Bekasi Kemarin Hari

| Oktober 15, 2014 | Sunting
Bekasi tengah dirundung orang ramai. Konon penyebabnya adalah terlampau panasnya daerah di timur Jakarta tersebut. Gambar-gambar bernada olokan pun bergulir di dunia maya. Bumbu-bumbu lain bermunculan. Dari kondisi jalan, hingga harga makanan.

Aku sendiri belum pernah ke Bekasi, seingatku. Tetapi, suatu ketika aku pernah salah naik KRL. Harusnya aku naik komuter ke arah Bogor, tetapi malah melompat ke kereta tujuan Bekasi. Tepat sebelum kuurun di stasiun Manggarai, seorang kakek di samping saya menyelamati, "Untung belum kebawa sampai ke Bekasi!" Yah, terbawa sampai ke Bekasi adalah kemalangan tak terkiri bagi si Kakek.

Perjumpaanku dengan Bekasi mungkin sudah dimulai sejak bangku sekolah dasar, pada pelajaran IPS. Sumbernya bukan lain tentu adalah kisah Purnawarman dan kerajaan Tarumanegaranya. Dalam salah satu prasasti peninggalannya, konon diceritakan tentang selesainya penggalian saluran air Gomati dan Candrabhaga pada tahun ke duapuluhdua pemerintahannya.

Dari Candrabhaga tersebutlah, seperti dipercayai oleh Purbacaraka, nama Bekasi berasal. Ahli filologi UI tersebut pada 1951 mengungkapkan bahwa kata Candrabhaga terbagi dari dua bagian yakni Chandra yang artinya bulan, dan Bhagia bermakna bagian. Nah, kata Chandra memiliki makna yang sama dengan kata Sasi dalam bahasa Jawa Kuno. Sehingga, seringkali orang juga menyebut Candrabhaga dengan Sasibhaga - yang apabila diterjemahkan secara terbalik menjadi Bhagasasi. Dari situlah Purbacaraka mempercayai asal nama Bekasi

Aku yakin apa yang teman-teman dapat dari Guru IPS masing-masing kurang lebih sama. Sebagian besar hanya menceritakan konklusinya mungkin.

Ketika kelas 6 SD, buku paket bahasa Indonesia mencantumkan salah satu puisi Chairil Anwar yang legendaris, Karawang-Bekasi. Saat itulah kali kedua perkenalanku dengan Bekasi. 
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
...
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Ada banyak versi tentang peristiwa dibalik puisi ini. Salah satunya merujuk pada pembakaran Bekasi oleh Inggris pada 13 Desember 1945. Mulanya, sebuah pesawat Dakota yang terbang dari Kemayoran menuju Bandung mendarat darurat di Rawa Gatel, Cakung (Cakung masuk ke wilayah Bekasi hingga tahun 1970-an, sebelum kemudian masuk wilayah Jakarta Timur) pada akhir November 1945.

Isi pesawat tersebut adalah 4 awak berkebangsaan Inggris dan 22 tentara Gurkha. Kesemuanya dilucuti pakaian dan senjatanya oleh rakyat dan dibawa ke tangsi TKR. Mereka kemudian dibunuh pada awal Desember. Sekutu yang murka lantas membumihanguskan Bekasi. Keganasan Sekutu digambarkan oleh Army News, bertanggal 15 Desember 1945, terbitan Australia dengan kalimat ... Bekasi looked like "a picture of an atom bomb explosion,"...
Bekasi dibumihanguskan!
Tentang pembakaran ini Rosihan Anwar, kemungkinan dalam bukunya, Antara Karawang Bekasi, menuturkan, ...Waktu kita melewati Bekasi, nampaklah di tepi jalan rumah-rumah habis terbakar menjadi debu sebagai akibat kekerasan Inggris. Pemandangan amat menyedihkan, mengingatkan kita bahwa di sana ada jejeak peperangan. Akan tetapi, justru dekat reruntuhan rumah itu kita melihat perempuan turun ke sawah, memasukkan benih-benih ke dalam lumpur. Pertentangan ini mengharukan jiwa musafir, sebab di dekat reruntuhan muncul dengan tabahnya usaha menghidupkan. Itulah bangsa Indonesia penuh vitaliteit, mempunyai banyak kegembiraan dan tenaga hidup berlimpah-limpah...

Kisah-kisah heroik di Bekasi juga bisa temukan kemudian melalui tulisan-tulisan Pramoedya. Oh ya, Pram sempat menjadi prajurit Badan Keamanan Rakyat yang ditempatkan di kesatuan Teruna di Cikampek, dekat Bekasi. Melalui roman Di Tepi Kali Bekasi misalnya, Pram memberikan gambaran kehidupan para pemuda yang membaktikan dirinya menjadi tentara republik, utamanya melalui tokoh Farid.

Dengan gaya tuturnya yang khas, ia gambarkan semangat para pemuda nasionalis itu berjuang mempertahankan bangsanya melalui sebuah basis perjuangan di pinggiran Kali Bekasi. Pram menuliskan misalnya, ...Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, seorang kapten Tentara Keamanan Rakyat dengan bantuan dua belas orang prajuritnya telah berhasil membinasakan satu seksi pasukan Jepang yang hendak mengacaukan daerah Bekasi...

Bekasi kemarin hari menyiratkan sebuah inspirasi, juga romantisme revolusi. Ah, aku jadi teringat pada satu lagu gubahan Ismail Marzuki, Melati di Tapal Batas, yang saya dengar secara tidak sengaja di Konser Keroncong Merdeka Malaysia 2012: ...Engkau gadis muda jelita. Bagai sekuntum melati. Engkau sumbangkan jiwa dan raga, di tapal batas Bekasi... 

Yah, anak-anak gadis Bekasi digambarkan keberaniannya sampai turun ke medan laga. Meski begitu, lagu ini seolah ingin meminta mereka untuk kembali ke kampung-kampungnya, mengurus sawah dan ladang. ... Duhai putri muda remaja, suntingmu kampung halaman. Kembali ke pangkuan bunda, berbakti kita di ladang...

Aku mendadak malu dengan gadis-gadis Bekasi kemarin hari itu.

Sumber Gambar: Perpustakaan Nasional Australia

Sepotong Petang di Tokong Chin Swee

| Oktober 14, 2014 | Sunting
Pagoda sembilan lantai di Chin Swee
Jumat petang pekan kemarin, kami terjebak hujan di Tokong Chin Swee, Genting. Bukan terjebak sebenarnya, tetapi bisa dibilang menjebakkan diri. Sudah hampir dua minggi ini petang di Gombak dan sekitarnya selalu ditemani oleh guyuran hujan dan kami malah memutuskan untuk keluar sore-sore, sekitar pukul empat. Perjalanan Gombak - Genting ditempuh selama sekitar satu jam, Ali yang mengemudikan mobil. Saya duduk di kursi sampingnya, sementara Puspa dan Ami duduk di belakang. Sepanjang perjalanan kami penuhi dengan berbagai pembicaraan acak: mulai dari upacara sekolah, hingga obat-obatan.

Perbedaan utama kawasan tinggi Genting dengan Gombak ataupun KL adalah udaranya yang lebih dingin. Kelebihannya adalah jaraknya yang hanya sepelemparan batu dari KL. Itulah mengapa taipan Lim Goh Tong tertarik untuk mulai membangun kawasan ini hanya 8 tahun setelah Malaysia merdeka.

Mendiang Lim sendiri adalah Tionghoa totok. Leluhurnya berasal dari Penglai, Shandong tetapi sudah pindah dan menetap bagian selatan provinsi Fujian, pada sebuah daerah pegunungan bernama Anxi. Di tempat tersebutlah Lim Goh Tong dilahirkan pada 1918. Orang tuanya, Lim Shi Quan dan Goh Ban, adalah orang desa biasa yang bekerja sebagai penjual bibit sayuran dan kelinci untuk menghidupi ketujuh anaknya - Jing Ya, Lim Zhuang, Lim Bau, Lim See, Lim Goh Tong sendiri, Lim Mei dan Jing Kun yang paling muda.

Meski dilahirkan dalam masa transisi politik yang cukup kacau, Lim kecil tumbuh dalam kondisi yang cukup tentram di desanya. Bahkan ia diceritakan sempat mengenyam bangku sekolah. Hanya saja, kematian mendadak ayahnyalah yang lantas memaksanya berhenti sekolah untuk menghidupi keluarganya. Ia dan kakaknya meneruskan pekerjaan sang ayah menjajakan benih sayuran.

Patung Lim Goh Tong
Tahun 1937 Lim bertolak ke Malaya, waktu itu masih jajahan Inggris, melalui Singapura. Di Malaya, Lim menghidupi dirinya dengan berbagai macam pekerjaan. Mulai dari tukang kayu di tampat pamannya, sub-kontraktor, bertani sayur, berjualan teh, berjualan barang bekas hingga akhirnya bergelut di bidang kontruksi kembali. Dan salah satu hasil karyanya yang masih bisa kita lihat hingga sekarang ya kawasan Genting yang dimulai tahun 1963. Proses pembangunannya selesai sekitar sepuluh tahun kemudian, dengan memanfaatkan tanah pemberian dua negeri: Pahang dan Selangor. Yah, tanah tempat berdirinya pusat wisata Genting yang terkenal itu didapat secara cuma-cuma dari pemerintahan dua negeri, konon dengan campur tangan para petinggi.

Tokong Chin Swee sendiri mulai dibina tahun 1975, setelah pembangunan Genting Highlands Resort selesai. Di bangun di lereng Gunung Ulu Kali, tokong ini merupakan bentuk terimakasih Lim Goh Tong atas keberhasilannya menyelesaikan proyek Genting. Melalui tokong di tengah gunung inilah Lim Goh Tong ingin menghadirkan tanah kelahirannya di Anxi ke bumi Malaysia.

Nama Chin Swee sendiri bukanlah nama yang asing bagi sebagian besar penduduk Anxi. Dilahirkan sebagai Chen Zhao Eng sekitar 900 tahun yang lalu, ia memulai hidup sebagai biarawan sejak usia yang sangat muda. Berkat ketekunannya dalam belajar, konon ia berhasil meraih tingkatan spiritualisme tertinggi dalam kepercayaan Budha. Selain itu, ia juga belajar ilmu pengobatan tradisional China yang membuatnya juga dikenal sebagai tabib yang gemar membantu sesama.

Keluhuran budi dan pemahamannya tentang ajaran agama juga membuat doanya "ampuh". Ketika wilayah Anxi dilanda kekeringan misalnya, doanya berhasil membuat Anxi kembali tercurahi air hujan. Karena itulah namanya dikenal hingga ke pelosok-pelosok An Xi. Paska kematiannya, ia dikenal sebagai Chin Swee.

Kisah yang mengakar di kalangan penduduk An Xi itu pulalah yang membuat Lim Goh Tong lebih mudah dalam mengumpulkan donasi pembangunan tokong tersebut - di luar donasi pribadinya, dari orang-orang An Xi yang merantau ke Malaysia. Namanya begitu dihormati oleh para pengikutnya, sehingga mereka berlomba-lomba untuk mendukung pembangunan tokong penghormatan untuk Chin Swee. Pembangunannya sendiri selesai tahun 1994.

Tokong ini terdiri dari beberapa bagian sebenarnya, tetapi karena hari yang sudah cukup sore kami memutuskan untuk langsung ke bagian atas tokong dimana merupakan sebuah tempat terbuka dengan pemandangan utama bentang alam yang hijau. Petang ini udara cukup dingin, membuat perut terasa begitu lapar. Kami berjalan mengitari beberapa bagian saja. Beberapa kali pula harus berteduh ketika hujan turun.

Selain sebagai tempat wisata, fungsi utama tokong masihlah sebagai tempat ibadah. Sehingga para pengunjung juga harus lebih mengerti situasi dan kondisi agar tidak mengganggu aktivitas-aktivitas peribadatan.

Sebuah patung Buddha berukuran besar terduduk menempel dengan dinding gunung dengan posisi tangan Shuni Mudra yang melambangkan kesabaran (mohon dibetulkan apabila saya salah sebut).
to·kong n kelenteng; toapekong

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine