Saat Kita Hampir 63 Tahun...

| Agustus 15, 2008 | Sunting
Lampu merah perempatan Monjali menyala. Afri-13-mendekati mobil-mobil yang berhenti sambil menenteng gitar kecilnya. Beberapa pengemudi memberinya uang logam Rp 100-an. Yah baru Rp 400 yang terkumpul di kalengnya siang itu. 

Afri menjadi anak jalanan sejak umur 10 tahun, meninggalkan bangku sekolah waktu kelas 4 SD. Dan semenjak itulah bayangan senangnya bersekolah sudah terlewatkan, berganti hitam-putih, suka-duka kehidupan jalanan. Karena itu pula dia jadi semakin jarang pulang ke rumah. Hidup beralaskan jalanan dan berteduhkan pada bentangan langit yang maha luas. 

"Malas ah sekolah, enak mengamen di jalan, bisa cari uang untuk jajan dan bantu ibu," tukas Afri.
Potret anak jalanan
Ironis memang yang tertangkap dari petikan berita tersebut. Apalagi sampai saat ini anak jalanan adalah masalah besar yang belum temukan jalan keluar. Bahkan terkadang orang tua adalah salah satu penyebab seorang bocah menjadi anak jalanan.

Kenapa? Karena tak jarang mereka yang memaksa anak-anak untuk bertarung di jalanan berebut gemerincing uang logam yang menari-nari lewat petikan gitar yang sumbang. Atau bahkan hanya dengan sodorkan kaleng rombeng pinta uang belas kasihan. Namun yang lebih ironis mereka itulah calon-calon penerus tampuk pemerintahan negeri. Negeri kita yang kaya raya ini ternyata masih belum juga mampu cukupi kebutuhan penerus bangsanya.

Sayangnya, seperti kalimat terakhir petikan berita di atas, mereka jangankan bisa sekolah, mengimpikannya saja mungkin sudah enggan. Lalu bagaimana nasib negeri kita ini nanti bila keadaan ini terus saja seperti terjadi?

Hampir 63 tahun umur negeri ini ternyata bukan pula jaminan kemakmuran bagi ayam-ayam yang tinggal di atas lumbung padi yang sudah tua dan berkelimpahan sekalipun masih kecil ayam-ayam itu...

Mengapa Takut?

| Agustus 14, 2008 | Sunting
Senthir
Dan kau lilin-lilin kecil
Sanggupkah kau mengganti
Sanggupkah kau memberi
Seberkas cahaya

Dahulu, saat mati lampu - oglangan, di desa saya, kata Mamak, selalu menyiutkan nyali. Mitos genderuwo di pohon dhadhap serep pinggir desa selalu memerindingkan bulu kuduk. Ya, kegelapan memang membawa ketakutan dan kekhawatiran. Malam, kala angin mendesau merambati dinding, nyala lampu minyak - senthir, yang menghuni sudut kamar meredup. Api menari-nari laksana akan pupus. Saya menutup mata.Seluruh badan terasa kaku dan panas-dingin. Kegelapan seperti intaian monster ataupun buto ijo yang kerap kudengar dari Simbah waktu kecil.

Nyala senthir seolah telah mendekati ajalnya. Saya menahan napas. Tak ada seorangpun dalam kamar kecuali saya kala gelap mulai merambat cipta teror takut. Saya membayangkan kikik kuntilanak dan muka seram mbah genderuwo seolah mendekati saya. Mulut sibuk rapalkan doa sekenanya dengan mata yang terus coba terpejamkan. Sayang mata seolah tak mau terkatup sama lain. Sebaliknya... kesadaran masih pada puncaknya, rasa kantuk tak ada.

Kala kegelapan pencetus ketakutan terus mendesak, hanya satu hal yang terbayang dalam benak: CAHAYA! Perlahan angin yang masuk melalui sela-sela dinding bambu yang sudah kumal mengusap-usap nyala senthir. Uuuuhh. Dian semakin redup.

"Takut gelap? Jangan khawatir..." Ucap Mamak. "Mengapa takut? Bukankah masih ada dua senthir yang lain? Selagi senthir ini belum padam dan sebarkan cahayanya, ia akan menerangimu. Selagi ada harapan yang menyala tidak usah takut. Ia malah akan membantumu menyalakkan potensi-potensi cahaya lainnya."

Dan kini... Kegelapan yang membuatku bergidik itu kadang masih menyinggahi, namun nyala harapan dalam diri pantang dihabisi karena ia yang akan menyalakan semangat yang mati dan membuat dunia kembali berseri.

Belakangan saya baru mampu menerjemahkan. Ketika ribuan hambatan dan cobaan silih berganti datang,bahkan padamkan semua kebanggaan diri,ternyata sedikit harapan yang tersisa mampu membuat saya kembali berdiri. Dengan nyala harapan dan semangat saya, saya sudah bisa genggam harapan besar saya untuk mengejar asa.

Sebulan di Kelas Unggulan

| Agustus 12, 2008 | Sunting
Detik, menit, jam, hari terus berlalu - yah, walau dengan lambat. 30 hari telah terlampaui oleh kami sebagai penghuni kelas Unggulan, SMAN 1 Cawas.

Males-lah, bosan-lah, lelah-lah, intinya belum terbiasa karena memang segala sesuatunya memang sama sekali berbeda dengan apa yang telah kami laluì di SMP dulu. Bahkan dibandingkan dengan teman-teman kelas X lainnyapun juga sudah beda sekian puluh derajat: paling tidak kami pulang lebih akhir dari mereka - rata-rata 3 jam lebih lama. Lagipula siapa yang bisa langsung terbiasa hanya dalam sekejap saja?

Sudah ada beberapa kawan yang menyatakan ketidak-kuatan mereka dengan proses belajar di kelas ini. Jujur saya sendiri kadang seperti ada rasa tidak kuat, lebih-lebih pas pulang sekolah: di saat perut yang sudah kosong dan di bawah terik matahari juga rasa lelah setelah belajar seharian, aku masih harus mengayuh sepeda sejauh kurang lebih 6 km. Bisa anda bayangkan betapa lelahnya? Tapi bagaimanapun... the show must go on.

BISMILLAH, dengan menyebut asma Allah, saya dan teman-teman lainnya mencoba untuk bertahan. Mungkin belum terbiasa saja karena dengan berbagai alasan di awal tadi.

Semangat bapak ibu guru yang mengajar kami dan juga orang tua yg telah berusaha keras demi membiayai pendidikan kami telah menjadi sebuah bara api penyemangat nan manjur bagi kami.. Bapak Mamak, tak akan kecewakan kalian.. Bapak ibu guru...Terima kasih atas dedikasi kalian. Terima kasih juga Titian :)

Teman-teman, kalianlah yang menjadikan hari-hariku lebih indah dan menyenangkan walau harus berkutat dengan buku-buku tebal di sebuah "kandang" bernama kelas Unggulan.

Katakan Indonesia Satu, Satu Indonesia Berkatalah!

| Agustus 01, 2008 | Sunting
Satu Indonesia
Katakan
Indonesia satu, satu
Indonesia berkatalah!!
Ini syair, syair guna-guna
Ini tembang gula kelapa
Selalu bergerak,namun...
Belum dapat berkata-kata


Katakan
Indonesia satu, satu
Indonesia berkatalah!
Berkati manusia Indonesia
Indonesia berkat merdeka
Bangkit
Indonesia yang sadar merdeka
Indonesia bangkit
Yang sadar merdeka..
yang merdeka sadarlah..
Indonesia satu, satu
Indonesiaberkatalah!
Pertiwi jangan berduka!
Pertiwi jangan murka!
Kami air mata, kami darah
Hendak menyanyi pada pesta zaman
Hendak menari untuk perubahan


Katakan

Indonesia satu, satu
Indonesia berkatalah!
Sembilan peperangan telah disiapkan
Hormati hidup, hidupi kematian
Barisan pemenang adalah ketulusan
Sembilan kebenaran bersatu dalam kearifan.


Katakan
Indonesia satu, satu
Indonesia berkatalah!
Waspadai keragu-raguan
Beri tempat untuk kecemasan istirahat
Jalan disepanjang ingatan kepala
Perburuan segelap mata tanpa jendela
Mustahil dilewati tanpa yakin nurani


Katakan

Indonesia satu,
Disetiap tempat kita mesti berangkat
Disetiap waktu kita mesti berburu
Berangkatlah tempat-tempat
Burulah waktu-waktu
Pada jantung zaman kita pasrahkan badan
Pada detak perjuangan kita rayakan kehidupan.
 

Katakan 
Indonesia satu,
Revolusi tidak pernah marah
Tubuh tebakar bukan perubahan
Kita-kitalah yang harus marah
Kita, sekali lagi kitalah yang membakar perubahan
Nyalakan obor digenggam sadarmu
Tabuh genderang ditelinga keberanianmu
Badaikan perubahan didada karangmu.
 

Katakan
Indonesia satu, satu
Indonesia berkatalah!
Aku nasehati kamu untuk merdeka
Aku merdekamu untuk bijaksana
Yang merdeka yang bijaksana
Tidak merdeka tidak bijaksana
Bukan Indonesia.


Katakan 

Indonesia satu, satu
Indonesia berkatalah!
Puisi kita bukan lagi puisi yang ditulis dengan kata-kata
Melainkan puisi yang dijalani dengan keringat, air mata, dan
Darah untuk Ibu pertiwi
Dari hati yang terluka
Karena selalu dikhianati.


Agus Subhan Malmae

Menjaga Api Semangat Menulis

| Agustus 01, 2008 | Sunting
Beberapa blog teman yang dulu saya kenal cukup giat menulis saya temukan tidak lagi diupdate. Ada yang sampai dua tahun malah. Terang saja saya bertanya-tanya, kemana mereka? Apa mereka ganti blog?

Salah seorang teman dengan enteng menjawab, "Sudah malas mau nulis sekarang." Wah, padahal tulisan-tulisannya dulu adalah kesukaan saya. Ia piawai meramu humor dan sinisme dengan kalimat-kalimat yang jujur dan sederhana. 

Seminggu lalu seorang kawan yang lain mengatakan bahwa gairah menulisnya hilang. Ia sulit konsentrasi. Rancangan novelnya sudah lama tak tersentuh. Ia gelisah tentu saja karena pekerjaannya seolah hilang. Belum lagi dengan kepergian kekasih hatinya.

Saya berusaha menghibur sebisanya. Membesarkan hatinya. Sekenanya saya bilang, "Sebenarnya pekerjaan utama penulis itu kan ya nulis, bukan ngantor atau yang lain. Waktu ngobrol dengan Bagis Takwin, kami mendapati ternyata beberapa di antra kelemahan kita adalah kesulitan, bahkan gagal, mengorganisasi diri sendiri, sulit membuat skala prioritas. Abibatnya banyak target menulis yang tidak dapat kita capai."
Menulis
Bila blog lama terbengkalai, draft tulisan tak rampung-rampung, bingung, itu tandanya seorang penulis tengah kehilangan motivasi ataupun writer's block. Ia kehilangan nyala api yang bisa memanaskan semangatnya berkarya. Apa yang bisa dilakukan?

Motif setiap orang untuk menulis berbeda-beda. Ada yang karena alasan materi, ingin meluahkan perasaan, mengungkapkan pikiran, kesaksian, hingga sekadar bersenang-senang. Tanpa motivasi seseorang bisa cepat bosan, bahkan kehilangan alasan untuk terus menulis. Terlebih bila hidupnya tengah menghadapi masa-masa sulit semacam kehilangan seseorang atau kekecewaan terhadap diri sendiri yang terlalu dalam.

Dalam kasus blog, boleh jadi si narablog bosan menulis setelah tahu ternyata blognya sepi, nyaris tak dilirik orang, dan tulisan-tulisannya didiamkan. Mungkin timbul perasaan sia-sia dirinya menulis. Padahal tujuan awalnya membuat blog adalah untuk mempublikasikan tulisan-tulisannya.

Dalam suatu wawancara, Jilly Cooper, seorang penulis novel laris asal Inggris, mengatakan, "Saya hanya sedikit melakukan kerja rumah tangga, karena saya mengupah orang lain untuk melakukannya. Itulah salah satu alasan utama saya ingin menulis banyak buku." Dari sana terungkap bahwa motivasinya menulis adalah untuk mendapatkan uang cukup supaya ia tidak perlu melakukan hal yang kurang disukainya, yaitu pekerjaan rumah tangga. Menulis membuatnya superior karena ia bisa memperkerjakan orang. 


Sejumlah orang menulis karena uang. Mereka menulis dengan niat tembus ke media massa, berusaha agar tulisan itu sesuai kriteria media, dipoles, dan memenuhi idealisme tertentu. Memang belum tentu bila tulisan ditolak mereka bakal kecewa; tapi itu berarti kesempatan mendapat nafkah jadi kurang. Wartawan merupakan contoh utama menulis demi nafkah. Penulis yang saya tahu persis punya motif ekonomi antara lain Farid Gaban (saya dengar langsung ucapannya), Ajip Rosidi (dari esai dia), dan Philip Pullman (dari wawancara). Saya ingin jujur dengan hal ini. Kata Paul Arden: "Pikirkan tentang uang. Ia jujur. Uang akan membuat Anda kreatif."

Tapi sebagian orang menulis tanpa motif uang sama sekali. Anne Frank, Franz Kafka, Emily Dickinson, tidak menulis karena uang. Baru-baru ini Y.F. Nata, seorang suster, menerbitkan kumpulan puisi Cinta Itu Tidak Dosa sehabis mengalami kecelakaan lalu lintas parah, menyisakan tangan kanan sebagai anggota tubuh yang masih terbilang utuh. Dengan itu dia menulis, kadang-kadang bahkan lewat sms di HP. Dia menulis sebagai terapi mental. Orang-orang itu menulis murni untuk melampiaskan perasaan, menenangkan tekanan, menemukan pelepasan. Begitu juga dengan sejumlah blogger. Mereka menulis saja, baik untuk melatih menulis, mengungkapkan perasaan, memberi informasi, termasuk berbagi cerita.

Menjaga api semangat menulis ini ternyata sulit juga, meski banyak caranya.  Kita harus jujur dengan motif menulis sendiri. Kalau ingin tulisan dipublikasi, lantas mendapat honor, akui saja. Kejujuran motif akan membuat penulis mahfum untuk apa dia menulis, dan akan ketahuan apa dirinya tulus atau bohong. Bila motif seseorang "senang menulis", dia tak akan sedih bila tulisannya ditolak media, sebab dia bisa mempublikasi tulisan itu di media lain. Bila niatnya menjual tulisan tapi media menolak, dia patut sedih, karena produknya tak laku. Oleh karena itu tulisan itu harus diperbaiki atau diteliti lagi kenapa sampai gagal dimuat.

Satu hal, Horace Walpole mengingatkan bila seseorang menulis semata-mata karena uang. "Begitu orang menulis demi keuntungan, mereka biasanya jadi kurang peka." Uang memang bisa jadi motif yang besar, sebagaimana kata Mike Price. Dia bilang: "Lebih banyak orang punya bakat daripada disiplin. Itu sebabnya disiplin dibayar lebih tinggi." Tapi di lain pihak, Maria Yudkin pernah bilang, dia menolak "menzinahi otak" agar bisa menulis. Apa itu "menzinahi otak"? Yakni memforsir sedemikian rupa agar otak (keinginan) sampai rela berbohong agar seseorang bisa menulis.

Bila sudah tahu motif menulis dan tahu cara menjaga api semangat terus menggerakkan tangan, mungkin orang bisa tetap antusias meski tulisannya diabaikan orang, atau bisa puas meski dibaca sendiri. Yang paling utama ialah berusaha sebaik mungkin menulis, bereksperimen, terus meningkatkan pencapaian. Dengan begitu dia kehabisan alasan untuk tidak meng-up date blog maupun berusaha lebih keras mencari cara menyelesaikan draft naskahnya.

[Republika, Minggu, 27 Juli 2008 ]

Surat Cintamu Seperti Apa?

| Agustus 01, 2008 | Sunting
Cinta sejati...
Keisenganku mengklak-klik serakan file waktu online di warnet suatu hari membuat aku menemukan sebuah surat cinta yang lupa dihapus oleh pemiliknya. Begini ungkapannya:

/*/iya, kan neng bilang gpp. jadi artinya gpp.. / iya, lebih baik ke dokter aja. biar gak nambah serius.. / kenapa? / apa yg aa bilang itu kedengeran gak masuk akal buat neng. i'm chinesse. and u hate chinesse. aa messy, dan neng benci acak"an. apa itu bikin jadi gak pantes saling mendampingi? kalo iya... gampang aja. berarti kita gak cocok brg, kan? tp diluar itu kan ada fakta: kita luv each other. karena itu kita harus coba... neng benci sesuatu yg acak"an, kan bukan krn neng meng'set pikiran neng seperti itu. itu cuma satu part dari otak neng yg bilang begitu. apa bedanya sama neng yg kecanduan sama hal teratur? ritual? berulang? itu bukan mau neng. dr. richard bilang, "anggap aja itu karena cuma satu belah otak kamu yg kerja,"neng juga yakin itu sama hal'nya dengan aa yg benci chinesse, gay... ato apalah...aa gak mau, kan? tp aa gak bs nolak itu.jadi neng percaya. i have much more than my chinsse part. aa juga gitu, u have much more dari pada sekedar messy. dan itu artinya kita DESERVE buat saling mendampingi. karena kita gak sempurna dan kita coba untuk saling berusaha ngerti.gitu aja. simple, kan? :) apa lg yg aa pikirin? luv u2, a../*/


Aku rada-rada geli membaca surat cinta itu, meski kasihan juga membayangkan masalah serius dalam hubungan mereka. Aku menebak-nebak: Si lelaki tampaknya punya masalah/penyakit, tapi dia enggan diperiksa dokter untuk memastikan masalahnya. Si lain pihak mereka berusaha kuat mengatasi persoalan yang muncul dalam hubungan mereka.


Pasangan ini tampaknya sedikit ganjil: Seorang gadis Tionghoa yang begitu mencintai kerapian, berpacaran dengan lelaki acak adut yang benci dengan orang Tionghoa. Aku sulit membayangkan bagaimana mereka dulu bisa ketemu, saling suka, kemudian hati mereka tertaut. Tapi sepertinya segera setelah mereka pacaran, persoalan perbedaan - termasuk masalah dalam diri pria itu, muncul nyaris di luar kemampuan mereka untuk mengatasinya. 

Tentu sebelum "kejadian", mereka punya sesuatu yang melampaui kebencian masing-masing, boleh jadi itu berbentuk kepribadian (karakter), pembawaan, sikap, dan sebagainya, sampai mereka bisa sama-sama jatuh cinta lepas dari perbedaan yang begitu genting. Yang sulit aku bayangkan ialah cara mereka mengungguli kualitas yang bisa membuat mereka ribut atau pisah. Apa yang dilakukan pria itu sampai membuat si gadis ini bisa menoleransi keacak-acakannya? Apa yang terjadi dalam diri si pria atau apa yang dilakukan si gadis sampai-sampai laki-laki ini mengabaikan prasangka kebenciannya pada etnis Tionghoa?

Dari surat itu terbaca niat masing-masing untuk terus berusaha saling cinta, tetap bareng, meski itu harus mereka perjuangkan dengan gigih. Sebuah surat cinta. Rasanya aku terakhir kali mengirim sejenis surat cinta pada DIA dan anak-anak pada awal Juni. Memang pada Juli lalu aku kirim lagi sebuah surat cukup panjang ke dia, tapi sebenarnya itu karbon kopi dari surat curhatku pada seorang kawan, tentang beberapa kejujuran atas diriku. Memang agak susah bikin surat cinta kalau sepasang manusia berdekatan, karena cinta tampaknya lebih mudah langsung diucapkan pada seseorang daripada repot-repot harus ditulis lebih dulu. Lebih mudah kirim sms cinta daripada harus bikin surat cinta dulu, termasuk lewat email, kecuali kita hidup terpisah dengan kekasih, dan satu-satunya cara menghubunginya, mengungkapkan perasaan, ialah lewat snail mail.

Pada 1992 lalu, waktu OPSPEK fakultas, surat cintaku terpilih sebagai surat cinta terbaik buat senior. Aku tentu cengar-cengir ketika harus membacakan surat itu di hadapan semua orang, sementara si senior yang aku maksud ini berdiri persis di sampingku. Aku heran kok bisa suratku mengalahkan semua tulisan para junior. Entah mereka kurang berbakat atau aku yang terlalu menganggap serius tugas itu, jadi aku kerjakan sungguh-sungguh. 


Beberapa kalimatnya sering disoraki oleh orang-orang, dan aku lihat si gadis senior ini wajahnya jadi bersemu merah dan kesulitan menahan senyum karena aku rayu. Rasanya, kalau itu bukan kewajiban norak perintah dari senior, aku ingin bilang bahwa aku jujur dengan yang aku tulis di surat itu. Sayang surat itu nggak dikembalikan setelah aku bacakan, jadi aku juga sulit mengira-ngira kenapa surat itu sampai bisa menang. Jadi kesaktiannya nggak teruji. 

Yang lucu, beberapa minggu setelah masuk kuliah, aku sering digodain teman-teman si senior bila kebetulan kami ketemu. Sementara gadis senior itu mungkin agak-agak jengkel, kenapa juga ada anak culun kok bisa-bisanya menembak dia sebagai sasaran rayuan. Apa yang ada dalam kepalaku waktu itu? Mungkin dia terlalu cantik untuk mendadak jadi senior judes dalam OPSPEK, atau secara fisik dia memenuhi selera fantasi seksualku. Sekarang aku bahkan lupa nama gadis itu. Namun sayang kemampuanku menulis surat cinta yang sungguh-sungguh malah gagal meyakinkan seorang gadis yang dulu ingin aku jadikan istri. 

Kalau ingat itu aku ingin ketawa juga. Padahal seingatku waktu itu aku sudah kerja, punya karir di sebuah perusahaan "yang sedang berkembang pesat." Padahal rasanya hubungan kami baik-baik saja ketika aku lama-lama cukup yakin bahwa gadis ini bakal rela diajak ke level hubungan yang lebih serius. 

Ini membuktikan ternyata kepercayaan seorang calon pasangan kadang-kadang gagal dijamin oleh adanya karir atau penghasilan. Tapi meski dia menolak harapanku, dia nggak mengembalikan surat cintaku itu. Atau jangan-jangan sebenarnya begitu selesai baca---entah tamat atau tidak---langsung dia cabik-cabik dan dilemparkan ke tempat sampah. 

Sayang aku nggak memfoto kopi dulu surat cinta itu. Mungkin menarik mengenang lagi betapa ada seorang pemuda menyusun sebuah rencana ideal akan cinta, tapi apa lacur dia salah strategi. Mestinya yang pertama-tama diyakinkan ialah memastikan bahwa gadis itu bakal menerima cintanya, bukannya mengajukan proposal pembangunan kehidupan masa depan.

Tapi yang paling konyol, kalau aku ingat sekarang, ialah entah darimana aku mendadak merasa dapat keberanian atau gagasan hebat pada suatu hari memutuskan mengirimi surat seorang jomblo yang ikut kontak jodoh di Kompas. Rasanya aku tolol sekali kalau ingat sekarang. Mungkin ada waktu kepalaku gelap hingga merasa begitu hebat atau malah putus asa bisa menulis risalah tentang hubungan lelaki dan perempuan. Keputusan memalukan. Untunglah surat itu berhenti segera. Aku berharap penerimanya- --seorang gadis yang ciri-ciri fisik dan kriteria keinginannya sekarang sudah aku lupa---langsung mengibas-ngibaskan surat itu dari tangannya, menolak memegangnya sama sekali setelah itu. Itu lebih mending daripada dia menyangka aku seorang psikopat yang berusaha menjebak gadis baik-baik yang sedang sungguh-sungguh berusaha mencari jodoh baik-baik. Sekarang aku merasa menyesal dan berdosa berbuat itu.

Kebiasaan menulis surat ternyata memudahkan aku bercerita tentang apa saja ke beberapa kenalan dan sahabat pena yang awalnya aku tahu dari Hai. Di antara mereka ada yang bertahan hingga kini, aku kunjungi di kota mereka kala bisa. Menurutku ini agak menakjubkan. Dengan teman-temanku itu kami bisa saling kirim surat berbelas-belas halaman. Ada salah seorang gadis yang kerap curhat tentang pacarnya yang malah sering membuatnya jengkel karena hubungan mereka banyak masalah. Aku untungnya tetap waras untuk berposisi sebagai teman sejati, bukan lelaki yang diam-diam berusaha menebar pesona dan kemudian mengirim sebuah surat balasan dengan tulisan: Sudah, putuskan pacar kamu. Aku di sini menunggumu. Untung aku tidak memanfaatkan kemalangan seseorang demi keuntungan atau kesenangan pribadi. Kali ini aku lebih bisa menguasai diri. Aku bersyukur bisa mempertahankan sikap baik seperti itu selama hubungan kami.

Di zaman orang kirim surat via email dan chatting berkepanjangan dengan kekasih atau selingkuhan, sementara kadang-kadang mereka ceroboh dengan file itu, aku jadinya beberapa kali menemukan berkas surat cinta atau chatting mereka. Aku pernah baca surat seorang gadis yang antara marah atau putus asa pada lelaki yang sudah sembilan tahun berhubungan dengannya. Gadis itu merasa dikhianati dan sakit hati karena si lelaki menolak mengakui mencintainya atau minimal mereka saling mencintai; malah sebaliknya, si lelaki ini tampaknya dengan sombong bilang bahwa dia yang dikejar-kejar oleh gadis itu, bukannya mengakui bahwa hubungan mereka resiprokal. Si gadis meradang: Kurang ajar sekali kamu bilang seperti itu. Kamu pikir hubungan kita ini apa hah? Apa artinya kita berhubungan selama sembilan tahun itu? Wah... jelas hubungan mereka sedang gawat. Aku membatin: mungkin lelaki ini sedang terjebak dalam badai perkawinan dan berharap si gadis tetap mau jadiselingkuhan daripada jadi istri keduanya. Rasanya tipikal seorang laki-laki bilang bahwa dirinya dikejar-kejar gadis, untuk mengangkat egonya, seolah-olah "dicintai" itu lebih unggul daripada "mencintai." Lelaki malang. Dasar male chauvinist pig!

Setelah beristri dan beranak (yah, ini penegasan saja: aku beristri dulu baru punya anak; bukan punya anak dulu baru kemudian beristri), rasanya aku baru bisa menulis sejenis surat cinta lagi justru bila kami sedang berjauhan, misal karena sedang di luar kota. Sebenarnya menyenangkan bisa menulis cinta, apalagi yang mesra-mesra, bukan yang malah penuh masalah seperti surat yang aku temukan di atas. Tapi kan tiap orang punya maksud sendiri-sendiri. Gadis di atas, yang surat pribadinya aku temukan, lepas bahwa dia sedang dirundung masalah, sebenarnya mencintai pacarnya dengan segenap hati. Gadis itu waras, meski ejaannya sembrono. Kata dia dalam ungkapan khas anak gaul 2008-an: "i have much more than my chinsse part. aa juga gitu, u have much more dari pada sekedar messy. dan itu artinya kita DESERVE buat saling mendampingi. karena kita gak sempurna dan kita coba untuk saling berusaha ngerti." Aduh, senangnya punya kekasih pengertian seperti dia!

Beberapa tahun lalu aku sempat baca novel Subject: Re (Novita Estiti) yang sedikit bikin heboh di media karena penulisnya ngambek menolak novelnya dipaksa dilabeli kategori chick-lit oleh penerbit, Gagas Media. Aku membela kengototan penulisnya. Beberapa minggu kemudian aku dikirimi novel itu. Isinya ternyata kumpulan email-emailan surat cinta (dalam sastra bentuk itu disebut sebagai novel epistolari) antara gadis yang tinggal di Indonesia dengan seorang lelaki yang tinggal di Australia. Aku kurang terkesan oleh isi novel itu, karena tampaknya kurang ada aksi atau plot yang bisa membuat ceritanya lebih menegangkan atau menyedot aku masuk dalam dunia mereka. Isinya tampak melulu tentang hubungan mereka, membicarakan aspek psikologis wanita dan pria ketika sedang jatuh cinta. Sebenarnya menarik sepasang manusia bisa membicarakan cinta jadi seintens itu, setebal itu, dengan bahasa yang tampak dingin, lewat surat elektronik. Seingatku, ada kala mereka ragu tentang hubungan mereka, meski aku ragu apa ada unsur selingkuh di sana. Akhirnya aku menghadiahkan novel itu ke komunitas Asoe Kaya di Banda Aceh.

Yang sedikit mengejutkanku malah kisah di balik novel itu. Fakta ini baru aku ketahui belakangan saja waktu jalan bareng ke Jakarta dengan seorang kawan. Cerita punya cerita surat-surat dalam novel itu memang surat pribadi penulis dengan lelaki yang membalas suratnya. Artinya setengah dari isi novel itu sebenarnya karya si lelaki, yakni balasan yang bersubjek Re:. Kata kawanku, si penulis dan lelaki ini sampai bikin surat perjanjian perihal isi surat yang dimasukkan dalam novel itu. Entah apa maksudnya; apa kira-kira untuk mencegah jangan sampai ada gugat menggugat atau sakit hati di antara mereka di kemudian hari atau bagaimana. Yang jelas hubungan cinta wanita dan pria ini sekarang sudah kandas secara menyakitkan. Bagaimana kamu tahu? tanyaku. Aku kenal penulisnya, kata dia. Karena itu dia masih menyimpan novel itu. Sementara si lelaki ini dia kenal reputasinya saja. Aku juga kenal reputasi si lelaki itu sebenarnya, bahkan pernah sekali waktu kami email-emailan. Menurutku, lelaki ini tipe kritikus jujur paling nyelekit yang pernah ada, dengan integritas yang bisa dipercaya dan berlandas pada argumen hebat. Tipe kritikus yang paling aku takuti bila sampai ketemu. Wah, kenyataan ternyata lebih ajaib dari fiksi.

Banyak sebenarnya kisah tentang surat cinta, termasuk yang dilagukan oleh Vina Panduwinata (Surat Cintaku yang Pertama) atau Sinead O'Connor (Love Letters). Film Message in the Bottle yang dibintangi Kevin Costner juga cerita tentang itu. Seperti apa surat cinta Anda? Kalau belum pernah, sesekali tulislah sebuah surat cinta. Pada kekasih, orang tua, adik, kakak, untuk benda atau Tuhan Anda. Mungkin surat cinta bisa melampiaskan emosi-emosi lembut dan terdalam dalam diri Anda.

*) diambil dari satu email yang entah sudah berapa kali diforward di milis mediacare

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine