Tak Melulu Puisi: Bincangan Aan Mansyur & Wan Nor Azriq

| November 20, 2016 | Sunting
Aan Mansyur bersama Wan Nor Azriq di Kuala Lumpur Literary Festival 2016
Aan Mansyur membuka perbincangan sore itu di Kuala Lumpur Literary Festival 2016 dengan pandangannya perihal puisi yang begitu mendapatkan tempat di kalangan anak muda akhir-akhir ini. Menurutnya alasan utama di balik fenomena ini adalah karena mereka memang tidak sempat untuk membaca karya-karya yang lebih panjang semacam novel.

"Membaca puisi kita dapat memilih mana yang kita suka. Sementara membaca novel misalnya, harus tekun mengikuti alur cerita dari satu halaman ke halaman lain." ungkapnya. Tepat setelah paparan singkatnya tersebut suara si penyair terdengar serak, sebelum kemudian ia memegangi tenggorokannya. Penganjur acara tergopoh memberikannya air.

Penulis Wan Nor Azriq sigap menimpali dengan menyinggung faktor kedekatan penyair sekarang dengan khalayak yang membuat puisi mendapatkan pembaca yang lebih luas. Di masa lalu para penyair seolah hidup di dunia yang berbeda, sementara kini sudah biasa penyair berinteraksi dengan para penikmat karyanya. "Penyair sekarang sudah serupa selebritis."

Alasan lain lantas ditambahkan oleh Aan. Menurutnya puisi mudah untuk dikolaborasikan dengan karya seni lain dan tentu saja ini membuat puisi tidak lagi sekadar dibaca oleh penikmat puisi. Ketika kumpulan puisinya, Melihat Api Bekerja, diluncurkan semisal, Aan yakin bahwa pembaca awalnya sebagian besar bukanlah penyuka puisi, namun penikmat seni rupa. 

Pun masih segar dalam ingatan tentu saja ketika kemudian puisi-puisi Aan dibacakan oleh Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta 2Lihat, tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.

Menguak Tabir Mutiara Laut Selatan Indonesia

| Oktober 24, 2016 | Sunting
Dalam perjalanannya ke Kepulauan Aru, Mei hingga Juni 1857, naturalis dan penjelajah Inggris Alfred Wallace mendapati bahwa setidaknya ada lima ratusan orang dari berbagai bangsa mendiami Dobo, sebuah 'desa' pusat perdagangan di kepulauan tersebut. Di tempat terpencil ini mereka mengadu peruntungan dari salah satu komoditas utama wilayah ini: tiram mutiara - banyak ditemukan di laut timur kepulauan ini. 

Kesaksian Wallace tersebut dikonfirmasi oleh Anna Forbes yang menyertai perjalanan suaminya, naturalis Inggris Henry Forbes, ke Dobo pada bulan Juli 1885. Catatan perjalanannya dikumpulkan dalam buku Unbeaten Tracks in Islands of The Far East, Experiences of a Naturalist's Wife in The 1880s. Menurut Anna, Dobo adalah sebuah desa yang cukup maju. Sepanjang jalan ia menjumpai toko-toko, juga gundukan tiram mutiara yang tengah dihitung dan disusun untuk kemudian dibawa ke Makassar, lalu ke Eropa. Tiram-tiram mutiara itu didapat dari para penyelam yang dalam seharinya disebut hanya dapat mengumpulkan dua puluh hingga empat puluh buah. Anna menambahkan, mutiara dari Aru adalah yang termahal di pasar Eropa. 

Mutiara-mutiara yang dikisahkan oleh Wallace, juga Anna, itulah yang lantas dikenali sebagai Indonesian South Sea Pearl alias Mutiara Laut Selatan. Mutiara yang menjadikan Dobo sebagai sebuah pusat perdagangan yang sibuk selama berbilang abad. Pesonanya pula yang kemudian mengilhami dimulainya percobaan budidaya tiram mutiara di Buton, Sulawesi Tenggara pada awal abad ke-20.
Mutiara Laut Selatan Indonesia, dari masa ke masa

Vladimir Hussein – Etgar Keret

| Oktober 19, 2016 | Sunting
Ia duduk di sebelah lelaki tua yang sedang mengisi teka-teki silang
"Haram jadah!" gumam lelaki tambun itu seraya meninjukan tangannya ke bangku halte. Vladimir tetap memandangi gambar-gambar di koran, tanpa sedikit pun memerhatikan berita yang menyertainya. Waktu bergerak lambat. Vladimir tidak suka menunggu bus. "Haram jadah," kata si tambun lagi, kali ini dengan keras, sambil melayangkan ludahnya ke trotoar, hampir mengenai kaki Vladimir. "Kamu berbicara padaku?" tanya Vladimir, yang sedikit terkejut tentunya, sambil menengokkan kepalanya ke arah si lelaki – yang sepertinya mabuk. "Tidak. Aku ngomong sendiri," pekik si lelaki. "Oh," balas Vladimir, lalu kembali memandangi korannya. Terlihat sebuah gambar berwarna: onggokan potongan tubuh manusia di alun-alun kota. Ia lalu mencari rubrik olahraga. "Hei, aku memang berbicara padamu, bodoh!" Si tambun bangkit dari duduknya dam berdiri di hadapan Vladimir. "Oh," kata Vladimir sekali lagi, "aku juga berpikir demikian tadi, tapi katamu-" "Lupakan apa yang aku katakan tadi, dasar Arab kotor!" "Aku Rusia," ujar Vladimir, berlindung di balik silsilah keluarganya yang sebenarnya sama sekali tidak ada kaitannya. "Ibuku dari Riga." "Pantas saja," timpalnya setengah tak percaya. "Dan ayahmu?" "Ia dari Nablus," jawab Vladimir, lalu kembali memandangi korannya. "Dua darah kotor mengalir di dalam tubuhmu." sahut si tambun. "Apa lagi yang akan mereka lakukan untuk merampas pekerjaan kami?" Di halaman koran terlihat gambar orang-orang kerdil Kurdi yang hangus terbakar, mencuat dari sebuah pemanggang raksasa. Vladimir yang melit sejenak menyesali sumpahnya untuk tidak akan pernah membaca keterangan gambar.

"Berdiri kau," perintah si tambun. Vladimir akhirnya menemukan juga rubrik olahraga yang ia cari dan melihat gambar seorang lelaki kulit hitam tengah bergelantung di ring basket. Vladimir tidak lagi mampu menahan godaan untuk mengintip keterangan gambarnya, "Fan yang Frustasi Inginkan Darah Baru." "Heh, aku minta kau berdiri," si tambun mengulangi permintaannya. "Aku?" tanya Vladimir, "bukankah–" "Ya, kamu," potong si tambun. Vladimir pun bangkit dari duduknya. Lelaki kulit hitam di gambar tadi sudah dua musim bermain untuk North Carolina College sebelum kemudian digantung oleh pengadilan Tel Aviv. Seketika itu, Vladimir menyadari bahwa ia sudah melanggar salah satu prinsipnya sendiri. Saat itu sudah pukul lima dan bus belum juga tiba. Dalam pidato radionya, Perdana Menteri telah menjanjikan sungai darah, dan si tambun itu ternyata sekepala lebih tinggi darinya. Vladimir menghantamkan lututnya ke selangkangan lelaki itu, lalu memukulinya dengan linggis besi yang sengaja ia sembunyikan dalam koran. Si tambun tersungkur dan mulai mengerang, "Ampun Arab! Rusia! Tolong!"  Vladimir memukul kepalanya dengan linggis, lantas kembali duduk ke bangku.

Bus tiba pukul 5:07. "Kenapa lelaki itu?" tanya si sopir, sambil menunjuk si lelaki tambun yang tergeletak di atas trotoar dengan dagunya. "Ia tidak naik bus ini," jawab Vladimir. "Aku juga tahu," timpal si sopir, "tetapi tidakkah kita harus menolongnya, atau melakukan sesuatu mungkin?" "Dia terkena epilepsi," ujar Vladimir. "Lebih baik jangan menyentuhnya." "Jika ia terserang epilepsi, darimana asal darah itu?" si sopir kembali bertanya. Vladimir mengangkat bahunya. "Dari pidato Perdana Menteri di radio." Ia memasukkan pas bus bulanannya ke dalam saku lalu duduk di bagian belakang, di sebelah seorang lelaki tua berbaret dan berkacamata yang sedang mengisi teka-teki silang. "Bulbul," ujar si tua. "Burung penyanyi (enam huruf)," Vladimir menyebutnya keras-keras. "Siapa yang bicara padamu hei Arab kotor?" kata si tua. "Pertanyaan/pernyataan kesukaan polisi peronda perbatasan (dua-puluh delapan huruf, tak termasuk tanda bacanya)," kata Vladimir lagi tanpa ragu-ragu. "Tidak terlalu buruk untuk seorang schvartze," gumam si tua dengan penuh rasa takjub. "Aku juga suka teka-teki silang," kata Vladimir, sambil merendahkan kepalanya takzim.

Ketika bus sampai di pemberhentian Vladimir, si tua melepas baretnya dan menarik benang yang berjuntaian dari bagian belakangnya. "Ini anak muda, hadiah dariku," katanya, menyerahkan topinya pada Vladimir. "Terima kasih Opa," jawab Vladimir, menerima baretnya lalu melompat ke trotoar. Bus itu berlalu, Vladimir melemparkan topi tadi ke tong sampah berwarna hijau, lalu merunduk. Sebuah ledakan terjadi beberapa detik kemudian, menghujaninya dengan rombengan sampah.

Ia bergegas ke sebuah bangunan berdinding marmer, tempat ia tinggal bersama keluarganya. Ia menaiki anak tangga dua-dua, dan terengah-engah begitu mencapai atap. Oma Natasha tengah duduk di dalam tenda, menonton siaran layanan masyarakat di televisi. Mereka menayangkan seorang model berambut pirang, berbikini, tengah berenang dengan gaya punggung di sungai darah yang mengalir sepanjang jalan Arlozorov. "Dia itu tidak benar-benar pirang." gerutu Oma Natasha, sambil menunjuk-nunjuk si model. "Rambutnya itu dikelantang." Ibu Vladimir masuk ke dalam tenda, membawa keranjang cucian. "Kamu dari mana saja sejak tadi?" tanyanya dengan marah. "Kami mencarimu sepanjang pagi. Orang-orang anti-polusi gila itu menyalib Kakek di terminal sentral." Vladimir tengah membayangkan dirinya bercinta dengan model televisi itu. "Aku memintamu pergi ke pemakamannya, jangan lari seperti saat pemakaman ayahmu dulu, kau dengar itu?" Ia tidak peduli rambutnya dikelantang, ia tetap menyukainya. "Vladimir? Kamu mendengarkanku?" Marah, Ibunya mulai mengeluarkan serapah dalam bahasa Rusia. "Jadi Ibu berbicara padaku?" tanya Vladimir, sambil memandangi Ibunya. "Tidak, aku berbicara dengan Tuhan!" jawab Ibunya sebelum kemudian melanjutkan sumpah serapahnya. "Oh," ucap Vladimir sebelum kembali menontoni televisi yang tengah menayangkab separuh bawah bagian tubuh si model. Darah yang berkilauan mengalir di sekitarnya tetapi tidak ada sedikit pun yang menempel. Terdapat keterangan gambar dan logo kota di atasnya, tetapi Vladimir mampu menahan keinginannya dan berhasil mengelakkan diri dari membacanya.
Diterjemahkan dari cerpen berjudul serupa yang masuk dalam kumpulan cerpen terbitan Farrar Straus and Giroux (2008), The Girl on the Fridge. Cerita-cerita Etgar Keret dalam buku ini dialihbahasakan oleh Miriam Shlesinger dan Sondra Silverston dari bahasa Ibrani. Keret sendiri adalah penulis Israel yang dikenal karena kepiawaiannya meramu humor-humor gelap. Cerpen Etgar Keret yang lain, Parallel Universes, saya terjemahkan di sini.

Lelaki Tenggelam Paling Tampan di Dunia

| Oktober 04, 2016 | Sunting
Lelaki itu bernama Esteban
Anak-anak yang pertama kali melihat benda gelap itu mendekat dari arah laut mengiranya sebagai kapal musuh. Begitu menyadari benda itu tidak berbendera ataupun bertiang, mereka pikir itu pasti seekor paus. Baru setelah benda itu terhempas ke pantai dan mereka bersihkan rumpun rumput laut, tentakel ampai-ampai, dan bangkai-bangkai ikan, juga kapar yang ikut tersangkut, mereka sadar bahwa yang mereka perhatikan sedari tadi adalah jasad seorang lelaki.

Anak-anak itu sudah memainkannya sepanjang siang: menguburnya di pasir lalu menggalinya lagi, menguburkannya lagi, ketika seseorang tidak sengaja melihat dan mengabarkannya ke desa. Para pria yang kemudian menggotongnya ke rumah terdekat merasa bahwa si lelaki lebih berat dari mayat siapa pun yang pernah mereka tahu, ia hampir sama beratnya dengan seekor kuda. Mereka menerka-nerka mungkin karena si lelaki sudah terlalu lama hanyut, sehingga air sampai meresap ke tulang-tulangnya. Ketika membaringkannya ke lantai, mereka berkata bahwa lelaki itu lebih tinggi dari siapa pun karena hampir tidak ada ruangan yang cukup untuknya di rumah itu. Tetapi (lagi-lagi) mereka menerka-nerka bahwa mungkin ada lelaki tenggelam yang tetap memiliki kemampuan tumbuh. Aroma laut meliputi si lelaki dan hanya perawakannyalah yang membuat orang menduga bahwa ia adalah mayat manusia karena kulitnya terselimuti oleh lumpur dan kerak air.

Mereka tidak perlu membersihkan wajahnya untuk mengetahui bahwa si lelaki bukanlah warga desa mereka. Desa itu hanya terdiri dari dua-puluhan rumah kayu berhalaman batu, tanpa bunga, yang tersebar di ujung sebuah tanjung yang lebih mirip padang pasir. Hanya ada sedikit sekali daratan. Para ibu selalu diliputi cemas kalau angin akan menerbangkan anak-anak mereka dan, seperti yang korban-korban sebelumnya, mereka harus melemparkan jasad mereka dari atas bukit karang. Tetapi, lautan sekitarnya tenang lagi melimpah ikan dan semua lelaki desa itu muat masuk ke dalam tujuh perahu saja. Sehingga ketika menemukan lelaki itu, mereka hanya perlu melihat satu sama lain untuk tahu tidak ada seorang pun yang kurang.

Pulang

| September 28, 2016 | Sunting
Petang tadi jalanan tak sepadat biasanya. Azan Maghrib baru berkumandang ketika aku memasuki kampus. Padahal biasanya malam sudah turun jauh sebelum gerbang kampus kulalui.
Abang Sopir
Aku adalah satu-satunya penumpang yang turut hingga ke area kampus. Begitu dua penumpang lain, seorang bapak tua dan gadis kecil, turun dari bus, aku beringsut ke bagian depan. Mendekati sang sopir. "Ikut sampai hentian akhir ya Bang." pintaku.

Sang sopir, masih dalam usia tiga puluhan, hanya mengangkat tangannya, mengiyakan. Namun tak lama kemudian ia menengok. "Pulang kerja?" begitu tanyanya. Tentu saja kuiyakan.

Kemudian kami sama-sama diam. Sang sopir mengemudikan busnya perlahan. Langit masih terang, namun lampu-lampu di kiri kanan sudah mulai berkerlipan. Bus berhenti. Lampu merah.

"Busnya baru ya Bang?" tanyaku berbasa-basi. 

Bus yang kutumpangi memang berbeda dengan bus biasanya. Bus yang biasa melayani rute dari kampus ke tengah kota Kuala Lumpur adalah bus dengan lajur kursi penuh dari depan hingga belakang. Sementara bus yang sedang kunaiki separuh saja lajur kursinya, sementara sisanya tanpa kursi.

"Iya. Baru tukar."

"Kenapa? Bus yang lama bukannya muat lebih banyak penumpang?"

Kisah-kisah dari Suriah

| Agustus 31, 2016 | Sunting
Suriah hari-hari ini | © Diaa Al-Din/Reuters
Hidup di daerah yang jauh dari konflik bersenjata membuatku selalu berpikir bahwa perang adalah duka nestapa yang harus selalu diratapi. Ketika perang Irak meletus tahun 2003, dalam kelas bahasa Indonesia, saya menulis 'surat kepada Presiden Amerika Serikat' agar menghentikan perang karena salah satunya 'cerita seperti apa yang akan dikisahkan anak-anak Irak kepada generasi sesudahnya apabila perang terus berkecamuk'.

Lebih dari satu dekade kemudian saya tahu cerita macam apa yang bisa dirangkai oleh perang. Tangan dingin penulis eksil Irak, Hassan Blasim, mengantarkanku pada semesta yang ternyata tak semata berkalang duka, namun juga penuh cerita lainnya: cinta, canda, juga tawa. Lewat The Corpse Exhibition and Other Stories of Iraq, Hassan menyajikan semacam dongeng pelipur lara, narasi-narasi yang tumbuh dari puing-puing perang. Dalam Pameran Mayat semisal, Hassan bercerita tentang pembunuh bayaran yang diuntungkan oleh kekacauan yang tengah melanda negara. Sementara di cerpen yang lain, Sang Komponis, Hassan berkisah tentang  komponis pro-pemerintah yang kehilangan pekerjaannya setelah pemerintahan yang ia dukung jatuh.

Berawal dari Hassan-lah saya kemudian membaca kisah-kisah lain yang juga menjulur dari remah-remah perang. Salah satunya adalah kisah-kisah dari Suriah yang terhimpun dalam buku Breaking Knees: Sixty-three Very Short Stories from Syria (Garnet Publishing, London: 2016).

Penulisnya, Zakaria Tamer, adalah eksil Suriah yang dikenal sebagai penulis cerita pendek (kebanyakan cerita anak) dan juga kolom satir di koran-koran. Ia meninggalkan negaranya untuk memulai hidup di Inggris, tak lama setelah dipecat dari posisinya sebagai editor sebuah majalah sastra keluaran Kementerian Kebudayaan Suriah pada awal 1980-an. Sebabnya: pemerintah tak suka dengan kegemarannya memasukkan tulisan-tulisan yang menyindir pemerintah.

Dalam sebuah wawancara Zakaria mengungkapkan, alasannya meninggalkan tanah Suriah adalah perasaan keterasingannya di tengah konflik yang terjadi. Ia sulit menerima bagaimana bisa manusia bisa saling membunuh, bahkan juga membunuh dirinya sendiri, serta turut menyeret anak-anak tanpa dosa ke pusaran perang.
Breaking Knees: Sixty-three Very Short Stories from Syria

Penindasan dan kesewenang-wenangan praktis menjadi dua hal yang banyak disinggung oleh Zakaria dalam keenam-puluh-tiga cerita (sangat) pendeknya. Dengan humor-humor satir ia keras menentang represi politik, korupsi dan penyelewengan.

– 4 –
Ketiga bocah lelaki itu tidak menghiraukan teriknya matahari tengah hari dan terus bermain di gang yang sepi itu. Keriuhan ketiganya bahkan serupa dua puluh orang, sebelum kemudian seorang lelaki meneriaki mereka dari jendela. Nadanya marah dan jengkel, "Jangan berisik anak-anak setan! Kami sedang istirahat!"

Jelas bahwa bocah-bocah lelaki itu mengenal, dan menakuti, lelaki yang meneriaki mereka. Seorang dari mereka menjawab, "Baik Abu Salim, baik!"

Mereka tidak melanjutkan permainan mereka. Lantas bersandar ke dinding seraya membicarakan masalah sekolah. Mereka memaki guru yang tidak meluluskan mereka. Bocah pertama berkata, "Menteri Pendidikan itu adalah teman orang tuaku, dan ia tidak pernah menolak apa saja permintaan ibuku. Ia tentu akan marah besar kalau tahu apa yang terjadi. Guru itu pasti akan dipecat dari sekolah."

Bocah kedua menimpali, "Kepala kepolisian juga dekat dengan kakak perempuanku. Ia selalu memanjakanku. Setiap kali ia datang bertandang, ia akan menyuruhku keluar membeli kue atau coklat. Akan kuceritakan padanya tentang guru kita yang gemuk dan pemalas itu. Juga bahwa ia kerap mengutuki pemerintah di depan kita. Ia juga tidur dan mengorok di kelas, membiarkan kita begitu saja."

Bocah ketiga diam saja, sementara kedua temannya memandanginya berharap tambahan cerita. Ia ingin berbicara, tetapi tidak ada hal yang dapat ia ceritakan. Ibunya tidak mengenal laki-laki selain ayahnya. Dan saudara-saudara perempuannya tidak mengenal siapapun kecuali suami mereka. Ia diliputi perasaan bingung dan merasa gagal, untuk kedua kalinya.

– 53 –
Fathi lapar. Ia membeli dua buah apel, satu merah, satu hijau. Ia lalu pergi ke taman, duduk di atas bangku, dan sudah hampir menggigit yang hijau. "Akankah aku dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan?" tanya si apel.

"Kamu tidak lebih berharga daripada seorang manusia," jawab Fathi.

"Bahkan aku tidak diizinkan untuk menuliskan wasiatku?" tanya si apel.

"Aku tidak akan memakanmu," ujar Fathi. "Aku tidak ingin dituduh memusuhi apel hijau."

Fathi hendak menggigit apel yang merah, tetapi si merah juga berkata dengan nada mengancam: "Jika kamu memakanku, kamu akan menyesalinya!"

"Semoga Allah melindungi kita dari penyesalan!" seru Fathi.

"Aku yakin kamu tidak tahu siapa aku," kata si apel merah, "dan kamu tidak tahu dari markas mana bala bantuan akan datang."

"Apakah kamu adalah anggota partai penguasa, atau partai oposisi?" Fathi bertanya dengan penuh rasa tidak percaya.

"Apakah kamu juga akan menanyakan hubunganku dengan penyelundupan dan peredaran obat-obatan terlarang?" si apel merah bertanya balik.

"Jadi saudara laki-lakimu adalah perwira tentara?" tanya Fathi.

"Pernahkan kamu mendengar ada apel membawa senjata dan membunuh?" jawab si apel.

"Ataukah pamanmu adalah seorang menteri?" tanya Fathi lagi.

"Tidak ada seorangpun pegawai negeri dalam keluargaku," jawab si apel merah. "Hal-hal yang pohon kerjakan tidak ada sangkut pautnya dengan hukum, komando, dan pengambilan keputusan."

"Apakah pamanmu salah satu dari mereka yang mengenakan turban besar?" Fathi kembali bertanya.

"Pertanyaan semacam itu," balas si apel, "tidak seharusnya ditujukan kepada apel merah sepertiku."

"Lalu, mungkinkah salah seorang sanak saudaramu adalah jutawan?" tanya Fathi lagi.

Si apel merah menjawab, "Tidak ada sejarahnya sebatang pohon apel pergi ke bank."

Fathi tergelak, setengah mengejek. Ia memakan apel merah, lalu apel hijau. Ia tidak mempedulikan tangisan keberatan mereka. Ia menyeka mulutnya dengan kertas tisu sebelum kemudian membuangnya. Si tisu menggerutu, mengumpat orang-orang yang tidak tahu berterimakasih.

– 54 –
Seorang perempuan tua bungkuk mengunjungi sebuah taman yang pohon-pohonnya sudah meranggas. Ia berdiri di depan sebuah patung batu besar, patung seorang lelaki tinggi dengan raut wajah serius. Tangan kanan si patung terangkat dengan gestur yang mengundang kekaguman dan rasa hormat, seolah-olah sedang memberkati pengikut tak kasatmata yang tengah berlutut di hadapannya. Perempuan tua tadi seketika diliputi perasaan takut yang amat sangat. Ia ingin menyeringai marah pada lelaki yang telah membunuh anak-anak lelakinya, juga ayah mereka itu. Tetapi matanya tak mampu menyembunyikan kesedihan dan kerendahan hatinya. Si perempuan tua merasa tubuhnya seperti mengecil. Ia terus menyusut hingga kemudian menghilang. Sekelilingnya — bangunan dan orang-orang– juga mulai mengecil, hingga mereka pun lenyap. Tak ada yang tersisa kecuali patung tadi, juga burung-burung yang gemar memberakinya. 

Membacai O, Membacai Manusia

| Juli 21, 2016 | Sunting
Novel O tulisan Eka Kurniawan (Gramedia, Februari 2016)
Tumbuh dengan pelbagai cerita hewan yang simbah ceritakan, juga yang kubaca sendiri dari buku-buku suplemen salah satu produk susu, membuat selarik kalimat sinopsis buku ini terasa seperti sihir: Tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut. Aku langsung teringat pada kisah Lutung Kasarung: seekor lutung hendak meminang putri raja. Pemikiran awal yang kemudian kuakui konyol: Eka Kurniawan tidak mungkin bertutur dengan begitu sederhana.
---
O, tentu saja seekor monyet sebagaimana digambarkan di sampulnya, adalah anggota kelompok topeng monyet milik seorang pawang bernama Betalumur. Meski tuannya ini sering menyiksanya, O tetaplah setia padanya. Kesempatan untuk kabur tidak pernah ia hiraukan. Semua itu demi sebuah mimpi mulia: menjadi manusia.

Keyakinan O ini, bahwa bergabung kelompok topeng monyet akan mengubahnya jadi manusia, berawal dari kisah cintanya dengan seekor pejantan bernama Entang Kosasih. Yah, seperti manusia, mereka juga mempunyai nama. Bukan hanya mereka berdua, tetapi juga monyet-monyet lain yang dikisahkan hidup di satu tempat di pinggir Jakarta, Rawa Kalong. Armo Gundul semisal, adalah nama yang sudah menjadi legenda dalam dunia per-monyet-an. Cerita turun temurun meyakini bahwa ia adalah monyet pertama yang berhasil menjadi manusia. Kisahnya diceritakan terus menerus oleh monyet-monyet tua kepada generasi yang lebih muda. Dan Entang Kosasih adalah satu di antara yang tersihir dengan cerita tersebut. Lantas juga membuatnya memiliki cita-cita sama: menjadi manusia.

Keinginan sang kekasih membuat O pusing. Bukan apa-apa. Keduanya sudah sepakat untuk menikah. Waktu sudah ditetapkan, bulan sepuluh. Tetapi, semenjak cita-cita menjadi manusia tercetus, Entang Kosasih seolah mulai tak acuh pada rencana mereka. Tujuan hidupnya kini satu saja: menjadi manusia. Sementara yang lain, "...lihat saja nanti."

Lantas bagaimana ceritanya O, yang awalnya menganggap kekasihnya sudah dibutakan oleh keyakinan, akhirnya memiliki mimpi serupa?

Ke Blora, Lewat Solo dan Purwodadi

| Juni 01, 2016 | Sunting
Bus ke Blora
Armada bus P.O. Agung, melayani trayek Purwodadi - Blora

Catatan:
Melihat banyak pembaca yang mampir ke tulisan ini untuk mencari tahu informasi semacam 'bus Solo - Blora', 'jadwal bus Solo - Blora', 'tarif bus Solo - Blora'  dan sebagainya, dapat saya informasikan sebagai berikut:
  1. Rute Solo - Blora masih bisa ditempuh dengan bus, namun tidak ada bus yang langsung sehingga harus oper. Pertama dari Solo ke Purwodadi lalu disambung dengan bus Purwodadi - Blora. 
  2. Dibandingkan jumlah bus Solo - Purwodadi yang masih cukup banyak, jumlah bus Purwodadi - Blora sangatlah sedikit, salah satunya dilayani oleh P.O. Agung. Sopir baru akan meninggalkan terminal Purwodadi apabila penumpang sudah ramai.
  3. Per Januari 2016, bus terakhir dari Purwodadi ke Blora berangkat dari terminal Purwodadi pukul 16.15. Total biaya yang saya keluarkan adalah 30.000 rupiah, masing-masing 15.000 untuk Solo - Purwodadi dan Purwodadi - Blora.
---
Bus Rela yang melaju kencang sejak kutampangi dari Terminal Tirtonadi, Solo mendadak saja memelankan jalannya, sebelum kemudian benar-benar berhenti. Pelan-pelan kubuka mata. Bus mandeg di depan sebuah bangunan, masih di tepi jalan. Kenéknya sibuk mencari sesuatu dari dalam kotak kayu yang berada di samping sopir. Lalu berlari turun dari bus, seraya menyambar handuk kecil yang ia cantolkan di pintu.

"Wonten mokmén. [1]" kata ibu paruh baya yang duduk di sebelahku. Pantas saja si kenék kalang kabut, urusan dengan polisi di republik ini hampir tidak pernah mudah. Dan benar saja, hingga tiga puluhan menit berlalu, bus kami belum juga melanjutkan perjalanan. Si ibu turun membeli rujak.
---
Aku meninggalkan rumah sekitar pukul sebelas pagi. Mamak mengantarku sampai ke Banyuripan, lalu aku menumpang mobil elf ke terminal Klatén. Bus Sedya Utama jurusan Solo yang lantas kunaiki tidak mengangkut banyak penumpang. Walhal sopir pelan-pelan saja membawa busnya. Dan hampir selalu berhenti setiap berjumpa perempatan, berharap tambahan penumpang. Klatén - Solo yang seharusnya bisa ditempuh dalam masa sejam berubah hampir dua kali lipatnya.

Meski dekat, Solo adalah tempat yang sama sekali asing bagiku. Terminalnya ternyata cukup bagus, bersih. Perutku sebenarnya kelaparan, tetapi karena takut kesorean, aku bergegas ke tempat pemberangkatan bus. Ni'ma yang aku tanyai dua hari sebelumnya mengatakan hanya ada satu bus jurusan Solo - Purwodadi. Bus Rela. "Tapi jangan sore-sore, nanti susah!" Pesan itu yang kupegang erat.

Namun apa daya, meski bergegas, pada akhirnya aku malah tertahan di antah berantah. Kenek bus belum juga kembali. Sementara sang sopir kuhitung sudah menghabiskan tujuh batang rokok.

"Bu, terminale masih jauh?" tanyaku pada si ibu yang tengah mengunyah potongan mangga.
"Sudah dekat kok. Sampeyan ajeng ten pundi?" jawabannya sedikit membuatku lega.
"Ajeng ten Blora." tentu saja Blora kuucapkan Mblora.
"Wah. Kesorén. Wis gak ana bis!"

Jawaban si ibu membuyarkan kelegaanku. Aku tidak ada rencana untuk bermalam di Purwodadi. Dan memang bukan kota ini tujuan perjalananku. Kukirimkan pesan pendek ke Ni'ma, berharap dia memberikan informasi yang berbeda. Tetapi jawabannya membuat perutku semakin lapar. "Iya Bas, kayake sudah kesorean. Ashar biasanya sudah habis." Sayup-sayup kudengar azan di kejauhan.

Umbrella Wisdom Kini

| Mei 22, 2016 | Sunting
Hampir pukul tiga pagi waktu Malaysia. Aku tengah membereskan beberapa tumpuk kertas. Terlalu banyak yang aku simpan. Dari kertas ulangan hingga potongan koran. Satu yang lantas menarik perhatian: selembar kertas A4 yang sudah koyak bagian atasnya. Sebuah daftar tertulis di sana. Daftar mimpi anak-anak Dao Atas, Pademangan, Jakarta Utara. Ditulis tiga tahun lalu. Aku kebetulan tengah ke Jakarta waktu itu, awal Mei 2013. Dan Heny mau menemaniku kembali ke Dao Atas, ke Umbrella Wisdom.

Kelas ramai seperti biasa. Banyak muka baru, hasil dari urbanisasi yang deras. Tapi juga banyak di antara mereka yang sudah cukup lama belajar bersama teman-teman di Umbrella Wisdom. Heny membuka kelas dengan doa, lalu mengajak anak-anak bernyanyi Potong Bebek sebelum memintaku untuk ke depan untuk memimpin games
Mimpi-mimpi anak Dao Atas
Malam itu kami bermain gaya. Masing-masing anak memperagakan mimpi mereka di depan kelas, sementara anak-anak yang lain menebaknya. Dari gaya yang mereka tampilkan itulah kemudian daftar dalam kertas ini bersumber.

Ada Bayu, bercita-cita menjadi pemain bola. Ikal, Bayu, dan Bilal, ingin menjadi tentara. Alam dan Musa ingin menjadi polisi. Sementara Gilang ingin menjadi pemadam kebakaran - Dao Atas dan kampung-kampung di sekitarnya sudah beberapa kali dilanda kebakaran. Ada juga yang kompak ingin menjadi dokter: Caca, Tiara, dan Zahra. Alimah ingin menjadi profesor. Sementara Eka ingin menjadi artis, ingin masuk TV - mimpinya ini 'terwujud' ketika stasiun TV NET. mengangkat profil Umbrella Wisdom dalam Lentera Indonesia edisi Tentang Eka dan Hari Merdeka.

Merasakan kelas yang tetap hidup tentu saja membuatku senang. Juga kagum kepada teman-teman yang setengah mati menghidupinya. Heny bercerita banyak hal, utamanya tentang dinamika pengelolaan kelas. Profil Umbrella Wisdom yang saat itu mulai banyak diangkat ke media membuat banyak pihak tergerak untuk mengulurkan tangan. Tidak semuanya mengajar. Ada yang membagikan makanan, memberikan donasi, hingga membantu perbaikan kelas.

Selepas edisi mampir itu, aku belum pernah mampir lagi. Tetapi dari laman facebook aku mengikuti kegiatan teman-teman di sana. Anak-anak bermain dan belajar seperti biasa. Komunitas-komunitas lain juga banyak yang berkolaborasi dengan kerja-kerja Umbrella Wisdom. Hingga kemudian kabar sedih datang akhir tahun lalu. Kampung Dao Atas digusur.

Surat dari Gaza: Perang Tak Berujung

| Mei 09, 2016 | Sunting
Tulisan Dokter Belal Aldabbour
Anak-anak Gaza
Seorang mahasiswaku mendapatkan nilai kedua terbaik meski dua bulan lalu adiknya mati ditembak
Lagu-lagu Umm Kulthum yang diputar kencang beradu dengan deru mesin taksi. Aku meminta sang sopir, seorang lelaki akhir 20-an berkacamata, untuk menggantinya ke saluran berita saja. Sudah beberapa hari ini Israel kembali menggempur Gaza.

"Buat apa?" ia menyahut. "Nikmati saja lagunya. Bom-bom akan memberitahu kita saat perang dimulai."

Suasana di Jalur Gaza jauh lebih tenang bila dibandingkan dengan riuhnya media sosial. Dalam beberapa hari terakhir pendapat-pendapat pribadi tentang kemungkinan kembali meletusnya perang berseliweran di Facebook dan Twitter. Tak lupa juga berbagai analisis atas apa-apa saja yang mungkin (dan tidak mungkin) terjadi. Dan tentu saja doa mereka yang mengharapkan perang tidak kembali meletus, meski itu hampir mustahil.

Satu hal yang pasti: orang-orang Palestina di Gaza hidup dalam kondisi yang penuh ketidakpastian, ketakutan, dan ketidakberdayaan, utamanya setelah lagi dan lagi Israel terbebas dari upaya hukum atas tiga perang sebelumnya. Juga diamnya dunia pada pengepungan dan pendudukan Gaza selama berdekade lamanya — yang nampaknya tak akan pernah berhenti.

1 Mei

| Mei 02, 2016 | Sunting
Puisi A. Samad Said
Spanduk bertulis puisi untuk 1 Mei | Foto milik Petak Daud

Penggalan puisi karya A. Samad Said, atau biasa dipanggil Pak Samad, menghiasi sebuah spanduk yang dibentangkan saat peringatan Hari Pekerja di Kuala Lumpur, 1 Mei kemarin. Hari Buruh.

Bunyinya: Anak buruh berteduh di pondok buruk seluruh. Hujan lebat, membasahi piket terjah. "Kami memberi tenaga, mengharap timbang rasa. Kami keturunan manusia seperti tuan, juga!"

Puisi penuhnya berjudul Sebuah Kisah Resah Gelisah. Puisi ini pertama kali dimuat di surat kabar Utusan Zaman, 15 Januari 1956.  Juga masuk dalam buku kumpulan puisi A. Samad Said: sebuah antologi puisi yang menghimpunkan karya-karya selama lebih setengah abad.

Sebuah Kisah Resah Gelisah

A. Samad Said, dari balik lensa kamera Azharuddin

Titisan hujan ke atap penuh hiba merayap, ibu tua terbongkok sakit — terbatuk-batuk seksa menembus urat saraf, terlantar mereka yang mogok — keadilan tipis menjenguk.

Titisan hujan ke atap terus berdetap-detap, ibu tua berbatuk semakin melutut teruk. kisah derita yang menekan tenggelam segera ditelan deru kereta mengamuk di jalan liar yang sibuk.

Di kantor tuan bersandar membaca surat khabar cerut di bibir berputar — asap berkepul berpusar. Kenangan mesranya berlari ke gadis manis berseri ke jernih wiski dan brandi membuih lazat sekali.

Anak buruh berteduh di pondok buruk seluruh hujan lebat mencurah membasahi piket terjengah: "Kami memberi tenaga, mengharap timbang rasa. Kami turunan manusia serupa tuan-tuan, juga!"

Hati anak berdebar seluruh jantungnya tercalar, kenangan pahitnya terlontar ke ibu tua terketar. Terlepas suaranya yang pilu dari dadanya yang sebu: "Mogok masih berlagu, majikan masih membisu."

Banyak manusia berpura-pura menyembah rasa mesra kenal keadilan — tapi cuma teorinya. 

Senarai Buku dalam Semesta AADC2

| Mei 01, 2016 | Sunting
Lebih dari seratus empat puluh purnama setelah menonton 'Ada Apa dengan Cinta?' untuk kali pertama, serpihan hidup Cinta dan Rangga akhirnya kembali menyapaku. Kali ini lewat 'Ada Apa dengan Cinta? 2', garapan Mira Lesmana dan Riri Riza. #AADC2.

Pengalaman menonton ini semacam ziarah. Menapaki kembali berbagai macam pengalaman yang tertimbun dalam ingatan. Perlu waktu khusus rasanya untuk menceritakannya, semoga saja. Namun, selagi masih hangat dalam benak, ada satu senarai yang ingin segera kulesaikan. Daftar buku yang muncul dalam film #AADC2. Tidak semuanya. Hanya beberapa yang kukenali sampulnya, atau memang terbaca jelas judulnya.

Tumpukan novel Haruki Murakami di meja Rangga

Buku-buku Haruki Murakami
Colorless Tsukuru bertumpuk dengan 1Q84 | © Ryan Chu
Rangga tengah duduk menghadapi laptop di apartemennya di New York. Awalnya ia menulis puisi. Terlihat buntu. Setelah beberapa saat memperhatikan puisinya, ia lantas menutupnya. Lalu ganti memandangi sebuah foto. Kamera lantas menangkap novel-novel Haruki Murakami dengan jumlah tidak sedikit bertumpuk di belakang laptopnya. Dua tumpukan.

Yang paling gampang dikenali tentu saja adalah Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage, dengan batang merah, biru, putih, hitam menghiasi sampulnya. Novel ini mengisahkan kebuncahan Tsukuru Tazaki. Di masa sekolah dulu, pada awal 90-an, ia adalah bagian dari sebuah geng yang beranggotakan lima orang. Kecuali Tsukuru, nama empat anggota lain memiliki arti warna: Aka (merah), Ao (biru), Shiro (putih), dan Kuro (hitam). Akibatnya ia sering jadi bahan ledekan teman-temannya. Ejekan yang ternyata begitu membekas dalam benaknya.

Hidup Tsukuru semakin rumit ketika ia tidak dianggap lagi sebagai bagian kelompok tersebut. Tanpa alasan, tanpa penjelasan. Tsukuru begitu terpukul karena merasa disingkirkan tanpa penjelasan. Pengalaman masa mudanya ini terus menguasai hidup Tsukuru sampai ia dewasa, tahun 2011.

Tsukuru mulai berpikir untuk menuntaskan masa lalunya atas dorongan sang pacar yang tak ingin membangun hubungan lebih lanjut sampai Tsukuru tuntas dengan beban waktu silamnya.

Selain Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage, novel Haruki Murakami yang juga terlihat #AADC2 adalah 1Q84 - gampang dikenali dari punggung bukunya. Bertumpuk dengan 1Q84 adalah Sputnik Sweetheart - dengan sampul biru bercampur garis perak, dan Blind Willow, Sleeping Woman - tentu dengan pohon willow di punggungnya.

Sementara buku-buku lain yang terletak di tumpukan yang sama dengan Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage rasanya ada Dance, dance, dance dengan sampul kuning hitamnya, dan sebuah buku lain dengan juntaian belalai gajah di punggungnya yang sudah hampir pasti the Elephant Vanishes. Satu buku saja yang saya kurang pasti, buku tipis bersampul putih dengan bulatan merah di tengahnya.

Yang jelas, menemukan buku-buku yang kita cintai dalam film adalah satu kenikmatan. Lebih senang lagi karena sepertinya Rangga membacanya. Ketika ia kemudian memindahkan tumpukan novel-novel itu pada adegan lain, terlihat pembatas buku berjejalan. :)

Jerebu Datang Lagi

| April 24, 2016 | Sunting
Jerebu menyelimuti Kuala Lumpur.
Jerebu menyelimuti Kuala Lumpur. Gambar diambil Jumat (22/2) lalu
Sudah beberapa hari ini jerebu kembali menyelimuti kawasan Lembah Klang  wilayah Kuala Lumpur dan sekitarnya. Beberapa koran menyebutkan bahwa penyebab kabut asap kali ini adalah kebakaran lahan gambut di daerah Kuala Langat dan Sepang yang terletak di selatan Kuala Lumpur.

Cuaca memang sangat panas akhir-akhir ini. Efek dari gelombang panas yang kabarnya adalah yang terparah dalam 10 tahun terakhir. Hujan sesekali saja turun, kebanyakan hanya gerimis. Ratusan sekolah, terutama di bagian utara Malaysia, diliburkan karena fenomana alam ini.

Selain itu, dari awal tahun ini saja setidaknya sudah tercatat lima kali kebakaran hutan dan lahan gambut. Tiga di antaranya terjadi di wilayah Semenanjung: Bachok, Kelantan; Kuala Langat, Selangor; dan hutan simpan Gunung Arong di Mersing, Terengganu. Sementara dua kebakaran lain terjadi di Bekenu dan Marudi yang terletak di Sarawak.

Efek langsung jerebu tentu saja adalah terhalangnya pandang. Juga efek-efek kesehatan bila sudah terlampau parah. Beberapa hari ini misalnya, hidung saya terasa sangat gatal. Dari pengalaman kabut asap sebelumnya, ini baru efek awal saja. Tetapi, dengan hujan yang mulai rutin turun, semoga saja titik-titik api segera padam. Dan jerebu segera berlalu.

Vanka – Anton Chekhov

| April 11, 2016 | Sunting
the Apprentice, Ivan Bogdanov
Vanka, bocah 9 tahun, yang magang di tempat Aliakhin, si pembuat sepatu
Sudah tiga bulan ini bocah sembilan tahun bernama Vanka Zhukov itu magang di tempat pembuat sembatu Aliakhin. Saat malam Natal, ia memilih untuk tidak tidur. Ia menunggu sampai sang majikan dan istrinya, juga para pekerja lain, pergi ke gereja. Sepeninggal mereka, ia ambil sebotol tinta dan sebatang pulpen yang ujungnya sudah karatan dari lemari majikannya. Setelah itu ia membentangkan selembar kertas kusut, lalu mulai menulis.

Tetapi, belum juga memulai huruf pertamanya, ia sudah berkali-kali memandangi pintu dan jendela dengan perasaan takut. Ia juga sekilas melihat ikon gelap yang terpasang di antara rak-rak sepatu.  Ia mendengus pendek. Vanka berlutut di lantai, sementara kertas terhampar di atas bangku di depannya.

"Kakekku sayang, Konstatin Makarych!" tulisnya. "Aku tulis surat ini untukmu. Selamat hari Natal, Tuhan memberkati. Saat ini aku tidak lagi memiliki ayah dan ibu. Hanya kakek yang kupunya."

Vanka memandangi jendela yang gelap. Bayangan cahaya lilinnya bekerlipan. Sosok kakeknya seperti berdiri di sana. Konstantin Makarych adalah seorang penjaga malam di Zhivarevs, lahan perkebunan milik orang-orang kaya. Tubuhnya kecil kurus. Tetapi ia masih cukup gesit dan bersemangat untuk ukuran lelaki enam puluh lima tahun. Wajahnya selalu terlihat bahagia. Matanya sayu karena kebanyakan minum. Kalau tidak tidur di kamar pembantu, ia akan menghabiskan siang harinya untuk bersenda gurau dengan para babu. Sementara di malam hari, berbalut mantel kulit tebal, ia akan berjalan keliling kebun sambil membunyikan kelentungnya. Di belakangnya dua ekor anjing mengikuti dengan malas. Mereka adalah si tua Kashtanka dan seekor anjing bernama Eel, ia dinamai demikian karena bulunya yang hitam legam dan bentuk tubuhnya yang panjang seperti ikan loach. Si Eel ini adalah anjing yang sangat penurut, lagi jinak. Ia memperlihatkan pandangan yang bersahabat ke semua orang, termasuk yang tidak dikenalinya sekalipun. Tetapi jangan pernah percaya padanya. Kepatuhan dan kejinakannya itulah yang menyamarkan tabiat aslinya. Tidak ada yang lebih mahir dari si Eel dalam hal menyergap dan menggigit kaki. Atau bagaimana ia mengendap-endap masuk ke kelder. Juga kelihaiannya menggondol ayam milik petani. Kaki belakangnya sudah berkali-kali terkena jerat. Pernah malah dia digantung, dua kali. Dan tak terhitung lagi berapa kali ia dipukuli hingga tak berdaya. Tetapi ia selalu saja pulih kembali.

Buku dari Inggris

| Maret 26, 2016 | Sunting
Kalau bukan karena hendak menunjukkannya (baca: memamerkannya) pada seorang karib, mungkin buku ini akan terkubur di dalam laci meja seperti buku Aan Mansyur dulu. Buku ini tiba sejak empat bulanan lalu. Raksasa buku kiri Verso tengah memberikan potongan harga besar-besaran kala itu. Aku membeli satu buku yang kurang lebih seharga dengan makan siangku. Yah, ini buku dari Inggris.

Bukunya tiba sekitar lima minggu setelah dipesan. Aku hanya mengintipnya untuk memastikan kondisinya baik. Setelah itu ia masuk laci, dan baru benar-benar kubuka minggu lalu.

Bukunya tetap berada d dalam laci karena dua alasan. Pertama karena sebenarnya sudah beberapa kali kubaca, meski edisi yang berbeda. Alasan yang kedua karena sudah sempat juga membaca beberapa halaman awal versi yang sama di Kinokuniya.
Rute perjalanan buku: Inggris - Swedia - Malaysia
Adalah buku Eka Kurniawan yang aku maksud. Man Tiger tepatnya, terjemahan bahasa Inggris dari Lelaki Harimau. Terbit pertama kali pada tahun 2004, novel ini kembali dicetak sepuluh tahun kemudian. Mungkin karena novel Eka yang lebih baru, Seperti Rindu Dendam Harus Dibayar Tuntas (April 2014), mendapatkan sambutan baik dari khalayak.

Tahun lalu, selain menerbitkan satu kumpulan cerita pendek, novel pertama Eka - Cantik itu Luka, juga kembali dicetak. Selain itu, terbit pula terjemahan bahasa asing novel-novel Eka. Lelaki Harimau terbit setidaknya dalam 4 bahasa: Italia, Perancis, Jerman, dan Inggris. Sementara Cantik itu Luka juga terbit terjemahan bahasa Inggrisnya, setelah sebelumnya telah terbit dalam bahasa Jepang (2006) dan Melayu (2011).

Penerbitan Man Tiger terasa lebih spesial karena penerjemah yang Eka pilih untuk menerjemahkannya adalah orang Indonesia, Labodalih Sembiring (Dalih aktif menulis di bekabuluh). Bukan apa-apa, diksi Eka seringkali terlalu ajaib. Pemahaman bahasa Indonesia yang mumpuni jelas dibutuhkan oleh penerjemahnya, demi mendapatkan hasil terjemahan yang sesuai.

Ambil saja contoh satu pembuka paragraf 'magis' di halaman empat ini. 
Masih lenyap beberapa waktu saat mereka tercenung, serasa hilang sadar, mencium bau amis darah yang menggelosor dari leher serupa pipa ledeng yang bocor, dan seorang bocah berjalan panik sempoyongan, dihantam kesemberonoannya sendiri, dengan mulut dan gigi penuh warna merah, semacam moncong ajak meninggalkan sarapan paginya. 

Dan kesan (ngilu) yang sama tetap pekat terasa meski telah disulih bahasa.
A few moments slipped by as they pondered, as if lost in thoughts of rancid blood burbling from a punctured neck and a teenage boy staggering in panic, stupefied by his own recklessness, his mouth and teeth red, like the snout of an ajak dog after its morning kill.

Meski begitu, pada akhirnya bahasa adalah masalah rasa. Dan bila harus jujur mengatakan bagian mana yang sedikit janggal secara rasa, maka kelebat adegan-adegan ranjanglah terasa lain. Keindahan bahasa yang Eka gunakan untuk menggambarkan pergumulan ranjang berubah menjadi serupa dengan adegan seks dalam film-film Hollywood dalam Man Tiger. Tetapi mungkin memang begitulah yang cocok untuk pembaca sono.
Lelaki Harimau yang pertama kali kubaca adalah versi bajakan, dapat di Pasar Buku Shopping, 2009 :(
Pada akhirnya, penerjemahan novel Eka adalah sebuah peristiwa penting. Bukan sekadar untuk memperkenalkan sastra Indonesia kepada pembaca yang lebih luas. Tetapi juga untuk memperkenalkan buku-buku Eka kepada lebih banyak pembaca Indonesia sendiri (semoga ini tidak terdengar ironis).

Alam Semesta Paralel – Etgar Keret

| Februari 29, 2016 | Sunting
Aku berhubungan badan dengan kuda, juga menang lotre di alam semesta yang berbeda | foto timothy evans
Sebuah teori menyatakan bahwa terdapat milyaran alam semesta lain, paralel dengan alam semesta yang kita tinggali, dan di antara alam-alam semesta itu hanya ada sedikit perbedaan. Di beberapa alam semesta kamu tidak pernah dilahirkan, sementara di sejumlah alam semesta kamu bahkan tidak ingin dilahirkan.  

Di beberapa alam semesta paralel aku berhubungan badan dengan kuda, sementara di alam semesta yang lain aku menang lotre. Di sekian alam semesta aku terkapar di lantai kamar tidurku, perlahan mengalami pendaharan hingga mati. Aku bahkan juga terpilih sebagai presiden dengan kemenangan mutlak di sejumlah alam semesta yang lain. 

Tetapi sekarang aku tidak peduli lagi dengan alam-alam semesta paralel itu. Satu-satunya yang menarik perhatianku adalah alam semesta tempat perempuan itu meratapi pernikahannya yang gagal, dengan seorang anak laki-laki yang lucu, dan perempuan itu benar-benar sendiri. Aku yakin ada banyak alam semesta semacam itu. Alam-alam semesta itulah yang sekarang tengah aku coba pikirkan.

Dari beberapa yang aku coba pikirkan itu, kami tidak pernah bertemu di beberapa alam semesta. Aku tidak lagi peduli pada yang beberapa ini. Dan di antara yang tersisa, di beberapa alam semesta, ia tidak menginginkanku sama sekali. Ia menolakku. Sementara ia mengungkapkannya dengan lemah lembut di beberapa alam semesta, di sejumlah alam semesta ia menolakku dengan cara yang menyakitkan. Alam semesta jenis ini juga tidak lagi kupedulikan.

Yang tersisa kini hanyalah tempat ia benar-benar mau menerimaku, dan aku memilih satu di antaranya, kurang lebih seperti saat kamu memilih buah yang hendak kamu beli di kedai buah. Tentu saja aku pilih satu yang paling bagus, paling ranum, dan paling manis. Aku memilih alam semesta yang cuacanya sempurna, tidak pernah terlalu panas atau terlalu dingin. Dan kami tinggal di sebuah pondok kecil di dalam hutan.

Ia bekerja di perpustakaan kota, empat-puluh lima menit perjalanan dari rumah kami. Sementara aku berkaja di departemen pendidikan daerah. Tempat kerja kami saling berhadapan. Kadang-kadang, dari jendala kantor aku dapat melihatnya tengah menata kembali buku-buku di rak. Kami selalu makan siang bersama. Dan aku mencintainya, begitu pun dia.

Aku akan lakukan apa saja untuk bisa pindah ke alam semesta itu. Tetapi, sebelum aku menemukan cara untuk ke sana, aku hanya bisa membayangkannya. Dalam bayanganku, aku tinggal di tengah-tengah hutan. Bersama dengannya, penuh kebahagiaan. 

Alam semesta paralel di dunia ini tidak terhingga jumlahnya. Di satu alam semesta aku berhubungan badan dengan kuda. Di alam yang lain aku menang lotre. Aku tidak lagi memikirkannya sekarang. Hanya satu yang aku pikirkan: alam semesta dengan hutan dan  pondok kecil di dalamnya.

Di sebuah alam semesta aku tergeletak di lantai kamar tidurku dengan pergelangan tangan yang tersayat dan berdarah. Di sanalah aku ditakdirkan meregang nyawa. Tetapi aku tidak ingin memikirkannya sekarang. Aku hanya ingin memikirkan alam semesta yang tadi. Sebuah pondok di dalam hutan, matahari perlahan tenggelam, dan kami tidur lebih awal. Di atas ranjang, tangan kananku baik-baik saja – tidak tersayat dan kering. Ia terbaring di atasnya dan kami saling berpelukan.

Ia terbaring di sana untuk waktu yang sangat lama, hingga aku sulit merasakan keberadaannya lagi. Tetapi aku tidak bergerak. Aku suka dengan posisi semacam itu: lenganku berada di bawah tubuhnya yang hangat. Dan aku tetap menyukainya meski aku bahkan tidak lagi bisa merasakan lengan tanganku sendiri.

Aku dapat merasakan nafasnya di wajahku – berirama, teratur, tak berujung. Mataku mulai terkatup sekarang. Bukan hanya di alam semesta itu, di ranjang, di dalam hutan, tetapi juga di alam semesta yang lain. Alam semesta yang tidak ingin aku pikirkan.

Aku senang mengetahui bahwa ada satu tempat, di tengah hutan, tempat aku bisa tertidur dengan bahagia.
Judul asli cerpen ini adalah Parallel Universes, bagian dari kumpulan cerpen Suddenly, a Knock on the Door (Vintage Books, 2013). Etgar Keret adalah penulis asal Israel yang karyanya, sebagian besar adalah cerita pendek, sudah diterbitkan ke lebih dari 40 bahasa. Tahun ini Keret meraih Kusala Charles Bronfman. Cerpen Etgar Keret yang lain, Vladimir Hussein, bisa dibaca di sini. Gambar milik timothy evans.

Wan Nor Azriq dan Lapan Puluh Enam

| Januari 31, 2016 | Sunting
86 tulisan Wan Nor Azriq terbitan Moka Mocha Ink, September 2015

Suatu kali penulis Eka Kurniawan mengunggah gambar paket kiriman dari Malaysia. Eka tidak menulis banyak, hanya bahwa  isinya buku dari dua penulis yang ia rasa akan menonjol dalam kesusasteraan negeri jiran. Kedua nama penulis itu lantas kucatat. Berharap dapat menemukan buku mereka suatu saat. Susah ternyata. Catatan itu lantas tertimbun oleh catatan-catatan lain. Hingga suatu waktu aku tak sengaja menemukan satu di antara bukunya di koperasi kampus saat mencari buku kuliah.

D.U.B.L.I.N, begitulah tajuk novel tersebut. Penulisnya Wan Nor Azriq. Ditulis berdasarkan tradisi jalan kaki yang digemari oleh kalangan sastrawan dan pengarang dunia. Dari sini Azriq membawaku pada hidup Encik H, pengarang uzur yang tengah membacakan karyanya di Kedutaan Irlandia. Labirin cerita bergulir liar dari pembacaan Encik H tersebut, ke lipatan-lipatan cerita dalam lipatan-lipatan lainnya. Lengkapnya mungkin akan kuceritakan dalam tulisan lain. Intinya novel ini unik. Azriq memperkenalkanku pada semesta yang lebih luas dari sekadar Dublin, ibukota Irlandia.

Dari pembacaan D.U.B.L.I.N inilah mulai aku ikuti dunia-dunia Azriq yang lain. Mulai dari laman pribadinya. Juga buku-bukunya yang seperti tak henti terbit setelah itu. Dunia dalam dompetnya kunikmati dari buku yang kudapat di KL Alternative Bookfest 2015 petang itu. Dompet Kulit Buaya, demikian judulnya, penuh dengan kartu nama, tiket parkir, tiket bus, tiket bioskop hingga berbagai macam kuitansi yang sudah penuh coret moret tulisan tangan.

Pun dengan novel Azriq yang lain, Boneka Rusia Guido. Aku begitu menikmati dunia bocah 13 tahun bernama Chairil Gibran yang baru saja pindah ke Kuala Lumpur bersama emaknya. Dunia yang lantas bertaut dengan dunia Tuan Megat Guido, jirannya yang seorang novelis cum pemain boneka.  Sama dengan di D.U.B.L.I.N, Azriq juga memasang banyak labirin cerita dalam bukunya yang satu ini.

Nah, dunia Azriq yang lebih beraneka warna baru saja habis kubaca. Judulnya 86, yah sependek itu. Dibaca 'lapan puluh enam'. Sebagaimana tertulis di kulit belakangnya, buku ini adalah himpunan 86 tulisan, terdiri dari prosa dan puisi (juga catatan-catatan singkat yang kurasa adalah kenyataan, non-fiksi).

Bila buku-buku Azriq sebelum ini memiliki alur cerita dan penokohan yang jelas, 86 sama sekali berbeda. Tidak ada alur yang dapat dikenali dengan mudah, kalau bukan memang tanpa alur. Kesan yang kutangkap adalah terdapat 86 tulisan lain yang dikumpulkan dalam satu buku. Beruntung ada benang merah dalam penokohannya yang meyakinkanku bahwa isi buku ini memiliki dunia yang sama. Buku ini berkutat pada ayah, isteri, abang, dan aku. Meski kemudian  tetap saja berkecamuk berbagai tanya: apakah isteri yang tengah berziarah ke Kathmandu misalnya, adalah juga isteri yang menjerit karena menemui bangkai tikus dalam stor? Tidak pasti. Tidak ada garis jelas yang mengisyaratkan mereka adalah orang yang sama, terlebih memang tiada satu pun yang bernama.

Satu hal yang lebih mudah dicerna adalah konsep buku secara umum yang terlihat acak. Meskipun menggunakan jenis huruf yang sama, tetapi ukurannya berbeda-beda. Ada yang kecil, ada yang besar. Ada yang disusun mengikut rata kiri, rata tengah, atau kanan-kiri. Ada paragraf-paragraf yang dimulai dengan paragraf menjorok ke dalam, ada yang tidak. Begitu seterusnya. Dengan citra semacam itu, bagiku buku ini semacam kisah 'dunia' yang tengah kacau. Dan anggapan ini rasanya mendekati betul, karena nama Imam Mahadi yang dipercaya akan menyelamatkan akhir zaman disebutkan beberapa kali. 

Tetapi siapa di zaman ini yang tidak percaya Imam Mahadi...; Tidak kusangka isteriku sanggup pergi sampai ke puncak Kathmandu untuk mencari kelibat Imam Mahadi; Katanya Imam Mahadi tengah mengejar Yeti... (Nepal, 16-17) Semua orang juga mencari Imam Mahadi. Dan kau sudah jumpa Imam Mahadi? (Pengembara, 66) Imam Mahadi dah beri amaran! (Komputer, 103)

Kesan lain yang aku tangkap adalah proses mencari yang terasa menguasai jalinan cerita. Apa yang dicari? Entah. Bisa jadi memang hal-hal berbentuk semacam barang atau orang. Tetapi bisa saja proses pencarian jati diri. Pertanyaan-pertanyaan menyeruak. Potongan-potongan ingatan dicatat. Puisi-puisi digelar. Banyak di antaranya adalah pertanyaan-pertanyaan untuk diri sendiri. Atau juga pertanyaan ke orang-orang dengan relasi kuasa yang lebih tinggi: ayah, abang, dokter.

86 berisi tulisan-tulisan pendek (dan amat pendek). Satu dari sedikit yang panjangnya sampai beberapa halaman adalah kisah berjudul Buli. Ada enam belas halaman, berkisah tentang kasus buli yang tengah merebak di sebuah sekolah. Menariknya, meski cerita terjalin jelas, Buli disusun melalui potongan-potongan kisah yang mewakili tokoh atau sudut pandang tertentu. Dirunut dari sudut pandang korban pertama,  seorang siswa bernama Hasrul Nizam, disusul oleh tokoh-tokoh lainnya. Baik itu cikgu, korban lain, bahkan juga sudut pandang 'Berita'. Menarik.

Pada akhirnya, membaca 86 adalah membaca dunia sang penulis. Dunia yang beraneka rupa. Dunia yang terlihat acak, namun sebenarnya terhubungkan oleh benang-benang cerita yang berkelindan satu sama lain. Bila dibaca satu per satu saja, benak kita mungkin akan menangkap Coelho (atau malah Borges) di satu tulisan, Haruki Murakami di tulisan lain, dan Sapardi Djoko Damono, juga Joko Pinurbo, pada satu-dua tulisan. Tetapi, jalinan tulisan yang dibaca secara padu akan membawa kita pada dunia yang sama sekali lain. Dunia Azriq.
Kerana aku masih tidak
mendengar suaraku, aku
masih tidak bercakap
pada diriku.
(Mikrofon, 115)

Sang Komponis – Hassan Blasim

| Januari 19, 2016 | Sunting
Basra, Irak
Basra, Irak - karya Paolo Pellegrin
JAAFAR AL-MUTALLIBI DILAHIRKAN DI KOTA al-Amara. Pada tahun 1973 ia keluar dari partai Komunis dan bergabung dengan partai penguasa, Baath. Pada tahun yang sama, istrinya melahirkan anak kedua mereka. Jaafar adalah pemain gambus handal, juga komponis lagu-lagu patriotik ternama. Ia mati dibunuh saat pemberontakan Kirkuk meletus, tahun 1991.
---
Hari ini aku bisa menceritakan padamu bagaimana ia mati. Apakah kau lihat perempuan tua yang tengah berteriak menawarkan ikan di ujung sana? Ia ibuku. Kami sudah berjualan ikan sejak kembali ke Baghdad. Biarkan aku membantunya mengangkat peti ikan dulu, setelah itu kita bisa pergi ke kedai kopi dan berbincang.
---
Setelah berakhirnya perang Irak-Iran, ayahku mulai terang-terangan menunjukkan keateisannya dan itu membawa banyak masalah pada kami. Satu malam ia pulang ke rumah dengan baju berlumuran darah. Hidungnya berdarah karena dipukul orang, temannya sendiri. Mereka tengah bermain domino di warung kopi ketika ayah mulai menyenandungkan hinaan-hinaan cabul pada Allah dan Nabi. Ia mengarang sendiri liriknya, juga solmisasinya, selagi bermain domino. Sebagaimana kamu ketahui, ia adalah komponis terkenal. Mulanya ia sekadar menyiulkan satu lagu bergaya militer, lalu ia menambahkan sebuah cacian: sebatang paku di dalam buah zakar saudara perempuan (?) imammu.

Orang terbahak-bahak mendengar kalimat-kalimat hinaan meluncur dari mulutnya, tetapi mereka segera pergi dan memohon ampun pada Allah. Beberapa dari mereka lantas menghindar setiap kali berjumpa dengan ayah di jalan. Seseorang bahkan dengan setengah bercanda mengatakan ia berharap truk penuh baja melindasnya. Tetapi, di saat yang sama, mereka juga takut pada koneksi ayah dengan pemerintah. Sehari setelah dipukuli itu, ayah melaporkan Abu Alla, si pelaku, ke markas besar partai. Dua hari kemudian Abu Alla menghilang.

Kami bermukim di sebuah wilayah bernama Second Qadissiya. Di sana pemerintah membangun rumah untuk para tentara berpangkat rendah, para pendatang dari kota-kota di bagian selatan dan tengah, juga untuk keluarga-keluarga Kurdi yang bekerja pada penguasa. Kami satu-satunya keluarga di kawasan itu yang mencari penghidupan dengan cara lain. Semua keluarga, kecuali kami, hidup dari gaji yang diberikan tentara, partai, dan badan intelejen. Sementara kami hidup dari lagu-lagu patriotik yang ayah tulis. Meski demikian, status ayah sebenarnya lebih tinggi dari walikota dan para partai sekalipun, karena Presiden sendiri sudah beberapa kali menganugerahinya medali kemiliteran. Tentu saja untuk lagu-lagu perang karangannya, lagu-lagu yang orang ingat hingga hari ini.

Dengarkan, saudaraku, aku akan meringkas ceritanya untukmu. Setahun setelah peperangan berakhir, ayah menderita apa yang media sebut sebagai writer’s block. Ia tidak lagi mampu mengarang musik baru. Pujian-pujian untuk Presiden malah lebih banyak disuarakan oleh penyair-penyair terkenal lewat puisi mereka.

Bulan berganti tahun, dan ia tetap tidak bisa menulis satu pun lagu baru. Tahukah kamu apa yang ia lakukan di waktu senggang? Ia memanfaatkannya untuk menulis dan mengatur nada puisi-puisi pendek yang mengolok-olok agama. Pada suatu malam yang hangat di musim dingin kami tengah menonton televisi ketika kami dengar ayah menyanyikan lagu barunya, tentang istri-istri Nabi dan betapa liar mereka itu.

Sekonyong-konyong abang bangkit dari duduknya, mengambil pistol milik ayah dari dalam lemari. Ia lompati tubuh ayah lalu menodongkan pistol itu ke mulutnya. Abang pasti sudah membunuhnya jika bukan karena ibu yang seketika itu bajunya, lalu mempertontonkan payudaranya sambil menjerit. Abang tercengang beberapa saat memandangi payudara yang sedemikian besar. Itu adalah kali pertama kami melihat payudara ibu, kecuali saat masih bayi dulu tentunya.

Aku pergi ke kamar mandi, sementara abang meninggalkan rumah, menghindari tatapan tajam Ibu tepatnya. Ibu sebenarnya buta huruf, tetapi ia lebih cerdas dari ayah, yang ia perlakukan dengan aneh. Ia memanjakan ayah seolah ia adalah anak lelakinya. Ibu adalah bidan yang memiliki izin praktik di daerah Qadissiya, dan orang-orang sangat mengasihinya. Ayah memutuskan untuk melaporkan abang ke kantor cabang partai, tetapi mereka tidak menanggapinya.

Reputasi ayah mulai memburuk di lingkungan tempat kami tinggal dan kalangan seniman. Mereka bilang bahwa Jaafar al-Mutallibi sudah edan. Teman-teman lama mengucilkannya. Ia pergi ke Baghdad untuk mengajukan permohonan ke radio dan stasiun televisi agar mereka menyiarkan ulang lagu-lagu perang karyanya, atau setidaknya satu lagu setiap minggu. Mereka menolak permohonannya itu karena lagu-lagunya sudah tidak layak putar. Sekarang lagu-lagu patriotik hanya disiarkan dua kali setahun: di hari peringatan bermula dan berakhirnya perang. Ayah ingin mengembalikan kejayaan masa lalunya dengan cara apa saja. Ia bahkan mencoba untuk bertemu dengan Presiden, meski gagal. Ia memasukkan proposal  ke departemen film dan teater, mengusulkan pembuatan film dokumenter tentang lagu-lagu dan musiknya, dan lagi-lagi permintaannya tidak diacuhkan.

Selagi ia mencoba segala kemungkinan, ia juga merampungkan penggarapan musik untuk sepuluh lagu yang menghina Allah dan kewujudan-Nya, juga sebuah lagu yang indah tentang empat khalifah pertama. Kami sadar bahwa ia sudah benar-benar sinting ketika ia mulai mendatangi studio-studio rekaman dan meminta mereka untuk merekamkan lagu-lagunya. Jelas saja ia ditolak mentah-mentah, beberapa melemparkannya ke jalanan dan mengancam untuk membunuhnya.

Pada akhirnya ayah memutuskan untuk merekam sendiri lagu-lagunya dengan perekam di rumah. Ia duduk di depan alat perekam lalu mulai menyanyi dan memainkan gambus. Tentu saja hasil rekamannya payah, tetapi masih cukup jelas untuk didengar. Ia memainkannya saat sarapan. Kami takut kalau orang-orang tahu. Kami mencoba untuk mengambil dan memusnahkannya, tetapi ia selalu mengantonginya di mantel, kemana saja ia pergi. Ketika tidur, rekaman itu ia selipkan ke kantong khusus yang sudah ia buat di bantalnya.

Sekarang sudah tidak perlu lagi menyembunyikan salinan rekaman ini. Ada saja orang yang membutuhkannya. Agama juga sudah berkembang pesat. Juga para jagal dan maling. Reaksi jalanan mungkin saja riuh rendah, tetapi tinggal tembakkan saja peluru ke udara. Terus saja begitu. Kamu ini wartawan, hal ini akan baik untuk kamu beritakan. Orang-orang juga suka. Seorang penyanyi muda meminta izin untuk menyanyikannya ulang, membawanya ke dapur rekan. Ako tolak. Lagu-lagu ini tidak boleh berubah. Harus sebagaimana yang ayah rekam dulu. Ini adalah bukti atas cerita-cerita tentangnya. Rekaman-rekaman itu hanya bisa digandakan.

Orang-orang cepat melupakan kisah-kisah tentang kejadian ini. Ketika kamu menceritakannya, mereka tidak akan percaya. Sebut saja pedagang lapak sebelah kami: Abu Sadiq, si penjaja bawang. Kalau ia sekarang menceritakan kisahnya bertempu dengan orang-orang di Iran di sungai Jassim, pasti akan terdengar seperti cerita seram Hollywood yang ia reka sendiri.

Tentara pemerintah melarikan diri, dan milisi Kurdi, Peshmerga, memasuki Kirkuk. Penduduk kota menyambut pemberontakan itu dengan suka cita. Kekacauan besar terjadi, baku tembak, mayat-mayat, tarian dan nyanyian Kurdi dimana-mana. Kami tidak bisa melarikan diri. Pengacau membakar rumah-rumah di kawasan pendukung pemerintah dan mana-mana anggota partai tinggal. Mereka membunuh dan menggantung tubuh para pendukung partai Baath, polisi, dan aparat keamananan.

Kami diam saja di rumah, dan sekelompok pemuda mendobrak pintu beton kantor ayah. Mereka membawa kami keluar ke jalan untuk menerima hukuman mati kami. Ibu bersimpuh memohon-mohon pada mereka, tetapi kali ini tidak merobek bajunya.

Apa? Ayahku? Tidak, tidak, ayah tidak bersama kami. Berbulan-bulan sebelum pemberontakan ia telah benar-benar menjadi orang gila kota kami, berkeliaran di jalanan menyanyikan lagu-lagu menentang Allah sambil membawa gambusnya, yang sidah ompong, tanpa senar. Api membakar rumah kami, dan ibu jatuh tak sadarkan diri sementara kami semua bersandar ke dinding. Umm Tariq, tetangga kami yang beretnis Kurdi, muncul pada saat-saat terakhir, berteriak ke arah pemuda-pemuda tadi dan berbicara dengan bahasa mereka. Lalu ia mulai memohon untuk membebaskan kami.

Ia memberi tahu mereka betapa baik dan murah hati Ibuku dan bagaimana ia membantu perempuan-perempuan Kurdi melahirkan dan merawat wanita-wanita hamil. Ia katakan pada mereka bagaimana ibu akan memberikan roti kepada para tetangga untuk menghormati Abbas, anak Imam Ali, saat hari raya. Juga betapa berani abangku. Ia teman baik mendiang anak lelakinya yang mati terbunuh selagi berjuang dengan Peshmerga selama kampanye Anfal. Abang juga yang membantu si mendiang melarikan diri dari Kirkuk (di sini ia berbohong). Aku sendiri diceritakan sebagai anak lelaki baik-baik yang menyakiti lalatpun tidak berani.

“Mereka tidak bertanggungjawab atas apa yang Jaafar al-Mutallibi telah perbuat,” katanya mengakhiri usahanya. Ia lalu meludah ke tanah. Setelah itu kami pergi ke rumah Umm Tariq dan tinggal di sana hingga pasukan Republican Guard memasuki kota dan milisi Peshmerga pergi. Sebagian besar pengacau turut lari bersama para milisi.

Pada akhirnya kami menemukan jenazah ayah tanpa kepala, dikaitkan ke traktor dengan seutas tali besar. Tubuhnya ditarik keliling kota sepanjang hari, mayatnya dipertontonkan dengan cara yang sebenarnya tak terbayangkan. Saat mereka hendak mengeksekusi kami, ayah berada di sekitar kantor cabang partai, yang halamannya dipenuhi tubuh-tubuh anggota partai memenuhi halamannya. Ayah masuk ke gedung yang kosong melompong dan menuju ke ruang informasi. Ia hafal betul ruang ini karena dari sanalah lagu-lagunya biasa disiarkan melalui pengeras suara selama masa perang yang pertama. Dari pengeras suara yang sama anggota partai akan mengumumkan bilamana seseorang dieksekusi karena membelot dari militer atau membantu prajurit Peshmerga. Ayah memasukkan kaset rekaman itu ke dalam alat pemutar dan pengeras suara mulai menyiarkan lagu-lagunya yang menghina Allah. Ayah tengah memeluk gambusnya dan tersenyum ketika para pemberontak datang. Mereka membawanya keluar –

Maaf, kawan. Ada pedagang ikan datang membawa beberapa karung ikan gurameh, aku harus pergi sekarang. Esok akan kuceritakan hubungan rahasia ayahku dengan Umm Tariq, perempuan Kurdi itu.
Diterjemahkan dari The Composer, bagian dari buku The Corpse Exhibition and Other Stories of Iraq (Penguin Books, 2014). Hassan Blassim lahir dan besar di Baghdad, sebelum hidup sebagai pengungsi di Finlandia sejak tahun 2004. Cerpennya yang lain, Pameran Mayat, bisa dibaca di sini.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine