Warna-warni Idul Adha di IIUM

| Oktober 16, 2013 | Sunting
Berbeda dengan sepinya malam takbiran, Idul Adha di kampus saya lumayan ramai dan berwarna-warni. Idul Adha - juga Idul Fitril menjadi sebuah alasan kuat bagi mahasiswa dari berbagai negara untuk menggunakan pakaian tradisional masing-masing. Saudara-saudara kita dari daratan Timur Tengah dan Afrika biasanya paling heboh dalam hal busana. Mahasiswa Afrika biasanya menggunakan busana tradisional berwarna cerah menyala dengan berbagai bentuk hiasan kepala (semacam topi). Sementara mahasiswa Afghanistan dan sekitarnya mudah dikenali dengan rompi tenun tradisional yang mereka pakai. Oh ya, satu lagi yang khas: Idul Adha adalah hari dimana berbagai macam parfum berlomba masuk ke dalam lubang hidung kita - sesuatu yang lantas membuat saya mabuk dan tepar!
Warna-warni Idul Adha
Sholat Ied dimulai pukul 8:30 dan masjid kampus kami yang berkapasitas sekitar 9000 jamaah lumayan penuh. Sebagian besar jamaah adalah mahasiswa Internasional yang tidak pulang kampung - sebagaimana juga saya dan juga masyarakat umum dari sekitar kampus. Sementara, mahasiswa asal Malaysia sebagian besar pulang kampung, hanya beberapa yang tidak. Khotbah Ied disampai oleh seorang dosen dari Department of General Studies, KIRKHS, yang menggaris bawahi tentang korelasi ibadah dan inner-peace. Jamaahpun lantas tumpah ruah di area masjid selepas Ied, bersalam-salaman, foto bersama ataupun sekadar ngobrol. Saya sendiri memilih pulang setelah berbincang dengan beberapa kawan dan menyalami sebagian jamaah karena serbuan berbagai aroma parfum yang tidak bersahabat seperti yang saya tulis di awal.
***
Hari Idul Adha dan paling tidak 3 hari setelah Idul Adha (Tasyrik) adalah hari berlimpah makanan di IIUM. Banyak organisasi yang mengadakan open house dan membagikan makanan gratis. Salah satunya adalah Forum Tarbiyah (Fotar), satu dari belasan perkumpulan mahasiswa Indonesia di IIUM. Bertempat di tepi sungai Aikol, acara nyate bareng dimulai selepas Dzuhur. Semerbak bumbu sate yang menetes ke bara arang seolah menari-nari dibawa angin, mengirimkan sinyal lapar ke otak. Apalagi, selain sate juga disiapkan gado-gado, enaknya...

Untuk menyemarakkan Idul Adha 1434 H kali ini, Fotar menyediakan sekitar ... kg daging yang dibeli dari donasi berbagai pihak. Total ada sekitar 300 tusuk sate yang disiapkan oleh tim keputrian untuk kemudian dibakar oleh para lelaki siang kemarin. Pembakarannya sendiri dilakukan dengan sangat sederhana, memanfaatkan benda-benda di sekitar area acara. Karena lupa membeli minyak ataupun briket, akhirnya menggunakan plastik bekas untuk daden (menghidupkan bara arang). Karena lupa menyiapkan kipas akhirnya menggunakan piring Styrofoam untuk mengipasi satenya. Karena catering-nya lupa membuatkan bumbu sate, akhirnya kami membuatnya sendiri - on the spot. Hehe. Walaupun begitu, karena dilakukan bersama-sama dan dengan hati riang, alhamdulillah semuanya lancar. Hehe.

Ini adalah penampakan calon sate yang menunggu untuk dibakar. Calon sate dilumuri dengan bumbu yang terdiri dari kecap, bawang merah, cabai dan jeruk nipis terlebih dahulu, sebelum dibiarkan sebentar agar bumbunya meresap.
Calon sate
Baru setelah itu calon disate dikirim ke atas pembakar. Biarkan bara yang keluar dari arang di bawahnya membakar setiap inci calon sate tersebut. Pastikan bahwa api membakarnya secara merata, kecuali kamu mau melahap sate setengah matang. Tapi, juga pastikan bahwa api tidak menggosongkannya, kecuali kamu mau makan sate arang, hehe. Setelah sate-sate tersebut cukup matang, segera angkat! 
Sate dalam proses
Nah, selepas Ashar hidangan sudah siap sedia. Sate yang masih lumayan hangat disajikan bersama lontong dan gado-gado untuk kemudian disiram bumbu kacang, ditaburi bawang goreng. *saya menulis bagian ini sambil menelan ludah* Mantap! Oh ya, sebenarnya juga ada es buah yang nikmat sekali, tetapi karena kami terlanjur lapar sehingga tak ada satupun yang ingat untuk mendokumentasikannya, hehe. Syukur sekali semua senang, semua kenyang. Berkah Ied banget! :)
P.S: Selain Fotar, PPI IIUM, KMNU, IKPM dan beberapa perkumpulan mahasiswa lainnya juga biasa mengadakan open house di IIUM. Dari pihak kampus, International Student Division setiap tahunnyapun menggelar open house. Sehingga jangan khawatir: ada banyak kesempatan untuk merasakan rahmat Ied :')
Senangnya makan sate bersama :)
Salam hangat dari seberang. Sateee..

Sumber gambar: #IIUM Instagram, Sosmas Fotar, jepretan pribadi

Malam Takbiran di Negeri Jiran

| Oktober 15, 2013 | Sunting
Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, semarak mungkin adalah kata yang terlintas dalam benak begitu mendengar Idul Fitri atau Idul Adha. Meskipun biasanya Idul Fitri terasa lebih semarak karena dibarengi dengan prosesi mudik, tetapi bukan berarti budaya perayaan menyambut Idul Adha sepi-sepi saja. 

Keduanya menyajikan sensasinya masing-masing. Idul Fitri seringkali identik dengan prosesi mengunjungi rumah tetangga dan sanak saudara untuk bermaaf-maafan, juga kebiasaan memasak ketupat ataupun kue apem. Sementara, semarak Idul Adha ditunjukkan dengan prosesi penyembelihan hewan kurban yang kadang dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. 

Di desa saya, pada hari penyembelihan, kawasan masjid sudah ramai sejak pagi: ada yang menonton prosesi penyembelihan hewan, membantu prosesnya, hingga menunggu pembagian daging.
Takbir Keliling - Jogja
Namun, di atas itu semua, kedua hari raya ini sama-sama identik dengan Malam Takbir. Pada malam hari sebelum perayaan kedua hari raya ini, umat Muslim bersama-sama melantunkan takbir dan shalawat-shalawat pujian dari pusat-pusat ibadah. Dari prosesi turun temurun ini lantas lahirlah berbagai variasi lain: arak-arakan bedug ataupun lampion, takbir keliling hingga lomba takbir. Semuanya dilakukan sebagai wujud rasa syukur dan bahagia karena bisa kembali merasakan datangnya kedua hari suci tersebut. 

Malam-malampun lantas menjadi lebih semarak dengan kembang api ataupun terkadang petasan. Terlepas dari dalil-dalil yang sering kali diperdebatkan, bagi saya semarak tersebut sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia dalam menyambut kedua Hari Raya. 

Dan semarak semacam itulah yang selalu membuat dua malam Hari Raya saya selama di Malaysia (Idul Adha tahun ini dan tahun lalu), menjadi mellow berbau drama. Saya sendiri setuju bahwa semangat Hari Raya seharusnya lebih pada semangat batiniyah, bukan lahiriah. Tapi, hidup jauh dari rumah membuat saya merasa bahwa semangat Idul Adha juga merupakan semangat lahiriah yang ditunjukkan dengan parade beduk, takbir keliling ataupun duduk bertakbir di masjid semalam suntuk. Dan itulah yang tidak bisa saya temukan di Malaysia. Suasanaalam takbir bisa dibilang tidak jauh berbeda dengan malam-malam biasa. Suara takbir hampir tidak terdengar. Di beberapa kawasan yang banyak ditinggali oleh orang Indonesia - seperti kawasan Chow Kit, sih katanya tradisi takbiran masih ada, namun itupun cukup jauh dari kampus dimana saya belajar dan tinggal. Sehingga sayapun memilih memutar video takbir dari Youtube.

Beberapa kawan Malaysia yang saya tanyaipun tidak bisa memberikan jawaban apa-apa kecuali gelengan kepala ketika saya tanya perihal takbiran pada malam hari raya. Beberapa menambahi jawabannya dengan, "Memang dari dahulu selalu begini kok (selalu sepi)!" Bandingkan dengan apa yang ada di tanah air, tak jarang momentum Idul Adha menjadi ajang kompetisi televisi-televisi untuk meraup rating dengan berbagai acara berbau Idhul Adha ataupun Idhul Fitri.

Sepinya suasana malam takbiran di Malaysia itulah yang menurut saya membuat banyak orang Indonesia yang memilih untuk berliburan ke negera ini di libur hari raya. Kalau tidak percaya, coba saja mengunjungi pusat keramaian seperti kawasan Bukit Bintang atau KLCC di "malam takbiran", akan begitu mudah mata kita untuk menangkap tanda-tanda keberadaan pelancong Indonesia di sana. Saya sendiripun baru saja pulang dari acara ngumpul bersama beberapa kawan, yah... ngumpul haha hihi di malam takbiran!

Selamat Idhul Adha... Salam rindu untuk tanah airku, semoga ini adalah pengorbananku untuk selalu membuatmu bangga dan tertawa. :')

Kisah Sepenggal Siang: Syukur

| Oktober 10, 2013 | Sunting
Entah kenapa pagi ini kumulai dengan perasaan penat. Kelas pukul 08:30 kudatangi dengan langkah gontai, malah sedikit terlambat. Ada hal yang sebenarnya sudah kuselesaikan semalam, namun seseorang mengacaukannya sehingga aku harus mengulangnya dari awal. Terang saja aku sebal. Dan perasaan ini terbawa ke kelas, kemana-mana.

Selepas kelas aku memutuskan untuk pulang ke kamar, sekitar pukul 12:30. Pikirku bisa tidur dulu sebelum melanjutkan kelas pukul 15:30. Berharap perasaanku akan membaik begitu aku bangun. Namun, keluar dari kelas aku malah mampir ke tempat jualan seorang kawan. Dan tentu saja kemudian kami malah ngobrol. Obrolan baru selesai ketika azan berkumandang, seorang karib mengajakku tunaikan kewajiban.

Perasaanku sudah sedikit lebih baik ketika aku akhirnya melangkahkan kaki ke mahallah. Namun, Sang Pembuat Rencana ternyata sudah merencanakan sesuatu yang lain. Tak biasanya dari kampus aku memilih jalan memutar menuju ke kamar. 

"Leee... Leee...", terdengar suara memanggilku. Aku yang bingung dari mana asalnya suara hanya melihat sekeliling. Panggilan kembali terdengar, kini disertai tepukan tangan. Ternyata dari bawah tangga asrama. Aku mendekat. Ternyata ada Ibu-ibu petugas kebersihan asrama yang tengah beristirahat siang. Di hadapan mereka terhidang aneka rupa buah-buahan.

"Kene... Kene.. Rujakan... Mari... Mari.. Makan rujak!" Yah, Ibu-ibu tadi tengah membuat rujak. Ada mangga, kedondong, jambu, juga nanas. Aku melepas alas kakiku, duduk bersama mereka. Adegan selanjutnya sudah jelas tentu saja: makan rujak bersama.
Mak - Full team
Oh ya, sebagian besar petugas kebersihan asrama adalah orang Indonesia, salah satunya pernah kuceritakan di sini. Dan sejak awal masuk IIUM, aku lumayan akrab dengan beberapa dari mereka. Saking akrabnya aku bahkan memanggil mereka dengan panggilan "Mak", panggilan yang selama ini hanya kugunakan untuk memanggil Mamak, ibu saya. 

Kami kadang-kadang makan siang bersama, sambil ngobrol ngalor ngidul membicarakan berbagai hal. Kami semakin akrab karena kesamaan bahasa: bahasa Jawa. Awalnya aku masih menggunakan bahasa Jawa halus ketika berbicara dengan mereka, tanda hormat kepada yang tua. Tapi, lama kelamaan aku malah ditegur dan disuruh untuk menggunakan bahasa Jawa ngoko saja, tingkatan bahasa Jawa yang salah satunya digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya. "Seperti ngomong sama siapa aja pakai bahasa halus!", ujar mereka.

Ibu-ibu tadi terkadang juga mengirim makanan: kerupuk, pisang, rempeyek bahkan pernah juga rendang dan bakso. Mereka pun tak canggung meminta pertolongan apabila memang sedang perlu: mengisikan MP3 ke handphone, mengirimkan surat ke Indonesia, mengartikan surat ataupun edaran berbahasa Inggris dan pekerjaan-pekerjaan ringan lainnya. Namun karena satu hal yang terlalu rumit untuk saya cerita, kawan akrab saya tersebut dipindah tugaskan ke tempat lain. Dan karena itulah intensitas pertemuan kami berkurang - tapi beberapa kali mereka bermaksud memberi makanan tapi karena tidak berjumpa akhirnya diberikan seorang kawan. Sehingga, bisa dibilang pertemuan tadi siang adalah semacam reunian :')

Saya duduk begitu saja bersama mereka di lantai. Meski sebenarnya seharian belum makan, tetapi begitu melihat potongan-potongan mangga muda di atas piring, saya langsung lahap. Sambil makan, seperti biasa, kami ngobrol. Atau lebih tepatnya saya mendengarkan berbagai cerita mereka, ada terlalu banyak hal yang sepertinya ingin mereka ceritakan sepertinya. Mulai dari seorang petugas kebersihan yang sudah melahirkan, permit kerja yang tidak kunjung keluar, mesin semprot yang rusak hingga "kehidupan" yang lebih baik di tempat kerja yang baru. 

Jadi, ceritanya, mereka ini sebenarnya adalah semacam petugas kebersihan teladan. Di bawah kendali mereka, saya bisa mengatakan bahwa blok asrama di mana saya tinggal adalah blok paling bersih di antara asrama-asrama lainnya. Kamar mandi kami paling mengkilat! Toilet kamipun kinclong! Area asrama juga asri, dipenuhi berbagai macam tanaman. Dan dengan kerja yang jempolan akhirnya mereka mendapat perlakuan khusus dari kantor asrama. Dan sejak saat itulah banyak pekerja lain yang iri, termasuk team leader-nya. Sehingga berbagai intrikpun berjalan yang akhirnya berujung pada pemindahan Mak petugas kebersihan asrama kami :'(

Di satu sisi saya senang ketika mereka terbuka dengan kehidupan mereka, karena tandanya mereka nyaman dengan saya. Tapi, di sisi lain, dengan cerita yang demikian saya jadi kasihan. Dan itulah yang seringkali terjadi: orang-orang yang aktif kerja seringkali terkalahkan oleh mereka yang aktif bicara - termasuk di antaranya menebar fitnah.

Tapi sudahlah, mereka sudah menemukan kehidupan yang lebih baik di tempat yang baru. :) Bahkan mereka berusaha merayu saya untuk ikut merasakan kehidupan yang lebih baik tersebut dengan mengusulkan untuk pindah kamar saja ke kompleks asrama dimana mereka sekarang bekerja, hehe.

Sang Pembuat Rencana ternyata telah menyiapkan rencana terbaiknya. Dan menghabiskan siang bersama Mak-mak tadi berhasil menjadi mood-booster saya. Apalagi tadi siang adalah hari gajian, sehingga mereka memiliki lebih banyak bahan obrolan.
Menghitung Gaji
"Duit wolungngatus ringgit, telungatus dikirim kat Indon! Isih limangatus, sik rongatus dinggo arisan. Isih telongatus. Utang ke Kak Tinah, tujuh puluh, isih rongatus telungpuluh. Bayar pulsa sepuluh, rongatus rongpuluh! Yah, lumayan iso mlebu celengan!"

Terjemahan: (Dapat) gaji delapan ratus ringgit, tigaratus ringgit dikirim ke Indon! Masih limaratus ringgit, yang duaratus untuk arisan. Masih sisa tigaratus. Untuk bayar hutang ke Kak Tinah tujuhpuluh, masih duaratus tigapuluh. Untuk bayar pulsa sepuluh ringgit, masih ada sisa duaratus duapuluh. Yah, lumayan bisa ditabung!

"Koseeekk. Duit klambi seket urung dibayar. Duit emas satus rongpuluh. Hayoo!"

Terjemahan: Sebentar. Uang membayar jahitan baju belum dibayar, limapuluh ringgit. Uang emas, seratus duapuluh ringgit. Hayooo!
Membayar Hutang
Oh ya, uang emas yang Mak-mak ini maksud bukan uang untuk membeli emas, tetapi biaya menitipkan emas! Akhir-akhir ini pemerintah Kerajaan Malaysia sedang gencar melakukan razia pekerja asing tanpa izin. Mereka yang tertangkap biasanya langsung dideportasi, sehingga akhirnya mereka menitipkan harta benda mereka ke seseorang dengan membayar sejumlah uang. Dan akhirnya, uang delapan ratus ringgitpun bersisa limapuluh ringgit! Tapi, mereka tetap saja tertawa, dengan begitu bahagia.

Sepenggal siang yang benar-benar mengembalikan mood saya. Saya merasa begitu senang. Apalagi di akhir perjumpaan mereka mengundang saya untuk ikut santap Jum'at besok pagi. Horee.. Dan, menunya.. Tebak apa coba? Menunya katanya bubur sumsum! Aaaa, pelepas rindu banget!

Yah, konklusi saya: hidup kadang memang terasa begitu sulit. Namun, ada banyak hal yang seharusnya membuat kita lebih banyak bersyukur. Orang-orang yang jauh dari tanah kelahiran. Orang-orang yang bekerja di bawah rasa takut. Orang-orang yang menerima gaji untuk kemudian habis sekali waktu. Orang-orang yang masih bisa tertawa meskipun seharusnya mereka bisa saja memilih untuk menangis ataupun mengeluh. Semoga kita menjadi makhluk yang senantiasa bisa bersyukur :')

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine