Esok Belum Tiba

| Oktober 20, 2015 | Sunting
Terjaga, ku disentuh lembutnya suria, 
dan siang pun berubah, 
pelangi hidup disambut senja. 
Pabila, kau cuba buktikan pada semua, 
kau bersungguh membina, 
apa yang kan runtuh jua. 
Sedarlah kita, malam mungkin ada. 
Sedarlah, esok belum tiba. 
Kejutkan aku bila kau bersedia. 
Oh bintang setia, menari di angkasa, 
khabarkanlah pada mereka, 
sesungguhnya nikmat didunia, 
itu hanya sementara. 
Berdoalah kita, 
moga terus bernyawa, 
khabarkanlah pada meraka, 
sesungguhnya nikmat di syurga, 
itu kekal selamanya.

Perempuan di Pagi Buta

| Oktober 03, 2015 | Sunting

Jam enam lewat sepuluh. Aku kembali terbangun. Suara pintu kamar kubuka pelan. Berderit. Ku beranjak ke kamar mandi. Suara air mengucur terdengar sayup-sayup. Tiada sesiapa. Seseorang lupa menutup katup keran pasti semalam. Cur. Urin mengucur demikian saja tak terbendung.

Aku kembali ke kamar. Kumatikan kipas angin. Dingin. Terduduk aku di pinggiran ranjang. Lapar. Jendela tiba-tiba saja terbuka. Angin semilir masuk. Tirai merah hati tersibak. Pendar lampu jalanan terpancar. Angin terasa semakin keras. Bau sesuatu yang begitu busuk menusuk hidung sejurus kemudian.

Saat itulah suara gonggongan anjing terdengar. Pendek-pendek saja. Tapi ajeg. Ku condongkan tubuhku ke arah jendela, sambil meraih ujung tirai. Bermaksud menutupnya. Sosok perempuan bergaun putih yang dulu itu sekonyong-konyong melintas. Perempuan yang pernah kuceritakan berjalan menembus kaca jendela. Yah, perempuan yang sama. Aku yakin pasti.

Mereka Ada Dimana? Pulangkan Mereka!

| Oktober 01, 2015 | Sunting
Pulangkan Mereka!
Bulan September dan Oktober seperti menjadi bulan ulang tahun berbagai kasus pelanggaran HAM berat Orde Baru. Bukan karena semua kasus tersebut terjadi pada bulan-bulan tersebut. Tetapi lebih karena bulan kesembilan dan kesepuluh ini adalah gerbang awal rezim tirani yang kemudian secara aktif menginisiasi berbagai macam kekerasan lainnya. Menyitir Frans Hüsken dan Huub de Jonge, dalam pendahuluan Orde Zonder Order: Kekerasan dan Demokrasi di Indonesia 1965 - 1998: Orde Baru Indonesia terlahir dari suatu kudeta dan berikutnya pembunuhan massal yang merenggut nyawa setengah hinggah satu juta manusia. Kekerasan tidak hanya menyertai kepedihan-kepedihan saat kelahirannya, tetapi Orde Baru juga terus hidup dalam praktik kekerasan. 

Tetapi kenapa lantas kekerasan diulang tahuni? Karena pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak pernah benar-benar diselesaikan! Banyak dari korban yang tidak diketahui nasibnya hingga sekarang. Meninggalkan sejuta tanya di benak orang-orang yang ditinggalkan. 

Lantas, pertanyaannya sampai kapan ulang tahun ini akan dirayakan? Sampai kapan kasus-kasus kekerasan tidak dilihat sebagai masalah yang harus diselesaikan? Sampai kapan ketidakpastian menggelayuti hidup orang-orang yang terpapar kekerasan masa silam? Sampai kapan kebenaran didiamkan?

Tidak adanya jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang secara umum melatar belakangi terbitnya buku Pulangkan Mereka! pada 2012. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) merangkum kesaksian korban yang dilepas dan keluarga korban yang masih hilang hingga sekarang. Didukung dengan berbagai data sekunder, narasi kembali ditulis, potongan-potongan memori kembali dilukis.

Ada dua belas esai panjang dalam buku ini, dikelompokan ke dalam 3 pokok bahasan utama: penghilangan paksa pada 1965-1967, penghilangan paksa di daerah konflik, dan penghilangan paksa terhadap kelompok oposisi. Esai-esai tersebut mencakup berbagai macam kasus dari Aceh hingga Papua.

Semua bermuara pada satu tanya: mereka ada dimana?

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine