Bapak Mengantar Anak

| Januari 31, 2015 | Sunting
Yakup dan anak lelakinya, Yusuf, dalam film Bal (Honey), karya sineas Turki - Semih Kaplanoglu
Rancangan tulisan ini terlintas begitu saja dalam benakku ketika berada di atas boncengan motor tua bapak yang mengantarkanku ke bandara beberapa hari lalu. Jadwal penerbanganku masih pukul 17:20 sebenarnya, tetapi kami meninggalkan rumah sejak tengah hari. Motor tua Bapak tidak pernah bisa ditebak. Selalu saja ada kemungkinan onderdil-onderdilnya bermasalah. Dan dengan alasan itu pula kami sengaja menyusuri jalan yang dilewati oleh bus, walaupun harus sedikit memutar, untuk sekadar berjaga-jaga kalau motor Bapak tidak bisa melanjutkan perjalanan.

Umurku memang sudah melewati kepala dua. Tetapi belum pernah sekalipun mengendarai motor. Tidak bisa. Sehingga praktis Bapaklah yang menjadi tumpuan utamaku di masa-masa semacam ini - ketika aku harus pergi ke kota dengan mengikuti sebuah jadwal. Bisa saja aku memilih untuk naik angkutan umum, tetapi ketidakjelasan waktu tempuh dari rumah sampai ke kota tentu membuatku takut. Saking sudah seringnya prosesi Bapak mengantarkanku, anaknya, untuk ke bandara, tak jarang sejak aku baru pulangpun Bapak sudah bertanya, "Sik mangkat meneh kapan Yan? Jam pira?" - Berangkat lagi kapan Yan? Jam berapa?

Dan begitulah. Sekali atau dua kali dalam setahun selama masa kuliah, aku pasti akan mencicipi kembali jok motor bapak yang semakin hari semakin keras decitnya. Dari rumah kami akan melaju ke barat dengan kecepatan sedang. Membelah sawah dan desa-desa demi mengantarkanku untuk kembali ke sekolah.

Diantar Bapak praktis menjadi saat yang terasa lain bagi saya karena memang hanya ialah yang bi(a)sa melakukannya. Mamak memang mengantarkanku ke sekolah pada minggu-minggu awal masuk TK, selebihnya aku selalu berangkat sendiri atau dibonceng anak tetangga.

Dan bila di tingkat yang lebih rendah saja saya harus berangkat sendiri, begitu pulalah di tingkat-tingkat selanjutnya. Cerita sedikit berbeda malah bergulir ketika aku duduk di bangku SMA. Berkali-kali aku di ntar bapak ke sekolah. Alasan yang paling sering terjadi adalah karena sepedaku rusak. Dan begitulah. Bapak lantas menjadi pengantar setia. Tidak selalu memang, tetapi pada masa-masa yang memang (penting dan) perlu.

Romansa Bapak-anak inilah yang membuatku terhenyak ketika membaca berita yang tengah panas hangat di media beberapa waktu belakangan ini. Adalah Bambang Widjojanto yang kumaksud - terlalu banyak nama berseliweran, aku takut kamu salah pilih nama.

Wakil Ketua KPK ini ditangkap oleh polisi pada pagi, 23 Januari saat perjalanan pulang dari mengantar anaknya ke sekolah. Turut bersama Bambang adalah putri keduanya, Bayuni Izzat Nabilah. Keren. Begitulah kurang lebih Izzat menggambarkan detik-detik penangkapan sang Ayah.

Dan bagiku kisah menjadi epik karena dengan kesibukannya sebagai pejabat negara dan juga adanya fasilitas yang bisa ia manfaatkan, Bambang Widjojanto masih menyempatkan diri untuk mengantarkan anaknya. Ia kemudikan sendiri mobilnya sendiri. Tanpa pengawalan apapun laiknya para pejabat negara pada umumnya, sampai-sampai penangkapannya tidak langsung diketahui.

Semoga catatan ini menjadi pengingat diri. Semoga Allah selalu lindungi Bapak-bapak kita. 

Arsip

Pesan Mamak

Dirimu yang dulu kususui. Pantatmu yang dulu kubedaki. Kotoranmu yang kujumputi dengan tanganku sendiri, untuk kemudian kuairi.

Pernah kuceritakan padamu tentang negeri yang jauh. Sekadar cerita kala itu. Namun, kini kupikir itu adalah doa. Negeri itu tak kan sejauh dulu. Negeri itu tak kan seabstrak ceritaku dulu. Ku ucap doa untuk setiap langkahmu. Itu akan lebih bermakna daripada sedikit receh yang kusumpalkan ke sakumu. Ku serahkan dirimu pada Tuhan-Mu.

Pergilah, demi dirimu sendiri. Ku kan tunggu kau di sini. Pulanglah ketika kau lelah. Kan kuceritakan tentang negeri yang lebih jauh. Ah, kau sudah lebih tahu pasti. Baik-baik disana, sholat dijaga. Makan? Rasanya tidak perlu ku khawatir soal itu.

 
Uraian blog ini dicuplik dari puisi Sapardi Djoko Damono, Kata, 2
Reka templat oleh DZignine