Aceh, Mozaik Kisah dari Berbagai Sudut Dunia

| Februari 16, 2013 | Sunting
Di Yogyakarta, saya berkawan akrab dengan Natsir, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga asal Takengon, Aceh Tengah yang selalu bersemangat menceritakan hamparan kebun kopi yang menarik hati di kampung halamannya - di pelukan pegunungan Gayo. Dengan detail ia ceritakan bagaimana rasanya menginap di pondok petani kopi, ikut memetik buah kopi tua dari pucuk pohonnya, mengeringkannya, hingga kemudian memprosesnya menjadi bubuk kopi harum yang rasanya memikat lidah. "Menikmati secangkir kopi Gayo yang baru saja dididihkan di atas perapian itu rasanya tidak terkira Bas! Kopi buatan bapakmu yang selalu kau suguhkan itu kalah jauh!", ungkapnya dengan bersemangat.
***
Di Jakarta, saya bersua dengan Hambari, seorang fotografer lepas pada suatu sore di sudut Taman Ismail Marzuki, Cikini. Saya sedang khusyuk menekuri buku fotografi bawah laut di kedai buku Jose Rizal Manua kala itu, tidak menyadari kehadirannya. Saya baru tersadar ketika putra asli Sabang ini membisiki saya, "Kalau mau melihat yang begituan, datanglah ke kampung saya, di ujung barat negeri, di Sabang!" Saya yang masih sedikit terkejut saat itu hanya terdiam. "Iyah, di Pulau Weh, ujung Aceh! Perkenalkan, saya Hambari!", tangan kami bertaut. Dan sejurus kemudian, kami sudah berpindah tempat ke salah satu kedai makanan laut di dekat pintu masuk TIM.

Dari sosok Hambari, yang baru saya kenal itu, saya dapatkan cerita tentang Pantai Gapang. Lautnya masih biru, pasirnya putih menentramkan, ombaknya memang sedikit keras namun itulah ombak laut lepas, demikian Hambari menuturkan. Saya hanya melongo karena memang tidak begitu tahu tentang Sabang dan Pulau Weh. Selama ini Wakatobi, Bunaken, hingga Mentawai sudah cukup memanjakan 'keanehan saya'. Aneh? Yah, saya ini takut air, tidak bisa berenang, namun begitu senang melihat keindahan lautan. Hambari terkekeh. Di Gapang, di bawah matahari sisi utara katulistiwa, kehidupan bawah lautnya tak kalah keren! Dari permukaan air sudah bisa kelihatan gugusan karang dengan ikan-ikan kecilnya yang lalu lalang, tak usah takut tenggelam!, Hambari menggodaku. Ah, dasar.
***
Di tengah kokoh berdirinya gedung-gedung pencakar langit di Kuala Lumpur, Zulhilmi, ketua Persatuan Pelajar Indonesia IIUM yang asli Aceh sering mengejek saya. "Sepelemparan mata saja dari Kuala Lumpur. Keterlaluan kalau dikau tak sempatkan untuk berkunjung ke Tanah Rencong!". Sosok Zulhilmi yang pekerja keras dan tulus menjalankan amanah perlahan mengikis kata orang yang sering saya dengar, "Orang Aceh itu malas-malas!".
***
Di Hong Kong, saya bertemu dengan Randy, bukan orang Aceh, namun orang Betawi, kuliah di UGM Jogja, dan menyimpan mimpi besar untuk bisa mengunjungi Aceh. Aha, akhirnya saya dapatkan rekan!, batinku.

Kamipun lantas berjanji, akan kunjungi Aceh suatu hari nanti, bersama-sama. Yah, dua orang Indonesia, pengagum Indonesia, pecinta Indonesia, berjanji berdua di tengah dinginnya udara Hong Kong di bulan Januari untuk bersama mengunjungi Tanah Rencong.
***
Yuk, ke Aceh
Pagi tadi, seseorang mengirimkan informasi tentang satu lomba menulis pada saya. Dan, begitu saya susuri informasinya, hati saya langsung meronta untuk ikut. Saya kabarkan informasi yang sama pada Randy!

"Ada komunitas, namanya @iloveaceh, yang tentu saja peduli pada Aceh dan berusaha mempromosikan Aceh melalui media maya. Mereka mengadakan lomba menulis, hadiahnya ke Aceh mas!. Saya tidak menjamin lomba ini akan menjadi penjawab mimpi-mimpi kita untuk ke Aceh bersama. Namun, bukankah tidak ada salahnya untuk mencoba kan kawan?"
"Ah, gila! Deadline sudah hampir datang!"
"Berlomba dengan deadline itu menyenangkan mas! Apalagi untuk sesuatu yang kita cinta dan kita pinta dalam setiap doa, agar suatu saat kita bisa ke sana: Aceh!"

Yah, bismillah. Aceh, aku (kami) datang!

Heatherwick : Ide Itu Adalah Saya!

| Februari 16, 2013 | Sunting
Apakah yang terlintas dalam benak kita begitu mendengar upacara pembukaan Olimpiade? Megah? Meriah? Besar? Tentu saja. Tidak terkecuali dengan kaldron yang akan menjadi tempat menyalanya api olimpiade sepanjang pertandingan berlangsung - juga harus megah! 

Hal yang sama juga terpikirkan oleh Thomas Heatherwick, ahli desain kenamaan yang juga pendiri Heatherwick Studio, ketika ditunjuk untuk merancang kaldron api Olimpiade London 2012. Api olimpiade (modern) sendiri diperkenalkan pertama kalinya pada pada tahun 1928, untuk mengenang peristiwa pencurian api dewa Zeus oleh Prometeus dalam mitologi Yunani Kuno. Sejak saat itulah kaldron api selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari olimpiade.

Buka pikiranmu, terbanglah sampai ide tertinggimu terraih! | Thomas Heatherwick @ MaD 2013
"Pada Olimpiade London 1948, kaldron olimpiade tidak lebih besar daripada altar gereja. Namun, setelah itu bentuk kaldron olimpiade bertambah besar setiap tahunnya. Penyelenggara seolah bersaing untuk menyajikan kaldron yang lebih besar dan megah! Saya ingin sesuatu yang berbeda!"

Dibutuhkan waktu dua bulan lebih untuk melakukan penelitian dan menggali ide tentang apa yang tidak dipikirkan orang, namun saat orang melihatnya, bummm, perhatianlah yang lantas tercurahkan! 

"Kuncinya sebenarnya adalah lihatlah ide sebagai bagian dari dirimu! Seperti seorang pelaut melihat lautan, selayaknya pendaki memandang gunung! Pikirkan tentang jalan apa yang bisa kamu temukan untuk melakukan yang rasanya seperti... membuat sesuatu yang sama sekali berbeda!"


Thomas benar-benar membuka MaD 2013 dengan sangat mengesankan. Semangat mudanya sudah terlihat sejak ia memasuki panggung dengan berlari kecil. Aksen Britishnya yang kental juga menarik perhatian telingaku untuk terus mendengarkan penuturannya walau harus dengan berdiri. Oh ya, venue utama untuk pembukaan tidak bisa menampung seluruh peserta, tetapi sebenarnya panitia sudah menyediakan venue tambahan yang akan mengitu seremoni pembukaan melalui video-streaming. Namun, karena ingin ikut merasakan arus semangat para pembicara, kami yang tidak mendapatkan tempat duduk keukeuh untuk berdiri di bagian belakang venue. :)

Thomas melanjutkan, brainstorming ide secara terus menerus dan juga berkat kerja sama tim yang sangat hidup, akhirnya ide gila tentang bentuk kaldron olimpiade London lahir. "Kami alihkan stigma publik yang selama ini berpikir bahwa kaldron 'harus besar, seperti monumen dengan menyuguhkan kaldron temporer yang mempunyai detail-detail kecil berbentuk kelopak bunga dari tembaga yang kemudian menyatu menjadi sebuah bunga besar."

Ide gila Thomas dan timnya - yang langsung diterima oleh Danny Boyle, Creative Director Pembukaan Olimpiade, nyatanya benar-benar membuat publik terhenyak! Khalayak kala itu sebenarnya diliputi pertanyaan besar tentang siapa yang akan membawa obor api olimpiade. Selain itu, pertanyaan yang lebih besar kemudian muncul begitu publik memadati Stadion London, dimanakah kaldron api olimpiadenya?


'Bunga' kaldron olimpiade buatan Thomas adalah rangkaian 204 kelopak tembaga yang setelah disulut api tangkainya naik perlahan dan membentuk sebuah bunga cantik. Thomas juga menambahkan tentang detail masing-masing kelopak yang berbeda satu sama lain, mewakili 204 negara yang bertanding di London. Uniknya, kaldron api Thomas bisa dibongkar. Seiring berlalunya olimpiade, kelopak-kelopak tersebut dibawa ke masing-masing negara peserta olimpiade, satu negara satu. (Milik Indonesia disimpan dimana ya? Pertanyaan ini berkecamuk dalam benak saya :D).

Semangat Heatherwick adalah semangat muda yang tak berbatas. "Ya karena semangat itu adalah saya! Ide itu adalah saya!"

Malam itu Thomas juga menunjukkan beberapa karya lainnya, termasuk Paviliun Inggris dalam World Expo 2010. Sebuah karya dengan detail keren dan juga, sepertinya memang ini sudah menjadi gaya Heatherwick, di luar  bentuk paviliun biasa! Sebagai sebuah karya seni, karya Heatherwick benar-benar futuristik dan menawan. Penasaran? Bisa dilihat di sini! Tak heran paviliun Inggris dikunjungi lebih dari 8 juta orang hanya dalam 6 bulan dan menyabet gelar The Best Pavillion! (Ngomong-ngomong,Paviliun Indonesia meraih medali perunggu untuk kategori Creative Display lho...)

Thomas Heatherwick adalah gambaran atas kekuatan kesederhanaan dan kejeliaan detail. Juga tentang pentingnya research, "...everything os based on very long-research!". Bagaimana Thomas berhasil memikirkan apa yang orang lain akan lakukan, dan apa yang orang lain tidak lakukan untuk melakukan perubahan. 

"The task is not so much to see what no one yet has seen... but to think what nobody yet has thought about that which everybody sees!"
Searah jarum jam : London Bus, Teesside Power Station, Guy's Hospital,  Roling Bridge
Dan di atas semua itu, Thomas berhasil memberikan sentuhan kemanusiaan di setiap karyanya, design for people, design for humanity - mulai dari desain London Bus (bus ramah lingkungan, anak-anak, dan juga mereka yang berkursi roda), Pusat Energi Teesside (pusat energi yang memanfaatkan biofuel), Guy's HospitalRolling Bridge (jembatan untuk pejalan kaki sekaligus hiasan kota), hingga Paper House (sejenis kios untuk pedagang kaki lima), dan University Building With No Corner (upaya merombak stigma dunia pendidikan yang masih 'bersudut-sudut')

Dan memang sudah seharusnya seperti itulah design: ramah dan peduli pada kemanusiaan! Tidak harus menggunakan label for humanity untuk memberikan dukungan pada misi-misi kemanusiaan, kenapa? Karena kita manusia! dan kalau bukan kita yang peduli? "Who will?", pungkasnya.

Terima kasih Heatherwick, terima kasih MaD 2013!
Catatan Hong Kong merupakan kumpulan tulisan saya selama mengunjungi negeri beton tersebut akhir bulan lalu untuk mengikuti Make a Difference Forum (MaD 2013). Dibiayai sepenuhnya oleh Home Affairs Hong Kong, penyelenggara forum ini adalah Hong Kong Institute of Contemporary Culture (HKICC). Menggumpulkan lebih dari seribu dua ratus anak muda dari 120 kota di seantero Asia, forum ini menjembatani tokoh-tokoh perubahan dari seluruh dunia dengan tunas-tunas muda Asia - pemegang estafet perubahan berikutnya. Catatan-catatan lain tentang kegiatan ini bisa dibaca juga di blog mas Wahyu dan Ratna. Oh ya, sebagian di blog mas Randhy juga :)  

Obrolan Malam Bersama Pram

| Februari 08, 2013 | Sunting
Aku tak sengaja melewatkan satu hari yang biasa kuperingati. Ini adalah ulang tahun seseorang. Kami bersua pertama kali berkat sebuah artikel koran pada hari yang sendu sekitar awal Mei 2006. Ada seseorang, kalau tak salah Esti Nuryani Kasam, menulis semacam memoar tentangnya di harian Kedaulatan Rakyat.

Dari sana, ketertarikanku untuk mengetahui lelaki ini muncul. Hanya saja, aku baru kesampaian membaca bukunya setahun kemudian, saat menjejaki akhir bangku kelas dua SMP. Kutemukan bukunya di perpustakaan sekolah. Ialah Pramoedya Ananta Toer, Pram.
Pram di kebun rumahnya, jalan Multikarya II/26, Utan Kayu, Jakarta Timur,  tahun 1994
Aku melahap Bumi Manusia dalam dua minggu — dengan penuh perjuangan memaknai setiap katanya tentu. Lantas berlanjut dengan Anak Semua Bangsa. Namun, setelah buku kedua ini aku memutuskan untuk menunda membaca buku ketiga dan keempatnya, memilih untuk membaca beberapa roman pendeknya karena waktu itu aku sudah menginjak tingkat terakhir di sekolah menengah. Berturut-turut aku baca: Gadis Pantai (resensi tentang roman ini sempat ditempel di mading sekolah), Bukan Pasar Malam, Midah Si Manis Bergigi Emas, dan Larasati. Hatiku semakin meleleh.

Memasuki SMA, aku menuntaskan dua buku tersisa dari Tetralogi Buru: Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Selain itu juga mendapatkan kesempatan membaca Sang Pemula, buku Pram yang juga dilarang edar oleh pemerintah sebagaimana bukunya yang lain. Buku itu pinjaman dari seorang guru bahasa Indonesia, "Saya menyimpannya selama bertahun-tahun. Kepala Sekolah dulu meminta saya untuk membakarnya, saya iyakan, namun sebenarnya saya simpan!"

Masih saat SMA, Panggil Aku Kartini Saja juga kutuntaskan. Ianya memberikan satu pandangan lain tentang tokoh emansipasi tersebut. Kemudian ditambah dengan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Cerita Calon Arang, Mangir, dan separuh Arok Dedes — karena memang bukunya di perpustakaan kami tinggal separuh.
***
Kami memang tidak saling mengenal, generasi kamipun terlalu jauh berjarak. Dan yang pasti, aku mengenalnya malah karena kematiannya. Namun, keintiman di antara kami melampaui semua kenyataan itu (lebih tepatnya ke-sok-akrab-an-ku). Malam ini, sehari setelah ulang tahunnya dan hampir tujuh tahun setelah kematiannya, kami mengobrolkan berbagai hal.
***

Anda dikuburkan dengan ritual Islam, tapi juga berkumandang lagu Internationale dan Darah Juang. Kan itu lagu kebangsaan komunis?
Ha, ha, ha, Anda ini kok berpikir seperti zaman dan pemerintahannya Orde Baru! Sedikit-sedikit komunis. Syarikat Islam sekalipun juga ada poros komunisnya, sampai ada SI Merah. Saya juga dikatakan komunis hanya gara-gara ikut Lekra! Dan karena itu pula saya dipenjara di Buru, tanpa pengadilan. Karya saya habis dibakar. Apa sekarang, setelah saya mati, saya mau dibakar juga?

Lho, Anda kan memang mengatakan bakar saja saya?
Oh itu? Anda baca tulisan Zen ya?

Maaf saya potong, tetapi panggil saya 'kamu atau 'Bas' saja, ..
Saya ini suka membakar. Ya rokok, ya sampah!
Aih, baiklah.

Jadi begini Bas, salah satu kegemaran saya adalah membakar sampah. Kegiatan ini sudah menyelamatkan saya dari sergapan sunyi selama bertahun-tahun di Buru. Selain itu saya juga gemar membakar rokok. Djarum Super! Haha.

Saya tidak mungkin memberi tahumu, apakah saya dibakar atau tidak di sini. Apalagi banyak pengagum saya, terutama yang beraliran materialisme, juga tidak setuju. Tentang apakah setelah kematian itu ada alam kubur, saya tidak mau berpolemik di situ. Hanya saja saat itu kondisi saya kan memang sudah kritis. Begitu saya dibawa pulang dari Carolus, rumah saya penuh orang. Termasuk juga ada wartawan-wartawan. Tapi anehnya berita saya meninggal malah sempat menyebar.

Tahlilan juga sudah digelar, katanya kalau memang saya diberi kesehatan ya agar sehat, tapi kalau tidak mereka juga sudah ikhlas.

Sampai pukul 02:00 saya bilang, dorong saja saya. Tetapi semua orang masih berusaha menyemangati! Saya sempat juga menanyakan apakah sampah sudah dibakar. Minta lampu-lampu dimatikan.

Yudhistira terus menunggui saya. Orang-orang lain juga, walaupun tak pasti siapa. Maimunah sepertinya tidak tega melihat saya meregang nyawa. Terakhir ya itu, saya kemudian mengerang dan memekik, "Akhiri saja saya, bakar saya sekarang!"

Saya akhirnya benar-benar berangkat pukul 08:55 pagi. Dulu sekali saya juga sempat berpesan, kalau saya mati, jasad saya dibakar saja, lalu tebarkan abunya!

Tapi, tidak pernah dilakukan ya...
Haha, saya dulu pernah bilang sama Sinar Harapan. Nggak ngerti kok hidup saya begini. Dirampas, diinjek, dihina. Karya saya dibakar dan dirampas, nggak ngerti saya sama mereka. Kalau negara membutuhkannya, silakan ambil. Tapi ya pakai tanda terima segala macam. Itu kan lebih baik. Lhah ini, dirampas dan dibakar, nggak ngerti saya.

Padahal dokumentasi saya itu mulai abad sebelumnya. Berapa harganya nggak bisa dihitung. Nggak ngerti kok bisa berbuat begitu. Tapi dari dulu saya sudah bosan dengan perasaan. Makanya karya-karya saya lebih banyak soal rasionalitas. Penulis sekarang juga harus berani dan mampu mengangkat hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Tapi memang ada risiko yang mesti ditanggung seorang diri.

Generasi sekarang banyak yang pemikirannya terlampau miskin, perhatiannya pada kemanusiaan nggak ada. Padahal itu urusan kalian lho, sudah bukan urusan saya lagi. Angkatan muda harus punya keberanian. Kalau tidak, sama saja dengan ternak yang hanya sibuk mengurus dirinya sendiri.

Tapi generasi sekarang ‘kan generasi buku sejarah?
Kalau saya, itulah pentingnya rekonstruksi sejarah! Saya tulis Kartini, saya tulis Arok Dedes, hingga Mangir dan Jalan Pos, untuk apa? Sumber-sumber yang jarang disentuh atau memang sengaja dikaburkan, harus dibuka kembali.

Arsip-arsip di Lentera, harian Bintang Timur, hingga harian Rakjat harus dibaca orang. Saya pun yakin Tempo menyimpan banyak catatan sejarah. Arsip-arsip semacam itu harus dijaga jangan sampai hilang lagi, karena sekali hilang, ya sudah, kita kehilangan sejarah.

Generasi muda jangan takut untuk maju, bicarakan ide-ide dan juga ketidaktahuanmu. Sekali kalian takut, kalahlah kalian!

Anda juga dituntut bertanggung jawab atas peran Anda di Lekra dulu...
Segala tulisan dan pidato saya di masa pra 65 itu tidak lebih dari golongan polemik biasa yang boleh diikuti oleh siapa saja. Saya tidak terlibat lebih jauh. Saya juga merasa difitnah ketika dituduh membakar buku segala. Apakah karena itu lantas buku saya juga dibakar oleh Orde Baru? Perkara itu dibawa ke pengadilan saja jika memang cukup materi. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri! Saya rasanya seperti dikeroyok, tanpa kesempatan untuk melawan.

Apakah Anda merasa dihukum oleh Orde Baru? Masyarakat?
Kenapa? Karena saya dipenjara tanpa pengadilan? Seumur hidup saya sudah 3 kali merasakan penjara. Pertama kali antara tahun 1947 hingga 1949 oleh Belanda. Kemudian pada masa orde lama Angkatan Darat memenjarakan saya setahun karena Hoa Kiau di Indonesia. Baru kemudian saya dipenjara selama 14 tahun 2 bulan oleh Orde Baru. Tanpa proses pengadilan, tanpa apa-apa. Saya dipindah-pindah dari Salemba, Nusa Kambangan, hingga ke Buru.

Berapa lama Anda di Buru?
Sepuluh tahun. Saya ini masuk rombongan pertama yang masuk Buru, sekaligus yang paling terakhir keluar dari sana. Tanggal 21 Desember 1979 saya ceritanya dibebaskan. Yah, saya masih begitu ingat hari itu!

Bagaimana pembebasan Anda dari Buru waktu itu?
Saya sudah hafal betul kebusukan Orba!
Ada ceritanya sendiri kalau itu. Untuk bisa naik kapal, kami harus mau menandatangani surat pernyataan yang isinya kami diperlakukan dengan baik di Buru. Rangkap tiga. Meski demikian, ada beberapa orang yang tidak juga diizinkan naik kapal termasuk saya. Kemudian ada seorang komandan datang, khusus pada saya ia mengatakan, “Pak Pram akan pergi naik kapal langsung ke Jakarta.”

Tapi saya sudah terlalu hafal dengan janji-janji semacam itu. Rumus saya, kalau yang dikatakan aparat adalah X, maka kenyataannya adalah minus X. Jadi saya sudah langsung berpikir: saya tidak akan dibawa ke Jakarta.

Dan nyatanya rumus itu benar. Sampai di utara Madura mungkin, kami dipindahkan ke kapal yang lebih kecil. Kemudian dikirim ke pantai. Baru setelah itu kami dinaikkan bus. Kami sudah menduga akan disembunyikan di Nusa Kambangan. Tapi, waktu di pelabuhan sebelum kapal berangkat, ada saksi dari gereja Katolik. Jadi, mereka ini melaporkan ke Ambon, Ambon ke dunia internasional, sehingga waktu kapal berangkat sudah ada berita di dunia internasional bahwa ada sebagian rombongan yang dipisahkan.

Sampai di Magelang, rombongan kami dimasukkan penjara. Di situ menunggu, lantas dipindah lagi ke tempat lain, baru kemudian dibawa ke Semarang. Baru di Semaranglah kami benar-benar dilepaskan, dengan kesaksian dubes-dubes luar negeri. Jadi rencana untuk menyembunyikan kami di Nusa Kambangan gagal. Dari Semarang kami dibawa dengan bis ke Jakarta. Masuk ke penjara lama Salemba, baru esoknya dibebaskan.

Kembali lagi: apakah Anda merasa dihukum oleh Orde Baru?
Begini, sepulang dari Buru sekalipun saya masih dikenakan tahanan rumah hingga 1992. Setelah itu, dikenakan tahanan kota dan tahanan negara hingga tahun 1999. Oh ya, juga dikenakan wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun! Namun, di saat yang sama, karya-karya saya di terbitkan. Juga diterjemahkan hingga ke 41 bahasa dunia. Saya juga menerima Magsaysay . Dan sejak 1981 saya dicalonkan sebagai penerima nobel. Bagaimana menurut Anda? Dihukumkah saya?

Haha, mungkin Anda tidak akan setenar ini kalau tidak dibegitukan ya...
Sayangnya saya menulis tidak untuk menjadi tenar! Saya hanya tidak ingin ditinggalkan sejarah. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis... hilanglah ia dari sejarah! Padahal, menghilangkan diri dari sejarah itu sama saja dengan menghilangkan satu potongan informasi untuk generasi anak cucu, dosa besar! Di luar itu, menulis, bekerja, berkarya, adalah pertanda daya hidup! Ketika orang sudah tidak lagi berkarya, sebenarnya ia sedang berjabat tangan dengan maut! Mayat hidup..

Idealis sekali Anda..
Yah, harus itu! Idealisme itu penting! Idealisme selalu saya tanam di tulisan-tulisan saya, bersanding dengan keadilan, kemanusiaan, dan kebudayaan. Bukankah semua itu lebih penting dari keindahan apapun?

Humm, maju mundur saya sebenarnya ingin menanyakan hal ini, bagaimana Anda melihat korupsi di negeri ini?
Sudah jelas sebenarnya, korupsi sudah ada sejak... lama sekali. Sejak jaman Tumapel, Amangkurat, hingga Bakir*. Tetapi satu hal, saya kok masih tetap percaya bahwa kalau manusia sudah tidak bisa lagi dicegah niat buruknya, besok atau lusa ia sudah bisa tukar benteng pertahanannya dengan uang...

Kemudian kawin lagi. Kemudian dijauhi kawan-kawan. Kemudian mendapat kawan-kawan baru yang semua ada dalam ketakutan. Haha... Petuah itu begitu lekat.
Yah, berbahagialah mereka yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannnya sendiri! Dan ingat, setiap hak yang berlebihan adalah penindasan! Sekali engkau menindas, habis sudah.

Ingat selalu apa kata Multatuli, kewajiban manusia adalah menjadi manusia! Bukan memperbudak, atau menjadi budak! Korupsi itu bukan hanya memperbudak diri sendiri, namun juga memperbudak orang lain! Menakutkan.

Terakhir, mengapa Anda mengidolakan Soekarno?
Mana yang lebih kamu inginkan, jawaban panjang atau ringkasnya sahaja?

Jangan terlalu pendek, namun juga terlalu panjang. Kalau bisa...
Megawati itu tidak ada beda dengan Soeharto!
Begini. Dia memersatukan dan memerdekakan negerinya. Dia membebaskan rakyat dari rasa rendah diri dan membuat mereka merasa bangga dan terhormat menjadi orang Indonesia. Semua ini terjadi sesudah kolonialisme ratusan tahun yang mengungkung kita.

Ia sanggup melahirkan nation, bukan sekadar bangsa, tanpa menumpahkan darah! Mungkin dia satu-satunya atau paling tidak satu di antara yang sangat sedikit! Kelahiran nation itu biasanya, dimana saja, selalu mandi darah!

Bandingkan saja katakan dengan Suharto yang harus membantai dan memenjarakan jutaan orang hanya untuk menegakkan rezim yang dia namakan Orde Baru. Sekadar rezim lho itu, tidak ada apa-apanya dengan nation, bangsa.

Oh ya, coba lihat tulisan New York Times, pada edisi kepergian saya. Tahun 2004 saya bilang kalau setelah Soekarno, yang ada itu cuma badut-badut yang nggak becus memimpin negara. Hahaha... Dan itu adalah jaman presidennya?

Jaman Megawati? Rasa dhongkol Anda padanya masih ada?
Bagaimana tidak? Jangankan pada para pendukung Bapaknya, dia sendiri apakah pernah menyinggung kesewenang-wenangan yang menimpa Bapaknya sendiri? Jaman Soeharto dia duduk di parlemen, dan tetep saja diam. Ingat jaman anak-anak PRD ditangkapi karena peristiwa Juli 1996? Mereka ini mendukung Mega lhoh, tetapi siapa malah yang membantu mereka? Mega? Bukan. Yang bantu malah seorang Jesuit, Sandyawan Soemardi. Bagaimana menurut Anda itu? Terakhir kan ini?

Haha. Oh ya, selamat ulang tahun, maaf terlambat...
Haha, katanya sudah terakhir? Hmm, memang tidak terasa umur manusia lenyap sedetik demi sedetik ditelan siang dan malam. Tapi, masalah-masalah manusia tetap muda seperti waktu. Dimanapun juga dia menyerbu ke dalam kepada dan dada manusia, kadang ia pergi lagi dan ditinggalkannya kepada dan dada itu kosong seperti langit!

Selamat malam Tuan Minke...
***
Saat ini aku tengah berusaha menyelesaikan All That Is Gone, terjemahan Cerita dari Blora, selain terkadang mencuri waktu untuk membaca paruh kedua Arok Dedes dan buku hasil suntingan Pram: Cerita dari Digul. Tentang Sekali Peristiwa di Banten Selatan bisa dibaca di sini.

catatan:
Obrolan ini sebagian besar adalah tulisan mas Iwan di majalah Indie: Pramoedya Ananta Toer, Sebuah Wawancara Imajiner. Foto-foto Pramoedya dalam tulisan ini milik IISG dan Revitriyoso Husodo.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine