Kebaikan itu Menular

| Juni 29, 2014 | Sunting
Temukan kebahagiaan dalam menanam melebihi dari kebahagiaan memetik.
Pagi tadi saya pergi ke EUB dengan menumpang taksi. Sebenarnya saya sudah naik LRT, tetapi karena rasanya akan terlambat maka saya turun di tengah jalan dan melanjutkan perjalanan dengan taksi. Adalah taksi milik seorang Pakcik berbangsa India yang lantas saya tumpangi. Dari kartu pengenal yang dipasangnya di atas dashboard, ia berasal dari marga Singh. Mukanya menyunggingkan senyum begitu saya masuk, lantas menanyakan hendak kemana saya.

“You puasa hari ni?”, begitu kira-kira ia bertanya, beberapa saat setelah taksinya melaju. Saya menjawabnya dengan iyaan singkat, diikuti dengan anggukan.

“I senang kalau Bulan Puasa datang. Hari-hari saya dapat makanan berbuka daripada jiran. Padahal saya bukan Muslim pun! Tetapi selalunya saja mereka bagi saya makanan!”, lanjutnya kemudian.

“Takpelah Cik. Bagi kami, berbagi makanan berbuka itu semacam berbagi kebahagian. Tentu utamanya kami sangat berbahagia karena sudah berhasil menjalankan ibadah. Yang kedua, terasa lebih gembira karena bisa membagi kebahagian kepada orang lain!”, jawabku sekenanya.

“Ye, senang rasanya saya karena boleh hemat sikit lah. Selalunya, saya boleh kirim duit lebih ke anak istri saya dekat Behrang, Perak!”, ujarnya dengan muka berseri.

“Bulan puasa itu bagi kami adalah bulan yang penuh dengan pahala Cik. Setiap perbuatan baik yang dilakukan dengan hati yang senang dan penuh kerelaan, akan dihadiahi dengan pahala yang berkali lipat.”, tambahku.

“Istri saya tak ada kerja. Anak saya ada tiga orang. Orangtuapun ikut saya. Senanglah boleh kirim duit lebih.”, ulangnya kembali. “Hari tu saya sudah cakap kalau saya tak puasa. Tetapi jiran jawab takpe. Esoknya dia kirim makanan lagi!”

Aku hanya tersenyum senang menanggapi ceritanya. Lagu Opick terdengar dari radio yang disetel pelan, Ramadhan tiba… Ramadhan tiba… Marhaban ya Ramadhan… Marhaban ya ramadhan…
***
Aku beranjak ke kantin untuk makan, beberapa saat setelah menunaikan kewajiban sholat. Puasa pertama hari ini kami, aku dan Yuska, membatalkan puasa dengan air putih dan roti. Aku juga diberi banana pie oleh Mas Didi tadi siang, sehingga lumayan untuk mengisi perut. Oh ya, sepulang mengajar saya nebeng mobil mas Didi yang kebetulan juga akan ke arah Gombak. Alhamdulillah akhirnya saya di antar pulang, sekalian mau sholat Dzuhur di masjid IIUM. Tetapi, inti ceritanya adalah saya jadi sama sekali tidak menyentuh uang kembalian tarif taksi tadi pagi.

Makanya, aku lantas terkejut ketika mendapati bahwa uang sepuluh ringgit yang seharusnya tinggal lima ringgit karena sudah dipakai untuk membayar taksi ternyata masih utuh. Aku memang sedikit terburu karena takut terlambat masuk kelas, sehingga sama sekali tidak memperhatikan uang kembalian yang diberikan oleh si sopir taksi.

Aku hanya masih ingat betul betapa si sopir taksi menggenggam tanganku dengan begitu erat ketika memberikan “uang kembalian” sambil berkali-kali mengucapkan “Terimakasih, kamu sudah berpuasa!”
***
Yah, salah satu hakikat hidup adalah berbuat baik kepada sesama, menjadi rahmat untuk sekalian alam. Saya jadi ingat apa kata Pak Dedi Panigoro saat #FIM12 silam tentang mengapa kita harus berbuat baik kepada semua orang. Sederhana saja:
“Karena, rezeki memang dari Tuhan, tetapi Ia mengirimkannya melalui tangan orang lain.”
Dari sopir taksi tadi pagi, saya juga belajar bahwa berbuat baik kepada orang lain adalah bagian dari rasa syukur. Dia yang menerima kebaikan dari tetangganya yang selalu memberi makanan saat waktu buka, meneruskan estafet kebaikan tersebut ke saya dengan memberikan tumpangan gratis.



What goes around, comes around!

Kehidupan sehari-hari kitapun rasanya tak pernah lepas dari kebaikan orang lain. Mulai dari mereka yang kita kenal, hingga mereka yang mungkin hanya kita temua selintas lalu di jalan-jalan, stasiun-stasiun dan sebagainya. Hari ini misalnya, paling tidak saya sudah menerima kebaikan dari:
  1. Pekerja kantin yang rela memasakkan saya telur dadar untuk sahur. (Telur dadar yang ada sebenarnya sudah habis).
  2. Seorang kawan kelas yang memberikan saya tumpangan ke stasiun di saat saya juga tengah terburu-buru.
  3. Sopir taksi yang memberi saya tumpangan gratis tersebut, sehingga saya sampai di EUB dan memulai kelas tepat waktu.
  4. Mbak Sinta yang mau meneruskan untuk mengajar karena panggilan alam yang mendadak datang.
  5. Mas Didi yang saya bilang mengantarkan saya pulang dan juga memberi saya banana-pie yang kemudian saya pakai untuk buka puasa.
  6. Seorang kawan kelas yang mengambilkan saya foto-copy-an tugas.
  7. Kasir kantin yang melayani saya dengan wajah berseri sehingga saya dapat makan dengan lahap dan alhamdulillah kenyang.
Masih banyak lagi tentunya apabila kemudian terus dirunut. Tetapi, untuk apa merunut sesuatu yang sudah sangat jelas? Pertanyaannya kemudian adalah, kebaikan apa yang sudah kita lakukan hari ini? :)

Tentang Capres dan Petuah Tuan Presiden

| Juni 21, 2014 | Sunting
Kaos kampanye Jokowi -JK & Prabowo Hatta
Tahun ini akan menjadi tahun pertama saya memilih presiden. Dan, yah, deg-deg-an adalah kata yang rasanya paling pantas mewakili perasaan saya kali ini. Jika pada tahun 2009 lalu saya hanya sebatas mendengar dan memperhatikan, maka tahun ini saya akan ikut menentukan.

Saya masih ingat betapa 5 tahun lalu, masa pemilihan presiden adalah masa yang hangat di desa kami. Rasanya setiap waktu bersama akan selalu terselip sesi untuk membicarakan calon presiden. Terlebih, desa saya sudah lama menjadi daerah kantong suara sebuah partai peserta pemilu. Ditambah lagi, seorang calon presiden kala itu berasal dari daerah yang tidak jauh dari daerah kami. Bahkan, bisa dibilang tetangga dekat karena mirip secara kondisi geografis: kawasan gunung berbatu. Praktis pemilihan presiden menjadi buah bibir dimana-mana: dibicarakan dan didengar siapapun. Mamak sering berbagi cerita tentang berbagai topik pembicaraan ibu-ibu selama berbelanja pagi di pedagang sayur. Sementara topik pembicaraan bapak-bapak sendiri saya kadang mendengar langsung. Adik saya yang paling kecil kala itu sering membawa pulang berbagai stiker kampanye dari calon ABC, kemudian diam-diam menempelkannya di pintu lemari. Begitulah.

Lima tahun berlalu. Saya tidak sedang di rumah kali ini. Padahal, saya ingin sekali memutuskan pilihan ini di rumah. Di tengah-tengah pembicaraan bapak dan mamak yang seringkali gayeng. Mamak adalah orang yang cenderung lebih realistis, mengikut data atau paling tidak berdasarkan fakta. Sementara Bapak cenderung nggrambyang dengan mencampur adukkan berbagai materi – campuran hasil bacaan, kata orang dan klenik. Tetapi itu yang terasa asyik. Pembicaraan terasa lebih berwarna dan saling meng-cross-check.

Calon presiden yang hanya sepasang sebenarnya cukup memudahkan saya sebagai calon pemilih. Segampang, kalau tidak mau pilih dia yowis, pilih yang sisanya saja. Tapi nyatanya tidak semudah itu. Benar bahwa calon yang ada merupakan calon terbaik untuk Indonesia, tetapi mereka bukanlah yang saya ekspektasikan untuk mengarungi pertarungan bernama Pilpres 2014 ini. Atau dengan kata lain, saya masih belum bisa move-on dari ekspektasi saya yang sebenarnya sudah kadaluwarsa. Ditambah lagi, ada berbagai catatan tidak mengenakkan yang sudah kadung terpatri dalam benak saya terhadap masing-masing calon.

Hal ini lantas diperparah dengan pendukung masing-masing calon yang bagi saya belum cukup dewasa untuk menjadi bagian dari pertarungan head-to-head para calon presiden kita. Facebook, misalnya, rasanya sudah berubah menjadi Fitnahbook yang penuh dengan rumor dan isu yang kadang ujung-ujungnya hoax. Tetapi mau bagaimana lagi kalau sudah kadung disebarkan oleh ribuan orang? Belum lagi dengan mesin kampanye masing-masing calon yang tidak segan untuk menyerbu orang-orang yang tidak sepaham *bagian ini adalah curhat*

Belum lagi dengan fenomena filter-bubble yang rasanya membuat banyak orang memasang jurus kaca mata kuda. Oh ya, filter-bubble itu semacam… Begini gampangnya (saya salin dari status Mas Fajar Sofyantoro), si X adalah fans berat calon ABC. Di tengah heboh copras-capres ini, ia hanya akan like dan comment status W, Y dan Z yang sama-sama pro calon ABC. Berita yang ia share-pun melulu berita yang pro pada si calon – yang juga sudah cenderung terbaca dari media mana. Setiap kali ada tautan dari media lain, terutama yang menjelek-jelekkan calon yang ia dukung, tidak akan ia hiraukan lagi.

Si X melakukan hal tersebut secara intensif, begitu-begitu saja selama lebih dari 2 pekan. Nah, karena algoritma Facebook memastikan news feed yang muncul adalah dari teman-teman yang paling dekat dengan si X (yang sering di-like, yang sering di-share dan sebagainya), maka kemungkinan besar yang muncul di dinding si Xpun hanya status-status W, Y, Z serta berita-berita yang semuanya pro ABC.

Si P yang sering mengkritik ABC misalnya, walaupun berteman dengan X, W, Y dan Z tetapi statusnya mungkin jarang muncul di news-feed si X. Kenapa? Karena baik W, Y dan Z juga tidak pernah like atau comment di status P. Algoritma Facebook pun kemudian menyimpulkan bahwa P adalah teman jauh.

Akhirnya si X jadi sangat jarang menjumpai opini-opini yang berlawanan, dan membuatnya terisolasi di bubbles atau gelembung-gelembung ide dan keyakinan kelompoknya sendiri.  Inilah yang kira-kira disebut dengan konsep filter bubble, diperkenalkan oleh Eli Pariser pada 2011. Apa kira-kira efek negatifnya?
  1. Bisa menciptakan pemahaman paling benar sendiri dan bebal terhadap kritik.
    Karena selalu disodori opini dan pandangan pro ABC, X semakin jauh dari opini dan pandangan di luar itu. Walaupun si P menulis kritik bagus dan konstruktif tentang ABC, tidak akan sampai ke newsfeed si X. Akhirnya semakin lama semakin terbentuk pemikiran “pokoknya ABC yang paling benar, yang lain salah”.
  2. False-consensus effect.
    Kalau X ditanya, “Seberapa tingkat penerimaan ABC di publik sekarang?”, bisa jadi serta-merta dia akan menjawab, “Wah, sangat bagus. Di news feed FB saya semuanya memuji ABC.”Ini yang disebut false-consensus effect: kecenderungan orang untuk overestimate bahwa orang lain semua sepaham dengan dia. Dalam kondisi biasa saja efek ini umum berlaku, apalagi kalau diperburuk dengan filter bubble.
Lebih jelasnya, sang empunya ide menuturkannya di sini:



Eli menjelaskan, masalah muncul karena filter-bubble membuat semacam kategorisasi informasi unik yang "sesuai" dengan diri kita, tetapi kita tahu informasi apa saja yang tidak masuk dalam kategorisasi tersebut. Ketika internet dicipta, manusia melihatnya sebagai pembebasan dari belenggu sensor yang dilakukan oleh manusia, tetapi nyatanya teknologi menggantikan posisi dalam penyaringan informasi tersebut.

Dan, yah, kira-kira itulah yang terjadi – paling tidak di antara teman-teman saya. Para pendukung calon satu sudah bisa ditebak apa saja makanannya: berita baik calon satu dan berita buruk calon dua. Begitu pula dengan pendukung calon dua, makanan sehari-harinya adalah berita baik calon dua dan berita buruk calon satu. Kalau terus begitu, bagaimana mau nyambung? Padahal, rasanya, Indonesia butuh sosok-sosok yang dewasa, fair dan objektif, serta berpikiran terbuka. Bukan hanya yang selalu memuji-muji kebaikan calon yang didukungnya, tetapi juga bagaimana caranya mengakui apabila calon yang lain mempunyai kelebihan atau kebaikan.

Pada tahap ini, mungkin kita bisa menyangkal, Facebook dan berbagai sosial media lainnya kan "hanya" rumah bagi segelintir masyarakat Indonesia. Belum lagi akun-akun bodong, online-shop dan seterusnya. Tetapi, kerasnya guliran kampanye hitam di media sosial misalnya, nyatanya disebut-sebut sudah masuk ranah mempengaruhi pemilih. Selain itu, Kompas juga mencatat, "Fenomena saling serang dengan kampanye hitam ini bisa mengancam kehidupan bersama bangsa Indonesia. Ini karena isu SARA yang diangkat sebagai materi kampanye menginggung secara langsung realitas kehidupan bangsa Indonesia. Masyarakat akan terbelah ke dalam kelompok berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan." 

Di tengah kondisi yang sedemikian rumit inilah Tuan Presiden berpetuah. Melalui laman Facebook pribadinya, Tuan Presiden menulis, "Di dalam Al Quran Allah SWT menegaskan, kadagkala manusia sangat suka akan sesuatu padahal dibalik yang disukai itu terdapat hal-hal yang tidak baik bagi mereka.. Kadangkala manusia sangat tidak suka akan sesuatu, pada dibalik yang tidak mereka sukai itu terdapat banyak hal yang membawa kebaikan."

Petuah Tuan Presiden tersebut paling tidak menyiratkan beberapa pesan. Terutama agar kita lebih terbuka dalam soal pilihan. Benar, memilih adalah proses mengejawantahkan rasa yang sangat personal. Tetapi, di luar itu, kita tetap rasional dalam membedakan fakta yang objektif dengan pilihan subjektif kita. Fakta adalah fakta, premis positif yang kemungkinan ternegasikan kebenarannya begitu kecil. Sementara pilihan adalah suara hati yang sangat tergantung pada diri kita sendiri. Pilihan kita bisa jadi sudah sangat benar untuk diri kita sendiri, namun bisa jadi sebaliknya ketika dilihat oleh orang lain. Mari belajar membuka mata, melihat lebih jauh, lebih terbuka.

Selamat menentukan pilihan. Sampai jumpa 9 Juli nanti.

Sumber Foto: Sinar Harapan

Hasrat untuk Berubah

| Juni 02, 2014 | Sunting
Sedang beberes kamar ketika menemukan selembar kertas berisi puisi yang tercampur dengan kertas-kertas kliping. Seingat saya, puisi ini tertulis di bagian belakang sertifikat Pelatihan Forum Indonesia Muda. Penulisnya tidak diketahui, tetapi ditulis ulang oleh Pak Elmir Amien. Versi bahasa Inggrisnya pernah saya temukan di 7 Habits of Highly Effective Teens-nya Sean Covey, edisi tahun 1998. Semoga menginspirasi. :)
The Persistence of Memory, Salvador Dali
Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal,
Aku bermimpi ingin mengubah dunia.
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku,
Kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah.
Maka cita-cita itu pun agak kupersempit.
Lalu kuputuskan hanya untuk mengubah negeriku.
Namun, nampaknya hasrat itu pun tiada hasil.
Tatkala usiaku semakin senja,
Dengan semangatku yang masih tersisa,
Kuputuskan untuk hanya mengubah keluargaku,
Orang-orang yang paling dekat denganku.
Tapi celakanya, mereka pun tak mau diubah.
Dan kini, sementara aku berbaring menunggu ajal menjelang,
Tiba-tiba kusadari...
"Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku,
Maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan,
Mungkin aku bisa mengubah keluargaku,
Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,
Bisa jadi aku pun mampu mengubah negeriku,
Kemudian siapa tahu,
Aku bahkan bisa mengubah dunia."
Hasrat untuk berubah tersebutlah yang lantas mendorong pasangan suami istri, Pak Elmir dan Bunda Tatty menginisiasi Forum Indonesia Muda (FIM), lebih dari satu dekade silam. FIM sendiri adalah semacam forum keprihatinan yang berusaha mengajak para pemuda untuk lebih peka terhadap sekitarnya. Dan kepekaan itulah yang berusaha diasah oleh FIM melalui penguatan mental kepemimpinan dalam diri para pemuda.

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine