Cinta Pertama, Seperti Dikisahkan oleh Seorang Gadis

| Juli 19, 2009 | Sunting
Kebun Jeruk, lukisan karya seniman Turki, Sema Çulam

Seorang gadis bercerita padaku, perihal kampung halamannya, perihal cinta pertamanya. Jagalah cerita ini! Demikianlah pesannya padaku, pada suatu sore yang sendu. Ini rahasia, namun aku ingin menceritakannya padamu, yah hanya padamu. Jangan kau ceritakan pada siapa pun.

Aku terbiasa...

Aku mulai terbiasa...

Aku mulai terbiasa berjalan di atas kaki yang tak lagi sanggup berdiri. Aku mulai terbiasa menghirup udara dalam ruang pekat hitam. Aku mulai terbiasa merendam jemari di antara pasir-pasir cokelat yang kubawa dari kampungku. Aku mulai terbiasa memijat nadiku, agar ia tidak lagi berwarna hijau. Aku ingin ia cerah dan bersemu, menandakan aku masih teraliri nafas, teraliri kehidupan.

Angin ini angin hilir, yang membawaku jauh berlayar. Menyeberangi sungai, melabuhkan perahu separuh bermesin yang ditinggalkan ayah di tepi dermaga, dari sana lalu kami melintasi pinggir-pinggir bakau yang akarnya menjulur dan terlihat seperti monster di kegelapan. 

Angin ini angin hilir yang membawa kami merapat pada rumah-rumah lanting dengan deret sampan di pekarangan anak sungai. Lanting ini memanjang dengan selasar yang luas membentuk sudut perspektif di setiap balok-balok gelondong pipih penyekatnya. di sini 20 kepala rumah tangga hidup, menghidupi.

Lantai ini bukan main mengkilapnya, setiap hari perca buruk menggilas berulang silang seperti lambung kapal habis dipernis. Anak-anak dara menimba air cokelat kelam dari halaman rumah mereka yang ditumbuhi ikan-ikan segala rupa, udang galah, ada pula petak-petak seukuran bilik telepon sebagai jamban, ada pula kayu-kayu gelondong tipis yang ditanam beberapa jarak untuk membuat undakan bagi sesiapa yang akan mandi, mencuci atau duduk-duduk jika rembulan berjalan-jalan.

Dara berkain merah, berkaos putih kedodoran mengguyurkan air setimba, lagi, lagi, lagi ke belian atau kayu hitam atau ulin pipih itu, lalu percanya di celup seperti teh celup, baru menggilasnya seperti stombal di jalan beraspal. Dari sudut kiri, bergerak setindak ke kanan, hingga habis tuntas.

Lalu di ujung selatan di sebelah deretan sampan tertambat, 4 laki-laki pekerja menurunkan bakul-bakul jeruk tebas seukuran bola kasti yang manisnya, amboy.

Aku berlari, mendekat. Mendekati saja dan mereka sudah mengerti, aku mau. Tangan hitam legam yang kiranya terbakar matahari sungai menyodorkan 3 untukku. Kuambil satu, lalu kepalaku menggeleng. 

Sementara aku menanti ayah menaikkan ransel-ransel, aku duduk di pinggir gertak mencelupkan kakiku sebatas mata dan tergeli-geli digelitik ikan jolong jolong sejari kelingling. Moncongnya panjang, sedikit tajam, benar-benar menggelitik telapak kaki ku.

Seseorang tiba-tiba berdiri di hadapanku. Dia laki-laki. Bercelana pendek bermuda dengan saku di depan dan oblong berwarna hitam yang sangat kontras dengan kulit putihnya. Dia menyodorkan sebatang tebu dari tangan kiri. Dalam hati aku mendebat, mengapa bukan tangan kanan, sih? Sementara tangan kanannya pun memegang sebatang tebu, ruasnya lebih dari 7, kulitnya merah marun bergaris hijau cokelat. Lantas ia menguliti tebu itu dengan giginya, sekali sentak, kulit berjarak 2 jari terbuang, lagi, hingga benar-benar terkuliti. Aku lagi-lagi mendebat dalam hati. Harus begitukah caranya?

Tapi tunggu, aku tak mengenalnya. Aku tak pernah bertemu dengan dia sebelum ini. Siapa dia, tiba-tiba menyodorkan tebu dan menyuruhku menghentikan jeruk manis Tebas itu. Tangan kirinya bergerak-gerak seolah menunjuk suatu arah. Tapi mataku terfokus pada bibirnya yang merah, semerah cabe teropong. Bibir itu bergerak-gerak, tapi, suara yang keluar aneh, gumaman yang tak berarti, tapi tetap bermakna.

Dia difabel!

Tangannya seketika menarik lenganku, tepat dipertengahan siku. Lalu ia mengajakku berlari, berlari menyusuri selasar panjang itu, tanpa alas kaki, berlari semakin kencang serasa akan terbang melayang. Jemarinya perlahan menggelosor turun menemui jari-jariku. Lantas ia menggenggam erat.

Anehnya, aku terdiam. Aku tergeragap dalam lariku yang cepat. Jantungku yang tak kuasa kusahabati. Ada getaran seksual yang tak mampu kusuruh lari, saat jemariku terselip diantara jemarinya, sensasinya seperti melodi dari negeri antah barantah, suatu budaya luar yang kental kunikmati namun asing.dalam lari kami itu, wajahku terasa panas. Akh... kutukan masa muda!

Lalu kami berhenti di sisi paling pojok lanting, melihat jauh... Nun di laut lepas, Laut Cina Selatan yang entah berapa jauhnya... Nafas kami terburu-buru begitu cepat. Lalu ia mengajakku duduk, dan dengan ekspresinya ia menunjuk tebu tadi. Aku melihatnya asyik menggigiti dan menghisap bilah tebu itu. Liur ku seketika merayap, naik dan memerintah sarap otakku untuk mempekerjakan gigi dan tim nya serta. Kuikuti caranya. Aakh... Benar saja, pantas saja, rasanya memang manis, pekat. Lebih pekat dari sukrosa.

Ia melihat jerukku yang tinggal seperempat. Kutawarkan tanpa kata, hanya menyodorkan. Dia lekas-lekas menggeleng. Lalu menunjuk dadanya dan membentuk tangannya menjadi lingkaran besar dan menunjuk dalam lanting. Kuduga ia mengatakan, "Aku punya banyak di dalam rumah".

Tanpa ada pertanda, ia menilik anak-anak rambutku, aku seketika terlonjak, kaget. Tapi aku menatap matanya. Mata cokelat itu terlihat bening, bagus dengan jejeran rambut di atasnya. Aku ingin membisikkan sesuatu di telinganya, entah itu akan didengar atau tidak. Kudekatkan bibirku pada kuping kirinya.

Perahu motor melintas dengan derunya, membuat aku tersontak, terkejut, nyaris terjatuh ke pekarangan yang ialah anak sungai. Ia sigap menarik lenganku beserta tubuhku pula. Yang kudapati, aku berada dalam peluknya, berada tak berjarak dengannya. Bibirnya bergerak-gerak seakan kubaca ia berkata, hati-hati, Ra.. Tapi, bibirku tak mau memberi kesempatan pada mata untuk mengamatinya lebih lama. Aku ingin menciumnya.

Dulu, di situ semua itu terjadi. Entah berapa waktu lamanya. Dulu, di sana masih ada hamparan kebun jeruk. Tempat itu bernama Tebas. Kualitas satu adalah kualitas super yang laris di pasar nasional. Tapi itu dulu, sebelum hama menyerang dan punah selama beberapa penggal waktu. 

Kini, masih di Tebas. Masih di tempat yang sama, tapi takkan terjumpai jeruk yang sama. Tak lagi semanis dulu. Okulasi menjadikannya tak ragam. 

Dulu, di hilir, sebelum minamata menjadi santer didengungkan, banyak mamak-mamak menggoyang-goyang kuali, mencari bilah-bilah kilau sisa tambang. 

Dulu, di sisi kanan sebelah depan lanting, bakau-bakau berbicara pada malam jikalau rembulan malu-malu.

Dulu, di pojok lanting itu, aku bertemu ia. Bertemu lelaki itu, bertemu ia yang kemudian mati tak lama berselang. 

Dulu, aku menggilai ketidakmampuannya. Akh, apa yang kupuja, tak lebih dari kekurangannya.

Arus yang membawaku ke sini. Tapi, pusara arus hatiku sudah padam. Mati pula ia. Mati bersama kehidupan demi kehidupan baru.

Sajak Mata Mata

| Juli 19, 2009 | Sunting
1.
Mata-mata, mata yang kujelajahi satu persatu. Mata penuh airmata dari mata-mata mereka. Isak demi isak tertahan dari wajah-wajah mereka. Dinding-dinding pemantul emosi, cermin-cermin perigi di tiap lensa yang memakainya. Aku menatapnya satu persatu dalam hukum pertentangan. Sesekali seseorang menjawil kakiku, mengingatkan aku tak boleh begitu. Tapi maaf, kali itu aku tak bisa membiarkan mataku berpuasa menikmati pemandangan sejarah hidup diriku sendiri. Akan kurekam sampai detil terkecil semampuku menopangnya.

Emosiku meluap seperti plastik terbakar, aromanya kental menyerbu penciuman.Pijar-pijar bohlam dalam hatiku berlecutan. Aku menikmati sensasi kesenduan yang teramat dalam. Hatiku sunyi, kendati tak sepi. Tapi, liris demi liris suara yang menggema dari ujung mikrofon semakin menyudutkanku. Aku seakan terlempar ke suatu siku tiga sisi, dimana aku terpojok seketika. Lantunan ayat suci, pantun demi pantun datang sambut, sawiran beras kuning, aroma sedap malam dan berkelompok-kelompok anyelir semakin membawaku ke suatu tempat yang nyana, aku sendiri tak mengenalnya.

Lalu aku kembali pada mata-mata mereka, kucoba tembus satu persatu. Tentu tak sepenuhnya berhasil. Peduli setan, aku hanya ingin mengamati mata ayah ibuku. Itu jauh lebih penting. Akh, Mak.. Pak.. bahagiakah kalian? Jika ya.. maka, akupun bahagia.


2.
Kau telah melemparkanku hingga aku terduduk di tepi tebing ini. Lantas kau menyibak tubuhku yang berlumur lumpur. Dulu, kau selamatkan aku dari banjir besar, dulu kau yang menghalau gerimis di sisa perjalanan. Sayapmu teguh melingkariku, elang.. membawaku menelusuri savanna, mencari oase untuk kita minum bersama. Dulu kau yang menyelamatkanku, membawa sebagian tubuhku yang sepertiga tercerabut. Lihat.. helai daunku sudah tak ada lagi. Kuingat beberapa terjatuh saat kita terbang menjelajahi Bermuda dan tersangkut di arus waktu. Gerbang kekinian dan masa lampau.

Kemudian kini, baru saja berdetik lalu, kelopak demi kelopakku gugur, lelah ia menerpa angin yang begitu kencang di tengah perjalanan. Satu persatu berlepasan, satu yang terakhir tadi tersobek kuku-kukumu. cakarmu mencengkeramku terlalu kencang. Akh, lihatlah.. habis sudah.. tubuhku hanya bersisa sebatang dengan duri dan putik tanpa kelopak. Setelah itu kau lemparkan dengan kasar aku di tebing ini.

3.
Kujulurkan kakiku menghadap tirta, menyambangi bayang-bayang yang berpedar di biasnya. Lalu menyibaknya dengan sentuhan lembut jemari. Betul saja, getaran kecil membuatnya membentuk lingkaran-lingkaran, lantas habislah bergoyang pantulan wajahku. Apa aku melompat saja? lantas hilang ditelan gelap telaga? jurang curam takkan meninggalkan sisa, tak kan ada jejakku yang bisa ditelusuri. Ya, benar! melompat saja! toh tak ada lagi yang bisa dipertahankan, toh, tak ada lagi yang musti diperjuangkan. Untuk apa?

Tapi tunggu!
Wajah-wajah itu..
Akh, wajah-wajah mereka. Wajah-wajah doa yang datang memberi salam dan tabik. Wajah-wajah penuh harap yang menggugah penggalan-penggalan waktu. Duh, Gusti... itukah wajahku? itukah? mengapa aku seperti tak mengenali? itukah mimik, raut, guratku? itukah?? lantas.. siapa yang bercermin ini? siapa yang berpantulan ini? seribu bayang cerimin retak dengan wajah luka. Akh, milik siapa ini? wajah siapa ini? wajah siapa, mereka? wajah apa itu?

Apakah itu dan ini adalah satu? Apakah itu adalah, ataukah wajahku semata?
Aku pening, keseimbanganku berbalik berlawan setimbang. Tolongg... berat badanku masih terhanyut terbujuk gravitasi. Inti bumi menarikku cepat ke dasar jurang. "Save me...!," teriakku, tercekat.

4.
Tuhan!!
Pekikku tertahan.
Nafasku tergesa. Suara kecil yang sangat kukenal, menyadarkan, mengembalikanku pada dunia."Mak.. ngelak," rengeknya dengan mata setengah terpejam. Kupeluk ia, menyatakan aku selalu akan bersamanya, meneguhkan, aku masih hidup dan harus hidup. Seperti apapun, bagaimanapun. Tanpa atau dengan. Bisa atau sekedar mampu.

5.
Mata-mata yang kuamati dulu melintas lagi. Mata dengan bibir merapal doa. Doa mengenai kebahagiaan. Kebahagiaan untukku. Untuk hidupku. Wajah-wajah sendu, wajah-wajah penuh amarah, wajah-wajah suka.. semua hadir. Aku tau mereka berpetak-petak.

Bukankah doa itu adalah kebahagiaan? Jika ya.. ijinkan aku melangkah, meski melukai wajah-wajah itu.


"Mak, bukankah dirimu pernah berkata, kebahagiaanku adalah kebahagiaanmu? Maka, ijinkan aku menoreh luka pada wajahmu, sekali ini.. Maaf, demi kebahagiaanku. Bukankah kebahagiaanku kelak pun jadi kebahagiaanmu? Biar aku ciptakan jalanku sendiri. Biar kutulis dengan tintaku sendiri, bolehkah.. Untuk kali ini? Sembah sujudku, Mak..".

Demokrasi Setengah Hati

| Juli 19, 2009 | Sunting
Para kontestan
Ada berbagai kejadian menarik selama pertapaanku yang rasanya harus segera kutuliskan pendapatku selagi ianya tersebut masih segar dalam ingatan. Dan juga belum menjadi sesuatu yang basi. Yang utama tentunya perhelatan besar di awal bulan ini yang cukup menyita perhatian dunia sebagai sebuah lembaran baru sejarah bangsa kita. Pendeknya, salah satu proses yang ikut menentukan bagaimana nasib kita lima tahun ke depan.

Di sini, aku tak akan membicarakan apa dan siapa mereka yang beradu untuk memperebutkan kursi orang pertama negeri ini karena semua oranpun sudah tahu. Muka mereka hingga hari-hari terakhir sebelum pemilihan masih menjadi pemanis televisi-televisi nasional dengan berbagai janji yang mereka umbar dengan begitu mudah, seperti pedagang pasar yang menawarkan jengkol. Umbar senyum mereka juga hampir-hampir menjadi selingan di sepanjang jalan yang dari awal sudah sesak dengan berbagai iklan dan penawaran barang. Bahkan bisa dibilang cara mereka - para calon "pengadeg" negara itupun, kurang lebih sama dengan iklan-iklan kebanyakan. Ada yang seperti iklan sabun, ada yang serupa iklan mie instan, bahkan ada yang mirip iklan rokok.

Aku juga tidak akan mempermasalahkan siapa yang menang? Dari partai mana ia? Karena bagaimanapun dari awal siapa yang akan tersenyum penuh kemenangan di akhir pertandingan sudah dapat diraba, bahkan dilihat dengan jelas. Tidak salah pula apabila Arswendo Atmowilopo dalam sebuah forum berani bilang, "Ini adalah sekadar perhelatan pemilihan wakil presiden, bukan pemilihan presiden."

Sehingga apabila kemudian dikaji lebih lanjut, tidakkah mubadzir mereka yang berusaha mengeruk suara melebihi si "pemenang" dengan dana yang tak terkira sementara mereka sendiri sudah melihat siapa yang akan menjadi bintang pentas? Bodohkah mereka? Tidak tentunya, tetapi mungkin mereka sudah cukup kesepian karena lama tak disorot kamera dan dielu-elukan masa. Sehingga, simsalabim, mencalon dirikanlah mereka.

Yang ingin saya catat disini adalah remah-remah yang tenggelam di antara catatan-catatan besar yang tak pernah terlihat oleh orang. Misalnya saja ternyata masih banyak dari saudara kita yang tidak mengetahui orang-orang yang akan mereka pilih sebagai orang yang akan memimpin mereka dan menentukan sedikit dari nasib mereka selama lima tahun ke depan. Di desa kecil di belahan utara Gunungkidul misalnya saja. Sebagian besar dari mereka, ketika hingar bingar kampanye presiden di luar sana seolah menjadi sebuah menu harian, mereka tetap hidup dalam ketenangan tanpa "nggagas" apa yang akan calon-calon itu perjuangkan untuk nasib mereka di hari yang akan datang. Jangankan mengetahui janji-janji yang diumbar dalam rangka memperbaiki kehidupan mereka, siapa saja yang akan mereka pilih saja mereka tidak tahu. Ckck.

Sesekali yang ada hanyalah selentingan-selentingan kecil yang mereka dapat entah dari mana. Misalnya saja, "Kabare ono cah etan kono arep nyalon presiden. Po mlaku? Panganane yo mung telo koyo awake dhewe e kok...." (Kabarnya ada anak daerah timur situ -Pacitan terletak di sebelah timur Gunungkidul- mau jadi presiden. Apa bisa? Makanannya saja juga cuma seperti kita, ketela)

Hah? Itu adalah kenyataan... Mereka terbingkai ketidaktahuan. Mereka tersekat dalam keterpencilan sehingga apabila kemudian pemilihan presiden diklaim sukses, berarti itu adalah sukses tanpa mereka. Sukses dengan melewatkan beberapa kegagalan mendasar yang sebenarnya adalah bukti bahwa proses pen-demokrasian negeri ini masih perlu dikebut sehingga pada suatu saat, sukses demokrasi adalah sukses bersama tanpa menghilangkan orang-orang tadi. Mungkinkah?

Melodi Kevakuman

| Juli 19, 2009 | Sunting
Bingung
Entah apa artinya, tapi hal itulah yang kiranya melanda diriku hingga ku menelantarkan blog ini hingga hampir tiga puluh hari kutelantarkan anak asuhku. Sepertinya ada-ada saja alasan yang membuat otakku tak mampu memberikan instruksi pada sel-sel dalam tubuhku untuk bergerak dan menghasilkan sesuatu. Selalu saja ada alasan untuk menunda dan menundaku untuk melangkahkan kaiku ke warnet (ruang administrasi blog-ku selama ini, hehe). Entah tidak enak badan, entah hawanya lagi panas, dan juga entah-entah yang lain yang kemudian memperparah keterbengkalaian blog ini.

Tapi entah karena sudah terlalu lama atau bagaimana, atau karena sudah terlalu banyak uneg-uneg yang seharusnya segera disampaikan, sedari pagi niatan untuk pergi sudahlah terbuncah dalam dada ini meski kemudian pada akhirnya kaki ini baru bisa terlangkahkan pada lebih tengah hari, namun inilah yang mungkin menjadi awal dari persemadianku, hehe. Apalagi, banyak pula rekan-rekan setiaku yang sudah benar-benar memaklumatkan sebuah pesan kepadaku agar segera bangun.

Terakhir, Mbak Ratieh, mengirimkan sms-nya dua hari lalu. singkat, namun menjadi sejauh hal yang terus saya pikirkan, IDE AKAN SEGERA MENGUAP APABILA TAK SEGERA DIUNGKAPKAN. KEEP UR SPIRIT. GBU

dan itulah yang kemudian menjadi sebuah bahan renungan bahwa aku kudu terus menulis, apapun, tanpa harus kupikirkan apa yang akan terjadi pada tulisanku tersebut.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine