Antara Cacing, Burung dan Manusia

| Mei 29, 2008 | Sunting
Mengapa menyerah?
Bila kita sedang mengalami kesulitan hidup karena himpitan kebutuhan materi, maka cobalah kita ingat pada burung dan cacing. Kita lihat burung tiap pagi keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Tidak terbayang sebelumnya kemana dan dimana ia harus mencari makanan yang diperlukan.

Karena itu kadangkala sore hari ia pulang dengan perut kenyang dan bisa membawa makanan buat keluarganya, tapi kadang makanan itu cuma cukup buat keluarganya, sementara ia harus "puasa". Bahkan seringkali ia pulang tanpa membawa apa-apa buat keluarganya sehingga ia dan keluarganya harus "berpuasa". 

Meskipun burung lebih sering mengalami kekurangan makanan karena tidak punya "kantor" yang tetap, apalagi setelah lahannya banyak yang diserobot manusia, namun yang jelaskita tidak pernah melihat ada burung yang berusaha untuk bunuh diri.

Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menukik membenturkan kepalanya ke batu cadas. Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menenggelamkan diri ke sungai. Kita tidak pernah melihat ada burung yang memilih meminum racun untuk mengakhiri penderitaannya. Kita lihat burung tetap optimis akan makanan yang dijanjikan Allah. 

Kita lihat, walaupun kelaparan, tiap pagi ia tetap berkicau dengan merdunya. Tampaknya burung menyadari benar bahwa demikianlah hidup, suatu waktu berada diatas dan dilain waktu terhempas ke bawah. Suatu waktu kelebihan dan di lain waktu kekurangan. Suatu waktu kekenyangan dan dilain waktu kelaparan.


Sekarang marilah kita lihat hewan yang lebih lemah dari burung, yaitu cacing. Kalau kita perhatikan, binatang ini seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak untuk survive atau bertahan hidup. Ia tidak mempunyai kaki, tangan, tanduk atau bahkan mungkin iajuga tidak mempunyai mata dan telinga. Tetapi ia adalah makhluk hidup juga dan, sama dengan makhluk hidup lainnya, ia mempunyai perut yang apabila tidak diisi maka ia akan mati.


Tapi kita lihat, dengan segala keterbatasannya, cacing tidak pernah putus asa dan frustasi untuk mencari makan. Tidak pernah kita menyaksikan cacing yang membentur-benturkan epalanya ke batu.Sekarang kita lihat manusia. Kalau kita bandingkan dengan burung atau cacing, maka sarana yang dimiliki manusia untuk mencari nafkah jauh lebih canggih. Tetapi kenapa manusia yang dibekali banyak kelebihan ini seringkali kalah dari burung atau cacing ?


Mengapa manusia banyak yang putus asa lalu bunuh diri menghadapi kesulitan yang dihadapi? Padahal rasa-rasanya belum pernah kita lihat cacing yang berusaha bunuh diri karena putus asa. Rupa-rupanya kita perlu banyak belajar banyak dari burung dan cacing.

Petuah yang Terlambat Datang

| Mei 28, 2008 | Sunting
Ah, ketinggalan
Petuah-petuah berguna, entah kenapa, atau mungkin memang demikian skenarionya, selalu datang terlambat atau boleh disebut sesuatu yang ingin ditanggulangi dengan petuah tersebut sudah terjadi. Atau mungkin sebenarnya petuah tersebut sudah ada sejak jauh-jauh hari namun memang kitanya saja yang tutup telinga, ssehingga hanyalah sesal yang terucap:aaaah andai saja dahulu aku begini (juga begitu pastinya) pasti yang kayak gini ini gak bakal terjadi!!! Hal itu pula yang saat ini sedang bergelayut di benak saya setelah apa yang sudah saya paparkan itu terjadi. Kata-kata yang mengandung petuah ini datang dari seorang teman yang diutarakannya melalui sebuah percakapan di yahoo mesenger beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi.
ndengsita:
apa yang kamu denger
nggak seperti yang kamu tahu
apa yang kamu tahu
nggak seperti yang kamu kira
semua tergantung sama kamu
selama kamu masih mempunyai
pegangan untuk melangkah
dan mengambil keputusan ok
nah intinya,
jangan terlalu p'caya ma org
dunia maya adl dunia pmbohong
Yah... Thanks sob atas petuah yang tak terduga itu (dan sesuai skenario) berucaplah saya: andai pesan itu datang dua atau tiga hari lebih awal pasti adu ’argumentasi’ yang mengotori mulutku tak bakal terjadi malam itu.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine