanggungjawab kasus pembunuhan Munir, kenapa tidak diproses? Negara ini mereduksi kebohongan terus. Negara meninabobokan masyarakat dengan kebohongan!"
***

Aku, Pembunuh Munir

(Seno Gumira Ajidarma)
Aku adalah anjing kurap, karena itu aku membunuh Munir | Foto: Ova Hamer - Buenos Aires, 2010
Tentu, tentu aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri. Untuk apa? Aku bisa membunuhnya melalui tangan orang lain, sama seperti yang biasa kulakukan kepada orang-orang lain bilamana perlu.

Dikau tidak akan pernah tahu siapa diriku. Bukan karena aku berseragam, sama sekali bukan. Ini bukanlah soal berseragam atau tidak berseragam, karena membunuh atau tidak membunuh Munir tidak ada hubungannya dengan seragam.

Dirimu dan siapapun di dunia ini memang tidak perlu tahu siapa diriku sebenarnya. Bukan, bukan karena aku seorang pengecut, tidak ada pengecut yang selalu menantang bahaya seperti aku. Namun, taklebih dan takkurang, karena siapakah adanya diriku ini, ya, sekali lagi si-a-pa, memang sama sekali tidak penting.

Sudah kubilang tadi: aku adalah anjing kurap, jika bukan, aku tidak akan membunuh Munir. Jangan, jangan keburu marah. Aku toh mengatakan di-ri-ku yang membunuh Munir, bukan Tuhan yang membunuhnya melalui diriku, bukan. Jangan marah. Aku tidak mengatakan sudah kodrat Tuhan bahwa Munir harus mati melalui diriku. Tidak. Kalau caranya begitu aku tidak usah dicari-cari dong! Aku juga tidak membela diri dengan mengatakan diriku gelap mata, kerasukan setan, atau segala macam. Tidak. Sekali lagi tidak. Aku membunuhnya dengan penuh kesadaran.

Jadi tentang siapa yang membunuh Munir tidaklah perlu dipertanyakan lagi. Gamblang, tanpa keraguan, Munir mati diracun, bahkan angka-angkanya tertera dengan tepat: 83% Arsenik 3 dan 17% Arsenik 5. Konsentrasi Arsenik 3 sebanyak 0,460 miligram per liter itu menyebabkan blokade reaksi detoksifikasi, ya, lantas terjadi penekanan ekskresi arsenik melalui ginjal.

Ya, Munir mati dibunuh, artinya ada pembunuhnya. Ada. Sekali lagi ada. Munir tidak mati tanpa ada yang membunuhnya. Adapun pembunuhnya, artinya orang yang memikirkan, merencanakan, dan akhirnya menggalang usaha agar kematian Munir menjadi nyata, adalah aku dan hanya diriku. Begitu penting adanya aku, sehingga tanpa kelahiranku tidak ada kematian Munir.

Oalah, Munir, Munir, maksud hati melanjutkan kuliah di Utrecht, Belanda, dengan tesis tentang penghilangan paksa sebagai pilihan politik rezim militer, dari tahun 1965 sampai 1998, kok malah hilang sendiri.

Ya, sejak tahun 1998 itulah kamu telah menantangku. Kamu bongkar kenyataan adanya orang hilang, kamu dorong mereka yang telah dilepaskan untuk bicara, setelah susah dan payah dilakukan intimidasi terhadap para aktivis ingusan itu. Huh! Memang beberapa di antaranya salah culik. Dasar amatir! Tapi ya tidak usah dibongkar-bongkar dong! Eh, nyap-nyap! Asal tahu saja Munir, bukan aku, tapi kamulah yang membuatku memutuskan agar sisanya hilang selama-lamanya.

Ya, aku membunuh Munir, artinya akulah yang merencanakan agar riwayat hidup manusia yang dimulai dari tanggal 8 Desember 1965 di Malang itu bisa segera ditamatkan dan ternyata berhasil pada hari Selasa 7 September 2004 di udara, dalam pesawat Garuda, 40.000 kaki di atas tanah Rumania.

Memang, aku tidak dengan tepat akan mengetahui bahwa berdasarkan analisis rasio konsentrasi Arsenik 3 dan 5, ataupun berdasarkan simulasi farmakologi kinetik konsentrasi arsen di dalam darah, arsenik itu akan perlu waktu 8 sampai 9 jam untuk membunuh Munir. Tidak akan dan tidak perlu—yang penting dia mati dan tidak bekoar lagi.

Tentu, ketika merencanakan agar orang kecil berkumis lebat yang sangat menjengkelkan ini koit, aku tidak merencanakannya sampai serinci itu. Jika aku tahu orang-orang Belanda busuk itu akan memergoki adanya arsen atawa racun dalam lambung, darah, dan air kencingnya , mungkin aku akan merencanakan cara pembunuhan yang lain. Tembak jarak jauh barangkali, tabrak dengan mobil, atau santet – ya, kami, kelompok yang melaksanakan proyek ”peng-kondisi-an” Munir, pernah membicarakan ilmu Harry Potter ini, bahkan menghubungi sejumlah tukang santet, tetapi rencana yang satu ini tidak pernah terlaksana. Dasar tukang kibul semua!
rembulan merah hutan terbakar
sungai berasap terpanggang bumi
siapa dia menghirup mawar
darahnya menetes bersama sunyi
Ya, kuakui dengan terus terang akulah yang membunuh Munir, tetapi tidaklah penting aku ini siapa.

Seperti semua orang aku juga dilahirkan seorang ibu. Aku tidak lahir dari pohon, tidak juga dari batu. Aku mohon percayalah, tidak sekalipun ibuku, yang sama mulianya dengan ibu manapun di dunia ini, akan pernah mengatakan bahwa membunuh itu baik. Ibuku mencintai ayahku, ibuku melahirkan aku, menyusui diriku, merawat, mengasuh, dan dengan penuh kasih sayang membesarkan diriku, dan setelah besar aku membunuh Munir.

Mungkinkah ini terjadi pada manusia? Mungkin iya, mungkin mestinya tidak, tetapi janganlah bertanya kepadaku, karena seperti telah kukatakan, aku adalah anjing kurap dan hanyalah karena aku anjing kurap maka aku membunuh Munir.

Jangan, janganlah kepada diriku dikau bertanya tentang pembunuhan Munir sebagai pembunuhan politik, karena bahkan dalam hati kecilku pun kuingkari kejadiannya sebagai pembunuhan politik. Dengan atau tanpa politik aku memang sudah lama empet terhadap Munir. Memang betul, sudah pasti itu bukan pembunuhan kriminal dan hanya pembunuhan politik yang membenarkan pembunuhan orang kecil yang tidak sudi digertak itu, tetapi apakah dengan begitu lantas pembunuhan itu menjadi sahih?

Tentu, tentu, tentu, tentu saja tidak. Munir memang menjengkelkan dan mengkhawatirkan semua orang, tetapi politik adalah sebuah permainan dan permainan itu ada seninya. Jika ingin membungkam dan menghentikan Munir, seni itulah yang dimainkan dan itulah yang semestinya dilakukan dalam politik. Ngomong di sana dan ngomong di sini, ngomong begini dan ngomong begitu. Jujur maupun licik, lugu maupun pura-pura lugu, tipu daya macam apapun sahih, selama tidak melanggar hukum dan dikau bisa berpikir sendiri apakah pembunuhan dengan cara seperti itu melanggar atau tidak melanggar hukum.

Betapapun, di antara semua orang yang akan kebakaran jenggot itu tidak ada seorang pun yang berpikir, merencanakan, menggalang, dan melaksanakan pembunuhan seperti diriku. Hanya satu orang yang melakukan semua itu, yakni aku dan tiada lain selain aku—tentu dengan sejumlah pembantu yang goblok. Maafkan bahasaku ini. Memang goblok. Aku pun mesti ngibul supaya kelompokku ini bisa bekerja. Ya, kelompok orang-orang bego yang tidak bisa membedakan antara terpaksa membunuh demi bela diri, bela negara, dan pembunuhan politik. Buat mereka cukuplah diberi alasan bahwa Munir harus mati sebelum pemilihan presiden, dan sungguh mati itu hanyalah omong kosong sahaja. Munir mati atau tidak mati tidak akan mempengaruhi jalannya pemilihan presiden sama sekali.

Kukira, ya kukira, mereka terbawa angan-angan yang dibawa film detektif, bahwa kerja intelijen itu kok rasanya kurang afdol tanpa menumpahkan darah, dan tentu saja itu salah. Mereka yang menjalani kerja intelijen tahu benar, lain film lain pula kenyataan—aku memang bukan kritikus film, tetapi terbukti orang-orang bodoh ini bersemangat membuatnya jadi nyata, seperti dalam film detektif, dengan penuh seluk-beluk meracuni Munir. Terimakasih Hollywood!

Dikau tentu terkejut dengan pengakuan saksi kepada polisi yang telah dicabut itu, pengakuan yang disampaikan tanpa paksaan sama sekali. Ya, dicabut, tapi sudah terlanjur dikatakan, yang meskipun dengan segala kekonyolan sahih saja menurut hukum, sebagai pengakuan yang telah dituliskan takpernah dapat ditarik kembali. Sudah tertulis. Dengan aksara dan bahasa yang telah disepakati bangsa. Tercetak, diperbanyak, dan beredar. Mengendap selamanya dalam catatan sejarah.

Ya, jika dikau cukup berbudaya, dikau akan merasakan sesuatu yang kurang sepantasnya ketika mengetahui betapa racun itu sudah diujikan kepada seekor kucing! Kalimatnya tertulis dengan jelas: ”Dikasih ke ikan asin, dimakan kucing, kucingnya mati!” Dilanjutkan sebuah pesan: … racun ini tidak boleh kena orang lain selain Munir.

Ya, diucapkan seolah-olah merupakan perbuatan yang baik.

Ya, memang, betul, tentu saja, takbisa lain, bahwa banyak yang senang, bahkan sungguh-sungguh bahagia, tanpa pernah merasa perlu berterus terang, dengan kematian Munir. Itulah mereka yang ikut teruntungkan, karena kepentingannya yang terselamatkan. Kepentingan apa? Entahlah, tapi sudah pasti berbau busuk, dan mereka tahu bahwa Munir telah mengendusnya. Dasar maling. Ya, maling, yang pekerjaannya mengendap-endap dan mencuri tanpa pernah dipergoki orang. Sekali kepergok, bukannya merasa bersalah, malah menyalahkan orang yang memergokinya. Dasar logika aneh! Namun dari semua keajaiban itu, tidak ada seorang pun yang berpikir seperti aku, bahwa karena aku anjing kurap, maka aku membunuh Munir.
rembulan menghitam di langit malam
lelawa terjatuh tiada pegangan
dingin angin menebarkan dendam
bisikan maut menjelma kutukan
Dikau masih bertanya-tanya siapakah kiranya aku, yang tanpa kunyana meskipun tak akan dikenal tetap saja terkutuk dalam sejarah, karena dalam kenyataannya Munir terpuja sebagai pahlawan. Hmmm. Bukan, sama sekali bukan karena aku takut ditangkap dan dieksekusi seperti Ceausescu, dikeroyok beramai-ramai seperti Gaddafi, atau digantung dengan kepala di bawah dan menjadi tontonan seperti Mussolini. Sama sekali bukan. Jika tadi kukatakan betapa seperti dirimu pun aku punya seorang ibu, dan karena itu dapat diandaikan setidak-tidaknya pernah mengenal apa itu kasih sayang, ya, kasih sayang terhadap kucing, kambing (meski tega menyembelihnya), monyet, lutung, siamang, orangutan maupun orang biasa, dapat kukatakan diriku pun mempunyai keluarga, anak-istri, yang dengan sangat menyesal harus kusampaikan takmengenal dan tak akan pernah mengenal siapa diriku sebenarnya.

Begitulah, apa boleh buat, istriku terlanjur mengenalku sebagai suami yang meskipun barangkali tidak terlalu baik barangkali juga tidak terlalu buruk. Bersikap baik kepada mertua, menghormati segenap keluarga besarnya, bahkan melakukan sembah-sungkem kepada para sesepuh setiap hari Lebaran ketika mereka masih hidup. Anak-anak takbisa tidak juga hanya akan mengenalku sebagai ayah yang baik, meski takharus terbaik, karena terus terang diriku ini tidak terlalu berbakat menunjukkan kasih sayang. Hmmm. Betapapun, percayalah, aku tidak akan bisa membunuh bayi. Apakah itu berarti aku sebenarnya mempunyai hati yang cukup baik? Mungkin. Kenapa tidak? Tidak seperti perempuan-perempuan yang takpunya hati itu, aku tidak akan membuang bayi ke dalam tong sampah.

Yah, jelek-jelek aku masih punya sedikit hati nurani. Aku memilih untuk meracuni Munir sebenarnya bukanlah karena aku ini orang yang kejam. Meracuni adalah satu dari tiga pilihan, yakni menaruh bom dalam mobil, menyantet, dan meracuni itu sendiri.

Untuk yang pertama, ahli bomnya terlalu banyak meminta jaminan, hehe, enak bener ya, sudah meledakkan mobil orang (ya, waktu itu Munir baru saja membeli mobil bekas, dasar kismin) masih minta perlindungan; yang, kedua, sudah kubilang tukang-tukang santetnya kebanyakan alasan, katanya Munir dilindungi keris segala; yang ketiga, menggunakan racun, memang paling mungkin dijalankan.

Teror bom yang manapun pelakunya langsung tertangkap, santet manapun juga sering terlacak kembali (setidaknya begitulah dalam dongeng) oleh dukun lain yang lebih sakti, sedangkan racun ini, terbukti, meski sudah jelas Munir diracuni, belum jelas racun itu datang melalui jus jeruk, mie goreng, atau minuman dari Coffee Bean. Tidak berbau, tidak berasa, kelarutannya cukup besar, bila dicampur makanan atau minuman tidak akan menghilangkan rasa atau mengubah warna—kecuali bau bawang putih kalau dia nanti muntah dan ke WC, ketika arsenik bercampur protein. Bawang putih? Nah! Itu mah bau orang kampung kalau masuk angin. Hehehehe. Lumayan canggih bukan?

Tentu hanya diriku yang tahu bagaimana semua itu akan dan telah berlangsung. Memang ada juga yang berlangsung di luar perhitungan. Ya, ya, ya, sama sekali di luar perhitungan. (Lagi-lagi amatir!). Sehingga terjadilah kegemparan yang berlanjut dengan drama pengadilan. Drama, ya, drama dalam dua pengertian: dapat disebut drama karena memenuhi persyaratan dramatik dalam seni pertunjukan; dan bisa disebut drama karena penuh dengan kepura-puraan, bersandiwara dalam kehidupan sebenarnya.

Tidak percaya? Ikutilah kutipan percakapan jaksa dengan saksi yang sudah beredar luas ini:

"Pernahkah Saudara bekerja di (sensor oleh pengarang) ?"

"Lupa saya." (pengunjung tertawa).

"Baik, saya akan membacakan BAP Saudara. Penyidik bertanya, ’Apakah Saudara mengenal Munir? Bila iya kapan dan di mana?’ Jawaban Saudara, ’Saya kenal dengan Munir tahun 1996 waktu saya sering mengikuti diskusi di kantor KontraS membahas dwifungsi ABRI dan rezim Orde Baru.’ Betul seperti itu?"

"Betul."

"Kemudian, ’Sejauh mana yang Anda tahu tentang rencana pembunuhan terhadap Munir?’ Jawaban Saudara, ’Saya mengetahui rencana pembunuhan itu karena saya pernah disuruh melakukan pembunuhan terhadap Munir.’ Betul?"

"Betul."

"Kemudian Anda juga mengatakan bahwa yang menyuruh Anda untuk melakukan pembunuhan terhadap Munir adalah Bapak Sukab alias Pak Lik alias Rambut Geni alias Pak Pandir. Betul?"

"Betul."

"Anda juga mengatakan bahwa Bapak Sukab alias Pak Lik alias Rambut Geni alias Pak Pandir adalah agen muda (sensor oleh pengarang) dengan golongan IIIb pada Direktorat 007 Deputi II. Betul?"

Doi diam sejenak, lalu menjawab, "Tidak tahu, saya lupa, Pak."

"Lupa? Oke, sekarang pertanyaan nomor 9: ’Darimana Saudara tahu Pak Sukab adalah anggota (sensor oleh pengarang)? Saya mengetahui Pak Sukab agen (sensor oleh pengarang) dari ruang kerjanya di gedung X Direktorat 007 Lantai 2. Di mobil Pak Sukab terdapat stiker (sensor oleh pengarang). Dia juga memiliki kartu tanda anggota (sensor oleh pengarang).’ Betul?"

"Lupa saya, Pak."

Nah, aku tidak terlalu keliru bukan? Bahwa percakapan semacam itu merupakan sandiwara yang sungguh-sungguh nyata? Tentulah aku terlibat dalam penyutradaraan sandiwara semacam ini, tetapi janganlah terlalu cepat menebak dan menduga siapakah aku, karena meskipun memang akulah sebenarnya sumber segala sebab kematian Munir, siapakah diriku ini sama sekali tidak penting. Dikau tidak akan pernah dan tidak perlu mengenal diriku, tetapi tempatku di dalam sejarah sudah tertunjukkan dengan jelas. Memang, apa boleh buat, bukan di tempat Munir.
rembulan menjadi arang berhamburan
langit kosong tergelar menghapus bintang
ada tikus celingak-celinguk dalam selokan
seruling dangdut pengemis bergoyang
Aku adalah anjing kurap, karena itu aku membunuh Munir.

Namun jika kusebut makhluk Tuhan yang disebut anjing, itu bukanlah aku. Dengan segala hormat, anjing yang paling kurapan di dunia ini pun tidak akan pernah berpikir untuk membunuh Munir.

Ya, diriku dilahirkan oleh manusia. Kukenali cerlang matahari, halus pipi bayi, harum melati, dan pesona kecerdasan para cendekiawan, tetapi akulah yang membunuh Munir.

Apakah aku harus minta maaf, karena telah mempermalukan manusia di hadapan segenap anjing kurap di muka bumi? Hmm.

Selama aku tidak mampu mengungkapkan siapa diriku, dan mengakui kesalahanku, berarti aku sungguh-sungguh tidak tahu.

Itulah aku!

Melbourne, 12 September 2013. 17:44.

Langit-langit Kamar, Jam Setengah Lima Pagi

| November 22, 2014 | Sunting
Kamar Asrama IIUM, pagi tadi
Jam setengah lima pagi. Mendadak aku terbangun. Mataku terbuka begitu saja, menatap langit-langit kamar yang muam. Aku sering bermimpi buruk akhir-akhir ini. Bukan akhir-akhir ini saja sebenarnya, aku bahkan sudah lupa sejak kapan. Sejauh kubisa mengingat. Berbagai nasihat dan petuah kukerjakan untuk kononnya membuang kebiasaan tersebut, tetapi rasanya belum ada hasilnya.

Dan bukan mimpi buruk juga sebenarnya, hanya saja mungkin seram bagi sebagian orang. Bagiku sendiri, sudah terasa biasa saja. Di kamarku yang dulu, berkali-kali aku memimpikan (atau melihat?) seorang perempuan dengan rambut terurai panjang ada di dalam kamarku. Bahkan, pernah sekali aku melihatnya (atau memimpikannya?), berjalan melewati jendela sambil membenarkan bagian belakang pakaiannya. Oh ya, aku tinggal di lantai dua saat itu.

Begitupun setelah aku berpindah kamar. Aku mulai terbiasa tidur dengan kitab suci di dekatku. Tidak benar-benar dekat sebenarnya, tetapi masih pada jarak yang bisa kugapai sewaktu-waktu aku perlu.

Aku jadi ingat suatu malam. Pukul dua atau tiga mungkin. Aku bangun untuk sembahyang. Sempat ku menggerutu ketika mengambil wudhu. Sebabnya adalah kebiasaan orang-orang meninggalkan WC dengan air kran tetap mengucur. Terbuang. Tetapi bukan itu topik ceritaku. Melainkan, segera setelah kukembali ke kamar dan memulai sembahyang, aku mulai merasakan ada sesuatu di belakangku. Aku tidak tahu apa, tetapi dari dorongan udara yang dihasilkan, sesuatu itu seperti mengikuti gerakanku. Entahlah apa karena ketika kumenengok salam, hanya setumpuk pakaian kotor yang tertangkap oleh mataku. Lagipula, kamarku juga hanya muat untuk sholat satu orang, tidak lebih.

Pukul setengah lima pagi. Aku menatapi baling-baling kipas angin yang tanpa bosan memutari porosnya. Langit-langit di sini tidak seperti di rumah. Aku terbiasa melihat tikus berkejaran dengan sesamanya, sementara di sini hanya ada langit-langit kusam dimana kipas angin tanpa merk menggantung. Terasa hambar, tanpa cerita.

Baling-baling kipas angin berputar. Terus berputar.

Rak buku yang melekat di dinding terpaku tanpa irama, tak menghiraukan hasil tulisan orang-orang besar yang beristirahat di atas badannya. Kain penutup tingkap kamarkupun senada: tenang dan diam.

Tidak ada cicak seperti di rumah. Bahkan rasanya aku memang tidak pernah melihat cicak selama di sini. Aneh. Tik tak tik tak.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine