Namanya Kartini

| April 21, 2009 | Sunting
Ibu kita Kartini. Putri sejati. Putri Indonesia. Harum namanya. Ibu kita Kartini. Pendekar bangsa...
Paling tidak, satu kali dalam setahun kita mendengar lagu tersebut berkumandang di RRI, yah tepatnya saat tanggal 21 April seperti hari ini, sedari pagi lagu yang diciptakan WR Soepratman tersebut telah mengudara. Yah, sebagai sebuah seremoni peringatan Hari Kartini. Namun hanya sebatas itukah peringatan Hari Kartini?? Bagi wanita sendiri, dengan upaya awal Kartini itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini, sekarang adalah masa pembinaan.
***
Tepatnya 130 silam, bayi mungil yang cantik dan montok itu mulai dapat merasakan segarnya udara bumi. Kelahirannya tak terlalu istimewa mengingat ibunya hanyalah garwa ampil dari bupati Jepara saat itu sehingga tak ada sesuatu yang bermegah-megahan saat itu. Apalagi kelahiran seorang perempuan saat itu hanyalah sebuah takdir yang kadang menambah daftar panjang mereka yang tersingkirkan. Perempuan adalah identik dengan sumur, dapur, dan kasur. Yah hanya itu, selebihnya perempuan hanyalah seorang penggembira. Sehingga kelahiran bayi perempuan itu tak ayal hanya menjadi sedikit slentingan kecil di khalayak Jepara. Tiada yang mengira berpuluh tahun kemudian ia akan menjadi seorang perempuan yang dielu-elukan karena telah menggagas emansipasi dan kesetaraan atas kaumnya.
Kartini
Perampasan atas impian-impian besarnyalah yang kemudian membuatnya berontak. Ia direnggut kebebasan masa kecilnya begitu saja selepas ELS (Europese Lagere School) dengan cara dipingit sampai ia memperoleh suami. Padahal, ada impian besar yang sangat ingin ia tuntaskan, yakni sekolah setinggi mungkin. Tapi apa daya seorang perempuan kecil bernama Kartini itu atas kuasa ayahnya yang begitu besar dan juga atas adat kebiasaan atas perempuan masa itu.

Merasakan hambatan demikian itulah, kemudian Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli "Max Havelaar" dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa. Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali. Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang. Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

***
Kartini desa
Lebih dari seabad kemudian, perempuan telah mendapatkan tempatnya meski masih banyka hal yang disunat oleh keadaan. Ratusan kilo dari Jepara, di belantara pegunungan kapur di daerah tandus bernama Gunungkidul misalnya. Perempuan telah dididik untuk bekerja keras oleh keadaan. Mereka mungkin tak pernah tahu siapa itu Kartini, namun nyatanya semangat yang ada dalam lubuk sanubari mereka adalah sebuah lanjutan dari perjuangan Kartini masa lalu untuk menyambung hidup.Kemiskinan bagi mereka bukanlah sebuah musibah yang harus diratapi, namun sebuah semangat untuk berbuat demi kehidupan mereka esok pagi. Tiada yang tahu mungkin bila mereka adalah Kartini-Kartini sejati masa kini yang jauh dari hingar bingar kemewahan dan bertahan dalam kesederhaan, namun waktu telah mencatatan sebagai sebuah kisah perjuangan nan panjang untuk memeperjuangkan kehidupan.

Empat Citra Perempuan dalam Sastra Kita

| April 21, 2009 | Sunting
Dian Sastro - maaf, bukan Dianwidhi
PEREMPUAN kita yang pertama berasal dari dusun di pelosok Gunungkidul, wilayah yang mendapat stigma sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia: Pariyem. Dia adalah tokoh dalam prosa lirik Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem, perempuan Jawa yang merasa sangat beruntung dapat menjadi pembantu rumah tangga seorang priyayi.

Keberuntungan Pariyem dirasakan bertambah-tambah, ketika tuan mudanya menaruh minat padanya. Maka, tatkala hamil karena tuan mudanya itu, dia tak merasa risau sedikit pun. Dengan pasrah dia pulang ke dusun dan melahirkan anaknya. Kemudian, dia kembali ke rumah majikannya, dengan membawa bayinya tanpa menuntut untuk dinikahi atau menuntut hak sebagai istri yang mungkin bisa membawanya pada perubahan nasib. Dia kembali pasrah pada posisinya sebagai pembantu.

Namun, kesumarahan Pariyem tak dimiliki perempuan dusun yang lain, yang dengan kesadarannya mencoba mengubah nasibnya melawan berbagai ketidakmungkinan. Dia adalah Nyai Ontosoroh, tokoh novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer. Perempuan ini sama-sama dilahirkan di desa yang kecil dan melarat, sama-sama menjadi gundik. Namun, nasib tak menjadikannya pasrah menjalani takdirnya. Berbekal ambisi dan dendam sekaligus sedikit diuntungkan dengan sikap politik etis tuannya, Nyai Ontosoroh berhasil mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha partikulir yang besar.

Perempuan kita yang ketiga adalah perempuan muda, cerdas, sarjana antrropologi, dilahirkan di tengah-tengah keluarga purnawirawan berpangkat Jenderal. Tentu saja cantik dan menarik. Dia adalah Marieneti Dianwidhi, tokoh novel Burung-burung Rantau karya YB Mangunwijaya. Perempuan kelas atas yang memilih bekerja sebagai relawati bagi anak-anak jalanan yang kumuh, miskin, dan jembel.

Pemikirannya yang cerdas, berorientasi global, berpendidikan ala Barat yang sangat moderen dan sekuler, tentu saja membuatnya mengenal emansipasi, feminisme, kesetaraan gender dan sejenisnya. Namun, semua itu tak menggeser pola pemikirannya yang masih sangat menjunjung tinggi keperawanan walau pada akhirnya Marieneti punya orientasi yang mengejutkan yaitu memilih untuk tidak menikah.

Perempuan kita yang keempat adalah seorang penari, yang tentu saja jelita dan belia, yang lahir dan tumbuh dalam pesona abad millenium. Sebagai penari, perempuan kita ini telah memiliki dan memasuki pergaulan internasional. Dia adalah Cok, tokoh dalam novel Saman karya Ayu Utami, perempuan muda yang secara radikal tak henti-hentinya mempertanyakan keperempuanannya. Bahkan pertanyaan-pertanyaannya tentang keperempuanannya menjadi semacam pemberontakan dan perlawanan terhadap takdirnya yang terlahir sebagai perempuan.

Cok menggugat dominasi patriarki dalam kehidupan perempuan, khususnya dalam seksualitas. Bagi Cok, realitas seksual yang lebih menguntungkan eksistensi lelaki merupakan representasi nyata dominasi patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tajam bahkan ekstrim, ia mempertanyakan tentang virginitas atau keperawanan seorang perempuan. Bagi Cok, keperawanan justru merupakan belenggu bagi perempuan. Lewat keperawananlah, kaum patriarki justru mempunyai peluang untuk 'menguasai' perempuan.

Dalam memperbincangkan seks, Cok begitu bebas tanpa beban, bebas-sebebasnya seperti menari di atas bukit sembari bertelanjang tanpa persoalan. Perselingkuhan dan persenggamaan pun tidak didudukkan dalam kerangka moralitas yang hitam putih.

Berbeda dengan Marieneti yang mengagungkan keperawanan sebagai sesuatu yang suci, Cok justru menggugat bahkan mengingkari pentingnya keperawanan bagi perempuan. Baginya, sungguh tidak adil mempersoalkan keperawanan sedang di sisi lain keperjakaan bukan sesuatu yang penting bagi lelaki. Ia juga mempertanyakan bahkan meragukan lembaga perkawinan. Perlawanan Cok sampai pada puncaknya: menjebol sendiri keperawanannya.

Keempat perempuan itu memang hanya muncul dalam teks sastra kita. Mereka hadir dalam batas imajiner. Namun, sebagai citra dan tafsir perempuan Indonesia, keempat-empatnya bisa hadir sebagai sebuah realitas. Paling tidak, citra keempat perempuan tersebut bisa hadir sebagai suatu simbol perempuan Indonesia dalam kehidupan nyata.

Citra Pariyem, Nyai Ontosoroh, Marieneti, dan Cok merupakan gambaran nyata persoalan-persoalan perempuan dan emansipasi. Cita-cita emansipasi, citra perempuan, citra para ibu, telah mengalami perkembangan dan terpengaruh dengan sangat hebat dengan variabel-variabel sosial dan politik. Sosok Pariyem dan Nyai Ontosoroh mungkin masih bisa muncul di benak Kartini, namun sosok Marieneti dan Cok, barangkali mustahil pernah dibayangkan oleh Kartini.

Cita-cita emansipasi, citra ibu, ternyata telah berayun dalam suatu wilayah, bahkan labirin yang absurd. Wilayah-wilayah yang amat dipengaruhi oleh kancah sosial ekonomi, modernisasi, industrialisasi, kehidupan global, kapitalisme, pluralisme, sekulerisme, bahkan ideologi yang saling tumpang tindih dan tarik menarik. Dan di titik yang saling silang sengkarut dan tarik menarik itu, Kartini akan menatap dan bertanya, "Bagaimanakah kelak wajahmu, perempuan-perempuan Indonesia?"

*) Tulisan Tjahjono Widarmanto, dimuat Kedaulatan Rakyat, 30 April 2006.

Eksotisme Wedhiombo

| April 17, 2009 | Sunting

Sebuah imajinasi tentang pasir putih maha luas yang memungkinkan mata untuk leluasa meneropong ke berbagai sudut mungkin akan muncul bila mendengar pantai bernama Wediombo (wedhi = pasir, ombo = lebar). Namun, sebenarnya pantai Wediombo tak mempunyai hamparan pasir yang luas itu. Bagian barat dan timur pantai diapit oleh bukit karang, membuat hamparan pasir pantai ini tak seluas Parangtritis, Glagah, atau mungkin malah Kuta.

Penduduk setempat memang mengungkapkan bahwa nama pantai ini yang diberikan oleh nenek moyang tak sesuai dengan keadaannya. Ada yang mengungkapkan, pantai ini lebih pantas menyandang nama Teluk Ombo, sebab keadaan pantai memang menyerupai teluk yang lebar. Terdapat batu karang yang mengapit, air lautnya menjorok ke daratan, namun memiliki luas yang lebih lebar dibanding teluk biasa.

Tapi, di luar soal nama yang kurang tepat itu, Wediombo tetap menyuguhkan pemandangan pantai yang luar biasa. Air lautnya masih biru, tak seperti pantai wisata lainnya yang telah tercemar hingga airnya berwarna hijau. Pasir putihnya masih sangat terjaga, dihiasi cangkang-cangkang yang ditinggalkan kerangnya. Suasana pantai juga sangat tenang, jauh dari riuh wisatawan yang berjemur atau lalu lalang kendaraan. Tempat yang tepat untuk melepas jenuh.

Wediombo terletak di Desa Jepitu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Pantai ini sangat mudah dijangkau bila sebelumnya telah datang ke Pantai Siung. Cukup kembali ke pertigaan di Tepus sebelum menuju ke Siung, kemudian belok kanan mengikuti alur jalan hingga menemukan papan petunjuk belok ke kanan untuk menuju Wediombo.

Letak pantai ini jauh lebih ke bawah dibanding daratan sekitarnya. Beberapa puluh anak tangga mesti dituruni dulu sebelum dapat menjangkau pantai dan menikmati keelokan panoramanya. Sambil turun, di kanan kiri dapat dilihat beberapa ladang penduduk setempat, rumah-rumah tinggal dan vegetasi mangrove yang masih tersisa. Lalu lalang penduduk yang membawa rerumputan atau merawat ternak di kandang juga bisa dijumpai.
Pantai Wedhiombo, Gunungkidul
Karang Wedhi Ombo
Pantai Wedhiombo, Gunungkidul
Jejak Kakimu
Pantai Wedhiombo, Gunungkidul
Bebatuan Wedhiombo
Pantai Wedhiombo, Gunungkidul
Senja Hari
yourimagetitle
Nelayan Wedhiombo
yourimagetitle
Senja di Wedhiombo
yourimagetitle
Ombak Wedhiombo
yourimagetitle
Hijau Wedhiombo
Pantai Wedhiombo, Gunungkidul
Wedhi Ombo Maghrib
Pantai Wedhiombo, Gunungkidul
Matahari Sayonara
Pantai Wedhiombo, Gunungkidul
Romantisme Wedhiombo
Pantai Wedhiombo, Gunungkidul
Terang Hari

Melawan Lewat Mural

| April 17, 2009 | Sunting
Mural Jogja
 Berdoa, belajar dan berusaha
KELILING Kota Yogyakarta, Anda akan berjumpa dengan ragam lukisan dari para seniman kota yang tertoreh di tembok maupun dinding ruang publik. Lihatlah, betapa indah lukisan dengan perpaduan antara goresan tangan dengan seni pop yang terpampang di tiap sudut perempatan jalan. 

Cobalah, ketika jenuh menanti lampu hijau menyala, Anda menoleh ke arah kanan persis di perempatan Jalan Brigjen Katamso, nilai estetika dari sebuah lukisan indah dapat mendamaikan jiwa.Keindahan seni mural memang sungguh memesona. Di tempat lain, seni mural berkembang luas dan menjadi ikon Kota Budaya ini. Alhasil, Yogyakarta pun mendapat julukan baru sebagai kota tempat para seniman mural. Kemarakan seni dengan medium tembok jalanan merupakan fenomena baru abad modern ini.

Di kota besar, Jakarta, Bandung, termasuk Yogyakarta, tren seni mural berkembang cukup pesat. Bahkan bisa dikatakan hampir tiap tembok jalanan Bumi Mataram tak luput dari sentuhan dan perhatian seniman lukis jalanan.Tembok jalanan menjadi tempat atau medium alternatif bagi seniman guna mengekspresikan segala hal yang mereka rasa dan pikirkan. Selain itu, cara ini juga dapat digunakan sebagai wujud pemenuhan kebutuhan akan eksistensi diri maupun komunitas.Tak cukup dengan maksud itu, lukisan tembok juga dapat berfungsi sebagai kritik ataupun sebagai bentuk perlawanan dan alat perjuangan. 

Tengok saja, salah satu lukisan grafiti yang terdapat di bawah Jembatan Lempuyangan. Gambar tersebut menyiratkan pesan akan kritik terhadap para komperadornegeri ini yang tega ’"melelang" Nusantara kepada bangsa lain. Ya, seni pun bisa menjadi alat kritik sosial sekaligus menggugah kesadaran nasional. Seni memang tak bisa dipisahkan dengan realitas kehidupan sosial di masyarakat. Seni juga tidak bisa berdiam jika ada ketimpangan dalam kehidupan. 

Dengan bahasa dan style yang berkarakter, seni mampu berbicara dengan bahasa sendiri. Lukisan di tembok-tembok jalan adalah bukti nyata betapa seni meminjam istilah filsuf John Dewey, tak akan bisa dipenjara dan diisolasi dari ruang mana pun. Para seniman akan terus berekspresi meskipun wahana atau wadah mereka banyak yang hilang akibat ditelan perubahan zaman. Adalah keniscayaan sejarah, bahwa zaman modern kini mulia tak peduli lagi dengan para seniman kota. Peradaban global, diakui atau tidak telah membawa kegersangan serta keangkuhan dengan mengindahkan nilai humanisme bagi yang lain (liyan).

Ruang Kosong

Buktinya, di kota-kota besar hampir tidak ditemukan (lagi) ruang kosong bagi kelompok tertentu untuk hidup. Yang ada hanya tempat kontestasi ekonomi. Dengan kalimat lain, kehidupan di kota metropolitan seakan ingin dikonstruksi layak hukum kapital, aktivitas perdagangan dengan asas untung dan rugi. Mereka mengindahkan habitat lain termasuk kehidupan para seniman Yogyakarta yang telah terusik oleh ekspansi kapitalisme. Malioboro yang dulu menjadi tempat yang nyaman untuk berkumpul para seniman, sebut saja Emha Ainun Nadjib, Ebit G Ade, Rendra, mereka saling bertukar pikiran, berbagai pengalaman, bahkan konon ide atau gagasan cemerlang terlahir dari tempat itu. Tapi kini semua itu hanya tinggal cerita sejarah. Malioboro berubah menjadi pusat perbelanjaan dan transaksi ekonomi global. Di sana sini, pemandangan dan cerita yang terdengar hanyalah jual beli barang. Sungguh ironis. 

Pergeseran peradaban urban yang membawa implikasi buruk pada yang lain, khususnya terhadap seniman lukis.Para seniman, sebagai salah satu komunitas yang "kalah" saing dengan kaum elite kapital pun akhirnya mencoba bertahan di tempat yang masih bersahabat. Demi sebuah eksistensi dan mempertahankan identitas agar tetap diakui, kelompok seniman mural tak kehabisan akal guna menuangkan uneg-uneg, mereka berkreasi bukan lagi di atas kanvas namun di tembok-tembok jalan. Fenomena ini seakan membenarkan tesis sosiolog Maslow bahwa kebutuhan untuk diakui (eksistensi) merupakan urutan teratas dari kebutuhan manusia yang lain. Kontan, belakangan wajah tembok jalan Kota Yogyakarta pun disulap bak kota yang penuh hiasan dan pernak-pernik seni mural. Tak ayal, seni kaum urban itu menjadi merakyat. Di ruang publik, dengan status masyarakat yang heterogen, seni mural bak ’’hidangan murah’’ yang dapat dikonsumsi oleh semua kalangan.

Ikonografi

Jika dahulu seni hanya dapat dinikmati oleh para seniman saja di galeri ataupun di tempat pertunjukkan khusus seni, namun di kota gudangnya seniman ini, Anda sekarang dapat memahami arti seni (mural) atau sekadar menikmati nilai estetika dari lukisan yang terpajang di jalan dengan mudah di Yogyakarta. Seni grafiti menjadi ikonografi baru abad ke-20 di Yogyakarta sebagai simbol ’’perlawanan’’ atas wajah paradoks kota. Satu sisi kota menjanjikan kemegahan, keindahan, dan agung, tapi di lain tempat kota justru tidak bersahabat dengan para seniman.

Ya, seolah senapas dengan semangat perjuangan dan perlawanan melalui seni musik reggae yang dipopulerkan sang empu kharismatik, Robert Nesta Marley (Bob Marley) di Jamaika, seni mural Yogyakarta adalah ikon abad modern dengan bahasa universal sebagai simbol perlawanan dan kebebasan.

Penyamun Lidah Rakyat

| April 05, 2009 | Sunting
“There were so many candidates on the platform there were not enough promises to go round.” 
Pesta Partai - Abbram Wisnuputra
Vox populi, zonder Dei. Mungkin istilah itu yang sekarang tepat bagi fenomena demokrasi Indonesia. Saat demokrasi kian dikuasai kalangan pemilik modal dan disokong secara kuat oleh industri. Uang menjadi instrumen utama–jika bukan satu-satunya–dalam pembentukkan legitimasi politik. Maka logika demokrasi yang berhasil dikonstruksi adalah mereka yang punya uanglah yang akan [bisa] menjadi wakil rakyat. Jargon suci demokrasi, vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan, rasanya semakin kehilangan sakralitasnya saat demokrasi kian ditentukan oleh seberapa besar harga yang harus dikeluarkan untuk menjadi seorang wakil rakyat.

Hitunglah jumlah banner dan baliho caleg, bendera dan spanduk partai, dan apa saja yang saat ini dianggap sebagai atribut penting dalam kontestasi demokrasi, lalu konversikan jumlah itu kedalam pecahan rupiah: betapa mahal sebuah demokrasi! Betapa hanya mereka yang cukup uanglah yang bisa menjadi wakil rakyat. Sebab mereka tak bisa hanya mengandalkan “suara rakyat” untuk menjadi “penyambung lidah rakyat”, mereka butuh uang sebagai modal utama—jika bukan satu-satunya—untuk memasang poster, memajang potet diri memenuhi jalan-jalan demi konstituensi massa yang akan mengantarkan mereka ke kursi “wakil rakyat”. Ironis memang, ketika yang bisa menjadi wakil rakyat adalah mereka yang “beruang” besar saja; demokrasi substansial nampaknya masih harus menunggu waktu. 

Percayalah, jalanan yang dipenuhi poster dan baligo berbagai warna dan ukuran itu, yang memajang potet diri mereka yang “sok kenal” dan “cari perhatian” itu, bukanlah sebuah demokrasi. Histeria poster dan atribut kampanye itu hanyalah “polusi visual”! Betapa cerewetnya poster dan baligo caleg, bendera dan spanduk partai, sampai-sampai harus memenuhi dan mengotori jalan! 

Inikah demokrasi? Gebyar panggung politik yang dipertontonkan para aktor demokrasi industrial seperti saat ini, membuat kehidupan politik dipenuhi histeria belaka; panggung kampanye, iklan partai politik, ketegangan semu yang diproduksi hasil survai dan debat kandidat, teks-teks iklan politik yang merebak ke mana-mana, janji-janji politik yang seolah ingin menampung dan memperjuangkan nasib hidup rakyat banyak. Percayalah demokrasi yang tunduk dan patuh pada “logika iklan” bukanlah demokrasi, mungkin itu hanya “iklan demokrasi”, jika tak mau dikatakan sebagai dekorasi.

Namun, dalam medan tafsir yang amat liar, masyarakat yang tunduk pada industrialisme menganggap demokrasi seolah-olah memang poster-poster yang memenuhi jalanan—undangan terbuka yang penuh hiasan untuk menjaring massa sebanyak-banyaknya di hari pemilihan. Sebab yang penting adalah memperoleh simpati massa yang akan menjaminkan konstituensinya di hari pemilihan, berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Masyarakat juga mengamininya. Maka Anda akan akrab dengan ungkapan demokrasi itu memang mahal atau zaman sekarang jadi Caleg butuh modal besar. Juga tak heran jika Anda akrab dengan dialog-dialog berikut ini, “Nomor satu, populer, dana kampanye melimpah, jadi sudah!”, “Caleg A sudah habis 6 Miliar untuk kampanye, menang dia pasti!”, “Caleg B baru 2 Miliar? Berat! Saingannya udah habis 8 Miliar, malah udah nyiapin dana 2 Miliar untuk Serangan Fajar,” “Udah nomornya bontot, modalnya dikit, susahlah dia untuk jadi!”

Itukah demokrasi? Bukan tentu saja. Jawaban sebuah sistem politik demokrasi adalah jawaban atas kehidupan masyarakat yang riil. Bukan slogan kemapanan dan kesejahteraan yang terpampang di iklan-iklan kampanye di pinggiran jalan. Adalah sebuah bencana politik jika demokrasi hanya menjadi keriuhan yang tidak memiliki korespondensi dengan problem hidup yang dihadapi masyarakat. Sistem politik demokrasi mensyaratkan korespondensi antara kepentingan (aspirasi) rakyat dengan suara elitnya. 

Celakanya, saat ini, bukan rakyat yang membentuk elit politik yang akan menjadi wakilnya. Tapi elit-elit menciptakan dirinya sendiri dengan kuasa modal yang dimilikinya lalu berlomba-lomba menjaring massa untuk melegitimasi status politiknya sebagai “wakil rakyat”. Uang tentu saja menjadi modal utama—jika bukan satu-satunya—untuk melakukan semua itu. Sekali lagi, uang. Uang bisa membeli poster dan baligo yang secara tiba-tiba bisa memperkenalkan diri mereka di tengah-tengah publik, uang bisa membeli “suara” yang dibutuhkan mereka sebagai syarat duduk di kursi “wakil rakyat”. 

Bila uanglah ternyata yang mengantarkan mereka untuk duduk di kursi “wakil rakyat”, apakah yang sesungguhnya mereka inginkan setelah jadi “wakil rakyat”? Benarkah mereka akan memperjuangkan hidup kita? Benarkah mereka akan memperbaiki nasib rakyat? Benarkah mereka akan menjadi penyambung lidah rakyat? Rasanya tidak.

Rasanya, merekalah penyamun lidah rakyat!

*) Esai di Ruang Tengah

Bethet Thingthong, Apakah Itu?

| April 05, 2009 | Sunting
Bethet thingthong legendhut gong. Gonge ilang camcao gula kacang. Wung kedhawung ilang
Nenek, ilustrasi
"Iku Bethet Thingthong, tembang dolanan jaman dhisik. Dolanan driji. Saben ketiban lang, drijine kudu ditekuk. Sing menang yo isi nekuk drijine kabeh paling dhisik." Begitu terang simbah yang menangkap kekagetanku ketika mendengar beliau nembang lagu yang tidak kukenal di amben petang kemarin.

"Tetapi kini nyanyian itu sudah jarang terdengar. Anak-anak ekarang sudah tak mengenalinya lagi." lanjut Simbah. "Mereka, termasuk kowe kuwi, luwih akrab karo tembang-tembang radio."

Mendengar hal itu, spontan kumatikan MP3-ku yang tengah mengalunkan Tak Ada yang Abadi-nya Peterpan.

"Mereka, klebu kowe iku, hanyut dalam arena permainan modern yang tak pernah bertahan lama dan lebih banyak menawarkan kedunguan, kurang greget dan cepat membosankan!" kata Simbah lagi sambil njenggung kepalaku. 

"Zaman simbah cilik biyen, Bethet Thingthong adalah syair dolanan kebanggaan anak-anak dan kerap disejajarkan dengan syair Ilir-ilir, Sipadadari, Cublak-cublak Suweng dan lain-lain. Meskipun tidak tahu persis maknanya, tetapi anak-anak saat itu mendendangkannya bersama-sama penuh semangat sambil menari membentuk sebuah kerumunan dan saling beradu jari tangan. 

Makna lagu tidak begitu dihiraukan, namun yang penting bisa mencecap kebahagiaan bersama-sama dalam suasana akrab dan guyub tanpa ada sekat yang menghalangi. Apa pun latar belakang keluarganya, anak-anak bisa bermain riang penuh kebersamaan." terang simbah panjang lebar seraya menyeruput teh kenthel gula batunya. "Ning saiki iku tinggal kenangan." pungkasnya.

***
Yah, anak-anak kita sudah hanyut dalam budaya instan lewat permainan modern yang diadopsi dari tontonan digital, VCD, ringtone handphone dan download internet. Perangkat teknologi yang serba digital telah memudahkan penyebaran aneka macam lagu ke tengah publik, yang dengan mudah bisa diserap anak-anak. Karena itu tidak heran jika anak-anak balita zaman sekarang begitu mudah menghapal syair-syair lagu orang dewasa meskipun kadang terdengar vulgar dan tidak mendidik.

"Bethet Thingthong" merupakan syair anonim yang diwariskan secara turun-menurun oleh nenek moyang, kemudian diserap anak-anak melalui budaya lisan. Syair ini menyiratkan pesan tersembunyi yang memungkinkan tumbuhnya aneka penafsiran, tergantung siapa yang memaknai. Di sinilah letak kehebatan orang-orang zaman dulu yang mampu merangkai kata-kata indah, kaya makna, interpretatif dan menghibur.


Sekilas, syair pendek itu bercerita tentang peristiwa kehilangan (lenyapnya sesuatu) baik yang material maupun nonmaterial. Bethet Thingthong seolah menjadi isyarat kedatangan sebuah zaman yang penuh dengan peristiwa kehilangan banyak hal: nyawa, harga diri, rasa malu, peluang, bahkan semangat hidup.

Perputaran zaman (digambarkan sebagai gong waktu) yang terus bergema ternyata sanggup menghadirkan pemahaman yang kompleks tentang berbagai peristiwa petaka serta fenomena hidup yang tumpang tindih dan saling berbenturan. Dan manusia kerap kehilangan kesabaran dalam menghadapi impitan hidup yang berkepanjangan sehingga lebih memilih jalan pintas meskipun harus kehilangan jati diri dan jiwa kemanusiaannya. 

Kita dapat melihat kenyataan di lingkungan terdekat bagaiman banyak orang telah kehilangan seni hidup dan semangat juang. Kemudian yang tampak di permukaan adalah pertaruhan dan perlombaan mempe- rebutkan posisi dan ambisi individual.

Dalam ranah politik, ekonomi maupun budaya pada skup daerah telah menghadirkan dinamika sekaligus konflik. Terjadi paradoks dan kebejatan di sana-sini akibat kian kemelumeran tangung jawab sosial dan kemenipisan rasa kejujuran.Untuk menyelesaikan segala permasalahan tidak bisa melupakan budaya setempat. Kita tidak akan kuasa menampik posisi dan peran akar kebudayaan sebagai bagian dari tawaran solusi.

Budaya masyarakat masa silam yang dikenal guyub perlu dijaga bersama-sama dalam segala suasana, untuk menciptakan kedamaian dan keserasian hidup. Demi menciptakan daerah yang kondusif sebagaimana digembar-gemborkan para pejabat rasanya perlu ditransformasikan dalam tindakan budaya yang nyata, tidak berhenti pada tataran slogan dan wacana.

Tradisi guyub rukun sebagaimana digambarkan lewat syair "Bethet Thingthong" (permainan anak-anak) perlu dijaga dan dilestarikan agar masyarakat selalu diingatkan pada bahaya akibat kehilangan pegangan.Tradisi guyub rukun perlu dibangun sejak dini (kanak-kanak) agar masyarakat tidak kehilangan makna hidup. 

Maka tidak ada salahnya jika syair dolanan semacam "Bethet Thingthong" dihidupkan kembali dalam kancah pergaulan anak-anak dan dijadikan sebagai alat pergaulan agar mereka lebih mengakrabi atau mengenal teman sebaya dan dunia sekeliling. 

Biarkan anak-anak tampil (bermain) dengan kepolosan, sementara orang tua berusaha menangkap kearifan yang terkandung dalam syair "Bethet Thingthong". Membentuk mental kebersamaan perlu diupayakan semenjak dini untuk menghindari terpaan arus individualisme yang kian deras. Dan masyarakat kita bisa belajar dari kearifan masa lalu untuk ditransformasikan dalam tindakan nyata.

Racun-racun Televisi

| April 05, 2009 | Sunting
Lelaki itu, memaki-maki sendiri pada suatu pagi. Saya yang ada didekatnya jadi terperanjat. Dia kesurupan! “Nyebut, Kang.. nyebut”. pinta saya sambil menepuk-nepuk pundaknya. Dia memelototi saya. “Gundholmu! Aku waras, cuma lagi kesel aja”. Bentaknya pada saya. Syukurlah.

Racun bernama televisi
Usut punya usut punya, ternyata bujang cungkring ini tengah membenci televisi. Penemuan fantastis manusia abad ke-20 ini dianggapnya tak lebih dari mobil tinja yang bocor tengkinya. Cuma mengotori saja jadinya. Edan betul, kotak ajaib yang canggih tidak ketulungan itu tidak berarti apapun buatnya. Malah, dikatain sumber kotoran. “Kok bisa gitu Kang?”, tanya saya sembari memeriksa apakah jidatnya anget apa tidak. “Ya liat aja acaranya, sampah! Terutama acara buat anak-anak, puih! Udah kayak racun untuk anak-anak yang polos.” Umpatnya kesal.

“Kebanyakan acara untuk anak-anak di tipi kita, sangat tidak edukatif. Bahkan cenderung destruktif untuk pertumbuhan jiwa yang sehat”. Dia mulai mengurai kekesalannya. Saya nangkring diatas tumpukan kayu didepannya, siap mendengar ucapannya yang terkadang ajaib. 

"Delok wae, masak tontonan buat anak-anak kontes-kontesan nyanyiin lagu-lagu orang dewasa. Apa gunanya? Belum lagi sinetron-sinetron anak yang kelewat bodoh ceritanya. Karakternya pun dibuat hitam putih, jahat ya jahat bener. Kalo baik, kelewatan sampe cenderung naif." 

Saya setuju dengan pendapatnya. "Terus bagaimana tontonan sampah itu sampai mempengaruhi jiwa anak-anak to?”, tanya saya dengan lugu. 

"Respon agresif tu bukan turunan, tapi terbentuk dari pengalaman”. Wah, hebat bener cacing cungkring satu ini. Dia mengutip Albert Bandura, psikolog Stanford. Melihat saya kagum, dia mulai melanjutkan kalimatnya dengan lagak tengik. ”Oleh karena itu, orang belajar tidak menyukai dan menyerang tipe individu tertentu melalui pengalaman atau pertemuan langsung yang tidak menyenangkan”. 

Sebelum makin menjadi tengiknya, saya langsung menyambar kalimatnya. "Mula kuwi, acara tipi kita yang tidak edukatif itu bisa membahayakan kesehatan psikis anak. Dewasa ini, anak-anak tidak banyak bersentuhan dengan permainan yang komunal, juga bersentuhan dengan alam. Oleh karna itu mereka banyak belajar dan menyerap contoh pengalaman dari tipi.”

Lelaki itu menyambung, "Bener tu, sebuah penelitian oleh lembaga kesehatan mental nasional Amerika menyimpulkan bahwa kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja. Itu artinya, mental anak-anak sangat mudah terengaruh oleh apa yang ditontonnya."

Lalu saya menyimpulkan. "Dan sayangnya, acara tipi kita tidak termasuk jenis yang mendukung pertumbuhan mental anak yang sehat”.

"Berikanlah anak-anak apa yang menjadi kebutuhannya yang alamiah.” ujarnya lagi. "Seperti apa Kang?” tanya saya. 

"Ya mainan contohnya, keinginan untuk bermain itu merupakan sifat natural anak-anak. Berikanlah contoh tontonan yang melibatkan mereka secara psikologis. Kondisikanlah suatu keriangan yang komunal sebagai substansinya, agar mereka pun dapat belajar tentang kehidupan sosial.rangsanglah potensi kreatif mereka dengan permainan, bukan menanamkan sifat konsumtif mereka terhadap permainan."

Dia menutup ucapannya dengan berdiri. Dengan lagak bijak, dia melanjutkan."Bukan maksud membandingkan, karena tidak ada kesesuaian bentuk memang. Tapi apa yang akan ku ceritakan ini masih berkaitan dengan anak-anak. Nah, di Yogyakarta ada sebuah museum mainan anak yang dinamai Museum Anak Kolong Tangga. Ini adalah sebuah inisiatif yang bagus ditengah penetrasi yang kurang sehat terhadap anak-anak, Cuma sayang, yang mendirikan wong Londo, namanya Rudy Corens, warga Belgia.”

Wah, infonya yang tiap hari blusukan ke kota itu sangat menarik minat saya. ”Museum ini berisi mainan anak-anak tradisional Indonesia. museum ini juga dilengkapi dengan ruang bermain untuk anak serta diajarkan pula cara-cara membuat mainan untuk anak-anak. Yang perlu digaris bawahi dalam hal ini adalah sebuah inisiatif untuk mendidik anak dengan cara yang sesuai logika dan kejiwaan mereka. Selain itu, juga untuk melestarikan nilai-nilai budaya sebab semakin lama mainan anak-anak khas Indonesia hilang ditelan waktu.”


”Ku pikir Kang, inisiatif semacam inilah yang perlu dicontoh mereka yang bekerja dalam media semacam tipi itu. Hampir mustahil kita mengharapkan lahirnya sebuah nilai-nilai luhur sebagai motivasi dan orientasi dalam membuat acara tipi. Maklum, tipi itu termasuk instrumen teknokapitalis, tipi itu industri padat modal. Tayangan yang mendidik susah dijual, sementara tayangan yang laku dijual seringkali tidak mendidik.” Ujar saya memberi pandangan pada ceritanya. 

Kini, gantian dia yang mendengarkan saya. "Tipi itu Kang, terlalu mengejar rating. Padahal, rating itu tidak mengenal MORAL Kang! Lagi pula,kebanyakan tipi kita masih mengibaratkan penonton bagai kambing congek yang mau saja dikasih makan apa aja. Penonton tidak banyak diberi otoritas dan tidak diberi pilihan, hanya dijejali sampah dan sampah saja. Lalu bagaimana pertanggung jawaban moral dari rating yang lahir dalam kondisi seperti ini?"

Dia manggut-manggut menanggapi uraian saya. "Selain itu Jo, ide-ide dalam membuat tayangan tipi kebanyakan lahir dari anasir-anasir oportunis pemilik modal, orientasinya jelas: cuma profit yang besar dan instan. Maka jangan heran jika ide-ide kreatif dan edukatif dalam tipi kita ibarat palawija yang ditanam dimusim hujan bagi kebanyakan tipi. Karena apa? Karena ide-ide itu dilihat dan dinilai dari kadar ekonomi dan potensi ekonominya saja.” 

Lalu dia menanggapi uraian saya, "Betul itu, maka dari itu, inisiatif seperti Museum Kolong Tangga itu menjadi begitu penting untuk dicontoh. Sebuah inisiatif yang cerdas dan berani mengingat inisiatif itu lahir ditengah perkembangan zaman yang ora mbejaji (tidak keruan)." 

Saya tersenyum gaya Dul Paijo berbicara, "Bener Kang, inisiatif seperti inilah yang akan memicu lahirnya counter product terhadap produk-produk massal yang tidak sehat itu. Sebab, mengharapkan orang sadar dengan sendirinya seperti menunggu Ryan Giggs pindah ke Liverpool.” Dia ngakak mendengar analogi saya.

Raksasa Tidur Bernama Lautan Indonesia

| April 05, 2009 | Sunting
Potensi kelautan Indonesia masa sekarang ini bak raksasa yang tengah tidur. Kendati tubuhnya besar, karena masih tertidur, jadi tidak ada artinya. Justru makhluk kecil seperti semut yang hidup dan berkarya lebih aktif darinya. Semut kecil yang masih memberi arti bagi lingkungan sekitar dan koloninya. Tetapi raksasa tidur tidak dapat memberi apa pun. Begitulah gambaran tentang potensi dan budidaya perikanan di Indonesia. 
Nelayan di Pantai Baron
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Posisinya memotong garis khatulistiwa dan diapit benua Asia dan Australia. Wilayah Indonesia dikepung dua samudra, Pasifik dan Hindia. Kedudukan itu membuat posisi Indonesia sangat penting secara geografis. Secara oseanografis, arus dan pertukaran massa air dua samudra itu melewati kepulauan yang terletak di tataran Nusantara. Keuntungannya adalah banyak ikan yang bermigrasi. Ikan-ikan tersebut akan melintasi perairan Indonesia. Kedudukan khas tersebut membuat perairan Indonesia kaya dengan keanekaragaman hayati.

Kepulauan Indonesia merupakan kawasan yang dipenuhi banyak gunung laut. Gunung laut yang puncaknya berada di permukaan laut ternyata cukup menguntungkan. Lereng-lereng laut itu bak oasis di padang pasir bagi organisme laut. Pasalnya, ikan-ikan yang bermigrasi melintasi lautan akan teradang dan tertahan oleh lereng dan puncak gunung laut. Dengan begitu, lokasi itu menjadi habitat organisme laut. Lereng laut itu telah menjadi lokasi menguntungkan bagi tumbuh kembang ikan-ikan.

Perairan Indonesia juga dikenal pula dengan sumber plasma nuftah perairan terbesar di dunia. Dengan luas wilayah 1,3% dari luas permukaan bumi, Indonesia memiliki lebih dari 37% dari seluruh jenis ikan di dunia. Selain ikan konsumsi, laut Nusantara pun menyimpan potensi besar ikan hias. Para pakar mencatat Indonesia memiliki lebih dari 1.000 jenis ikan hias laut dan 240 jenis ikan hias tawar. Potensi laut lain yang belum tergarap dengan serius adalah keanekaragaman biologi yang sangat besar. Invertebrata laut, alga, dan bakteri laut ternyata mengandung zat biokimia yang berpotensi untuk kebutuhan medis dan dijadikan obat-obatan. Misalnya, neorotixin dari kerang laut. Zat biokimia tersebut dapat dijadikan pembunuh rasa sakit. Zat tersebut terbukti lebih ampuh 10 ribu kali dari morfin dan tanpa efek samping.

Yah, potensi kelautan Indonesia memang sangat membanggakan. Sayangnya, kalau kita membicarakan tentang pemanfaatan potensi kelautan, justru rasa malu yang muncul. Pasalnya luas wilayah laut Indonesia tak jauh berbeda dengan lahan subur yang tak diolah. Contoh nyata misalnya permintaan ikan hias dunia terus mengalami pertumbuhan 7%-8%. Bahkan nilainya mencapai 15 miliar dolar AS setahun. Ternyata yang berbicara lantang dan memetik keuntungan besar pasar ikan hias dunia adalah Singapura, Filipina, dan Hongkong. Sebaliknya ekspor ikan hias Indonesia terus merosot. Selain itu, nilai tambah produk perikanan Indonesia masih rendah. Indonesia juga belum menghasilkan banyak produk perikanan. Karena, ikan-ikan yang diekspornya masih berupa komoditas bukan produk.

Di tingkat dunia, Indonesia menghasilkan 4,8 juta ton ikan pada 2004. Hasil tersebut menempatkan Indonesia menjadi penghasil ikan terbesar nomor lima setelah Tiongkok, Peru, Amerika Serikat, dan Chili. Kini Thailand hanya menempati nomor sembilan negara penghasil ikan terbesar di dunia. Kendati Indonesia menempati posisi lima sebagai penghasil ikan dunia, namun ekspor ikannya tidak masuk 10 besar. Namun, Thailand ternyata mampu meraup untung 4 miliar dolar AS dan menempati peringkat tiga dunia. Dengan perbandingan itu, fakta mengungkapkan bahwa industri pengolahan ikan Indonesia masih sangat tertinggal.

Yah, kita harus segera membangunkan ”raksasa kelautan” yang masih lelap. Salah satu caranya adalah dengan mengawinkan dua potensi besar, kelautan dan pemuda Indonesia. Mengapa?? Karena, pemuda memiliki idealisme dan semangat untuk berubah, maka itu diejawantahkan dalam bentuk kerja keras dan bahkan kerja keras lebih menggelora dibandingkan kelompok usia lainnya. Pemuda adalah sumber pembangunan yang sangat besar.

Tetapi sebenarnya seberapa besar sih jumlah sumber daya pemuda Indonesia? Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga menyatakan bahwa pemuda adalah mereka yang berumur 18-35 tahun. Dengan batasan itu, jumlah pemuda Indonesia pada 2010 diperkirakan akan mencapai 71 juta orang atau 30,47% dari total penduduk Indonesia. Secara kuantitas, kelompok pemuda sangat berpotensi. Selain itu, sebagai sumber daya pembangunan, pemuda hanya bisa berperan jika diberi kesempatan. Tetapi sebagai sumber pembangunan, pemuda harus diberdayakan secara optimal. Untuk memberdayakan, terdapat tiga faktor yang harus diperhatikan. Pertama, kualitas pemuda. Kedua, jiwa kewirausahaan dan kemandirian. Ketiga, kemampuan modal sosial.

Dengan hilangnya kebanggaan sebagai pelaut dan semakin keliru dalam memandang sumber daya laut, saatnya generasi untuk kembali memandang laut. Yang terpenting adalah pemuda harus turun ke laut. Saat generasi muda untuk belajar tentang laut, memahami laut dengan cara pandang ilmiah, serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun kelautan. 


"Pemuda & Kelautan", buku Adhyaksa Dault. Terbitan Pustaka Cidesindo, Oktober 2008

Apa Salahnya Jadi Anak Punk?

| April 05, 2009 | Sunting
Sekelompok anak tanggung bergerombol di sejumlah sudut SPBU. Pakaiannya kebanyakan hitam, kaos ketat, celana kebanyakan pensil tetapi juga ada yang sepertiga, beberapa di antaranya beranting atau berkalung. Mereka membawa bendera. Entah itu nama grup musik, atau supporter sepak bola. Terkadang rambut mereka dicat berwarna-warni.

Mereka mencegat angkutan terutama truk bak terbuka, atau kalau tidak ya apa saja yang bisa ditumpangi. Yang bikin miris, mereka mencegat ditengah-tengah jalan dengan cari merentangkan kedua tangan. Atau kalau tidak menggunakan tongkat panjang. Kalau beruntung mereka bisa beramai-ramai di sebuah truk tronton yang kebetulan mengisi bahan bakar di SPBU tersebut. 

Tak sengaja aku suatu kali memergoki acungan jari tengah yang mereka tujukan bagi para sopir yang dengan tegas tak memberi tumpangan. Tak hanya itu. Di lain tempat juga ada pemandangan semacam itu. Sekelompok anak tanggung berjalan-jalan menyusuri jalan raya yang panas. Pakaiannya serbahitam identik dengan yang di SPBU. Kali lain ada pemandangan yang jorok. Ketika mereka berada di truk tronton beramai-ramai, dengan tanpa dosa salah seorang dari mereka membuang ingus seenaknya!

Ya, pemandangan ini kini sering terlihat dibeberapa titik SPBU di kota kecil itu, sebut saja X, terutama ketika ada gelaran konser musik. Siapakah anak-anak tanggung itu dan sedang apakah mereka? Barangkali inilah yang dinamakan kaum punker. Kaum yang memuja berbagai kebebasan. Saya tak paham apa yang mereka lakukan. Sekadar bergerombolkah? Sekadar ngaya-wara ke sana kemari dengan tumpangan sebuah truk gratiskah? 

Atau kalau tidak, sering terlihat pelajar —terutama yang masih berseragam putih biru— dengan bangga nongkrong di truk tronton besar. Mereka tidak sedang berpakain punk, tetapi berseragam sekolahan. Mereka beramai-ramai, seolah sedang piknik ataupun sekedar touring dari satu tempat ke tempat lain. Mereka adalah anak-anak yang membolos. Apa yang salah dari munculnya fenomena semacam itu ?

Pencarian Identitas

Inilah potret anak-anak tanggung hari tersebut ini. Penyebutan tanggung disebut karena umur mereka sepantaran anak SMP hingga mereka yang sepantaran dengan saya, awal-awal kelas SMA. Bahkan terkadang ada yang baru SD kelas enam. Mereka mencoba memamer-kan jati dirinya : inilah anak punk jaman ini. Inilah perayaan anak-anak itu hari ini. Disebut perayaan karena komunitas ini adalah komunitas yang militan yang dalam mengungkapkan ekspresi kebebasanya selalu bergerombol dan bersama-sama.

Pentas musik adalah prasyarat utama adanya anak-anak jenis ini. Lihatlah saja sebagai contoh, ketika di Jogja ada konser musik misalnya saja Slank, maka lihatlah di seantero jalanan kota kecil itu jamak muncul komunitas ini. Ataupun ketika ada pentas-pentas musik komunitas mereka sendiri, maka perayaan dengan pakaian-pakaian hitam pun mengharu-biru jalanan.

Belum sampai di sini, sehabis konser usai, barisan anak-anak itupun kembali menyeruak. Terkadang, karena ketiadaan ongkos dan angkutan, mereka jalan kaki sepanjang beberapa kilometer. Kalau kebetulan mereka menemu di sawah dan ditanami jagung, dengan enaknya mereka segera memetik dan memakannya. Kalau kebetulan dipekarangan rumah penduduk ada jambu atau mangga, tanpa dosa juga mereka memetik beramai-ramai dan menikmatinya.

Melihat mereka adalah melihat anak-anak yang seperti kehilangan kegairahan untuk melihat dan menatap masa depan yang lebih baik. Melihat mereka seperti melihat hidup adalah kebebasan dan tanpa keterikatan. Dan kebebasan bagi mereka adalah punk, maka dari itu mereka seperti tak dapat ’’hidup’’ tanpa punk. 

Kegairahan mereka untuk mengekspresikan jati dirinya tak semestinya tersalurkan dalam hal-hal yang kontraproduktif di usia yang masih sangat belia. Pemakluman dan pembiaran orang tua tentang pencarian identitas bagi anak-anak mereka yang ngepunk, adalah bunuh diri perlahan, yang seharusnya bisa dihindari dengan mengarahkan mereka mencari identitas diri yang lebih jelas dan bermanfaat.

Kepedulian orang tua terhadap perkembangan anak-anaknya adalah faktor utama adanya fenomena ini. Pengarahan yang jelas disertai argumen-argumen yang dapat diterima mereka menjadi cara ampuh untuk menyadarkan anak-anak jenis ini.

Perilaku yang baik dan santun yang ditanamkan kepada mereka menjadi kunci yang ampuh, agar mereka juga secara sadar mengetahui akan risiko dan bahaya. Karena mereka adalah anak-anak tanggung, seumuran mereka kebanyakan besar tidak memiliki modal yang cukup untuk rasa tanggung jawab, ketidakmampuan mengenali risiko dan bahaya, dan kesempitan pikiran untuk melakukan sesuatu.

Yah, Tak ada yang salah dengan konser musik. Tak ada yang salah dengan pilihan gaya nge-punk, karena itu hak hidup. Namun yang salah adalah bila mereka sudah mulai mengganggu kenyamanan hidup orang banyak, Yang salah dari mereka, adalah ketika mereka mulai berpikir bahwa mereka hidup sendiri, padahal untuk makan pun mereka masih meminta pada orang tua. Hufft!

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine