Mengubah Dunia dari Pojok Angkringan

| Maret 23, 2009 | Sunting
Angkringan
Angkringan Ngisor Ringin di rembang senja. Kang Paidi, juragan angkringan sibuk menyiapkan dagangan. Terlihat tiga orang pembeli dengan setia menunggu Kang Paidi selesai beres-beres. Siapa mereka, tentu saja Gombloh, Joko dan Glundung. Mereka adalah pembeli setia Kang Paidi. Gombloh juru parkir, Joko sang juru kebersihan perusahaan periklanan, dan Glundung pekerja di pabrik mebel.

“Masih lama, Kang? Aku haus tenan. Dari tadi disuruh Bos kesana kemari,” Glundung melongokkan kepala ke seberang meja. Kang Paidi sedang menjerang air. “Sebentar Ndung. Ini sudah mendidih kok,” jawab Kang Paidi kalem.

“Yo sabar to Ndung, lha kamu kan datang belakangan tadi. Aku dulu yang dibuatin yo Kang,” Gombloh tidak mau kalah.

“Wis, ndak usah rebutan. Kalian ini seperti partai yang sedang rebutan massa saja. Semuanya ngakunya nomor satu. Nanti kalau ada pembagian kuasa mintanya juga dijatah nomor satu. Giliran disambati rakyatnya larinya juga nomor satu. Uuuh..,” Joko yang sedari tadi diam tiba-tiba bersuara panjang lebar. Glundung dan Gombloh bengong melihat Joko.

“Kamu kenapa Jok, nggak ada angin nggak ada hujan kok marah-marah. Wuih, panas tenan,” Gombloh menempelkan tangannya di dahi Joko.

“Gimana nggak panas, tadi barusan aku ketiban bendera parpol di jalan. Untung nggak jatuh,” sungut Joko.

“Hahaha, kamu ketiban sampur itu namanya. Wis, dimaklumi saja. Mereka itu kan sedang berusaha sebaik mungkin agar dikenal orang. Ngomong-ngomong besok kamu mau milih? Apa mutung karena ketiban bendera parpol?” giliran Glundung yang menggoda Joko.

“Maunya aku nggak usah milih. Bukan karena mutung ketiban bendera tadi, tapi aku sudah bosan dengan janji-janji manis parpol. Tapi MUI katanya sudah memfatwakan haram kalau golput. Lha piye?”

“Iya, kalau golput berarti kamu tidak membantu negeri ini. Kamu kan hidup di Indonesia tho? Kalau bukan kita yang membantu negeri kita sendiri terus siapa?” kata Gombloh sok bijak.

“Weh, kamu bisa bicara seperti itu nyontek darimana Mbloh? Apa di MLM-mu juga diajarin kata-kata seperti itu?” Glundung menggoda Gombloh. Beberapa waktu ini Gombloh memang bergabung dengan sebuah perusahaan MLM. Sejak itu Gombloh mengalami peningkatan dalam berbicara.

“Alah, kamu iri tho. Ngaku aja. Aku gabung di MLM untuk mengubah hidupku. Biar tidak menambah beban pemerintah. Kata up line-ku, jumlah penduduk miskin Indonesia itu banyak sekali. Jutaan. Nah, salah satu cara membantu negeri ini adalah mengurangi jumlah orang miskin yang semestinya menjadi tanggungan pemerintah. Paling tidak kita sendiri jangan sampai menjadi bagian dari mereka. Makanya kita harus berjuang untuk menjadi kaya. Begitu Ndung,” Gombloh menjelaskan berapi-api.

“Iya Mbloh. Kata Mas Bosku juga seperti itu. Makanya sekarang aku sedang belajar sama Mas Bos bagaimana caranya aku bisa pinter dan menghasilkan banyak uang. Aku kemarin diajari nyari duit lewat internet,” Joko juga tidak mau kalah.

“Lha iso po? Pantesan kamu jadi keranjingan ke warnet. Tapi beneran nggak itu. kalau MLM-e Gombloh aku sudah diajak ketemu sama up line-nya. Aku sudah ngerti cara sama itung-itungannya kenapa bisa mendapatkan uang di sana. Tapi aku nggak punya waktu kalau disuruh mengerjakan seperti itu.”

“Halah, kamu itu sok sibuk tenan. Bener kok. Mas Bosku kemarin cerita dia mendapatkan banyak pelanggan itu dari internet. Mas Bos juga cerita kalau teman-temannya banyak yang sukses dan mensukseskan orang lain dari internet juga.”

“Yang paling aku seneng ketika Mas Bos cerita tentang temannya, namanya Mas Agus. Dia mempromosikan pariwisata Jogja lewat internet. Kalau nggak salah nama tokonya di internet itu yogyes.com. Dan ternyata dia sukses. Banyak sekali yang terbantu. Pemerintah, karyawan-karyawannya, keluarganya, pedagang pasar Malioboro, pedagang Alun-alun Utara, tukang-tukang becak, sopir angkutan, sopir taksi, hotel dan seluruh karyawannya, bahkan tukang ngamen dan tukang copet juga. Lha itu mulia banget tho,” Joko semakin bersemangat cerita.

“Lho, kok semua disebut. Ngarang kamu itu,” sanggah Glundung tidak percaya.

“Dibilangin malah ngeyel. Bahkan bosmu itu juga termasuk yang terbantu. Bosnya Gombloh juga. Termasuk Kang Paidi juga. Lha banyak orang setelah melihat yogyes.com trus jadi tertarik. Terus mereka datang berkunjung ke sini. Termasuk bule-bule itu. Lha wong tokonya itu bisa dilihat sampai luar negeri sana,” Joko meneruskan penjelasannya.

“Makanya aku juga mau belajar. Aku kan juga mau menyelamatkan negeriku. Mas bosku sudah janji mau membantuku kok. Nah, Gombloh mau membantu negeri ini lewat MLM-nya. Aku mau meneruskan jejak Mas bosku dan Mas Agus. Lha kalau kamu mau lewat apa Ndung,” Joko balik bertanya yang membuat Glundung tampak bingung.

“Ndung, bosmu kan sedang ndaftar jadi caleg. Berarti nggak ada waktu ngurusi bisnisnya tho. Sudah, kamu embat saja,” ujar Gombloh memanas-manasi Glundung.

“Embat, embat, emangnya tempe gorengnya Kang Paidi po. Yo aku sebenarnya juga sedang belajar sama bosku juga. Bagaimana caranya mencari order, menangani order, sampai mengirim barang ke pemesan. Kalau untuk membuat barangnya aku wis canggih. Lha wong aku wis diangkat jadi supervisor je,” Glundung menyeruput teh panas yang baru saja disodorkan Kang Paidi.

“Sebenarnya aku juga pengen mendirikan usaha sendiri. Tapi aku masih takut. Aku bisa membuat produknya. Aku juga sudah tahu kemana harus mencari bahan bakunya. Bahkan supplier bahan bakunya Bosku sudah bilang kalau aku mau mendirikan sendiri, dia akan membantuku. Tapi aku takut tidak bisa memasarkan.”

Hening sejenak. Gombloh dan Joko bingung harus berkata apa. Tiba-tiba Joko menjentikkan jarinya.

“Ndung, aku ada ide. Bagaimana kalau produkmu diiklankan lewat internet saja. Nanti biar aku yang ngurusin. Aku kan sudah bisa membuat blog. Nanti aku akan minta Mas Bos ngajari bagaimana caranya menampilkan produk-produkmu di blog.”

“O iya, bosku kan juga memasarkan produknya juga lewat internet. Tapi Mbak Fitri yang ngurusin, jadi aku nggak tahu bagaimana caranya. Wah, boleh Jok. Kamu memang best friend tenan,” Glundung bersemangat mendengar tawaran Joko.

“Nah, Gombloh, Joko dan kamu Ndung, semua sudah ketemu bagaimana mau membantu negeri ini. Lha kalau aku terus bagaimana?” Kang Paidi yang sedari tadi diam mendengarkan perbincangan tiga sekawan itu angkat suara. Tiga sekawan saling pandang satu dengan yang lain. Gombloh-lah yang kemudian angkat bicara dengan gayanya yang sok bijak.

“Kang, dengan tetap berjualan di sini berarti Njenengan sudah membantu menyelamatkan negeri ini. Kang Paidi kan menyelamatkan orang-orang kelaparan seperti kami. lha kalau kami kenyang kan kami bisa bekerja. Berjuang menyelamatkan negeri ini. Apalagi kalau Kang Paidi tidak ikut-ikutan menaikkan harga. Wah, benar-benar menyelamatkan kami itu. Begitu tho kawan-kawan?”

“Uh, dasar. Bilang saja kalau nggak mau kunaikkan harganya. Pake bawa-bawa menyelamatkan negeri segala. Tapi tak pikir-pikir benar juga kalian. Daripada pusing memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan negeri ini, mending kita bekerja sebaik-baiknya. Lha aku bisanya ngangkring ya ngangkring tho,” Kang Paidi menyerah tapi tak kalah.

“Betul Kang, tapi kita perlu kreatif biar ada peningkatan hidup. Kemarin di internet aku sempat melihat ada angkringan yang dilengkapi dengan fasilitas internet gratis. Bahkan mereka juga punya blog untuk menjaga hubungan dengan konsumen lama dan menjaring konsumen baru. Kalau nggak salah namanya wetiga.com. Nah, Kang Paidi bisa melakukan hal yang sama atau bahkan lebih,” Joko membuat Kang Paidi terbakar.

“Weh, iya tho Jok. Lha mbok kamu membantuku. Biar bisa seperti mereka. Nanti setiap kamu ke sini minumnya tak gratisin wis. Lha aku kan ndak ada duit untuk mbayar kamu,” Kang Paidi mencoba merayu Joko. Yang dirayu senyum-senyum nggak jelas. Karena semakin nggak jelas, Gombloh dan Glundung pun bersepakat menjewer kuping Joko. Gombloh kuping kiri, Glundung kuping kanan. Alhasil Joko mengganti senyumnya dengan jeritan panjang. Dan tawapun meledak dari Angkringan Ngisor Ringin.

Senja makin merah. Perlahan namun pasti mentari menyusup ke dekap malam. Namun dia telah menjadi saksi atas mimpi-mimpi indah empat orang di angkringan ngisor ringin, pojok alun-alun utara. Dia berjanji esok hari akan membangunkan mereka dengan sinar paling lembut. Mengiringi langkah-langkah mereka untuk mewujudkan mimpi mulia. Mengubah cerita kehidupan mereka. Mengubah cerita tentang Indonesia.

Tulisan Lintang | Foto: Sabda E. Priyanto

Pesona Lawang Sewu

| Maret 23, 2009 | Sunting
Lawang Sewu, 1909 - Gambar milik KITLV
Lawang Sewu terletak di salah satu sisi simpang paling sibuk di Semarang, Simpang Lima Tugu Muda. Gedung Lawang Sewu dibangun pada tahun 1903 dan selesai serta diresmikan pada tanggal 1 Juli 1907. 

Pada masanya, bangunan berlantai 2 ini adalah kantor pusat Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij, perusahaan kereta api pertama di Hindia Belanda yang melayani wilayah Jawa bagian tengah dan Yogyakarta.

Bagian depan bangunan bersejarah ini dihiasi oleh menara kembar model gothic dan membelah menjadi dua sayap, memanjang kebelakang yang mengesankan kokoh, besar dan indah. Gedung megah bergaya art deco ini dirancang oleh dua arsitek Belanda, Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J Queendag.

Begitu masuk ke Lawang Sewu, mata akan segera dimanjakan dengan ragam ukir kaca grafir. Sebuah tangga besar akan langsung mengantarkan kita ke lantai dua. Keindahan hiasan kaca warna-warni akan menyambut kita di puncak anak tangga. Dinding dan tiang-tiang yang masih kokoh melengkapi kemegahan bangunan ini.

Lantai dua Lawang Sewu juga terhubung ke sebuah balkon yang akan menyuguhkan pemandangan kota Semarang.
Salah satu sudut Lawang Sewu

Panjara Bawah Tanah

Setelah puas menelusuri bagian atas, perjalanan berlanjut dengan mengelilingi bagian dasar bangunan. Pintu-pintu tinggi yang berjajar di bagian sayap gedung menggelitik pikiran untuk sejenak membayangkan kesibukan dalam gedung ini di masa lalu.

Serupa dengan bangunan-bangunan peninggalan kolonial lainnya, Lawang Sewu juga memiliki ruang bawah tanah. Ruangan-ruangan ini dulunya merupakan penjara dan tempat penyiksaan tahanan. Perjalanan bawah tanah ini ditemani oleh seorang pemandu.

Dengan penerangan senter pemandu akan membawa pengunjung menelusuri lorong-lorong selebar 1,5 meter dengan ketinggian sekitar 2 meter. Ruangan ini pengap, sumpek, juga lembab. Satu persatu pemandu akan menunjukan kamar-kamar di kiri kanan lorong. Di ujung ruangan terdapat bak-bak beton. Di bak-bak ini dulunya para tahanan akan dipaksa untuk jongkok untuk kemudian direndam air setinggi leher. Bagian atas bak lantas ditutup jeruji besi.

Pemandu juga menunjukkan jejeran ruang kecil seperti lemari bersekat batu bata dengan ukuran sekitar 1x1 meter. Menurutnya, kotak-kotak tersebut dulunya diisi 5 hingga 6 orang tahanan. Ruangan terakhir di bawah tanah ini adalah ruang eksekusi. Tampak satu meja baja tertanam di lantai. Meja ini konon adalah meja pemenggalan kepala bagi tahanan yang dijatuhi hukuman mati. Hii... 

Setelah merdeka, Lawang Sewu sempat menjadi kantor Jawatan Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai Kodam IV/Diponegoro dan Departemen Perhubungan Jawa Tengah.

sumber: explore-indonesia

Pohon Berbuah Caleg

| Maret 22, 2009 | Sunting
Akhir-akhir ini fenomena aneh melanda negeri ini. Tidak hanya di satu tempat saja, tetapi dari Sabang sampai Merauke kejadian aneh tapi nyata terjadi. Nah lho? Apakah itu? Yoohaaa, pohon-pohon tidak lagi menghasilkan buah sebagaimana layaknya. Buahnya telah berubah. Pohon mangga tidak hanya menghasilkan buah mangga. Pohon asam jawa yang belum musimnya berbuah juga telah berbuah, tapi bukan buah asam. Bahkan pohon yang tidak berbuah sekalipun kini telah berbuah. Buahnya sama semua. Aneh tapi nyata. It’s the fact. Semua berbuah foto CALEG. 
Pohon-pohon penuh atribut kampanye
Buah-buah caleg itu dihasilkan oleh berbagai pohon (terutama yang terletak di sepanjang jalan) melalui hasil mutasi gen dan juga persilangan antara sang pohon dan kampanye Pemilu 2009. Buah yang dihasilkan juga beraneka warna dan jenis kelamin. Ada warna putih dengan lambang bintang, atau warna hijau dengan lambang bulan. Ada warna merah gambar burung (mungkin untuk mempercepat penyerbukan). Pokoknya segala macam warna yang ada di dunia ini (mejikuhibiniu) menjadi warna buah sang pohon. Kemudian isi buahnya ada laki-laki atau pun perempuan. Ada yang masih muda atau telah lanjut usia. Buah-buahnya juga beda-beda kualitas. Ada yang bertaraf kabupaten, provinsi, bahkan negara. Semua buah itu yang akan dipilih masyarakat Indonesia nantinya pada tanggal 9 April 2009 untuk menjadi wakilnya. 

Tapi, terpikirkah kita dengan hadirnya buah-buahan yang sangat aneh tersebut dan marak pada beberapa bulan terakhir sangat tidak diharapkan sang pohon. Istilah kasarnya buah yang tidak diinginkan. Betapa tidak, buah tersebut bukanlah murni dihasilkan pohon tersebut. Semua buah tersebut adalah para caleg 2009 yang sedang melakukan kampanye. Mereka telah merusak pohon-pohon tersebut dengan memaksa makhluk yang menghisap CO2 sepanjang masa untuk “berpura-pura” menjadi pohon dari buah tersebut. Ada yang memaku, mengikat dengan kawat, atau menjadikan sandaran, meski pohonnya masih kecil dan belum cukup kuat menahan beban angin (bisa patah).  

Nah, bagaimana mereka bisa benar-benar bisa diberi amanat untuk menjadi wakil rakyat kalau mereka sendiri masih suka menzalimi. Bukankah pohon itu adalah makhluk hidup dan juga ciptaan Yang Maha Kuasa? Berapa banyak jaringan-jaringan tumbuhan tersebut yang mati karena terkena paku atau ikatan kawat? 

Saya merasa kalau para caleg ini, sudah tidak punya kepedulian pada lingkungannya, jangan harap mereka akan peduli pada kader atau simpatisan yang sudah memberikan suara pada mereka, waktu pemilu. 

Semoga saja kita tidak tertipu dengan wajah cantik atau ganteng dari para caleg yang terpampang di pinggir-pinggir jalan, dipaku di pohon, ditempel di tiang listrik atau telepon, bahkan di cat di tembok. 

Mari kita sebagai masyarakat yang demokratis, lebih bijak, dalam menentukan masa depan bangsa kita, dengan menitipkan aspirasi kita, pada calon legislatif yang punya kepedulian tinggi pada lingkungan, tidak sekedar janji atau ucapan, tapi praktek nyata di masyarakat dan lingkungannya. 

Mari Selamatkan Lingkungan dan Bumi kita dari perusakan, demi masa depan generasi kita. 

Dikopi dari sini

Pulang

| Maret 22, 2009 | Sunting
dimana kau pohonku hijau
disini aku sudah jadi batu
hai perantau darimana kau
dari mana saja aku mau melekat jadi debu
di karet, di karet katamu
wahai chairil apa kau masih disitu
atau lenyap dipasok batu
atau senyap sebelum tahun 2000

ya Banda mengena juga yang kau bilang
tak seorang berniat pulang
pulang? kemana harus pulang
si burung samudera tanpa sarang
bangga aku teringat Sujoyono berani menuding
dan bilang untung aku bukan anjing
ini juga modernisasi globalisasi
kata-kata jadi kering kebudayaan baru
dari bawah sampai atas
tukang peras atau maling

puisi hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi hanya kaulah pacarku terbang
puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang

dimana kau pohonku hijau dalam puisimu wahai perantau
dalam cintamu jauh di pulau

***
Pulang di atas adalah puisi Agam Wispi, terkumpul dalam antologi puisi Pulang: Di Negeri Orang – kumpulan puisi penyair Indonesia eksil terbitan Amanah – Lontar, April 2002. Agam lahir di Pangkalan Susu, 1930. Ia mengenal sastra (dan perlawanan) dari ayahnya yang merupakan anggota sebuah rombongan sandiwara keliling di Langsa, Aceh.
Agam Wispi, saat terpilih menjadi wartawan angkatan laut, tahun 1962.
Agam pindah ke Medan awal tahun 50-an, setelah ayahnya meninggal. Ia mengerjakan apa saja untuk bisa makan, dan sekolah. Puisi pertamanya yang dimuat di surat kabar berjudul Merdeka Bernoda, muncul di Harian Kerakyatan. Berkat inilah di kemudian hari ia diterima sebagai wartawan di harian ini. 

Karir jurnalistik Agam terbilang cemerlang. Di samping puisinya yang kadang membuat gempar tentu saja. Tahun 1955 ia memotret kesewenang-wenangan pemerintah menggusur petani dari lahan garapannya melalui sajak Matihya Seorang Petani: depan kantor tuan bupati, tersungkur seorang petani, karena tanah.

Tahun 1957 Agam ditarik ke Jakarta, mengasuh bagian Kebudayaan Harian Rakyat bersama Njoto. Ia sempat dikirim ke Berlin untuk belajar jurnalistik selama setahun, 1958-1959. Ketika Angkatan Laut membuka perekrutan wartawan, Agam juga terpilih dan menyandang pangkat letnan. Ia berangkat ke Vietnam Selatan untuk meliput perang melawan Amerika pada awal Mei 1965. Kepergiannya ke negeri Paman Ho ini adalah permulaan dari kisah hidupnya sebagai orang terbuang. Saat peristiwa 30 September meletus di Jakarta, Agam tengah berada di Beijing demi mendapatkan izin masuk ke Kamboja. Huru-hara yang terjadi di tanah air membuatnya terjebak di Tiongkok hingga tahun 1973.

Dari Tiongkok Agam bergerak ke Soviet, sebelum kemudian sampai ke Leipzig, Jerman Timur sekitar tahun 1978. Di sana Agam  belajar di Institut fur Literatur, dan bekerja sebagai pustakawan di Deutsche Bucheret. Ia mulai bermukim di Amsterdam pada tahun 1988.

Puisi Pulang ini ia tulis ketika ia berkesempatan kembali ke Indonesia untuk pertamanya kalinya, tahun 1996. Tujuh tahun kemudian Agam meninggal dengan tenang di sebuah rumah untuk orang jompo di Amsterdam.

Hikayat Rantai Lepas

| Maret 15, 2009 | Sunting
hikayat rantai lepas adalah ceita yang kutulis bersama adikku yang masih kelas empat es-de, dan setelah cari kesana kemari akhirnya dapat deh disini, gambar-gambar yang dapat mengutarakan isinya cerita. ceritanya sendiri adalah seperti berikut, maaf sebelumnya karena bahasanya masih banyak belepotnya, maklum belum tahu e-ye-dhe, hehe..


pada suatu pagi, pagi-pagi sekali ketika matahari baru terbit, pak amir, tetanggaku, berangkat ke pasar.

ia berangkat dengan mengendarai sepeda tuanya untuk menjual hasil kebun seperti yang biasa ia lakukan setiap akhir pekan. ia ke pasar membawa bronjong yang terbuat dari bambu untuk mengusung barang dagangannya. ia mengayuh sepedanya menelusuri jalanan yang masih sepi tanpa penghuni.

tetapi sayangnya di tengah jalan sepeda tuanya itu lepas. kasian banget pak amir. pasti ia tak akan sampai ke pasar tepat waktu sehingga pelanggan-pelanggannya sudah pulang, atau mungkin sudah berbelanja di pedagang yang lain. sungguh kasian banget dia. adakah yang dapat membantunya? tidakkah ada dapat membantunya? belum adakah bengkel yang buka?? uuh,,, dasar para pemilik bengkel yang malas dan tak mau membuka bengkelnya pagi-pagi...

iiihh... lucu banget menurutku. sebuah akhir yang terlalu janggal dan menggantung...

Gunung Gambar: Menunggu dalam Sepi

| Maret 15, 2009 | Sunting
Bentang alam sekitar, dilihat dari Gunung Gambar. 

"Anak-anak, dimana letak gunung Semeru?"
"Di Jawa Timur Bu...!"
"Pinter, kalau gunung Everest dimana hayo?"
"Di Nepal Bu..."
"Wah, bagus sekali. Benar."


Begitulah suasana sebuah kelas pada pelajaran IPS sekitar 6 tahun silam, sungguh hidup. Murid-murid terlihat sangat aktif menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh guru. Namun tiba-tiba kelas menjadi hening.
"Kalau gunung Gambar dimana hayo? Siapa yang tahu? Sudah pada tahu semua bukan?"

Hening. Tidak yang menjawab. Ibu guru yang tadi terlihat semangatpun ikut terdiam, berdecak keheranan. 
"Itu lho..." kata sang guru perlahan sambil menunjuk barisan pegunungan yang terlihat dari jendela. Sebuah benteng alam yang hijau di kejauhan. "Itu gunung Gambar anak-anak, tempat yang setiap hari kalian lihat. Di sanalah gunung Gambar yang telah menaungi kalian dalam ketenangan. Tahukah kalian?" lanjutnya. Masih banyak yang ingin beliau omongkan mungkin, tetapi lonceng pulang telah berdentang.
***
Gardu pandang
Gunung Gambar terletak di Kecamatan Ngawen, Gunungkidul yang menyimpan sejarah panjang antara dua poros kekuasaan: Kesultanan Yogyakarta - Pura Mangkunegaran (saat ini berada di wilayah Surakarta). Sebagian besar Ngawen dulunya merupakan wilayah enklave Pura Mangkunegaran. Seusai kemerdekaan Indonesia tahun 1945, warga Ngawen diharuskan memilih bergabung dengan Yogyakarta atau tetap menjadi wilayah Mangkunegaran. Meski menyimpan sejarah panjang sebagai bagian dari Pura Mangkunegaran, dalam rapat besar kala itu, warga memilih bergabung dengan Kesultanan Yogyakarta. Status tanahlah yang menjadi alasan utamanya. Kesultanan Yogyakarta menawarkan hak milih, sementara Mangkunegaran keukeuh dengan sistem gaduh (hak pakai saja). Meski demikian, peninggalan-peninggalan sejarah Mangkunegaran tetap dirawat dengan baik. Salah satunya adalah Petilasan Pangeran Sambernyawa - kemudian menjadi Mangkunegara I, di Gunung Gambar.  

Gunung Gambar merupakan tempat dimana pangeran Sambernyawa bertapa selama lebih dari setengah tahun. Disana pula ia menyusun strategi penyerangan terhadap Belanda. Tempat pertapaan itu kini hanya tersisa berupa batuan- batuan besar di atas bukit. Ceruk batu yang konon adalah bekas tapak kaki kuda Sambernyawa masih bisa dilihat hingga sekarang.

Punggung gunung
Pangeran Sambernyawa sempat menyusun strategi peperangan dengan menggambar peta serangan di atas batu datar di bukit itu. Kejadian inilah yang konon menjadi dasar penamaan tempat ini, Gunung Gambar. Seusai itu, Pangeran Sambernyawa memulai peperangan melawan Belanda dari Wonogiri,. Di sanalah konon ia berjumpa dengan seorang janda yang menjamunya dengan bubur panas. Janda tersebut mengajarkan cara memakan bubur panas yang harus dimulai dari pinggir sebelum menghabiskan bagian tengahnya. Dari sana muncullah ide strategi perang dengan menghancurkan musuh dari barisan pertahanan paling pinggir - dan terus ke tengah.

Meski menyimpan cerita sejarah, Gunung Gambar bagi anak-anak sekitar tetap hanyalah tempat bermain dimana mereka biasa menghabiskan waktu sepulang sekolah. Dengan lincah, anak-anak itu ini berlarian di antara bebatuan tanpa takut terjatuh. Meski hanya mengenal secuil sejarah dari petilasan, tapi tetap bisa menjadi pemandu yang cukup baik. 

Gerbang
Sekilas, Gunung Gambar ini seperti tak terdaki, hanya tonjolan batuan berwarna hitam di atas bukit. Namun, setelah melewati pintu gerbang bergaya Surakarta, terdapat jalan setapak menuju puncaknya. Sejak Sambernyawa bertapa di Gunung Gambar, dusun di sekitar tempat tersebut lantas berganti nama menjadi dusun Gunung Gambar dari sebelumnya Dusun Gempol. Tempat ini sempat ramai pada masa Orde Baru, terutama karena Tien Soeharto cukup memberikan perhatian termasuk membantu pembangunan gapura. Sekadar diketahui, Tien Soeharto konon merupakan keturunan Mangkunegara III. Sebelum diserahkan ke Kesultanan Yogyakarta tahun 1957, wilayah Ngawen juga termasuk ke dalam kekuasaan Mangkunegara.

Jika pada masa Orde Baru keramaian pengunjung digambarkan lebih ramai dari pasar malam, kini Gunung Gambar jarang dikunjungi. Mereka yang berkunjung biasanya orang-orang yang ingin mencari pengayoman. Tempat ini biasanya ramai pada satu Sura atau tahun baru. Beberapa pengunjung membawa bunga untuk meminta pengabulan aneka permohonan. Petilasan Pangeran Sambernyawa diyakini bisa memberi berkah kedudukan dan kekuasaan. Sementara, untuk kekayaan satu tempat lain yang dipercaya sebagai petilasan Kyai Gading Mas menjadi tujuan utama. 

Biasanya yang dapat kekayaan dan kehormatan itu adalah mereka yang datang dari tempat jauh. Bagi warga sekitar cukuplah perlindungan, kesehatan, dan keamanan yang selama ini sudah dirasakan.Warga meyakini umur panjang serta banyaknya keturunan berasal dari berkah para leluhur. Sebagai bentuk ucapan terima kasih, warga biasa melaksanakan upacara sadranan setiap satu tahun sekali.

Tidak jauh dari Gunung Gambar, terdapat desa wisata Wonosadi - terkenal dengan kawasan hutan rakyatnya. Di desa ini pulalah dapat ditemui kesenian “Rinding Gumbeng”, alat musik dari bambu kecil sederhana, namun memiliki suara khas.

Gunung Gambar, Gunungkidul
Hijau
Gunung Gambar, Gunungkidul
Bunga Ular
Gunung Gambar, Gunungkidul
Bebatuan
Gunung Gambar, Gunungkidul
Pemandangan sekitar
Gunung Gambar, Gunungkidul
Ceruk air
Gunung Gambar, Gunungkidul
Sisa sesaji
Catatan: Foto utama dalam tulisan ini bukanlah milik saya, tetapi saya sendiri lupa dari mana sumbernya. Mohon maaf kepada pemiliknya.

Dongeng tentang Bintang-bintang

| Maret 13, 2009 | Sunting
Gemintang malam
Di bawah rinai gugus rasi, ketika suara-suara jangkerik seakan bersahutan dengan riuh gemeretak suara-suara katak dalam kebisuan, ketika desir angin dan gemerisik dedaunan seakan berpaduan dengan musik yang kudengarkan, ketika itu pulalah seorang lelaki menengadahkan wajahnya ke langit malam. Dikhayalkannya bintang-bintang serupa kerlap-kerlip lampu-lampu kota yang dibangun di atas awan. Dibayangkannya Aras nun jauh tempat para malaikat berada. Ketika ia sendiri ragu adakah surga tempat segala harapan dan keinginan terkabulkan seketika tanpa penantian. Ketika kita lupa segala yang pernah membuat kita kecewa dan putus-asa.

Andai kita sama-sama menghitung satu-satu bintang-bintang itu di bawah keteduhan malam sembari kau hamparkan urai rambutmu di dadaku yang bimbang dan ragu. Ketika itu kita hanya berharap pada yang biasa saja. Meski kita juga selalu bermimpi sekedar untuk menghibur hati. Ketika itu ingin kudengarkan setiap kata yang bergetar dan mendesah dari hatimu sembari kudekap mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang bergolak di dadamu. Ketika itu waktu bagi kita adalah saat-saat yang memberi detik demi detik yang riang untuk mengkhayalkan apa saja yang ingin kita angankan. Seakan apa yang telah berlalu tak sepenuhnya berlalu.


Ketika kita mempercayai bahwa kita semestinya selalu menjadi anak-anak untuk memenuhi hasrat kita pada kebebasan. Agar kita bisa selalu memaafkan kegagalan dan kekecewaan yang pernah kita alami ketika dewasa. Agar kita bisa tersenyum dan tertawa dalam kesedihan. Sebab apalah artinya sebuah kata jika karenanya kita menderita. Bukankah anak-anak merasa bahagia ketika mereka tak mempertanyakan arti sebuah permainan. Ketika mereka hanya tahu bermain dan tak pernah mempersoalkannya. Karena itu aku ingin usia tak mengalahkan jiwa kita.

***
Kuhitung satu-satu bintang-bintang di langit itu. Di antara bulan yang redup terhalang awan, kupandangi satu bintang yang bersinar lebih terang dari semua bintang-bintang yang kupandang. Ia telah menyita perhatianku seakan adalah harapan dan keinginan dalam kesunyian.

Konon bintang-bintang adalah perlambang masa-depan yang mendengar doa dan keluh-kesah kita. Dan bila kita tiada, kita pun akan menjelma bintang-bintang. Karena itu bintang-bintang adalah perlambang harapan sekaligus kehilangan. Kepada bintang-bintang kita pun menengadah dan berharap mereka mengabulkan apa yang kita inginkan. Dan di saat mereka tak tergapai, di saat itu pula harapan kita semakin kekal. Suatu hari yang entah kapan itu, kita pun akan bersatu dengan mereka di Aras nun jauh itu. Di sana kita kekal selamanya dan tak lagi takut pada kematian.

***
Malam itu kubacakan sajak-sajak romanku untukmu. Dan kau hanya terdiam di hadapanku. Lalu kau raih tanganku dengan keramahan yang tak kuduga sebelumnya. Saat itu aku percaya aku telah jatuh cinta dengan segera dan tiba-tiba.
***
Malam ini aku pun tiba-tiba teringat sebuah dongeng tentang sepasang kekasih yang mengalami kutukan. Ketika siang, yang perempuan berubah menjadi burung elang. Dan ketika malam, yang lelaki berubah menjelma anjing hutan. Yang lelaki menjadi pengembara siang dan sang elang kekasihnya itu selalu menyertai dan bertengger di pundaknya. Dan begitu pun sebaliknya, yang perempuan hidup di sebuah gubuk yang dibangun kekasihnya di hutan yang jauh dari perkampungan. Bila senja, sang elang lekas terbang menuju gubuk tersebut. Dan kekasihnya segera menyusulnya. Karena ketika malam-lah ia bisa melihat dan mengagumi kecantikan kekasihnya. Ia akan berbaring di pangkuan kekasihnya sembari mendengarkan keluh-kesah, doa, dan cerita-cerita kekasihnya tercinta. Di gubuk itu kekasihnya memandangi bintang-bintang dan si anjing hutan hanya mendekap di pangkuannya dengan lembut dan mesra.

Selama bertahun-tahun mereka seperti itu bergantian menjadi manusia dan binatang sembari terus berjuang untuk menemukan azimat yang dapat menghilangkan kutukan mereka. Agar tak lagi dipisahkan oleh siang dan malam. Yang tak lagi harus menunggu giliran untuk menjadi manusia ketika yang lainnya menjadi binatang.


Dan selama bertahun-tahun itu pula mereka menjalani hidup saling setia dan terus berharap doa mereka terkabulkan. Begitulah bila malam mereka sama-sama berdoa kepada bintang-bintang agar kutukan bisa hilang dan kembali sama-sama menjadi manusia.

***
Dan adakah nubuat bintang-gemintangmu itu? Apa yang kau nubuatkan? Nasibkah atau harapan masa depan seperti yang dijanjikan para mesiah itu? Aku juga tak mengerti arti sebuah rasi dan gugusan galaksi yang hanya mampu kukhayali.

Mungkin kau berbicara tentang sesuatu yang tak dapat kita pastikan. Yang hanya mampu kita duga-duga karena ketakpuasan hasrat kita pada yang ada. Tapi aku tak ingin kau ragu akan ketulusanku. Ketika kau bilang padaku: “jiwaku lelah!” Karena rasa lelah adalah ciri kenormalan. Karena keluh-kesah adalah ciri hidup yang mesti kita syukuri tanpa ragu. Meski harapan bagiku tak lebih kerinduan bawah-sadar kita pada ketiadaan yang tak teramalkan. Dan tak dapat kita pahami kenapa kita menginginkannya sekaligus takut padanya.

***
Hari demi hari mereka jalani bersama dengan doa dan harapan yang tak kenal kata menyerah dan putus-asa. Bila sang elang menjelma perempuan cantik saat matahari tenggelam, kekasihnya yang berubah menjadi anjing hutan akan selalu merebah di pangkuannya sembari mendengarkan dongeng-dongeng kekasihnya. Layaknya Syahrazad bercerita kepada Syahrayar dalam buku Kisah Seribu Satu Malam yang kubaca. Begitu juga ketika matahari terbit di pagi hari, sang anjing hutan yang berubah menjadi lelaki gagah akan selalu ditemani kekasihnya, sang elang, yang menjadi pemandunya mencari tempat-tempat untuk mencari pekerjaan dan makanan sehari-hari mereka.
***
Setelah bertahun-tahun mereka hidup dalam kutukan, di suatu malam ketika mereka tertidur lelap, mereka sama-sama bermimpi sebuah bintang jatuh di hadapan mereka dan menjelma seorang Peri Cantik. Peri itu berkata kepada mereka: “Carilah oleh kalian sebuah pulau yang bernama Negeri Phantasmagoria. Kalian akan menemukannya jika kalian menengadahkan wajah dan berdoa kepada rasi Orion di atas langit malam kalian. Dan jika kalian telah sampai di negeri itu, carilah sebuah goa tempat Sang Naga. Bunuhlah Sang Naga itu dan ambillah jantungnya untuk kalian persembahkan kepada si Putri Duyung di Danau Phantasmata yang tak jauh dari goa tersebut. Setelah itu kalian harus saling berciuman tepat ketika waktu menunjukkan titik yang mempertemukan sekaligus memisahkan batas antara siang dan malam. Di detik terakhir matahari akan tenggelam.

Dan ketika Sang Peri itu pergi ke langit dan kembali menjadi bintang, mereka pun terbangun karena terkejut dengan mimpi itu. Mereka pun segera melakukan apa yang dikatakan Sang Peri itu.

***
Keesokan harinya sang anjing hutan yang telah berubah menjadi lelaki gagah pergi dengan ditemani kekasihnya, sang elang, menuju sebuah pantai yang tidak terlalu jauh dari gubuk mereka. Sesampainya di pantai yang mereka tuju, si lelaki segera mengayunkan alat yang mirip kapak pada sepohon besar yang rindang.

Dengan tekun mereka membuat perahu. Dan ketika siang, mereka pun telah menyelesaikan perahu yang mereka buat. Mereka pun menaiki perahu tersebut dengan si lelaki yang mendayungnya.


Selama setengah hari dan satu malam mereka mendayung bergantian dan belum juga mendapatkan tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan Negeri Phantasmagoria. Ketika matahari terbit, maka sang anjing hutan yang berubah menjadi lelaki gagah yang akan mendayungnya. Dan bila malam, sang elang yang berubah menjadi kekasihnya yang akan mendayung. Mereka pun terus mengarungi lautan selama delapan hari sebelum akhirnya mereka tiba di Negeri Phantasmagoria yang membuat mereka terkagum-kagum karena keindahannya. Negeri itu tertutup kabut putih keperakan yang lebih mirip dinding es tebal.

***
Tapi aku tak ingin meneruskan dongeng itu. Karena aku ingin kau menduga-duga sendiri akhir cerita itu. Aku ingin kau yang meneruskannya. Mengarangnya kembali dan menceritakannya kembali sebagai dongeng kehidupan layaknya Kisah Seribu Satu Malam yang kubaca. Aku hanya ingin berkata arti pentingnya sebuah dongeng untuk mengobati kesepian. Agar kita selalu memiliki harapan dan tak menyerah untuk meraih apa yang kita inginkan untuk menjadi manusia. Aku tak ingin kau berhenti untuk terus berangan-angan. Aku ingin kau terus menuliskan dongeng-dongengmu sebagai penghiburan. Aku ingin kau memandang kesederhanaan dan kesahajaan sebagai sesuatu yang berharga. Agar kita bisa menerima kenyataan. Agar kita tak mencari kebahagiaan di tempat yang tak ada. Aku ingin dongeng itu dapat mencegah kita menjadi manusia yang terkutuk dan putus-asa. Dan aku ingin kau menyanyikannya.
***
Di atas langit itulah kini mereka telah menjelma bintang-bintang. Dan yang kuceritakan padamu hanyalah sepenggal kisah mereka untuk berjuang melawan kutukan yang telah menimpa mereka. Kutukan yang telah menjadi ikatan paling kuat dan paling setia cinta mereka yang tak kenal kata menyerah dan putus-asa. Kini mereka bahagia di sebuah tempat nun jauh itu. Di sebuah tempat nun entah di mana, aku juga tak tahu.

*) tulisan Hudan Nur

Potret Jogja - Darwis Triadi

| Maret 13, 2009 | Sunting

Misteri Ratu Boko

Misteri Boko
Mengunjungi Ratu Boko yang terletak di dataran tinggi di Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, selalu membuat saya merinding. Candi yang bertenggaan dengan Candi Prambanan ini, berjarak dua kilometer arah selatan, tidak hanya magis, tapi bobot vibrasinya sangat kuat.

Kompleks kepurbakalaan Ratu Boko, yang juga dikenal dengan nama Kraton Boko, karena menurut legenda di situlah letak istana Ratu Boko, saudara Loro Jonggrang, terbuat dari batu putih dan batu andesit. Situs ini merupakan peninggalan sejarah yang menunjukkan unsur-unsur agama Budha dan Hindu dari abad 8 – 10 Masehi, yakni pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Candi Prambanan sebagai salah satu peninggalan terbesar dari Kerajaan Mataram Kuno, memiliki keterkaitan dengan kompleks Ratu Boko. Candi Prambanan terletak pada salah satu garis imajiner dengan Ratu Boko, sehingga para ahli memperkirakan bahwa Candi Prambanan sebagai daerah sakral, sedangkan kompleks Ratu Boko sebagai tempat pemukiman yang lebih profan.

Simfoni Pasar Burung

Simfoni Ngasem
Secara tradisional ada lima simbol prestisius yang harus dimiliki oleh lelaki Jawa; rumah, istri, keris, kuda, dan burung perkutut. Bisa dipahami Pasar Ngasem atau yang dikenal juga sebagai Pasar Burung menjadi meeting point yang cukup penting bagi masyarakat Yogyakarta. Pasar ini tidak hanya menjadi pusat transaksi burung perkutut, yang kalau juara dalam perlombaan berkicau harganya bisa setara dengan mobil mewah, tapi juga jenis burung lainnya.

Sebagai pecinta burung meski sebatas hobi, saya merasa tidak asing dengan Pasar Burung. Pasar yang buka mulai jam 9 pagi hingga jam 4 sore itu mempunyai atmosfer yang khas. Kicau burung yang merdu, bersahut-sahutan bagai simfoni alam, keramaian orang-orangnya, lengkap dengan kekumuhannya, serta aromanya yang khas.

Lana, model yang saya foto, berkebaya encim modern berwarna terang, menjadikan paling menonjol di antara kerumunan orang-orang. Berpayung merah makin membuat makin kontras di antara pasar yang padat. Lana sendiri memang menonjol, dengan wajah Indonya, berkulit terang, berhidung bangir. Persis noni-noni Belanda zaman dulu yang sedang JJS (jalan-jalan sore).

Keramaian Pasar Prambanan

Hiruk-pikuk Pasar Prambanan
Kalau ingin tahu tentang kondisi sosial masyarakat tertentu datanglah ke pasarnya. Nasehat dari seorang teman tersebut ada benarnya. 

Pasar Prambanan, sekitar 15 kilometer dari Yogyakarta, adalah gambaran khas orang-orang desa, tepatnya pinggiran kota, yang sedang berubah.

Hari masih pagi. Sisa embun semalam baru saja menguap. Jalanan menuju ke Pasar Prambanan mulai ramai. Angkot, dokar, dan becak, paling banyak mendominasi jalan. Beberapa orang tampak bersepeda. Kendaraan angin yang biasa mereka kendarai untuk untuk mobilitas sehari-hari itu populasinya kini agak berkurang. Paling tidak, tidak sebanyak yang saya saksikan pada masa kanak-kanak saya dulu. 

Di pasar yang padat itu terlihat kesibukan para pedagang dan pembeli. Orang-orang desa tidak lagi polos, dan itu tergambar dari wajah mereka yang seolah menanggung beban berat kehidupan. Yang membedakan mereka dengan orang Jakarta adalah kekeluargaan antar mereka yang masih kental, serta kepasrahan menjalani kehidupan.

- Catatan Mas Darwis Triadi

Kebekuan Boko dalam Guratan Pena

| Maret 13, 2009 | Sunting
Gerbang depan Boko
tumpukan batuan kusam, bisu, mematung, tak berkata sedikitpun sebagaimana seorang tua yang telah tak kuat berucap namun masih juga menunjukkan kekokohan masa lalunya. dalam kebisuan ia pancarkan cerita masa lalu tentang kepemimpinan di puncak bukit boko.

gerbang nan kokoh seakan mengantar kita masuk ke dalam dimensi waktu ratusan tahun yang lalu, dan menjadikan kita raja di tengah istananya. menjelma boko yang menjaga heningnya perbukitan tuk lestarikan tampuk kekuasaan. laksana pula jonggrang yang tengah menikmati pagi di tengah puri.

Sumur-sumur putri
ini adalah keputren boko, inilah saksi kisah cinta yang berakhir nestapa, disinilah dahulu ksatria pengging bandung bondowoso itu melihat sinar di wajah roro jonggrang yang kemudian membuatnya jatuh cinta, air-air menghijau dalam cekungan danau seolah tak lagi pancarkan gairah tuk menjadi area pemandian setelah sang empu, jonggrang, hilang dijadikan pelengkap candi di prambanan. sungguh sebagian orang kemudian mempercayai air itu tetap mentransfer kecantikan jonggrang yang abadi. juga sebuah simbol kehidupan, meski tetap bertahan, suatu saat tetap akan mengenal kusam. tetapi sungguh, hanya kitalah yang mereka-reka tentang apa yang terjadi di sini, karena batu-batu hanya diam membisu. tak dapatlah menjawab tanya yang membuncah dalam dada.

Prajurit Kraton Jogja vs Prajurit Buckingham Palace

| Maret 08, 2009 | Sunting
"Aku beruntung tinggal di lingkungan jeron beteng," begitu kata seorang teman suatu ketika. Ada apa dengan kawasan yang masih berada di dalam benteng kraton Yogyakarta itu?
Dua generasi
"Kebetulan, rumahku hanya sekitar 50 meter meter dari Regol Kemagangan, bagian tengah Kraton. Persis di seberang rumahku ada nDalem Prabeyo, tempat yang bersejarah dalam peristiwa Janur Kuning di mana Sultan HB IX mengadakan pertemuan empat mata dengan Letkol Soeharto. Di belakang nDalem Prabeyo itu terdapat regol atau pintu gerbang yang menghubungkan dengan Kraton Kilen, kediaman Sultan HB X.Jalan di depan rumah kami, Jl. Magangan Kulon, adalah jalan buntu yang tidak dilalui lalulintas umum selain penghuni di kawasan ini. Atau sesekali orang yang nyasar. Jalan itu menghubungkan Regol Kemagangan yang merupakan pintu keluar bagi Sultan dan istri-istrinya yang mangkat atau meninggal dunia. Ketika HB IX meninggal, jenasahnya dilewatkan Regol Kemagangan dengan kereta kencana menuju Imogiri, kompleks makam Raja-raja Mataram yang jaraknya sekitar 20 km dari Yogyakarta." begitulah ceritanya panjang lebar.

"Pada hari-hari tertentu, seperti saat prosesi Garebeg, jalan depan rumah juga menjadi jalan yang dilewati barisan prajurit kraton yang beriringan menuju Regol Kemagangan. Ada 10 kesatuan prajurit kraton dengan kostum dan senjata aneka rupa, yaitu Prajurit Wirobrojo, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Mantrijero, Prajurit Prawirotomo, Prajurit Ketanggung, Prajurit Nyutro, Prajurit Surokarso dan Prajurit Bugis. 

Diiringi terompet dan genderang yang khas, sebelum upacara Garebeg dimulai, kesatuan prajurit kraton ini akan keluar dari markasnya di Pracimosona Alun-alun Utara kemudian berjalan ke Selatan melewati pasar Ngasem, lalu ke Timur menuju Regol Kemagangan, kemudian masuk ke kraton dan keluar lagi membawa gunungan menuju Masjid Gedhe di sebelah Barat Alun-alun Utara.Iring-iringan prajurit kraton ini merupakan tontonan yang nggak pernah bosan kami tonton sejak kesatuan prajurit ini dihidupkan kembali pada tahun 1970. Artinya sejak ibuku lahir musik khas dan derap kaki para prajurit yang lewat depan rumah setidaknya 3 kali setahun (Garebeg Maulud, Besar, dan Syawal) sudah terdengar.

Ternyata meski sudah lebih dari seratus kali mendengar, aku dan orang-orang kampung di sekitar masih saja menyerbu jalan untuk menonton barisan prajurit itu. Padahal dari tahun ke tahun nggak ada perubahan dari kesatuan itu, kecuali usia mereka yang kian tua dengan kulit muka yang makin keriput. Dan justru menambah dramatis, menyiratkan pengabdian yang tulus pada junjungannya. Mungkin itulah yang selalu membuat aku nggak bosan menontonnya." lanjutnya."Apalagi mengabadikannya dengan kamera." katanya lagi.

"Beda banget ama prajurit –prajuritnya Ratu Elizabeth. Mereka masih muda dan ganteng. Tapi cueknya setengah mati, nggak pernah sekalipun tersenyum. Biar sudah dijahilin seperti apapun, tetep aja diam seribu bahasa. Kecuekan para prajurit ini merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Banyak yang pengin foto bareng, termasuk aku." keluhnya.

Cuurr...
"AKU sengaja menyisihkan waktu untuk bisa motret prajurit cuek ini dari dekat. Kebetulan pula setiap hari diadakan prosesi pergantian prajurit berkuda di Whitehall Palace sebrangnya St. James Park (11.00) dan pergantian prajurit jaga di Buckingham Palace (11.30). Biarpun acara ini berlangsung setiap hari, tapi ternyata yang nonton berlimpah ruah. Mulai dari anak-anak sekolah yang dikawal guru, sampai turis-turis asing dari berbagai Negara, termasuk beberapa wajah Indonesia sempat saya lihat di sana.Prosesi pergantian Horse Guard sih nggak terlalu padat pengunjung. Mungkin karena waktu prosesinya hampir berbarengan dengan yang di Istana Buckingham, banyak turis yang memprioritaskan nonton langsung di Buckingham. 

Kalau saya sih nggak mau rugi. Mumpung lagi di London, sebisa mungkin dua-duanya dapet dong.Akibatnya saya harus berkejaran dengan waktu. Sehabis motretin prajurit berkuda yang kudanya jauh lebih tinggi dari tinggi badan saya itu, saya segera berlari melintasi St. James Park yang luuuaaasss banget untuk menuju Buckingham Palace. Kalau nggak lari, bisa ketinggalan momen, karena prosesi pergantian itu hanya berlangsung sekitar 30 menit. Lumayan ngos-ngosan juga sih. Sementara itu nyanyian genderang dan terompet yang dimainkan prajurit jaga di Buckingham Palace sayup-sayup terdengar menyusup lewat sela-sela pepohonan taman. Saya makin mempercepat langkah kaki. Takut udah bubaran.Begitu berhasil keluar dari taman, saya langsung dihadang kerumunan orang yang berdiri di trotoar untuk menyaksikan prosesi pergantian prajurit. Ya ampuun, banyak banget.

Inget Mr. Bean ya? Hehe
Padahal istana Buckingham masih di sebrang, tapi kerumunan itu memadati sepanjang trotoar. Kerumunan makin memadat di depan pagar besi istana sang ratu. Tubuh gendut saya juga kesulitan mendesak di antara kerumunan itu. Duh, masak udah nyampe sini nggak dapet gambarnya sihhh...!Aha, mataku menemukan sela-sela teralis yang bisa dimasukin lensa kamera. Segeralah kuseruak kerumunan. Baru beberapa kali jepretan, tiba-tiba ada mencolek-colek bahuku. Waktu kutoleh ke belakang, ups rupanya di belakangku makin berjubal orang . Si bule yang berdiri persis di belakangku, minta gentian pengin motret. Terpaksalah aku beringsut keluar dari kerumunan, memberi kesempatan pada turis lain untuk memotret dari sela-sela jeruji pagar besi." kenangnya.

Dan akhirnya, "Akh.. aku jadi keinget pas sekatenan. Ribuan orang usel-uselan mung arep moto para pengusung gunungan. Hehe..."

Catatan Matatita :)

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine