Lentera Jiwa (2-Habis)

| Maret 18, 2013 | Sunting
Steve Job
Khafilah berlalu ...
Ketika seseorang bertanya bagaimana caranya menjaga kebugaran agar selalu tampak segar dan bersemangat, maka sebenarnya jawaban terbaik ada pada menyala atau tidaknya lentera jiwa seseorang. Di rumah, kala saya sedang mengalami tekanan psikologis, istri saya selalu mengatakan "wajah saya sudah berubah menjadi seperti pak dosen". Lama saya tak mendengar lagi kalimat itu, tetapi saya pernah memikirkannya.

Rupanya ia tak mau wajah suaminya menjadi mirip rata-rata dosen yang kata dia "menjadi lebih tua dari usianya". Saya baru menemukan jawabannya ketika suatu waktu Najwa Shihab mempertemukan saya, Prof Emil Salim dengan Ninik L Karim, dosen Fakultas Psikologi UI untuk menyambut mahasiswa baru. Di atas panggung auditorium UI, kami bercerita tentang kehidupan kami bagaimana meniti karier dan menembus tembok-tembok kesulitan sepanjang masa. Saat jeda, saya sempat bertanya pada Ninik, apakah sosok seperti dia lazim berada di kalangan dosen? Apakah tidak mengalami masalah dengan pola karier seperti ini?

Di luar dugaan saya, pemain teater yang pernah meraih beberapa kali piala Citra di layar lebar itu justru bertanya balik ke pada saya.  Saya katakan, justru itulah saya bertanya, karena sesungguhnya saya ingin tahu apakah orang seperti saya di fakultas lain juga mengalami hal serupa?  Selain mengajar, Ninik dikenal sebagai selebritas, dan dulu sering muncul di layar lebar.  Kalau sekarang anda menyaksikan akademisi menjadi pengamat dan sering masuk TV adalah biasa, tidak demikian sepuluh-dua puluh tahun lalu.

Ninik bercerita panjang lebar bagaimana ia dianggap aneh oleh komunitasnya. Bahkan yang lain bercerita, mereka seperti digunjingkan, tak diinginkan oleh komunitasnya. Tetapi Ninik kemudian mengatakan, "Tetapi saya bahagia Mas, saya lakukan semua ini karena panggilan jiwa saya.  Sementara ada ratusan dosen yang melakukan profesinya bukan karena panggilan jiwanya”. Maka layaklah mereka menjadi dosen killer, mudah tertekan, cepat tersinggung, sulit mengungkapkan mau hatinya, bahkan sulit berprestasi optimal.  Padahal, seorang guru sejati bukanlah orang yang senang marah, mempersulit orang lain, mengatakan orang lain tak mutu, bahkan mengatakan hanya dirinya yang bisa bernalar.  Bagi saya semua ini hanyalah cerminan dari tak menyalanya lentera jiwa.  Mereka bahkan the caged life (perangkap jiwa) atau bahkan sudah comfortable life (mempertahankan kenyamanan).

Pertanyaan Jiwa

Maka sampai di usia 30-40 an, seorang yang sedang meniti karier perlu bertanya pada jiwanya dan pertanyaan itu adalah cermin dimana ia berada. The Caged Life, kata Brendon Burchard, akan selalu diwarnai perasaan-perasaan takut setiap menyaksikan perubahan apa saja. "Apakah saya bisa survive"? Dan fokusnya hanya pada "aman atau tersakiti".

The comfortable life sebaliknya akan bertanya, "Apakah saya akan diterima dan berhasil"? Dan fokusnya pada penerimaan. Sedangkan pemantik lentera jiwa akan bertanya, "apakah saya telah menegakkan kebenaran dan mengaktualiasikan potensi diri saya? Apakah saya telah menjalankan hidup yang inspiratif dan menginspirasi orang lain".

Bagi saya, maaf, percuma saja berteriak kejujuran dan etika, bila diri sendiri menjalani hidup yang terpenjara. Orang yang terpenjara tidak hidup dalam apa yang ia inginkan, ia banyak menyimpan pertanyaan-pertanyaan yang sulit ia jawab sendiri. Sementara bagi pemantik lentera jiwa, credo yang dianutnya asalah, " ask not what you are getting from the world but, rather what you are giving to the world".

Orang yang kariernya dijalani dalam the caged life berpotensi menjadi komplainer, dan tidak bahagia melihat orang lain bahagia.  Mereka justru berbahaya bila menjalani karier sebagai auditor, wartawan investigator, penulis, penegak hukum, atau bahkan bila ditempatkan ke dalam dewan etika sebuah lembaga.

Maka, mereka tak pernah merasa keletihan karena setiap hari selalu menyaksikan hal-hal baru.  Ini berbeda dengan The Comfortable Life yang selalu menjalani rutin dengan kebosanan.  Bagi pemantik lentera jiwa, "life is magical and meaningful". Mereka tak takut menghadapi gelombang-gelombang ancaman, mereka hanya peduli" apakah ini benar atau tidak" dan "apakah ini meaningful".  Selamat menyalakan lentera jwa masing-masing...

*) Tulisan Rhenald Kasali, founder Rumah Perubahan, dimuat di Jawa Pos 11 Maret lalu. Tulisan bagian pertama yang bisa dibaca di sini.

Lentera Jiwa (1)

| Maret 17, 2013 | Sunting
Di STM (sekarang namanya SMK) 6 Kramat Raya tahun 1970-an akhir ada seorang siswa yang senangnya membuat puisi dan karikatur. Meski lulus sebagai juara kelas dan dapat beasiswa untuk melanjutkan studi ke IKIP Negeri Padang, ia justru memilih kuliah di sekolah jurnalistik. Kalau ia mengambil opsi pertama, ia tentua sudah menjadi guru STM. Tetapi meski tak punya biaya untuk bayar kuliah sendiri, hatinya berkata lain.

Setelah lulus, ia magang di sebuah majalah berita dan dilatih melakukan investigasi berita dengan prinsip “tak ada tokoh yang tak punya kesalahan”. Dengan bekal itu, setelah bertahun-tahun menjadi reporter, di sebuah stasiun TV, pada awal reformasi ia menjadi host talkshow politik yang sarat konflik. Tokoh-tokoh yang berseberangan ia pojokkan sehingga tak berkutik dan saling menyalahkan. Tontonannya sangat menarik, ratingnya tinggi. Tetapi setelah beberapa tahun menjalankan peran itu ia bertanya: “apakah ini yang saya cari dalam hidup saya?". Ia merasa ada yang salah telah ikut menaburkan kebencian dan permusuhan.

Berawal dari pertanyaan itulah ia berhenti dari seluruh kegiatannya dari talkshow politik dan mengundang orang-orang biasa, pejuang perubahan sosial yang inspiratif. Anda mungkin tahu siapa yang saya maksud. Ya, itulah Andy Noya dengan Kick Andy show-nya. Sewaktu saya gali untuk program TV yang saya asuh di TVRI, Ia mengatakan “Saya seperti tengah bercermin. Saat tamu-tamu itu bercerita, saya seperti melihat diri saya sendiri di sana”.

Chef Seno

Apa yang dilakukan Andy agak mirip dengan sahabat saya di UI yang suskses menjadi direktur keuangan di sebuah bank. Sebagai akuntan senior ia punya semuanya: Keluarga yang harmonis, rumah yang besar, anak-anak yang sehat dan karir yang bagus. Tetapi setelah krisis moneter berlalu dan ia selamat, Ia justru meminta pensiun dini dan lama menghilang.

Akhirnya tahun lalu secara tak sengaja kami bertemu di sebuah lorong pertokoan di depan sebuah restoran Jepang di kawasan Takapuna, dekat Auckland, New Zealand. Delapan tahun yang lalu ia berimigrasi kesini dan memulai profesi baru. Ia mengambil kursus memasak selama 2 tahun, membeli alat-alat, dan memulai kariernya sebagai tukang masak dari restoran-restoran kecil. Sekarang Chef Seno sudah menjadi koki di sebuah hotel terkenal dan menemukan lentera jiwanya.

Saat kami diundang makan malam Saya melihat ia begitu piawai memotong dan menyajikan hidangan. Karakter masa lalunya sebagai akuntan yang kritis mulai tak kelihatan. Memasak adalah kecintaannya sejak kecil, namun sepertinya tak begitu macho bila dijalankan oleh pria, apalagi bila anda mengatakan itu adalah cita-citanya di tahun 70-80an. Ini mirip dengan Harland Sanders yang sudah gemar menggoreng ayam sejak usia kecil, namun setelah mendapat julukan kolonel, di usia 40-an Ia baru menggoreng ayam dan usahanya baru meledak saat usianya 60-an dengan nama KFC. Chef Seno dan Harland Sanders bukan memasak seperti ibu-ibu yang dipaksa nilai-nilai masyarakat berada di dapur: buku resep, kumpulkan bahan-bahan lalu masak. Mereka bisa memasak tanpa resep, mengikuti naluri dari bahan-bahan yang ada di dapur.

Sekolah STM bagi Andy Noya, menjadi akuntan bagi Chef Seno, atau menjadi tentara bagi Harland Sanders bukanlah lentera jiwa mereka. Brandon Burchard menyebut fase itu sebagai “The Cage” (kurungan jiwa). Di seluruh dunia, hampir semua kaum muda kesulitan menyalakan lentera jiwanya dan hidup terkurung menjalankan kehendak orang lain.
Lentera jiwa
Saya juga melihat di usia dewasa, ribuan orang yang berkarir ternyata juga terperangkap dalam hidup yang sama. Bahkan ada yang masuk ke fase ke dua: The Comfortable life seperti yang dirasakan Chef Seno saat menjadi direktur keuangan, atau Andy Noya saat menjadi pemimpin redaksi dan Wakil Pemimpin Umum di Media Indonesia dan Metro TV. Mereka beruntung mempertanyakannya: Inikah yang saya cari?

Hidup dalam The Cage membuat manusia patuh dan menjalankan sesuatu atas ekspektasi dan kehendak orang lain sehingga sulit sekali mencapai prestasi tertinggi karena selalu terjadi pertentangan jiwa. The Caged life hidup dalam kotak “belief” yang sempit yang banyak membatasi hidupnya. Ia membangun hidup dari sesuatu yang didiktekan orang lain, dan tak pernah berani keluar dari garis-garis maya yang mem- batasinya, untuk meng- eksplorasi dunia baru. The Caged life sangat takut bertentangan dengan aturan yang dibuat masternya, meski itu hanya ada dalam pikirannya. Sebegitu dalamnya peran “sang master” sehingga bila dilanggar, merasa “sangat berdosa”.

Lantas bagaimana keluar dari ke 2 fenomena itu? Tentu saja diperlukan upaya massif,  sebuah revolusi kehidupan seperti kembali ke titik nol dengan menghidupkan lentera yang oksigennya mungkin sudah ada. Saya akan lanjutkan di Lentera Jiwa 2, tetapi anda bisa menyaksikan pergulatan-pergulatan itu setiap Selasa malam di TVRI dengan tamu saya Andy Noya atau tamu-tamu inspiratif lainnya. Kalau kita bisa menghidupkan lentera jiwa kita masing-masing, maka bangsa ini akan tumbuh menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Bahkan saya percaya, iri, dengki, saling menghujat akan jauh berkurang. Artinya Persatuan Indonesia akan lebih ideal kita rasakan.
*Tulisan Rhenald Kasali, founder Rumah Perubahan, dimuat di Harian Jawa Pos 4 Maret lalu. Bagian dua bisa dibaca di sini.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine