Antara Susno dan Mbah Priok

| April 20, 2010 | Sunting
Susno Duadji
Body language-nya tak begitu mengesankan sebagai seorang polisi yang sangar. Cara berbicaranya juga enteng, tanpa beban, dan diksinya dalam berkomunikasi dengan publik juga enak didengar. Hal inilah yang menjadikan pendengarnya betah berlama-lama mendengarkan apa yang ia omongkan. Namanya tiba-tiba melesat bak meteor. Dialah Susno Duadji, pria kelahiran Pagaralam, Sumatera Selatan, yang akhir kisahnya tengah ditunggu-tunggu banyak orang.

Tetapi, ngomong-ngomong, kenapa ya ontran-ontran Susno berdekatan dengan keberhasilan Polri membongkar jaringan terorisme? Tak juga jauh dari heboh skandal Bank Century? Lalu mengapa pula kasus Mbah Priok sekonyong-konyong muncul di pentas keamanan negeri?

Ada apa ya kok seakan polisi tak boleh menikmati “bulan madu” dari sukses besar menggulung gembong terosris Noordin M. Top. Dunia kepolisian juga seolah digunjing, dicaci dimana-mana oleh masyarakat karena kinerjanya yang sama sekali tidak memuaskan.

Ribuan pasang mata dan telingan memang tengah tertuju padanya, apakah memang ia malaikat juru selamat bagi kepolisian Indonesia? Atau apakah ia hanya manusia biasa seperti yang lain? Ia bisa menjadi kelewat mahal jika omongannya benar, dan “nyanyiannya” menjadi tenaga super power mengubah citra Polri yang memang buruk di sana sini. Sebaliknya, masalah Susno juga menjadi kusak-kusuk jalanan yang memperkeruh keadaan karena ada banyak orang di negeri ini yang kerjaannya memang suka mencari sensasi tanpa berpikir apakah akibatnya.

Berani dan nekat! Itulah yang terkesan dari sosok Susno. Berani karena memang tidak lazim seorang yang berada dalam sebuah korps besar seperti Polri dengan seabrek kode etik yang kudu dijunjung tinggi sekan-akan diacak-acak begitu saja oleh orang yang lama malang melintang di dunia kepolisian. Nekat, karena memang bicaranya tidak bisa direm oleh siapapun. Ia melaju kencang menerjang siapa saja dengan ungkapan-ungkapan yang di satu sisi membuat orang semakin ketar-ketir, namun di sisi lain menarik sebagai tontonan akrobatik yang mendebarkan. Oh Susno, ada apa denganmu kok menjadi sebegitu nekat dan berani?

Mungkin lelaki satu ini masuk dalam spesies manusia langka yang dalam komunitasnya dianggap tak lumrah dan nganeh-nganehi. Untuk popularitas atau panggilan hati atau membayar kekecewaan terhadap kepolisisan yang seolah membuatknya terkatung-katung tak menentu nasibnya setelah dilengserkan November tahun lalu? Entahlah, hanya Susno dan Tuhan saja yang tahu. Dulu, kita mengenal nama Pak Lopa yang juga begitu. Suka berpikir dan bertindak inkonvensional dalam dunia hokum namun begitu cepat dipanggil Yang Kuasa sehingga tak sempat menikmati hasil jerih payahnya yang berhasil membangun budaya hukum yang baik di negeri ini.

Socrates tak akan pernah dilupakan orang ketika memilih meminum racun Hemlock demi mempertahankan kebenaran yang oleh lingkungannya dianggap melanggar norma kepatutan. Ia boleh mati konyol. Tetapi generasi sesudahnya akan mencatat bahwa penguasa sering tak menggunakan nurani dan akal sehat dalam memelihara kebenaran. Mereka lebih mentingin stabilitas ketimbang ikut mencari kebenaran. Lebih mentingin pertemanan daripada mencari kearifan. Namun bagi kelompok orang-orang seperti Socrates juga akan dicatat sebagai seorang yang tidak pandai menyesuaikan diri dengan situasi politik yang melingkupinya. Ia bisa dianggap berani melawan trandisi namun juga bisa dianggap orang nekat yang mengacak-acak tatanan masyarakat.

Kembali ke soal Mbah Priok, di Indonesia ini memang kaya akan cerita aneh, orang yang sudah mati dianggap mampu mempersatukan orang yang masih hidup karena yang pernah berkunjung ke makam itu tak pernah bertanya pada afiliasi politik dan warna bajunya. sebaliknya, ia mampu mengobarkan konflik berdarah-darah kalau ada yang mengusik penggemarnya.

Dalam perspektif ekonomi materialistik apalah artinya seorang Mbah Priok toh bisa direlokasi ke tempat lain yang lebih tenang ketimbang berhimpitan dengan lalu-lalangnya kontainer di pelabuhan. Mereka ini lupa akan harga dari sebuah keyakinan terhadap orang alim yang dianggap dekat dengan Gusti Allah. Pun bangsa ini sudah terlanjur akrab berurusan dengan makam keramat yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Rote sampai ke Talaud (hehe, kok jadi iklan?). Dari aspek ekonomi, rakyat kecil sering mendatangi makam tersebut dengan alasan akan mendatangkan rejeki. Juga membawa rejeki untuk mereka yang menangkap kesempatan lewat pasar tiban akik hingga minyak Arab ataupun persewaan toilet.

Nanti entah ada masalah apalagi yang menjadi pekerjaan rumah besar untuk negeri ini hingga secara sadar kemudian kita dikelilingi oleh berbagai jenis komoditas asing yang membuat pengusaha lokal perlahan-lahan jatuh kelimpungan. Usaha kecil dan menengah rontok satu persatu karena tak mampu bersaing dengan produk asing. Sumber kekayaan alam banyak yang mangkrak dan kalaupun dieksploitasi itu oleh pihak asing, paling tidak kudu bermitra dulu dengan mereka, seperti Freeport dan Exxon. sebagian besar dari kita hanya jadi penonton saja yang tak kebagian apa-apa. Akankah terus-menurus kita setia menjadi penonton atau harus berusaha menjadi pemain yang bisa mengubah jalan sejarah seperti Susno kalau ia memang tulus?

Satu Siang Berdarah di Priok

| April 15, 2010 | Sunting
Seorang perempuan dan anak lelaki melintasi bekas tempat kejadian | Viva
Hari ini tadi hampir semua media di tanah air menjadikan tragedi Priok sebagai headline-nya. Tragedi ini terjadi kemarin, saat akan dilakukan penggusuran, atau meminjam bahasa aparat: penertiban area makam Mbah Priok oleh aparat Satpol PP. Oh ya, Mbah Priok sendiri diyakini sebagai salah satu ulama penyebar agama Islam di Jakarta.

Mengerikan mungkin menjadi kata yang pantas keluar setelah menyaksikan beritanya di layar televisi. Bentrokan terjadi sepanjang hari Rabu, 14 April 2010 kemarin. Penggusuran yang dilakukan oleh sekelompok Satpol PP dibantu oleh pihak kepolisian ini dimulai sejak pagi hari. Sebetulnya, menurutku, akar masalah tragedi Priok ini sebenarnya bukan dari masalah rencana penggusurannya, namun lebih pada kekurang-bijaksanaan kedua belah pihak, baik dari pihak satpol PP maupun dari masyarakat sendiri.

Banyak pihak menilai Satpol PP dan pihak kepolisian terlalu arogan dalam melakukan proses penggusuran. Tiba-tiba saja pada pagi hari kemarin ratusan petugas berseragam menyerbu wilayah pemakaman Mbah Priok, merangsek gerbangnya. Tentu, bagi warga yang tidak mengerti, apalagi wilayah pemakaman Mbah Priok ini dapat dibilang sebagai sebuah kawasan suci karena seperti dibilang di awal Mbah Priok -konon nama aslinya Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad- merupakan tokoh Islam sekaligus mujahid yang telah berjasa menyebarluaskan agama Islam di Jakarta, akan merespon negatif sikap Satpol PP ini. Akibatnya ratusan warga yang emosi dengan sikap Satpol PP yang menurut mereka tidak bijaksana, mementingkan kepentingan sekelompok orang berduit di PT Pelindo, turun ke jalan dan menghadang petugas.

Ternyata kisah berlanjut semakin keras. Penghadangan warga ini terus meningkat menjadi sebuah tragedi berdarah yang menelan banyak korban, baik dari pihak Satpol PP maupun masyarakat.Ratusan orang mengalami luka-luka, dan dilaporkan pula 2 nyawa telah hilang dengan sia-sia.

Kekerasan terus berlanjut hingga petang menjelang, walaupun konon sempat mereda karena guyuran hujan, dengan beberapa mobil terbakar, kendaraan roda dua milik wartawan juga rusak berat, dibakar, dan kemudian diberedeli bagian-bagiannya. Semakin malam, beberapa oknum masyarakat mulai merangsek masuk kantor PT Pelindo dan menjarah barang-barang kantor yang ada di dalamnya.

Entah apa yang sebenarnya terjadi. Apakah motif Satpol PP hingga teganya menggusur tanah bersejarah milik masyarakat? Padahal ada seorang warga yang mengklaim sebagai ahli waris dengan menunjukkan dokumen resmi kepemilikan tanah pemakaman tersebut. Namun di sisis lain PT Pelindo juga menunjukkan dokumen penjualan atas tanah tersebut kepada pihak perusahaan tesebut.

Namun, apa pula motif masyarakat melakukan penyerangan yang demikian keras? Seandainya hanya mempertahankan lokasi yang bernilai agamis dan kultural, mengapa harus sampai membunuh dan menjarah? Atau mungkin ada "oknum" yang memanfaatkan ketegangan yang ada untuk melakukan keonaran?

Dari tayangan televisi aku dapat melihat betapa mencekam suasana bentrokon fisik antara warga yang menolak eksekusi lahan dengan Satpol PP dibantu polisi tersebut. Lemparan batu. Kilatan senjata-senjata tajam. Letupan tembakan. Semprotan water canon. Menjadi senjata utama. Hingga korbanpun kemudian berjatuhan dari ke dua belah pihak. Itulah sekelumit gambaran priok berdarah kemarin. Serem memang, namun ada satu hal yang harus kita cermati. Bahwa pola-pola kekerasan terus menerus menjadi ajang untuk penyelesaian atas sebuah masalah di Indonesia. Mulai dari rakyat jelata sampai dengan anggota dewan, semuanya beradu jotos demi kepentingan masing-masing.

Republik ini memang tengah sakit karena digerogoti penyakit-penyakit dalam yang semakin kronis. Rasa kasih sayang antar sesama manusia semakin luntur, berganti dengaan kebencian yang beranak pinak. Apakah kita akan mewariskan kebencian, kebobrokan. dan kecarut-marutan negara ini untuk anak cucu tercinta kita?

Semoga saja tragedi Priok kemarin dapat membuka mata hati kita semua, mata hati pemerintah, masyarakat, Satpol PP, polisi, dan semua rakyat Indonesia bahwa sebenarnya kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan sebuah masalah. Bahkan, malah akan menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih besar.

Dan yang pasti: kita semua berharap tragedi yang memilukan seperti ini tidak akan terjadi lagi.

Si Penebang Pohon dan Kapaknya

| April 05, 2010 | Sunting
Kapak kayu dalam film Careful with That Axe! (2008)
Suatu masa, hiduplah seorang pemuda yang kuat dan giat bekerja. satu hari, ia berniat untuk mencari uang dengan mengandalkan keahliannya dalam menebang pohon. Maka datanglah ia ke seorang pedagang kayu, hingga akhirnya ia mendapatkan pekerjaan yang ia inginkan: penebang pohon. Sang majikan membekalinya dengan sebuah kapak yang akan membantunya ketika bekerja.

Maka mulailah pemuda itu bekerja. Ia ditugaskan untuk menebang sejumlah pohon. Setelah menunjukkan pohon-pohon mana saja yang harus ditebang, sang majikanpun pulang. Dengan giat si pemuda menebang pohon demi pohon. Sepanjang hari ia mengayunkan kapaknya, hingga senja datang, ia telah berhasil merobohkan 8 batang pohon. Sang majikanpun senang dan terkesan dengan pekerjaan si pemuda.“Hasil kerjamu sungguh luar biasa! Saya sangat kagum dengan kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan bekerja seperti itu." pujinya tulus.


Sangat termotivasi oleh pujian majikannya, keesokan hari si penebang bekerja lebih keras lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, dia bekerja lebih keras lagi, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang berhasil dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku. Bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa malu dan putus asa. Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang memadai dan mengeluh tidak mengerti apa yang telah terjadi.


Sang majikan menyimak dan bertanya kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?”


“Mengasah kapak? Saya tidak punya waktu untuk itu. Saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi hingga sore dengan sekuat tenaga,” kata si penebang.

“Nah, di sinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka kamu bisa menebang pohon dengan hasil luar biasa. Hari-hari berikutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama tetapi tidak diasah, kamu tahu sendiri, hasilnya semakin menurun. Maka, sesibuk apa pun, kamu harus meluangkan waktu untuk mengasah kapakmu, agar setiap hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang maksimal. Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali bekerja!” perintah sang majikan. Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucapkan terimakasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak.

“Istirahat bukan berarti berhenti.Tetapi untuk menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi."Sama seperti si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi hingga malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas terpola. Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga seringkali melupakan sisi lain yang sama pentingnya, yaitu istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, wawasan dan spiritual. Jika kita mampu mengatur ritme kegiatan seperti ini, pasti kehidupan kita akan menjadi dinamis, berwawasan dan selalu baru!

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine