Belajar Patriotisme dari Indonesia

| Agustus 17, 2014 | Sunting
Bendera Merah Putih di Museum Sejarah Jakarta
Mendiang Pramoedya Ananta Toer menghabiskan hidupnya di penjara selama lebih dari 12 tahun. Ketika ia dibebaskan pada tanggal 21 Desember 1979, label tahanan politik (tapol) tetap melekat pada dirinya. Ia sendiri begitu menderita, begitu pula dengan keluarganya. 

Saya terakhir bertemu dengannya 17 tahun yang lalu: kondisi kesehatannya sedang tidak begitu bagus, namun dia tetap gembira dan banyak bicara - seperti biasanya. Di atas mejanya berdiri sebuah bendera Merah Putih kecil. Bendera itulah yang lantas begitu menarik rasa keingin-tahuan saya: bagaimana perasaannya pada simbol dari negara yang telah memperlakukannya dengan sangat tidak adil. Saya menduga Pak Pram akan menjawab bahwa dia tidak memendam perasaan apapun pada negaranya. Juga bahwa ia sudah menerima nasibnya, karena dia sendiripun memiliki masa lalu yang (selalu diasumsikan) suram. Dia adalah salah satu otak dari Lembaga Kebudayaan Rakyat, lembaga underbouw Partai Komunis Indonesia. 


Namun, nyatanya ia tetaplah sebagaimana orang Indonesia lainnya: loyal dan patriotik. Dia berbicara panjang lebar tentang negeri tercintanya. Utamanya tentang keyakinannya pada Bhinneka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi satu jua, yang merupakan semboyan Indonesia. Dan satu hal: dia tidak sedikitpun membenci negaranya. Juga tidak menafikkan pentingnya Hari Kemerdekaan. Bahkan ia juga mengenal begitu banyak bapak bangsa - termasuk Sukarno, presiden pertama Indonesia. 


Saya begitu iri pada orang Indonesia. Begitu menyinggung perihal manifestasi patriotisme, mereka tidak perlu lagi banyak kompromi. T
idak perlu perdebatan, pertengkaran ataupun himbauan pada mereka untuk mengibarkan Sang Dwiwarna. Tidak perlu pula pemimpinnya tampil di televisi untuk mengiba-iba, memohon dan membujuk rakyaknya untuk mengibarkan sang Bendera Negara.

Indonesia dipenuhi warna merah putih bulan ini - 17 Agustus 1945 adalah Hari Kemerdekaan Indonesia. Lebih dari sekadar seremoni, kemerdekaan Indonesia merupakan buah dari perjuangan panjang melawan orang putih yang datang untuk menjajah. Tak berhitung bulan dan tahun yang mereka butuhkan demi bisa menjadi sebuah negara. Demi bisa mengibarkan benderanya dengan aman dan tanpa rasa was-was. Tak heran mereka sebut benderanya Merah Putih suci. Yah, karena ianya memang kudus, suci.

Berbagai macam suku, bahasa, agama hingga pandangan politik membagi-bagi mereka. Tetapi, ada satu hal yang lantas menyatukan mereka: rasa hormat pada lambang negara Indonesia. Sang Saka Merah Putih utamanya. Lagu kebangsaan. Dan, rasa cinta mereka pada tanah air yang bisa dibilang selalu hidup, menyala dalam dada mereka. 

Patriotisme menjelma dalam aneka bentuk, sebagian dicibir orang. Kesangatan cinta pada tanah air dianggap kuno oleh sebagian orang. Pun dengan simbolisme yang tidak begitu berarti bagi sebagian anggota masyarakat kita.

Padahal, rasa setia pada tanah air tidaklah hanya dengan tunduk pada norma-norma kepatutan dan perilaku luhur. Rasa cinta pada negara bisa dimanifestasikan pada bentuk yang lain. Dan, di sinilah perdebatanpun sering kali bermula.

Tetapi, coba ceritakan hal tersebut pada orang-orang Indonesia. Mungkin prioritas mereka adalah memastikan lahirnya negara bangsa mereka, sisanya adalah urusan belakangan.

Mereka percaya pada persatuan dalam keberagaman. Mereka berbicara dengan bahasa yang sama. Mereka mengamalkan Pancasila, dasar negara mereka - tidak seperti Rukun Negara kita. Mereka mungkin belum "sesukses" kita dalam hal ekonomi, tetapi mereka telah membangun dasar negara mereka. Dasar untuk menyatukan 240 juta rakyatnya.

Bahkan, Pak Pram yang mendapatkan diskriminasi negara sekalipun tetap menulis novel-novel keren tentang Indonesia. Dunia mengenal Indonesia melalui buku-bukunya. Melalui cerita-ceritanya yang sedemikian jujur dan memukau.

Dari Keluarga Gerilya hingga Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dua dari novel autobiografi terbaiknya, ia mengajari kita tentang kerendahan hati, perjuangan, dan pengorbanan. Dan di atas semua itu: rasa cinta pada tanah air.

Hari Kemerdekaan memang bukanlah sekadar soal parade, lagu-lagu perjuangan dan pengibaran bendera. Juga bukan tentang bagaimana menirukan pekikan "Merdeka!" Tunku Abdul Rahman, perdana menteri pertama Malaysia. Tidak begitu penting bagaimana kita memanifestasikan patriotisme, tetapi, belajar dari Indonesia, paling tidak kita bisa mengibarkan Jalur Gemilang, bendera Malaysia, di depan kantor, toko, juga rumah kita.

Saya penasaran bagaimana respons mendiang Yasmin Ahmad melihat kita yang masih gemar mendebatkan apa saja yang bisa disebut patriotisme. Satu hal yang pasti: ia akan terus menunjukkan kepada kita Malaysia yang bersatu dalam film-filmnya. Malaysia yang senantiasa ia idam-idamkan.

*Tulisan ini diterjemahkan oleh seorang teman dari kolom Johan Jaaffar di harian New Straits Times. Hadiah untuk Peringatan Hari Kemerdekaan RI katanya. Saya ubah seperlunya.*

Lelaki dan Rumah

| Agustus 02, 2014 | Sunting
Ayah dan anak
Seorang ayah dan anak lelakinya dalam film Bal (2010)
Déjà vu! Beberapa hari setelah menuntaskan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas-nya mas Eka Kurniawan, saya menemukan potongan artikel dari majalah majalah Bung! edisi 1, Oktober – November 2011 di antara tumpukan buku yang hendak saya loakkan. Judul artikel tersebut seperti yang saya tulis di judul. Penulisnya tidak lain tidak bukan adalah mas Eka Kurniawan. Tulisan ini bercerita tentang hubungan lelaki dan rumah. Menyibak berbagai mitos, membentangkannya dengan sekian banyak tinjauan pustaka. Jujur, ianya membuat saya semakin jatuh cinta pada rumah.

Aibkah bagi seorang lelaki dewasa untuk terus tinggal di rumah orangtuanya? Bagi kebanyakan orang mungkin iya. Lelaki semacam itu bisa dianggap kurang macho. Tidak maskulin. Bahkan beberapa tradisi (Minang, misalnya), seperti mewajibkan lelaki untuk keluar dari rumah bahkan di usia yang sangat muda. Lelaki harus pergi dari rumah, hingga kelak boleh kembali untuk menguasai rumah. Dari manakah sebenarnya stereotip semacam itu berawal?

Pikiran tentang rumah, tentang pergi dari rumah dan kembali untuk menguasai rumah, barangkali sudah ada dalam pikiran asali manusia. Kisah jatuhnya Adam dari surga bisa juga dibayangkan sebagai simbol pergi dari rumah. Di rumah bernama surga itu, Adam bersama “keluarga besarnya”: Sang Pencipta, Iblis, Malaikat, benda-benda yang telah diberi nama dan kemudian Hama. Di usia yang disimbolkan sebagai dewasa, Adam diusir dari rumah, tapi tentu dengan sebuah janji: jika tiba waktunya, ketika misinya sudah berhasil, ia boleh kembali ke rumah. Kembali ke surga. Kembali ke pelukan “keluarga”.

Tengok juga kisah Pandawa dalam Mahabharata. Mereka baru bisa dibilang layak berkuasa, layak menang, setelah memperoleh ujian: diusir dari rumah. Bahkan meskipun pada akhirnya mereka membangun rumah baru di dalam hutan, setelah terlunta-lunta, ujung-ujungnya mereka tetap menguasai rumah yang lama, negeri Astina.

Fenomena pergi dari rumah untuk menguasai kembali rumah tidak melulu terdapat dalam kisah kolosal semacam itu. Di cerita rakyat Sangkuriang kita bisa menemukan pola yang mirip: Sangkuriang diusir dari rumah karena melanggar sejenis “kode etik” rumah (yakni membunuh ayahnya), pergi merantau untuk kembali ke rumah itu dengan hasrat menguasainya. Tak hanya menguasai rumah tersebut, tapi juga penghuninya – ibunya sendiri.

Tunggu dulu. Bagaimana dengan para pangeran? Para putra mahkota? Mereka jelas tinggal di keraton bersama keluarga mereka, dan bahkan kemudian mewarisi “rumah” tersebut untuk terus ditinggali. Tetap saja pola itu terus berlaku, pada satu titik para pangeran dan putera mahkota ini perlu diusir dari istana. Kita bisa membayangkan itu juga berlaku bagi para “pangeran” di kerajaan bisnis. Seringkali kita mendengar mereka sekali waktu disuruh pergi (dititipkan di kerajaan sahabat, dibuang ke sungai seperti Musa), tapi tentu dengan harapan akan kembali untuk menguasai “rumah”.

Juga di kelompok berandalan. Masih ingat kisah The Godfather karya Mario Puzo, yang adaptasi filmnya oleh Francis Ford Coppola juga sama memukau? Don Vito Carleone pun bahkan merasa perlu mengusir Michael anak bungsunya ke Sisilia, untuk kelak kembali ke rumah dan menjadi kepala keluarga mereka. Seolah tanpa pergi ke Sisilia, Michael tak akan pernah menjadi apa-apa. Tanpa dibuang ke hutan, lima bersaudara Pandawa tak akan memenangkan perang Bharatayudha. Demikian pula, setelah kemenangan yang gilang-gemilang dan menjadikannya pahlawan di perang Troya, kisah terbesar Homer tentang Ulysses justru adalah mengenai kepulangan sang pahlawan ke rumah, ke Ithaca. Seolah-olah perjalanan terberat manusia pada akhirnya adalah perjalanan dari rantau menuju rumah. Sebab bukankah perjalanan umat manusia untuk kembali ke surga, juga merupakan perjalanan yang berat?

Dengan kata lain, rumah sejenis surga tempat lelaki dilahirkan, dan kelak ia berharap itu menjadi tempat ia bisa kembali. Tanpa keluar dari surga, manusia bukanlah manusia. Dan tanpa kemampuan untuk kembali ke surga, berkumpul dengan keluarga, manusia itu bisa dianggap tersesat. Ia akan terlunta-lunta di sebuah tempat bernama neraka.
***
Ada sebuah cerita pendek karya penulis Argentina, Julio Cortazar tentang lelaki yang tak pernah pergi dari rumah berjudul “House Taken Over”. Dikisahkan si lelaki (dan adik perempuannya) mewarisi sebuah rumah besar dari orang tua mereka. Begitu besarnya rumah tersebut, sehingga dari hari ke hari mereka hanya disibukkan oleh mengurus rumah tersebut. Kesibukan tersebut membuat mereka tak hanya menjadi tidak bergaul dengan dunia luar, tapi juga menjadikan mereka tak pernah menikah.

Meskipun demikian, si lelaki bersetia menjaga rumah dan adik perempuannya. Hingga suatu malam serangan tersebut berawal: perlahan-lahan ada sesuatu yang menginvasi rumah tersebut, yang hanya ditandai bunyi-bunyi ribut. Invasi itu semakin merajalela dari malam ke malam, sehingga untuk mereka hanya tersisa sebagian kecil dari rumah itu. Tapi tak apa, toh mereka memang tak memerlukan ruangan yang sangat besar. Si lelaki hanya butuh tempat untuk menaruh buku-buku, sementara adik perempuannya hanya butuh tempat untuk merajut. Hingga satu malam, sesuatu yang menginvasi itu berhasil mencapai ruangan terakhir yang mereka tempati. Kakak-beradik ini pun terlempar ke luar rumah, dan hidup menggelandang di jalanan.

Cerita pendek tersebut memang sangat alegoris, dengan beragam tafsir bisa diajukan kepadanya. Tapi kesimpulan ringan bolehlah diambil: untuk lelaki yang tak pernah keluar rumah, sesuatu akan memaksanya keluar rumah dan akan membuatnya terlempar ke jalanan.

Franz Kafka di “Metamorphosis” juga bisa dibilang menceritakan seorang lelaki yang tak meninggalkan rumah, alias tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Dengan kedua orang tua yang tak memiliki pekerjaan, serta seorang adik perempuan yang tumbuh remaja, Gregor Samsa tak punya pilihan lain kecuali tetap tinggal di rumah untuk menjadi tulang punggung keluarga.

Gregor dikisahkan harus menghidupi keluarganya dengan cara menjadi penjual (pakaian) keliling. Setiap pagi ia berangkat untuk berjualan, dan menjelang malam ia baru pulang ke rumah, hanya menemukan dirinya lelah dan penat. Hingga satu hari ia terbangun dari tidurnya yang berhias mimpi buruk, dan menemukan dirinya telah berubah menjadi seekor kecoa besar. Gregor Samsa tak hanya susah payah untuk bangun, lebih dari itu, ia tak pernah kembali menjadi manusia, dan tak lagi mampu melakukan apa pun yang bisa dilakukan oleh manusia. Merasa aib memiliki seorang anak yang berubah menjadi kecoa, keluarganya (yang selama ini menggantungkan hidup kepadanya) memutuskan untuk mengurung Gregor di dalam kamar.

Kisah ini juga pada dasarnya alegoris, tapi bolehlah juga kita meraba-raba pesan kecilnya yang tersirat: dipaksa oleh keadaan untuk tetap tinggal bersama orang tua di satu rumah, Gregor Samsa harus melata dan membusuk selamanya di dalam rumah tersebut. Bahkan menjadi kecoa besar seolah tak cukup sebagai kutukannya, ia mati tertimbun buah-buahan yang membusuk, dan kadang-kadang dilemparkan begitu saja ke arahnya.

Jika di cerita pendek pertama kita melihat lelaki yang tak keluar rumah pada akhirnya akan dipaksa menggelandang di jalanan, di cerita pendek kedua, kita melihat lelaki semacam itu harus menerima nasibnya untuk mati menjadi bangkai binatang melata yang menjijikkan.

Gambaran-gambaran semacam inilah, dari kebudayaan kuno hingga kebudayaan modern, dari Barat hingga ke Timur, yang membentuk stereotif bahwa lelaki memang harus pergi dari rumah jika waktunya sudah tiba. Ia boleh kembali ke rumah, jika misi perantauannya telah berhasil. Seolah-olah, rumah bukanlah tempat lelaki seharusnya berada. Ia baru layak masuk ke rumah, setelah mengalami apa yang disebut “terusir”.

Bahkan penyanyi balada kita, Iwan Fals di lagu “Rindu Tebal”, setelah diusir ayahnya dari rumah karena memberi “coreng hitam di muka bapak”, baru kemudian ia merindukan rumah dan berhasrat memperoleh ampunan agar bisa kembali.
***
Ada sebutan yang agak mengejek untuk lelaki yang tak pernah pergi dari rumah beserta sifat-sifat turunannya: “Anak mami”.

Meskipun bernada negatif, julukan ini ada benarnya. Rumah sebagai surga, sebagai tempat manusia dilahirkan, bisa juga dianalogikan sebagai rahim. Dan anak yang tak pernah meninggalkan rumah, ibarat bayi yang terlena untuk tetap terus berada dalam buaian rahim ibunya. Anak mami.

Dan analogi rahim ini pula, yang membuat perempuan tak memiliki stereotif untuk meninggalkan rumah. Bahkan sebaliknya, seorang perempuan seolah-olah tempatnya memang di rumah. Sebagai pemilik, pengatur dan penjaga rahim. Perempuan membuka pintu rahim dan rumah ketika lelaki hendak masuk, dan mengeluarkan anak-anak mereka dari rahim dan rumah pula.

Rumah, sebagaimana rahim, merupakan tempat berlindung yang alami. Tempat seorang anak memperoleh jaminan pasokan makanan. Tapi bahkan janin bayi di dalam rahim pun, setelah berumur sembilan bulan, harus dikeluarkan dari tempat yang aman-nyaman tersebut, untuk menghadapi dunia yang kejam dan bisa membunuhnya. Sebab segala sesuatu di dalam rahim tak lagi memadai untuknya terus tumbuh dan berkembang. Jadi adakah alasan untuk seorang lelaki menjadi anak mami? Tinggal terus dalam kenyamanan rahim ibu yang bernama rumah keluarga?

Dalam realitas sehari-hari, tentu kita bisa dihadapkan pada anomali-anomali atau terpaksa melawan tuntutan-tuntutan semacam itu. Seorang anak lelaki tunggal dengan orang tua tinggal, barangkali lebih memilih melawan norma “lelaki-pergi-dari rumah” untuk membela norma “lelaki-yang-mengurus-orang-tua”. Kita tahu, norma-norma di masyakat betapa pun buruknya, serta stereotif-stereotif, juga memiliki jenjang dan strata. Ada aturan-aturan main yang boleh dilanggar demi aturan main yang lain.

Di kebudayaan yang lebih modern, dengan pilihan-pilihan yang lebih luas dan longgar, kita bahkan lebih sering melihat seorang lelaki yang memang memilih untuk tinggal di rumah bersama keluarga, tanpa keterpaksaan apa pun. Artinya, bisa jadi ia memiliki pekerjaan, memiliki kemampuan untuk tinggal di tempat lain, dan tak ada apa pun di rumah yang perlu diurusinya. Tapi barangkali ia bukan “anak mami”, yang hidup dalam kenyamanan rahim ibu.

Trend ini bisa dilihat secara positif sebagai benturan dari trend emansipasi. Di luar fakta kita semakin sering melihat lelaki tinggal di dalam rumah, kita juga semakin sering melihat perempuan pergi dari rumah. Tentu saja ini bukan semata-semata pertukaran peran, tapi juga bisa dilihat sebagai rubuhnya infrastruktur-infrastruktur yang membentuk stereotif awal dimana lelaki harus pergi dari rumah dan perempuan harus menetap.

Jika rumah, di sisi lain, kita anggap sebagai wilayah politik yang mungil, dengan penguasa dan segala perangkatnya, menyiapkan seorang pewaris pada akhirnya tak lagi melulu dengan melemparkannya ke jalanan. Tradisi modern bisa menawarkan hal sebaliknya: membawa segala sesuatu yang di luar ke dalam rumah, sehingga lelaki tak perlu pergi merantau. Dan kita sudah menyaksikannya hari ini: televisi, media massa, internet. Dunia bahkan ada di dalam kamar tidur.

Dengan kata lain, lima bersaudara Pandawa pada dasarnya bisa mempersiapkan dirinya untuk melawan Kurawa tanpa pergi kemana-mana. Sangkuriang bisa membunuh ayahnya dan kemudian menguasai rumah dan ibunya, tanpa perlu mengelilingi dunia.

Kita memiliki kisah pengembaraan yang bagus mengenai hal ini. Dalam kisah sufistik Musyawarah Burung-burung karya Fariddudin Attar, kita mengenal tiga puluh ekor burung yang berusaha mencari ketua mereka, bernama Simorgh. Setelah perjalanan panjang, melewati tujuh lembah, mereka akhirnya sampai di satu puncak dimana diyakini Simorgh berada. Di sanalah mereka menyadari fakta perjalanan tersebut hanya untuk menemukan bahwa Simorgh adalah ketiga belas burung tersebut.

Perjalanan, dengan kata lain, tak lebih untuk menemukan diri sendiri.

Dan kita juga bisa membandingkannya dengan alegori Paulo Coelho, The Alchemist. Santiago harus melakukan perjalanan dari Andalusia menuju Mesir, hanya untuk menemukan kenyataan harta karun yang dicarinya, terdapat di tempat awal perjalanannya. Kesimpulan sederhananya, apa pun yang dicari seseorang, pada dasarnya ada di dalam dirinya, di rumahnya. Maka, pertanyaan pragmatisnya, untuk apa pergi dari rumah hanya untuk mencari rumah yang sama?
***
Kita kutip sedikit Sigmund Freud dalam The Interpretation of Dreams: “Barangkali inilah nasib kita, untuk mengarahkan impuls seksual pertama kita kepada ibu dan kebencian serta keinginan membunuh kepada ayah.”

Jika kita singgungkan hal ini kepada bahasan di atas, bisa dikatakan kepergian seorang lelaki dari rumah hampir selalu karena ayah, dan kembali ke rumah karena kerinduan kepada “rahim”. Sangkuriang terusir dari rumah setelah membunuh Si Tumang, anjing yang tak lain ayahnya, dan ia kembali untuk ibunya. Jika rumah benar adanya merupakan simbol dari rahim ibu, maka kepada rumahlah kerinduan kita pertama-tama ditempatkan. Kita ingin berada di rumah, dan ketika pergi, kita ingin kembali ke rumah.

Masalahnya, seringkali rumah tersebut ada pemiliknya: ayah. Dan pemilik rumah diasumsikan sebagai pemilik tunggal. Ada sejenis kontrak politik, jika ingin menguasai rumah, maka harus menggeser pemilik sebelumnya. Di sinilah Oedipus Complex terjadi: untuk memiliki ibu, seseorang harus membunuh ayah.

Pengusiran dari rumah dengan janji kemungkinan kembali di satu masa, bisa dipandang sebagai kompromi untuk mengatasi impuls ini. Rumah sebagai sebuah sistem politik kecil, harus mempersiapkan suksesi penguasa rumah secara damai, tanpa melibatkan apa yang ditakutkan: membunuh ayah. Dalam skenario semacam ini, si anak diusir dari rumah pada dasarnya tak semata-mata untuk melakoni sejenis perjalanan, tapi lebih penting lagi memang untuk jauh dari rumah. Dari ayah dan ibu. Si anak hanya diizinkan pulang ketika waktu suksesi itu memang telah tiba waktunya.

Maka, soal pergi dan tidak pergi dari rumah pada akhirnya merupakan pilihan politik kecil juga. Di luar situasi-situasi di mana seorang lelaki “terpaksa” keluar dari rumah karena melanggar sejenis “kode etik” rumah (seperti Sangkuriang yang membunuh Si Tumang, atau Michael yang melanggar kesepakatan keluarga Carleone), pergi dari rumah pada dasarnya merupakan pilihan politis, demikian pula sebaliknya. Dengan asumsi semacam ini, pertanyaan kenapa seorang lelaki tidak pergi dari rumah, bukanlah perkara apakah itu aib atau tidak, tapi apa latar di belakang pilihan-pilihan tersebut?

Di sinilah kita bisa sedikit menyimpulkan: jika perjalanan jauh mengarungi dunia pada akhirnya hanya untuk menemukan kembali rumah, siapa tahu tetap tinggal di rumah bisa menemukan dunia? Di alam besar terdapat alam kecil, dan di alam kecil terdapat alam besar.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine