Membaca 2015, Laman-laman Pilihan

| Desember 31, 2015 | Sunting
Tahun ini aku tidak membaca banyak buku. Entahlah, mungkin aku tengah jenuh dengan buku. Banyak buku yang akhirnya hanya aku habiskan beberapa halaman awalnya, sisanya teronggok begitu saja di atas kasur, di atas meja, di kolong kursi, bahkan tersuruk di bawah katil. Tetapi beruntung aku masih bisa menyempatkan diri untuk mengikuti beberapa laman pilihan, menuntaskan hampir semua tulisan yang dikeluarkan sepanjang tahun. Berikut ini beberapa di antara laman-laman itu, sekadar jadi pengingat diri, bahwa laman-laman inilah yang setia menjadi pengisi hati yang sendiri.

Pindai

Akun twitter @radiobuku memperkenalkan Pindai padaku sebagai sumber bacaan bergizi sekitar satu tahun lalu. Tersirat dari namanya, Pindai menampilkan tulisan-tulisan panjang dan mendalam tentang berbagai isu penting yang seringkali malah tidak disentuh oleh media arus-utama. Awal Oktober lalu semisal, ketika media-media seperti Kompas dan Tempo sibuk menurunkan berbagai berita tentang pelarangan beberapa acara peringatan enam lima, Pindai mengulik lebih jauh: betapa enam lima tidak hanya sekadar melarang, tetapi malah menghancurkan gerakan-gerakan intelektual.
Pindai, kritis dan mendalam
Pindai seringkali juga (secara halus) melakukan upaya pelurusan ketika media-media arus-utama gagal menangkap gagasan utama satu peristiwa. Beberapa saat setelah seorang pesepeda membuat geger karena menghadang konvoi motor gede yang tidak taat peraturan misalnya, Pindai menurunkan satu laporan panjang tentang sengketa tanah di Bumi Mataram. Kenapa ku bilang pelurusan? Karena yang mendapatkan fokus media hanyalah secetek: ada pesepeda nyegat konvoi, sudah, padahal ada pesan sosial yang lebih luas yang ingin disampaikan oleh mas Joyo, si pesepeda itu.

Hal utama yang lantas membuat Pindai terasa berbeda adalah kesan dan bahasanya yang hangat dan dekat. Dua hal yang kadangkala malah dikesampingkan oleh media-media yang berniat menjadi pilihan alternatif.

Cinema Poetica

Aku membaca Cinema Poetica sejak lama. Sejak SMA, sekitar awal 2011. Tetapi dulu aku membaca situs ini hanya untuk sekadar "merasa keren". Bingung? Gampangnya semacam ini: aku jarang sekali nonton film - jauh dari bioskop, mengunduh film juga belum menjadi pilihan gampang saat itu. Nah, tulisan-tulisan situs ini menjadi semacam pengisi celah pengetahuanku tentang film. Saat itu, aku merasa bahwa tingkat kekerenanku bertambah bukan saja karena aku tahu film-film yang sedang tayang, tapi juga karena ada banyak hal yang lantas aku ketahui bermula dari ulasan-ulasan laman ini. Buku biografi Ahmad Dahlan tulisan Solichin Salam misalnya, aku baca setelah membaca ulasan film Sang Pencerah.
Cinema Poetica
Kekerapanku mengunjungi situs ini bertambah ketika aku sempat tinggal di Jakarta, dari paruh hingga akhir 2011. Tentu saja karena aku sudah mulai bisa pergi ke bioskop, juga menonton film-film gratis di Kineforum. Situs ini menjadi semacam pembanding, aku akan membandingkan apa yang aku tangkap, dengan apa yang dipahami oleh para pengulas situs ini. Aktivitas yang kemudian terus aku lakukan hingga akhir 2013.

Sepanjang tahun lalu aku tidak seberapa sering mengunjunginya. Baru kemudian tahun ini pertautanku dengan situs ini berlanjut. Setahun tak bersinggungan membuat Cinema Poetica terasa begitu berbeda. Ulasan-ulasannya semakin beraneka ragam. Bahasanya pun semakin ringan. Tetap renyah walau terkadang berhias berbaris-baris catatan kaki.

Eka Kurniawan - Journal

Mengintip dunia Eka
Mengikuti laman pribadi Eka Kurniawan ini sama dengan mengintip sekelumit hidup salah satu penulis terbaik Indonesia saat ini. Menyegarkan, walau seringkali juga mencengangkan. Betapa Eka adalah seorang pembaca yang rajin membagikan buku-buku kesukannya. Bagaimana ia juga mempunyai idola yang membuatnya kikuk kala bersua. Dan banyak hal lainnya.

Oh ya, juga bahwa ternyata Eka Kurniawan adalah penggemar pop Korea. Ia menggemari SNSD alias Girls’ Generation sebagaimana ia menyukai Borges atau García Márquez.

Lebih dari itu, menelusuri catatan-catatan pribadi Eka juga memberikan semacam pemahaman kenapa ia bisa menulis sedemikian bagian. Kenapa kisah-kisahnya serupa sihir.

Jagongan

Jagongan dalam bahasa Jawa memiliki beberapa makna, tergantung lokasi penggunaan kata tersebut. Di daerah Jogja-Solo dan sekitarnya misal, orang yang tengah pergi ke pesta disebut lungo (n)jagong. Adapun jagongan bisa diartikan pesta, juga bisa dimaknai sebagai ngobrol, berbincang-bincang. Sementara di wilayah-wilayah  yang menggunakan dialek Banyumasan, njagong berarti duduk. Lain. Benang merahnya terlihat kan tapi? :)
Jagongan.org
Halaman muka Jagongan.org 
Saya tahu situs ini dari cuitan @vindrasu, salah satu pendiri Pamityang2an, radio daring yang selalu ada di hati pendengarnya. Jagongan adalah situs kroyokan yang diisi berkala oleh beberapa orang penulis. Selain itu terkadang juga penulis tamu.

Terlalu banyaknya media dan terlalu banyaknya tempat membuat kami bingung mencari sarana buat berkumpul, duduk bersama dan ngobrol ngalor ngidul. Demikianlah latar belakang situs ini. Dan titik inilah yang menurutku sangat personal. Aku merasa dunia sekarang ini menjadi semakin kaku. Di facebook misalnya, selarik canda saja bisa berubah menjadi debat tanpa ujung. Semakin sedikit tempat dimana kita manusia dapat membicarakan hal-hal serius tanpa harus menunjukkan urat leher. Semakin sempit tempat dimana kita bisa saling memperolok, juga menertawakan diri sendiri.

Dan Jagongan-lah yang bagiku kemudian berusaha mengakomodasi kebutuhan tersebut. Kebutuhan kita manusia untuk jagongan, untuk ngobrol, nglaras ati. Situs ini semacam pengurang rasa rinduku pada rumah. Tidak ada kebutuhan untuk menjadi kemaki dengan menggunakan bahasa Jakartanan - gue, lu, dan seterusnya.

Seringkali membaca tulisan-tulisan di Jagongan juga membuatku seperti tengah ngobrol dengan Mamak. Jagongan tentang sumbangan, tentang sekaten, tentang umbah-umbah, ahh.

Remotivi

Media selalu saja menarik untuk diikuti. Bukan saja dalam hal konten dan materi yang media sajikan. Tetapi juga berbagai 'permasalahan' yang timbul akibat komersialisasi media itu sendiri, dimana seringkali menempatkan publik menjadi korbannya.
Remotivi
Remotivi, sebuah lembaga studi yang dibentuk tahun 2010, menyajikan berbagai isu tersebut dalam bentuk tulisan dan juga media-media lain seperti video dan infografis yang ringan dan mudah untuk dipahami. Lebih lanjut, kajian-kajian renyah juga dilemparkan ke publik sebagai bentuk edukasi akan hak atas media yang sehat.

Laman ini penting untuk diikuti karena media adalah santapan sehari-hari kita. Jangan sampai kita keracunan hanya karena tidak mengetahui seluk beluknya.

Desember

| Desember 01, 2015 | Sunting
Petang pertama bulan Desember dari jendela kamarku
Desember meringkas waktu menjadi sepenggal tunggu. Ingin cepat pulang menuju malam, hujan, kopi, dan punggungmu.
dari Joko Pinurbo

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine