Pameran Mayat – Hassan Blasim

| November 30, 2015 | Sunting
Potongan lukisan Salvador Dali, Le Sommeil

SEBELUM MENARIK PISAU DARI BALIK JASNYA IA BERKATA, "Setelah kamu pelajari semua berkas klien pertamamu ini, kamu harus menyusun rancangan singkat tentang bagaimana ia akan kau bunuh lalu kau pamerkan tubuhnya di pusat kota. Tapi kamu harus ingat: tidak semua yang kau usulkan akan otomatis diterima. Akan ada ahli yang mengkaji usulanmu itu, bisa saja ia menyetujuinya tapi seringkali ia akan menawarkan ide lain yang hampir pasti tidak mungkin kau tolak.. Sistem ini berlaku untuk semua orang apapun jabatan dia dan di semua tahapan kerja — bahkan setelah kau lulus tes dan masa percobaanmu. Di semua fase kau akan mendapatkan gaji penuh. Tentang itu aku tak mau merincikannya sekarang. Semua akan sedikit demi sedikit aku jelaskan. Intinya setelah kau terima semua klienmu, tidak bisa lagi kamu berisik menanyakan ini itu. Apapun pertanyaanmu harus kau tulis. Kau akan punya arsip sendiri yang isinya ya tetek bengek pertanyaanmu, proposalmu, semuanya. Jangan sekali-sekali meneleponku atau mengirimuku surat elektronik selagi itu urusan pekerjaan. Haram. Nanti kamu akan kukasih formulir khusus untuk menampung ketidaktahuanmu. Dan yang terpenting adalah kamu harus benar-benar mencurahkan waktumu untuk memahami klienmu itu. Jangan sampai ada sedikitpun yang terlewat!

"Misalnya saja kamu gagal di tugas pertamamu ini, posisimu masih aman. Belum pernah ada agen yang dipecat hanya gara-gara gagal mengeksekusi klien pertama. Paling mungkin kamu hanya akan dipindah ke departemen lain. Fasilitasmu, gajimu tetap. Oh ya, mengundurkan diri setelah dapat gaji juga haram hukumnya. Sudah hampir pasti ditolak. Ada aturan-aturan ketat tentang itu. Kalaupun pihak pentadbiran setuju, akan ada seabrek tes yang harus kamu lalui. Kami mempunyai data lengkap tentang para mantan agen. Kalau kamu terpikir untuk mengikuti jejak mereka, bisa saja kutunjukkan pengalaman beberapa dari mereka. Tapi rasanya tidak, kamu tidak akan selemah mereka. Yakin saja bahwa di sinilah kehidupanmu akan berubah.

"Ini, hadiah pertamamu. Tidak usah dibuka. Sekadar gaji pertamamu. Penuh. Kamu bisa pakai dulu untuk membeli koleksi dokumenter kehidupan hewan-hewan buas, nanti kami ganti uangnya. Pelajari benar-benar bagaimana mereka meremuk tulang-tulang mangsanya. 

"Ingat juga ini, bahwa kita bukan teroris yang ingin membunuh korban sebanyak-banyaknya untuk membuat orang-orang takut. Juga bukan pembunuh edan yang membunuh demi uang. Kita juga tidak hubungan apapun dengan kelompok-kelompok garis keras ataupun intel pemerintah. Juga tidak dengan kelompok apapun.

"Aku tahu kau sekarang pasti menyimpan banyak pertanyaan dalam kepala. Tenang saja. Sedikit demi sedikit kau pasti akan mengerti. Dunia ini diciptakan bertingkat-tingkat. Dan tidak semua orang berhasil mencapai semua tingkat itu bersama-sama. Beberapa bahkan mungkin tidak pernah menyelesaikannya. Pun di organisasi kau harus ingat bahwa ada posisi lebih tinggi yang menantimu. Menanti ide-ide segarmu. Ide-idemu bengismu.

"Setiap klien yang berhasil kamu habisi adalah semacam karya seni yang menanti sentuhan akhirmu. Dan ingat: kemampuan memamerkan mayat-mayat itu agar bisa dinikmati khalayak adalah kreativitas utama yang kami cari. Hal itu yang sedang kita coba untuk pelajari dan ambil keuntungannya. Jujur saja aku muak dengan agen-agen yang imajinasinya kering. Ada satu misalnya agen yang nama samarannya Pisau Setan — Satan's Knife. Namanya garang tapi dia bodoh. Aku benar-benar berharap ia segera dipecat. Si tolol ini berpikir bahwa memotong-motong tubuh klien lalu menggantungkannya di kabel listrik di kawasan kumuh adalah  puncak imajinasi dan daya cipta manusia. Sudah tolol, angkuh pula. Aku benci caranya yang kuno, walaupun ia menyebutnya neo-klasik. Bayangkan saja, yang agen kelas teri ini lakukan kemudian adalah mencat bagian-bagian tubuh klien dan mengantungnya dengan tali kecil. Jantungnya dicat biru gelap, usus-ususnya hijau, lalu hati dan buah zakarnya dengan warna kuning. Ia melakukan semua itu tanpa sama sekali paham makna kesederhanaan. Norak.

"Kamu terlihat bingung. Tenang saja, tarik napas dalam-dalam, dengarkan irama alam bawah sadarmu. Biar kuterangkan lagi beberapa hal padamu untuk mengenyahkan kesalahpahamanmu, kalau memang ada. Aku lagi ingin buang-buang waktu juga. Tetapi ingat: ini adalah pandangan pribadiku, anggota yang lain bisa saja punya pandangan yang lain.

"Aku suka segala hal yang ringkas, sederhana, tetapi istimewa. Ambil saja contoh si agen Tuli — Agent Deaf. Pembawaanya tenang, tetapi ia memiliki indera yang tajam. Kerjanya yang kusuka adalah seorang perempuan yang tengah menyusui. Pada satu pagi hujan di musim dingin, para pejalan kaki dan sopir-sopir yang kebetulan melintas, berhenti mengerubuti perempuan itu. Ia telanjang, gemuk, dan anaknya yang juga telanjang tengah menyusu tetek kirinya. Si Tuli meletakkan perempuan itu di bawah pohon palem kering di median jalan utama. Tidak terlihat sama sekali bekas luka ataupun peluru di Ibu-anak itu. Si perempuan dan bayinya terlihat seperti masih hidup. Sosok jenius seperti si Tuli inilah yang hampir tidak kita punyai sekarang ini. Kamu seharusnya melihat sendiri sebesar apa tetek perempuan itu dibandingkan dengan bayinya yang kurus kering. Tak ada seorangpun yang bisa menemukan cara mereka dihabisi. Sebagian berpendapat mereka diracun dengan zat misterius yang belum pernah diklasifikasikan. Tetapi si Tuli menuliskan hal yang sama sekali berbeda dalam catatannya. Kamu harus baca sendiri dan rasakan betapa puitis si Tuli ini. Ia saat ini menduduki posisi cukup penting dalam kelompok ini. Walau sebenarnya masih tidak sebanding dengan kreativitasnya yang menakjubkan.

"Negara ini memang sedang kacau. Tetapi karena itulah kita dapatkan kesempatan langka semacam ini. Mungkin saja apa yang kita kerjakan tidak bertahan lama. Kita harus mencari markas baru segera setelah negeri ini kembali aman. Tapi tidak usah khawatir, ada banyak negara yang bisa menjadi target markas baru kita. Haha.

"Dulu, agen-agen baru seperti kamu ini tidak akan mendapatkan paparan informasi seluas ini. Tetapi kondisi telah berubah. Kita tak lagi bergantung pada perintah. Yang kita perlu sekarang adalah kesegaran imajinasi. Dan mau tak mau kita harus lebih demokratis. Bayangkan saja, dulu aku harus membaca banyak buku konyol yang mendikte tentang bagaimana bekerja secara profesional. Banyak kajian-kajian perdamaian yang harus kulahap, walau sebenarnya aku sendiri sudah mual. Banyak anologi naif yang sama sekali tidak berguna. Satu yang masih kuingat adalah pernyataan bodoh ini: bahwa semua bentuk obat, bahkan odol sekalipun, sudah diujicobakan pada tikus dan hewan-hewan lain terlebih dulu sebelum diproduksi massal. Sehingga, menurut tesis itu, perdamaian di muka bumi akan menjadi mustahil tanpa turut mengorbankan kelinci-kelinci percobaan itu. Gila bukan? Teori-teori kuno semacam itu membuatku frustasi. Generasimu sungguhlah beruntung berada dalam masa penuh peluang. Sekadar seorang artis film menjilat es krim saja bisa menghasilkan ratusan foto dan berita. Dan enaknya lagi itu bisa tersebar cepat hingga ke pelosok paling terpencil sekalipun. Bukan saja berita untuk orang-orang yang kenyang, tapi juga untuk mereka yang tengah kelaparan. Paling tidak yang seperti itulah yang kusebut sebagai nikmat menemukan ketidakpentingan dan ketidak jelasan esensi dunia ini. Perlu berapa banyak lagi hal-hal semacam itu sehingga kita bisa memamerkan mayat dengan kreativitas tinggi di pusat kota. 

"Mungkin aku sudah bercerita terlalu banyak hal padamu. Sejujurnya aku mengkhawatirkanmu, karena orang seperti kamu ini kalau bukan jenius ya idiot, dan itu benar-benar membuatku penasaran. Jika kamu ini jenius, tentu itu akan sangat menyenangkan. Aku masih percaya kejeniusan, meski orang-orang selalu meributkan pengalaman dan praktik. Tapi kalau kamu ini ternyata seorang idiot, aku ingin menceritakan satu kisah pendek sebelum aku pergi. Ini kisah tentang seorang idiot juga yang mencoba bermain-main dengan kita. Aku bahkan tidak menyukai namanya, si Kuku, the Nail. Setelah usulan caranya membunuh klien  dan memamerkan tubuhnya di sebuah restoran besar disetujui, kami tentu menunggu hasil kerjanya. Tetapi orang ini lambat sekali. Aku menemuinya beberapa kali dan bertanya apa sebab keterlambatannya. Dia selalu bilang bahwa ia tak mau mengulangi cara orang-orang terdahulu, ia tengah memikirkan bagaimana membuat inovasi. Tetapi nyatanya tidak begitu. Si Kuku ini adalah pecundang yang telah terinfeksi sentimentil kemanusiaan yang banal dan, sebagaimana orang-orang lain yang terinfeksi, ia mulai mempertanyakan keuntungan membunuh orang lain dan apakah ada semacam Pencipta yang melihat seluruh perbuatan kita. Dan itulah awal dari nerakanya sendiri. Karena,menurut klasifikasi yang dibuat oleh madzab-madzab di dunia yang bodoh ini, setiap anak yang terlahir di dunia hanyalah akumulasi kemungkinan: apakah akan jadi baik atau buruk. Sama sekali berbeda dengan pandangan kami tentu saja: bahwa setiap anak yang terlahir di dunia hanyalah tambahan beban pada sebuah kapal yang sudah hampir karam. Tapi sudahlah, aku lanjutkan saja cerita tentang si Kuku. Ia mempunyai saudara yang bekerja sebagai satpam rumah sakit di pusat kota dan si Kuku terpikir untuk menyelinap masuk ke kamar mayat rumah sakit lalu mengambil mayat dari sana — ketimbang harus menyiapkan mayatnya sendiri, membunuh orang maksudku. Tentu itu mudah saja, ia cukup menyogok saudaranya itu dengan separuh gajinya. Kamar mayat rumah sakit penuh dengan mayat korban aksi-aksi teror (bodoh), mayat-mayat yang koyak akibat bom mobil, dan tentu saja termasuk mayat-mayat tanpa kepala korban kekerasan sektarian, mayat orang-orang tenggelam yang sudah mulai bengkak, dan mayat-mayat lain. Si Kuku menyusup diam-diam ke kamar mayat malam itu dan mulai mencari mayat yang tepat untuk dipamerkan ke publik. Ia mencari mayat anak-anak, karena pada proposalnya ia mengusulkan ide membunuh bocah umur lima tahun.

"Di dalam kamar mayat itu ada banyak potongan tubuh anak-anak sekolah yang menjadi korban bom mobil atau yang terbakar di jalanan, atau malah yang terkena bom yang dijatuhkan ke permukiman. Akhirnya si Kuku memilih mayat seorang bocah yang dipenggal kepalanya bersama anggota keluarganya yang lain karena masalah sektarian. Tubuh si bocah persih dan potongan pada lehernya juga serapi sobekan kertas. Si Kuku berpikir untuk memamerkan tubuhnya di restoran dan meletakkan mata anggota keluarga si bocah di atas meja,disajikan dalam semangkok darah, seperti sup. Mungkin itu adalah ide yang cemerlang, tetapi itu adalah hasil kebohongan dan khianat. Kalau saja ia memenggal sendiri kepala si anak, itu pasti akan menjadi karya seni yang otentik. Tetapi mencurinya dari kamar mayat  dan lantas memula akting yang hina itu tentu saja adalah aib dan juga sikap pengecut. Si Kuku tidak tahu bahwa dunia hari ini terhubung bukan hanya dengan terowongan dan koridor.

"Adalah si penjaga kamar mayatnya sendiri yang menangkap basah si Kuku sebelum ia berhasil membohongi orang banyak. Umurnya kira-kira baru awal enam puluh tahunan, seorang lelaki yang gagah. Pekerjaannya di kamar mayat bertambah banyak setelah bertambahnya jumlah tubuh yang tercerai berai (akibat bom) di negara ini. Orang-orang memintanya untuk mereka ulang tubuh sanak saudaranya. Mereka membayarnya mahal untuk mengembalikan tubuh-tubuh yang koyak bentuk yang selayaknya. Dan si penjaga kamar mayat ini memanglah seorang seniman yang mumpuni. Ia bekerja dengan sabar dan cinta. Malam itu ia mengarahkan si Kuku ke ruangan samping kamar mayat dan mengunci ruangan itu. Ia menyutikkan sebuah obat yang membuat si Kuku lunglai tapi tetap dalam keadaan sadar. Ia membaringkan si Kuku ke atas meja kamar mayat, mengikat kaki dan tangannya, lalu menyumpal mulutnya. Ia menyenandungkan sebuah lagu kanak-kanak yang cantik dengan suara mirip perempuannya yang aneh seraya menyiapkan meja kerjanya. Lagu tersebut berkisah tentang seorang anak yang memancing katak di sebuah genangan darah, dan sesekali ia akan membelai rambut si Kuku dengan lembut. Sambil membisiki telinganya, "Oh, sayangku, oh, kawanku, ada yang lebih aneh daripada kematian — yaitu melihat dunia yang tengah melihatmu, tetapi tanpa isyarat, ataupun pengertian atau bahkan tujuan sekalipun, selaiknya kamu dan dunia disatukan dalam kebutaan, seperti sunyi dan kesendirian. Dan ada yang sedikit lebih aneh dari kematian: laki-laki dan perempuan yang bergumul di ranjang, lalu kamu datang, yah kamu yang selalu salah tulis cerita hidupmu sendiri.'

"Si petugas kamar mayat menyelesaikan kerjanya pagi-pagi buta.

"Di depan pintu gerbang Kementerian Keadilan ada sebuah platform, seperti platform tempat berdirinya patung kota, tetapi terbuat dari daging dan tulang. Di atas platform tersebut berdiri pilar perunggu dan di sana tergantung kulit si Kuku, lengkap dan dikuliti dengan keahlian tinggi tentu, berkibar-kibar seperti bendera kemenangan. Di bagian depan platform kamu dapat melihat dengan jelas mata kanan si Kuku, dipasangkan pada lumatan dagingnya sendiri. Matanya terlihat kosong, kurang lebih seperti tatapan matamu sekarang ini. Tahukah kamu siapa sebenarnya si petugas kamar mayat itu? Dia adalah anggota departemen terpenting organisasi ini. Ia bertanggung jawab atas Departemen Kebenaran dan Kreativitas."

Lalu ia menusukkan pisaunya ke perutku sambil berkata, "Kamu gemetaran."
Diterjemahkah dari cerpen The Corpse Exhibition, karya penulis Irak Hassan Blasim. Bagian dari buku berjudul The Corpse Exhibition: And Other Stories of Iraq yang diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Jonathan Wright. Cerita Hassan yang lain, Sang Komponis, bisa dibaca di sini.

Misa Arwah dan Katup-katup Kecemasan

| November 23, 2015 | Sunting
Mungkin Akan Ada, bagian dari Misa Arwah & Puisi-puisi Lainnya. Terbitan Indie Book Corner, 2015.
"Apa yang terlintas dalam pikiranmu?", tanyaku padanya. Kami berdua sama-sama mendongak, tercenung pada kain putih-oranye yang menaungi kami. Ia meliuk-liuk ditiup angin. Naik turunnya begitu indah, mengalihkan nikmatnya semangkuk susu kedelai dingin di hadapan kami.

"Apa yang ada dalam pikiranmu?", kembali ku ulang tanyaku, beberapa menit setelah ia tak membalas. Perlahan ia menurunkan kepalanya lalu menatapku sambil tersenyum. "Apa?", tanyaku untuk ketiga kalinya.

"A mind is like a parachute. It doesn't work if it is not open. Frank Zappa!", jawabnya, sambil kembali mendongakkan kepala.

"Minda kita selaiknya payung terjun, berfungsi bila ianya terbuka!", gumamku lirih. Angin rasanya semakin kencang. Kain itu terguncang-guncang seolah akan jatuh. Suaranya seperti suara mesin pesawat terbang yang akan berlepas.

"Apa yang kamu pikirkan. Jangan medhit!", ia mencolek lututku.

"Aku teringat Misa Arwah, halaman empat-puluh dua. Dea Anugrah menulis, 'Ada, namun tidak lagi bisa menggerakkan apa-apa.' di ujung puisinya!"

"Seperti apa lengkapnya? Aku sudi mendengarkan."

"Mungkin akan ada, mungkin akan tidak ada, kerdip cahaya yang lewat pada detik terakhir sebelum ia yang tak bisa dielak menghamburkan pekat miasma ke arah kita..."

"Miasma itu apa?"

"Entahlah. Mungkin semacam gas atau cairan!"

"Ku ulang dari awal ya. Mungkin akan ada, mungkin akan tidak ada, kerdip cahaya yang lewat pada detik terakhir sebelum ia yang tak bisa dielak menghamburkan pekat miasma ke arah kita. Dalam selubung tulah itu, kudengar desahmu untuk terakhir kalinya: Manusia mati dan tak berbahagia… Tapi kepada apa menuntut jawab? Tinggal semesta lekas menguap bak niat baik orang dewasa. Sedang kehendak dalam diri tak lagi bisa— Ada, namun tidak lagi bisa menggerakkan apa-apa."

"Kata Oxford, miasma adalah semacam udara busuk, beracun! Dan entah kenapa kata ini terasa begitu mengintimidasi bagiku."
***
Kami memutuskan pergi ke Ipoh untuk sama-sama menertawakan diri sendiri. Pekerjaan menumpuk hingga mencekik leher. Menyisakan waktu yang begitu terbatas untuk berbagai hal, termasuk diri kita sendiri. Terakhir kali kami keluar bersama adalah beberapa bulan lalu, ketika kami berturut-turut makan sushi lalu dilanjutkan ke pameran buku keesokan paginya. Semenjak itu tidak pernah sekadar sedetikpun kami menyempatkan waktu untuk bersua. Ia, selain dengan seabrek kerjanya, juga sering pergi ke luar kota untuk berbagai agenda. Sementara aku, aktivitas kuliah sudah cukup membuatku seperti dikurung penjara.

Dan ke Ipohlah kemudian kami pergi. Berdua saja. Dari Kuala Lumpur kami menumpang kereta listrik yang berjalan dengan senyap ke utara. Hujan turun cukup deras begitu kami sampai di Ipoh petang itu. Rinyai gerimis turun hingga tengah malam. Praktis kamipun tidak kemana-mana. Duduk berjam-jam saja di meja makan, menghabiskan bergelas-gelas teh panas.

"Aku sedang membaca buku kumpulan puisi. Tipis saja. Tapi itu sudah cukup menguras perasaan. Begitu sampulnya terbuka, sekeliling seolah langsung berubah menjadi sepia. Virus-virus kecemasan berloncatan dari lembar-lembar kertasnya yang ringan."

"Maksudmu rasa cemas yang sama seperti saat kamu berkali-kali tidak bisa menghubungi Ibumu?" 

"Bukan. Ini rasa cemas yang serupa ketika kamu mulai bertanya-tanya apakah apa yang ada dalam kepalamu itu benar. Semacam kebimbangan yang muncul ketika apa yang kau lihat dan yang kau dengar sama sekali lain. Juga mungkin sama dengan ketika kau belum mempersiapkan apa-apa sementara kamu harus segera memulai satu perjalanan."

"Buku semacam itu tidak seharusnya kamu baca. Hidup sudah cukup membuatmu cemas."

"Tapi buku ini beda. Ia memang menghembuskan cemas. Tapi ia juga membuka ruang-ruang yang kemungkinan bisa menjadi penawar. Oh ya, lagi pun ini bukan sekadar buku puisi yang bisa dibaca dengan cepat. Aku harus mengulang beberapa bagian hanya demi memberikan kesempatan kepada otakku untuk berpikir."

"Contoh?"

"Seandainya kutulis sebuah nama pada kulit trembesi atau sebaris frasa di atas bangku taman ini akankah kita abadi?"

"Rasanya aku harus membacanya juga. Apa judulnya?"

"Misa Arwah & Puisi-Puisi Lainnya."

"Siapa penulisnya?"

"Dea Anugrah."

"Oh, pantas. Perempuan memang selalu begitu. Kami diciptakan untuk dapat mengaduk-aduk perasaan semudah mengaduk-aduk sup."

"Dia laki-laki. Bukan perempuan."
***

Direkam dengan telepon genggam, dalam perjalanan kereta listrik dari Ipoh ke KL.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine