Aroma Rumah

| Juni 19, 2015 | Sunting
Hari ini adalah hari kedua bulan Ramadhan menurut penanggalan Islam. Saya memulai puasa pagi tadi dengan sebuah apel, setengah mangkuk oat, dan beberapa teguk air. Amjad yang tengah menginap di kamar mengajak untuk ke kantin sebenarnya. Tetapi rasanya tengah tidak ingin makan nasi, sehingga bertahanlah saya di kamar sendiri.

Hari-hari seperti ini membuat saya rindu rumah - ah, saya memang selalu rindu rumah. Saya mulai belajar berpuasa ketika duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Sebelum-sebelumnya bulan puasa tidak ada bedanya bagi saya: sarapan sebelum berangkat sekolah, diikuti dengan makan siang dan makan malam - kecuali saat Gus Dur meliburkan sekolah sebulan penuh, Ramadan tahun 2000.

Baru di kelas 2 itulah saya mau ikut sahur dan meniatkan untuk berpuasa. Itupun sampai pukul sembilan pagi saja. Saya ingat di hari pertama saya berpuasa itu, Mamak tengah berada di Posyandu. Karena sekolah liburm saya hanya duduk di depan pintu sambil memandangi jam dinding. Tepat pukul sembilan saya pergi menyusul ke Posyandu. Oleh Mamak lalu saya diberi setangkup roti. Entahlah, saya sendiri lupa kenapa Mamak langsung memberi saya roti. Mungkin sebelumnya sudah ada perjanjian semacam, "Yen wis ra kuat nyusul mamak war nang gone mbokdhe Rati yo Yan!"

Bermula dari puasa hingga pukul 9 itulah, tahun-tahun berikutnya rentang jam puasa saya terus meningkat. Hingga kemudian saya kuat berpuasa satu hari penuh saat duduk di kelas empat. Tetapi memang ada hari-hari dimana saya akan makan diam-diam ketika Dzuhur datang karena sudah kepalang lapar. Karena itulah Mamak sengaja tidak menyimpan makan apapun di rumah. Kalau sudah begitu, tidur biasanya menjadi senjata ampuh untuk mengusir rasa lapar antara jam pulang sekolah hingga Ashar - saat kami harus berangkat mengaji.
Jelang buka (Yusuf Ahmad/Reuters)
Awal-awal puasa biasanya Mamak tidak akan mengubah pola masakan. Ia akan memasak sebagaimana biasa. Baru setelah sepertiga awal bulan puasa berlalu, akan muncul menu-menu semacam kolak, es buah, es tape dan sebagainya. Ia selalu memasaknya dengan tangannya sendiri. Jarang sekali kami membeli makanan di bulan puasa. Kecuali misalnya ia telat bangun untuk mempersiapkan sahur.

Tentang bangun ketika sahur, Mamak memang selalu yang paling awal. Kami baru akan dibangunkan ketika makanan sudah siap santap. Itupun tidak selalu mudah. Biasanya Mamak perlu mengusap muka kami dengan air, kadang hingga berkali-kali. Baru setelah itu mata kami perlahan-lahan terbuka.

Hal-hal semacam itu yang membuat saya rindu rumah. Ada semacam aroma lain yang tidak saya dapatkan ketika harus menjalankan puasa jauh dari rumah. Mungkin saja aroma tangan Mamak ketika mengusap muka dengan air. Atau bisa jadi aroma masakan Mamak yang masing-masingnya telah bercampur dengan aroma tangannya. Ah...

Selamat berpuasa.
Saya sedang mencuci celana yang pernah
saya pakai untuk mencekik leher saya sendiri.
Saya sedang mencuci kata-kata
dengan keringat yang saya tabung setiap hari.
Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi
saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puisi.
dari Joko Pinurbo, untuk penyair Hasan Aspahani

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine